PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
PADA MASA PENJAJAHAN BARAT DAN PENJAJAHAN
JEPANG
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Penyebaran Islam yang telah
merambat dari bagian utara dan barat Indonesia di abad ke tujuh terus
menghebat, terutama setelah abad ke sebelas dan dua belas. Kedatangan Islam ini
kemudian dapat dikatakan secara total menggantikan Hinduisme dan Buddhisme yang
telah berhasil sebelumnya membawa kejayaan Nusantara dengan kerajaannya yang
sangat berpengaruh, rakyatnya yang sangat rajin berdagang hingga ke negeri yang
sejauh-jauhnya, raja-rajanya yang hebat mengagumkan dan candi-candi serta
kuil-kuil tempat pemujaan yang akan menjadi “peninggalan” yang tak akan lenyap
untuk selama-lamanya, membanggakan bagi setiap generasi yang diturunkan, bukan
dalam arti religiusnya yang mungkin karena paham-paham baru diganti dengan
lebih sesuai dengan tuntutan hati nurani manusia, akan tetapi karena
kemampuannya menimbulkan kesan berharga bagi manusia-manusia baru mendatang.
Pengaruh Islam itu masuk hingga ke dalam sendi-sendi kerajaan dan kepemimpinan
rakyat dengan agama Islam, ditandai pertama-tama dengan berdirinya kerajaan
Demak. Tidak hanya kerajaan-kerajaan dengan kekuasaan ketatanegaraannya saja,
akan tetapi juga cara-cara istimewa yang dipraktekkan oleh para “Wali Sanga”
yang telah sanggup mengubah mental spiritual rakyat dengan mental Islam yang
rasional, menghapus ketahayulan, tanpa mengurangi kegemaran dan apa saja yang
disukai rakyat dengan saluran-saluran baru sesuai dengan ajaran baru. Gaya baru menurut ajaran
Islam dalam waktu singkat memberi warna pada setiap kerajaan yang lahir
dihampir seluruh negeri, menyambut kedatangan penjajah-penjajah dari ras putih.
Adalah telah menjadi keharusan dan kenyataan sejara, yang bangsa Indonesia
di bawah raja-raja pemeluk Islam, harus menghadapi penjajahan, memberikan
nama-nama pemimpin raja yang digodok jiwanya oleh geloranya api perjuangan
Islam. Tegasnya, gerakan-gerakan semacam itu dimulai di abad tigabelas. Apabila
kemudian terjadi bentrokan-bentrokan di antara raja atau pangeran-pangeran,
maka tak lain akibatnya muncul kerajaan yang lebih besar dan kokoh kuat. Di
sinilah akan terlihat pasang surutnya peradaban Islam atau yang lebih tepatnya
perkembangan dakwah Islam yang mengalami berbagai polemik dan tantangan untuk
tetap bertahan di tengah kejamnya penjajahan, baik penjajahan bangsa barat
maupun penjajahan Jepang.
B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Portugis?
- Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda?
- Bagaimana perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang?
C. TUJUAN
- Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Portugis.
- Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
- Mengetahui perkembangan peradaban Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan
Bangsa Barat
1. Masa Penjajahan Portugis
Perjalanan bangsa Portugis hingga benua Asia tidak terlepas dari watak sebagian besar bangsa Eropa (beragama
Kristen) yang membenci umat Islam. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pernah
terjadi peperangan besar yang terjadi antara umat Islam dan Kristen yang
disebut “Perang Salib” (1096-1270 M).[1]
Penguasaan besar-besaran oleh umat Islam di daerah Timur Tengah dan beberapa
wilayah Eropa pada saat itu memancing umat Kristen di sekitarnya untuk segera
mengambil alih kedudukan itu. Walaupun perang Salib berhasil dimenangkan oleh
umat Islam, namun beda halnya dengan yang terjadi di belahan Dunia Islam
sebelah barat. Orang-orang Islam (Arab) yang telah berkuasa atas semenanjung Iberia
(Spanyol-Portugal) semenjak abad 6 Masehi mengalami pasang naik dan pasang
surut.[2]
Karena sebab-sebab perpecahan ke dalam, pertentangan politik, penonjolan rasa
keakuan yang melampaui batas, berebut kekuasaan dan kekayaan, tidak dapat
membedakan yang mana boleh dikerjakan sendiri-sendiri di antara
golongan-golongan dan yang mana harus bersatu, dan karena mengabaikan
ajaran-ajaran Syara’ Islam, maka pada periode demi periode mengalami kemunduran
dan persengketaan. Akhirnya pada tahun-tahun memasuki abad ke-15 M
daerah-daerah yang mereka kuasai, propinsi demi propinsi direbut kembali oleh
orang-orang Spanyol-Portugis hingga akhirnya pecahlah Kerajaan Islam Spanyol
yang jaya menjadi berkeping-keping di Afrika Utara.[3]
Istilah “reconquistia” pun mulai didengung-dengungkan sebagai lambang kemegahan orang Spanyol dan
Portugis. Istilah ini dikemukakan oleh Dr. W. B. Sijabat yang berarti “merebut
kembali dari suatu yang pernah diambil pihak lain”.[4]
Bersamaan dengan itu, orang-orang Portugis mengambil
kesempatan untuk melakukan apa yang mereka namakan “reconquistia”. Mereka bukan
saja merebut miliknya yang pernah hilang, akan tetapi lebih dari itu. Mereka
menjadi bernafsu untuk merebut milik orang-orang Islam di mana saja mereka
berada baik di Barat maupun di Timur. Setiap
orang yang beragama Islam bagi mereka adalah orang Moro, orang yang harus
diperangi.
Mulailah orang-orang portugis berlanglang buana atas
nama “conquistador-conquistador” (jagoan penakluk) yang direstui Sri Paus.
Tujuannya berganda, membalas dendam, merebut tanah jajahan, kekuasaan politik,
mengangkut rempah-rempah dan harta kekayaan penduduk pribumi serta menyebarkan
agama Katholik.[5]
Portugis menetapkan diri mereka sebagai penguasa samudra
Hindia pada awal abad ke-16. Pada tahun 1509 mereka mengalahkan sebuah pasukan
gabungan Mesir dan India
serta merebut Goa.[6]
Setelah menguasai Goa, bandar perdagangan di pantai barat India, Portugis mengarahkan lirikan mata
imperialismenya ke Timur, Malaka (Malaysia).[7] Pada tahun 1511 mereka menaklukkan
Malaka di bawah pimpinan d’Albuquerque [8],
tahun 1515 menaklukkan Hormuz di teluk Persia, dan pada tahun 1522 mereka
menaklukkan Ternate sebagai sebuah upaya untuk menguasai perdagangan antara
Cina, Jepang, Siam, Molucca, Samudra India dan Eropa. Portugis diusir dari
Ternate pada tahun 1575, tetapi mereka tetap menguasai sejumlah kepulauan
lainnya di Molucca.[9]
Tahun-tahun sekitar 1510 itu Kerajaan Islam Malaka
memang sedang mengalami kemerosotan akibat pertentangan dan perang saudara
memperebutkan kekuasaan dan kekayaan. Agaknya penyakit inilah yang sedang
melanda umat Islam di mana-mana sejak dari Spanyol hingga ke Asia Tenggara.[10]
Di Malaka, selain banyak sekali berdatangan para
pedagang bangsa Arab (Islam) juga tidak sedikit datang dan pergi para pedagang
Muslimin bangsa Indonesia
baik yang berasal dari Sumatra (Pase dan
Perlak) maupun yang datang dari Jawa (Demak). Hal itulah yang lebih menarik
perhatian Portugis. Pertama,
orang-orang dari Jawa ini pemeluk agama Islam yang taat dan menjadi
sahabat Malaka. Kedua, karena
pedagang dari Demak itu dagang dengan membawa rempah-rempah yang amat
mempesonakan Portugis. Ketiga, kapal-kapal
dagang Demak tidak dipersenjatai karena tujuan pelayarannya memang semata-mata
untuk berniaga.[11]
Mulailah Portugis melakukan provokasi-provokasi untuk
memutuskan hubungan Malaka-Demak dan sekaligus merampas rempah-rempah yang
sangat harum di hidung orang Eropa itu. Lama kelamaan gelagat buruk ini
diketahui oleh Adipati Yunus yang ketika itu menjadi sultan Demak. Mengusik dan
merampas rempah orang Demak sama artinya dengan mematahkan ekonomi Negara Demak
dan menghalang-halangi dakwah Islam.[12] Memang, di kapal-kapal dagang orang
Demak banyak pula berlayar para saudagar Islam bangsa Arab, akan tetapi buat
Demak banyak pula mereka adalah warga negaranya sendiri yang selain sedang
melakukan kegiatan berniaga sekaligus juga melakukan tugas dakwah yang
dilindungi oleh kedaulatan Demak. Sejak kerajaan Demak berdiri, maka kegiatan
dakwah dan niaga dilakukan secara serentak. Mubaligh-mubaligh dan
saudagar-saudagar pribumi Demak berdampingan bahu membahu dengan mubaligh-mubaligh
dan saudagar-saudagar Arab. Mereka tidak saja dalam hubungan antara murid dan
guru tetapi telah menjadi satu saudara yang dipertalikan oleh satu agama yaitu
Islam di bawah daulat kerajaan Demak.
Perlawanan pun mulai digencarkan yaitu pada tahun 1513
dan 1521 yang langsung dipimpin oleh Sultan Yunus. Namun sayangnya pertempuran
ini masih bisa dihalau oleh pasukan Portugis yang memiliki kemajuan teknik dan
pengalaman di laut sambil berperang, bahkan pertempuran ini menewaskan Sultan
Yunus sebagai syuhada’.[13] Peperangan tak berhenti di sini,
dengan kata lain perlawanan tetap berlanjut walau sering kali mengalami
kegagalan.
Ternyata pertahanan yang dilakukan Demak ini membawa
dampak negatif dalam sisi internal. Pemerintahan pusat di Demak lebih mencurahkan
kegiatannya pada masalah politik
terutama politik luar negeri. Penggarapan terhadap masalah-masalah
sosial, pendidikan, kemakmuran dan sebagainya tidak seimbang. Dan yang paling
diabaikan adalah masalah kaderisasi atau pembinaan generasi muda untuk calon-calon
pengganti mereka di masa datang. Yang terasa pula ialah bahwa jalannya dakwah
dan amar ma’ruf nahi munkar tidak terorganisir seperti sedia kala. Padahal
pelaksanaan politik yang lepas dari dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar dengan
mudah akan menimbulkan penyelewengan-penyelewengan politik, politik menjadi
lepas dari norma-norma Taqwallah, maka akibatnya menjurus kepada gejala “politik menghalalkan segala cara”.
Kalau sudah demikian, pasti goyahlah sendi-sendi kerajaan, jauhlah hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah, dan jurang itu akan semakin melebar
jikalau tidak cepat dijembatani.[14] Oleh karena itulah, merenggangnya
hubungan penguasa dengan para ulama juga bisa dijadikan sebagai penyebab
melemahnya kerajaan Demak. Pendek kata,
Islam sebagai pedoman hidup harus tetap dijaga, komunikasi yang baik antara
para ulama dan para penguasa sangat penting untuk diwujudkan.
Demak telah berakhir, namun Islam tidaklah berakhir.
Intervensi Portugis secara tidak langsung justru
menyokong bagi penyebaran Islam. Dengan hancurnya kekuasaan Malaka, para guru
dan misionari Muslim berpindah ke Sumatra Utara, Jawa, Molucca, dan ke Borneo. Setelah hancurnya kekuasaan Malaka, tiga pusat
utama kehidupan politik dan kultural Muslim tumbuh berkembang.[15]
Di Aceh, sultan Syah Ali Mughayat menyatukan lawan-lawan Portugis, dan berhasil
mengalahkan mereka pada perang di Pidie 1521 dan pada perang Pasai tahun 1524,
menaklukkan wilayah pesisir utara kerajaan Aceh yang menjadi pusat persaingan
utama pihak Portugis. Antara tahun 1529-1587 Aceh melancarkan usaha-usaha
secara berkesinambungan untuk merebut kembali Malaka. Antara tahun 1618 dan
1620, kerajaan Aceh merebut Pahang, Kedah, dan Perak. Puncak kekuasaan Aceh
tercapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636), yang mengorganisir
sebuah rezim yang efektif dan memperkokoh dominasinya atas para penguasa lokal
(uleebalang) dan berbagai kelompok perkampungan. Ambisi Sultan Iskandar
untuk menguasai seluruh wilayah semenanjung ini dipatahkan oleh kekuatan
pemerintahan Malaya lainnya pada tahun 1629.
Beberapa kesultanan Muslim didirikan di semenanjung Malaya pada abad 15 dan abad 16. Di antaranya yang paling
besar adalah kesultanan Johor (1512-1812). Kesultanan Johor tidak merupakan
sebuah dinasti, melainkan sebuah wilayah kewenangan yang diperintah oleh
beberapa penguasa yang berbeda. Johor bertempur melawan Aceh dan Portugis untuk
memperebutkan kekuasaan atas Malaka.
Jawa menjadi wilayah bagi pusat kekuasaan Muslim ketiga.
Antara tahun 1513 dan 1528, sebuah koalisi kerajaan Muslim mengalahkan
kekuasaan Majapahit, dan tumbuhlah dua negara baru di wilayah pusat Jawa, yaitu
kerajaan Banten di Jawa Tengah dan Jawa Barat (didirikan pada tahun 1568), dan
kerajaan Mataram di wilayah timur Jawa Tengah.[16]
Melanjutkan perjalanan Portugis, setelah berhasil
mengacau perdagangan di Malaka, mereka mulai menemukan pedagang Melayu yang
melarikan diri ke daerah lain seperti Demak dan Makasar. Mereka yang
menyelamatkan diri ke Maluku, oleh Portugis diikuti jejaknya seolah dijadikan
“guide”, penunjuk jalan untuk menemukan Maluku.
Islamisasi di Maluku pada saat itu sudah berkembang,
yaitu sejak pertengahan abad ke limabelas.[17] Hal itu ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam yang dipimpin oleh penguasa-penguasa yang taat beribadah
dan sangat memperhatikan dakwah Islam.
Keadaan seperti itulah yang tidak disukai Portugis.
Mereka mulai menggunakan taktik adu domba untuk kembali melakukan misi
utamanya, yaitu menjajah bumi Nusantara dan menghancurkan Islam. Karena usia
Islam masih muda di Ternate, Portugis yang tiba di sana pada tahun 1522 M berharap dapat
menggantikannya dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka
hanya mendatangkan hasil yang sedikit.[18]
Hingga pada suatu saat, seorang utusan dari Roma yang
terkenal, Fransisco Xaverius, melakukan
kristenisasi besar-besaran sekitar tahun 1546 padahal ratusan tahun yang lalu
Islam sudah memasuki Maluku dan penduduk
gugusan pulau-pulau yang padat itu telah memeluk agama Islam. Menghadapi
tantangan seperti itu maka tidak sedikit terjadi perlawanan terhadap
pasukan-pasukan Portugis yang membawa agama Katholiknya. Dakwah Islam itu
mencapai puncaknya ketika motivasinya didorong oleh unsur politik membela
kepentingan bangsa dan tanah air berhubung dengan perbuatan Portugis yang
melukai sentimen nasional yang sangat kuat.[19]
Akhirnya tindakan kristenisasi tersebut membangkitkan
semangat juang di kalangan kaum Muslimin Maluku. Sultan Ternate mengambil
inisiatif utnuk mengadakan tindakan timbal balik. Keras dihadapi dengan keras,
sentimen dengan sentimen, ekspansi atau perluasan daerah diimbangi dengan
ekspansi pula. Itu sebabnya, di mata Gereja Katholik, Sultan Ternate dipandang
sebagai “orang keras paling dibenci”.[20]
Hal itulah yang oleh pemimpin Gereja sendiri akhirnya diakui sebagai suatu
fanatisme yang meluap-luap. Ya, tetapi siapa mendahului siapa?
Sekali pun penyebaran Kristen demikian pesat di
kepulauan Maluku, namun dakwah Islam terus berkembang baik di kepulauan Maluku
Utara, Tengah maupun Selatan. Umat Islam di sana mempunyai potensi yang hidup dan sanggup
berdiri di atas kaki sendiri.
Keadaan pada waktu sekarang tetaplah demikian dan
semakin memperlihatkan perkembangan Islam yang mantap dan maju. Hal itulah yang membuat kesadaran di kalangan
pemeluk agama Kristen tentang keadaan Islam yang sebenarnya di Maluku.[21]
2. Masa Penjajahan Belanda
Penindasan Belanda
atas Islam justru menjadikan Islam mampu meletakkan dasar-dasar identitas
bangsa Indonesia.
Selain itu Islam juga dijadikan lambang perlawanan bagi imperialisme. Bagi para
penguasa pribumi, memeluk agama Islam berarti memiliki dua senjata. Pertama,
mendapat dukungan dari rakyat, karena rakyat banyak dari kalangan petani dan
pedagang yang telah menjadikan Islam sebagai agamanya. Kedua, selain para
penguasa dengan memeluk agama Islam mendapatkan dukungan rakyat, juga dapat
memiliki senjata dalam melawan agresi agama dan perdagangan dari imperialis
barat.[22]
Kehadiran ulama
dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharu dan pengaruh ulama
pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Ternyata pesantren itu
tidak hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga merupakan lembaga
penyemaian kader-kader pemimpin rakyat, sekaligus berfungsi sebagai wahana
merekrut prajurit sukarela yang memiliki keberanian moral yang tinggi.[23]
Sepintas lalu ulama
hanya terlihat sekedar sebagai pembina pesantren. Akan tetapi, peranannya dalam
sejarah cukup militan. Diakui oleh Thomas Stanford Raffles bahwa ulama
merupakan part nearship para penguasa
dalam melawan usaha perluasan kekuasaan asing di Indonesia.[24]
Dengan demikian, ulama memegang peranan multifungsi, termasuk bidang politik
dan militer.
Kelanjutan dari
pengaruh ulama yang demikian luas tersebut tidak hanya terbatas dibidang
politik dan militer saja, melainkan meluas juga terhadap ekonomi yang telah
meninggalkan bekas-bekasnya atas the ecology of economic activities.
Maka jelaslah Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama terutama
dibidang perdagangan. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwifungsi
sebagai pedlar missionaries (da’i dan pedagang).[25]
Akibatnya, usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam.
Pemberontakan Santri Abad ke-19
Kondisi yang
demikian itu mengubah kondisi pesantren yang tadinya sebagai lembaga pendidikan,
berubah menjadi a center of anti ducth sentiment (sebagai pusat
pembangkit anti Belanda). Dalam abad ini saja Belanda menghadapi empat kali
pemberontakan santri yang besar. Pertama, perang Cirebon (1802-1806). Kedua, perang
Diponogoro sebagai peperangan terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial
Belanda di Jawa [26](1825-1830).
Ketiga, perang Padri di Sumatra Barat (1821-1838). Keempat, di
Aceh sebagai pemberontakan santri yang terpanjang atau terlama (1873-1908).
Perlawanan-perlawanan
yang dilakukan untuk membebaskan diri dari pengaruh Belanda tidak pernah putus.
Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal karena beberapa sebab, di antaranya:
(1) Belanda diperlengkapi dengan organisasi dan persenjataan modern sementara
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia masih bersifat tradisional, (2) penduduk
Indonesia sangat tergantung kepada wibawa seorang pemimpin, sehingga ketika
pemimpinnya tertangkap atau terbunuh praktis perang atau perlawanan terhenti
dengan kemenangan di pihak Belanda, (3) tidak ada kesatuan antara
kerajaan-kerajaan Islam dalam melawan Belanda, karena (4) Belanda berhasil
menerapkan politik adu domba, dan (5) dengan politik adu domba itu, banyak
penduduk pribumi yang ikut memerangi rekan-rekannya sendiri. [27]
Pada mulanya
Belanda menempuh cara menghancurkan ulama dan Islam dengan melancarkan politik
agama non Islam.[28]
Akan tetapi, sekali pun gerakan ini dibiayai oleh pemerintah, namun ternyata
hanya mampu menarik suku-suku asing dari agamanya.
Dutch Islamic Policy
Melihat
perkembangan ulama yang demikian ini, Snouck mencoba memberikan diagnosis yang
dijadikan Dutch Islamic Policy.[29]
Dia melihat ulama dan santri itu sendiri tidak berbahaya, sekalipun mereka
berada di desa-desa dekat dengan para petani. Oleh karena itu diciptakan
diagnosis “Menciptakan ulama dan santri di desa-desa menjadi tuna politik
(depolitisasi).” Pemerintah tidak perlu takut kepada ulama dan santri, asal
mereka dijauhkan dari propaganda politik, baik dari kegiatan politik dalam
negeri maupun luar negeri.
Untuk
merealisasikan diagnosis tersebut, dianjurkan supaya pemerintahan menjalankan
dwikebijaksanaan (twin policies), yakni menganjurkan adanya toleransi agama,
dan menindak dengan kekerasan terhadap ulama yang masih melanjarkan kegiatan
politik dan militer.
Mematahkan Ulama Melalui Tanam Paksa
Untuk dapat
mencapai target diagnosis tersebut, Belanda memerlukan kawan. Snouck
menasehatkan supaya pemerintah menggunakan tenaga Pangreh Praja. Keadaan Jawa
memungkinkan untuk tujuan tersebut. Belanda telah berhasil melumpuhkan basis
suplai ulama dan santri. Pengreh Praja yang merasa mendapatkan keuntungan dari
tanam paksa, dengan menyalahgunakan kekuasaan telah ikut memperluas dan
meratakan kemiskinan rakyat.[30]
Ulama dan santri
yang bermata pencaharian sebagai petani akan mudah dipatahkan dengan penguasaan
atas tanah. Tanam paksa benar-benar telah melumpuhkan rakyat. Pemerintah takut
terhadap ulama dan santri Jawa Barat yang memberontak selama mereka mampu
menguasai tanah sawahnya. Karena itu pelaksanaan tanam paksa harus diperkeras
dan diperlama. Akibatnya, kemelaratan benar-benar menindih kehidupan petani
muslim di Jawa Barat.
Rusaknya Mental Penguasa Pribumi
Petani sebagai
basis suplai yang telah rusak kehidupannya, tidak mendapatkan pembelaan dari
Pangreh Praja saat itu. Raja-raja tidak mampu berbuat untuk menolong rakyat.
Mereka telah kehilangan syari’at Islam sebagai landasan hukum dasarnya.
Selanjutnya, Ronggo Warsito memberikan gambaran tentang sikap penguasa pribumi
setelah lepas hubungannya dengan ulama. Tingkah laku mereka mengejar kemewahan,
menambah merajalelanya penderitaan rakyat.
Kondisi yang
demikian digambarkan oleh Harry J. Benda: Bangsawan Indonesia telah kehilangan tambatan
budaya dan politik mereka sebagai akibat penaklukan Belanda.[31]
Depolitisasi Ulama Desa
Kedudukan ulama
benar-benar menyedihkan. Ulama desa yang tuna politik tidak tahu tentang
struktur pemerintahan di atasnya. Para ulama
desa dan pengikut-pengikutnya diputuskan hubungannya langsung dengan kalangan
priyayi atau bangsawan di atasnya. Mereka tidak memiliki pengetahuan apapun
tentang struktur kenegaraan.
Berita Nahdlatul
Ulama dalam hal ini memberikan gambaran betapa parahnya orientasi ulama saat
itu, antara lain: “Para ulama kita satu dengan
yang lainnya tak kenal mengenal atau kurang rapat hubungannya hanya selaku
kenalan saja. Tiada sampai pada bersama-sama kerja untuk agama dan umat umum.
Bahkan kadang-kadang ada kalanya yang diantara mereka sembur-semburan antara
satu dengan yang lainnya, dikarenakan berselisih dalam masalah atau sebab lain.
Sebagian dari mereka tidak mengetahui keadaan kehinaan umat Islam yang diluar
pagar rumahnya.” [32]
Membangkitkan Gerakan Nasional
Waktu yang tepat
untuk mengadakan perubahan akhirnya datang pula struktur penjajahan yang ingin
menciptakan Pax Neer Landica telah menemukan efek samping yang menguntungkan
umat Islam Indonesia.
Penindasan yang diderita telah melahirkan persamaan nasib. Islam bagi bangsa Indonesia
identik dengan tanah air.
Para
ulama mencoba menggerakkan masyarakat dengan melalui waktu-waktu yang sangat
menguntungkan dalam pendidikan. Dicobanya mendidik masyarakat supaya
motifasinya bangkit kembali dibidang ekonomi perdagangan.[33]
Untuk keperluan ini H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (16 oktober
1905). Setahun kemudian dirubahnya menjadi Sarekat Islam.
Tetapi Belanda
melihatnya dari segi lain bahwa dengan adanya organisasi atau perserikatan
diartikan sebagai usaha membina persatuan, sebagai cara baru dalam kebangkitan
Islam. Apalagi aktivis SDI selanjutnya membentuk kerjasama dagang antara Islam
dan Cina Kong Sing. Sedangkan policy Belanda sejak abad ke-18, berusaha
mencegah asimilasi antara Cina dan Islam. Kesatuan Cina dengan umat Islam akan
mudah dijalinnya, karena latar belakang sejarahnya memudahkan kesatuan
tersebut.[34]
Sebagai misal sebagai hubungan umat Islam Cirebon dengan Cina pada abad ke-15,
yang dikisahkan dalam Carita Purwaka
Caruban Nagari, bahwa panglima Wai Ping dan laksamana Te Bo beserta
pengikutnya mendirikan mercusuar di bukut Gunung Jati. Kesatuan Cina dalam
susuhunan Mataram yang disertai dengan masuknya Cina kedalam agama Islam,
mengilhami Belanda untuk melahirkan kebijaksanaan yang berusaha memisahkan
asimilasi antara Islam dengan Cina. Kebijaksanaan Belanda yang mencegah
terjadinya asimilasi pada abad ke-20 adalah mudah dimengerti. Persoalannya
terletak pada latar belakang sejarah mereka. Negara cina juga sedang bertujuan
menetang imperialisme barat, sedangkan Indonesia memiliki sejarah yang
sama. Oleh karena itu, bila terjadi asimilasi, berarti mempercepat proses gulung
tikarnya Belanda di Indonesia.
Telah jelas bahwa pihak Islam telah
menampung asimilasi tersebut dan di Negara Cina telah berkobar revolusi Cina,
karenanya dengan berbagai provokasi Belanda menimbulkan bentrokan fisik antara
Cina dengan umat Islam. Pancingan ini berhasil melahirkan pemberontakan
anti-Cina di Solo.[35]
Akibat pemberontakan ini sangat menguntungkan Belanda yang pada awal mulanya
ketakutan terhadap menularnya revolusi Cina ke Indonesia. Bila revolusi ini
benar-benar menjalar, sukar ditumpasnya, karena telah adanya persatuan antara
Islam dengan Cina. Dengan adanya pemberontakan tersebut, selesailah usaha
mencegah asimilasi, dan Belanda merasa aman baik terhadap ancaman gerakan
nasional dari bantuan Cina, maupun dari bahaya menjalarnya revolusi Cina ke Indonesia.
Dengan demikian, Belanda telah berhasil memisahkan Cina-Indonesia yang
dipelopori Islam, sekaligus timbullah hubungan Cina-Belanda menentang
perkembangan tuntutan nasionalisme pribumi.
Mencegah Kesatuan Islam-Priyayi
Pemberontakan anti-Cina dalam sejarah
dituliskan sebagai perlawanan SDI plus lascar Mangkunegara (1911), yang
menyebabkan Belanda mengeluarkan skorsing terhadap kegatan SDI. Tetapi,
skorsing hanya berjalan selama 14 hari (12-26 Agustus 1912).
SDI, setelah menerima skorsing mencoba
pula mengadakan konsolidasi. Ternyata pilihan SDI tepat sekali, waktu itu SDI
merintis jalan untuk menyerahkan pimpinan SI kepada H. O. S. Cokroaminoto.
Seperti yang kita ketahui, pilihan ini mempunyai motivasi yang sesuai dengan
tuntutan zamannya. Pada masa itu, tokoh priyayi masih mempunyai nilai
tersendiri di mata rakyat. H. O. S. Cokroaminoto selain seorang muslim yang
demokrat juga mempunyai darah ningrat, dan lebih dari itu beliau adalah seorang
pemimpin yang brilian.
Hanya dalam waktu empat bulan SI telah
sanggup mengadakan konggres I di Surabaya (26 Januari 1973) konggres ini
mendapatkan dukungan masa rakyat yang luar biasa. Belanda ketakutan terhadap
usaha SI yang berusaha menyadarkan rakyat akan politik. Pemerintah mulai
melarang pembentukan sentral SI. Larangan ini tidak mempan, CSI dibentuk di Surabaya (1915). Umat
Islam yang tadinya diharapkan oleh pemerintah colonial menjadi tuna politik
(depolitisasi), justru sekarang bangkit berjuang menyadarkan rakyat untuk
menuntut pemerintahan sendiri. [36]
Menghadapi kebangkitan umat Islam
dengan gerakan nasionalnya, Belanda mencari jalan lain. Pemerintah mencoba
memecahkan hubungan antara umat Islam dengan kalangan priyayi. Lebih-lebih
perlu dijauhkan kalangan Pangreh Praja dari gerakan politik yang dilancarkan
SI. Dengan “Perintah halus”-nya, Belanda berhasil menciptakan iklim
pertentangan antara SI dan priyayi.
Pertentangan semacam ini semestinya
menurut perhitungan pemerintah akan menghentikan aktivitas SI. Ternyata
pertentangan priyayi-ulama di lain pihak menumbuhkan gerakan baru, yakni
perserikatan ulama di Majalengka (1917) yang dipimpin oleh K. H. Abdul Halim.[37]
Gerakan ini kerjasama dengan SI, sekalipun mengkhususkan dalam bidang sosial
pendidikan. Kemudian disusul dengan berdirinya Persis (1920).
Memperalat Komunisme
Pemerintah Belanda
dengan berbagai usaha ingin mematahkan gerakan nasional yang digerakkan oleh
umat Islam. Meskipun perpecahan ulama-priyayi oleh pemerintah Belanda, ternyata
tidak menghalangi gerakan membangkitkan gerakan politik nasional.
Sneevlite sebagai
tokoh komunis pertama di Indonesia
berhasil menciptakan pertentangan dalam kalangan SI.[38]
Semaun dan Darsono terpengaruh oleh marxisme,
dan mencoba membelokkan Islam sebagai ideologi, serta melancarkan berbagai
fitnah terhadap H. O. S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, dan Abdul Muis.
Akibatnya, gerakan SI berubah, yang tadinya berpusat kepada usaha menanamkan
kesadaran politik dan ekonomi nasional terhadap rakyat, setelah adanya serangan
Semaun dan Darsono, gerakan terfokus dalam usaha untuk mengamankan SI.[39]
Kerjasama antara
imperialisme Belanda dengan komunis akan mudah dimengerti bila kita melihat
latar belakang sejarahnya. Gerakan komunis di Eropa, semenjak kegagalan Marx
memimpin revolusi buruh dalam pemberontakan komunis di Paris, tidak lagi
menentang imperialisme barat tetapi justru cenderung mendukungnya.[40]
Komunis Belanda
mendukung karena takut kehilangan Indonesia sekaligus takut
kehilangan predikat sebagai penjajah nomor 3 atau 4 di dunia. Tanpa Indonesia,
Belanda hanya merupakan Negara dingin yang kecil di laut utara.
Oleh karena itu,
seluruh usaha SI ditolaknya dan berusaha menghancurkan keyakinan rakyat
terhadap kepemimpinan H. O. S. Cokroamonoto, H. Agus Salim, Abdul Muis dan
Surya Pranoto. Tetapi, kenyataannya sejarah membuktikan, bagaimanapun usaha
orang-orang komunis, umat Islam tetap menuntut kemerdekaan.
B. Perkembangan Peradaban Islam di Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang
Kemunduran
progresif yang dialami partai-partai Islam seakan mendapat dayanya kembali
setelah Jepang datang menggantikan posisi Belanda. Jepang berusaha
mengakomodasi dua kekuatan, Islam dan nasionalis “sekuler” ketimbang pimpinan
tradisional (maksudnya raja dan bangsawan lama). [41]
Dalam menghadapi umat Islam, Jepang sebenarnya mempunyai
kebijaksanaan politik yang sama dengan Belanda. Hanya dalam awal pendekatannya,
Jepang memperlihatkan sikap bersahabat, karena Jepang berpendirian bahwa umat
Islam merupakan powerful forces dalam menghadapi sekutu.[42]
Latar belakang sejarah umat Islam yang anti imperialisme Barat, memiliki
kesamaan tujuan dengan perang Asia Timur Raya. Sikap umat Islam yang yang
demikian itu akan dimanfaatkan oleh pemerintahan kolonial Jepang.
Tetapi tentara Jepang tidak menghendaki adanya parpol
Islam. Mereka lebih menyukai hubungan langsung dengan ulama daripada dengan
pemimpin parpol. Oleh karena itu, Jepang mengeluarkan maklumat pembubaran
parpol. Dalam menghadapi tentara Jepang, umat Islam bertindak untuk sementara
menyetujui pembubaran tersebut dengan mengeluarkan maklumat juga.
Tindakan Jepang ini jelas menunjukkan rasa takutnya
terhadap Islam sebagai partai politik. Tapi di suatu pihak, Jepang menyadari
potensi umat Islam dalam menunjang tujuan perang. Sekalipun Jepang tidak
menyetujui dan tidak menyukai berhubungan dengan pemimpin parpol Islam, namun
Jepang memerlukan para ulama untuk membentuk wadah organisasi baru untuk
membina ulama dan umat Islam.
Untuk tujuan di atas dibentuklah Kantor Urusan Agama
(KUA) dengan ketuanya kolonel Horie yang telah dipersiapkan konsepnya sebelum
Jepang mendarat di Indonesia.[43]
Karena begiitu Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 maret 1942, pada akhir
maret 1942 pembentukan KUA tersebut telah siap. Selain itu dibentuk pula Tiga A
(Nippon Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia). Dengan adanya Tiga A ini,
berdasarkan konsep Shimizui, dibentuklah Persiapan Persatuan Umat Islam (PPUI).
Pada tanggal 4 September 1942 melalui Tiga A diadakan
musyawarah pertama di Hotel des Indes. Hasil dari musyawarah ini, umat Islam
menghidupkan kembali MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang berdiri tahun
1938 [44]
dan memilih W. Wondoamiseno sebagai ketua. Sekalipun Jepang sangat memerlukan
bantuan umat Islam tetapi timbul rasa takut terhadap persatuan dan kebangkitan
umat Islam.
Mayor Jendral Okazaki lebih menekankan perhatian
pemerintahannya kepada ulama daripada MIAI. Dengan cara ini diharapkan dapat
mematikan MIAI yang berkedudukan di Jakarta.
Usaha di atas ini jelas gagal. Betapa mungkin KUA dapat diperalat untuk
menghancurkan MIAI.
Orang Jepang harus menyadari bahwa Islam bukanlah hanya
sekadar agama, tetapi merupakan keseluruhan way
of life yang telah menyebar ke segenap lapisan masyarakat. Umat Islam Indonesia
telah lama berjuang menentang imperialisme Barat. Hal ini sesuai dengan dasar
mengapa umat Islam dapat bekerja sama dengan Jepang. Untuk memelihara kerja
sama ini hendaknya kita saling menghormati agama kita masing-masing. Perbedaan
agama tidaklah menjadi penghalang perbedaan tersebut.
Sebenarnya Jepang sendiri adalah imperialis. Tetapi bagi
umat Islam saat itu tidak ada pilihan lain kecuali menampakkan sikap yang
demikian itu. Sebaliknya Jepang juga tidak ubahnya dengan Belanda berusaha
untuk menghancurkan Islam. Tetapi kondisi peperangan yang menuntut bantuan
stabilitas dalam negeri, memaksa Jepang untuk mendekati umat Islam. Harry J.
Benda menyatakan melalui propaganda Jawa Baru, umat Islam membangkitkan
Pan-Islamisme. [45]
Mengawasi Pesantren
Tentara Jepang
banyak mewarisi hasil karya belanda, kebijaksanaan politik Islamnya Belanda,
dicoba direvisi sedikit. Perang dunia II menuntut Jepang untuk menggerakkan massa Islam berpihak
kepadanya. Untuk itu diletakkanlah Nippon's
Islamic Grass Roots Policy (kebijaksanaan politik Jepang terhadap kalangan rakyat jelata Islam).[46]
Sasarannya adalah pesantren, desa, dan ulama, dan menjadikan ulama menjadi
pemimpin sipil terdepan yang berpartisipasi menciptakan ketentraman dan
kewaspadaan. Penguasa kepada ulama berarti bahwa Jepang menguasai desa dan
pesantren.
Untuk melaksanakan
policy di atas, Jepang menggunakan media pendidikan sebagai alat propagandanya.
Para ulama perlu ditingkatkan partisipasinya dengan
diadakan semacam kursus kilat, tujuannya untuk meningkatkan kesadaran ulama terhadap
situasi dunia dan semangat ulama supaya dapat sepenuhnya membantu Jepang.
Inilah sebagai
pelaksanaan Islamic Gross-roots policy-nya jepang. Di satu pihak Jepang menolak
mentah-mentah eksistensi parpol Islam, tetapi di lain pihak Jepang lebih
menyukai mempolitikkan ulama. Dengan cara ini Jepang berharap dapat menyalurkan potensi laten pesantren
kepada kepentingan perangnya.
Pembela Tanah Air (PETA)
PETA dibentuk pada
tanggal 10 September 1943 oleh Gatot Mangkupraja kawan Bung Karno. "Tetapi
harus diingat bahwa Jepang bagaimanapun juga adalah imperialis". Dasar
inilah yang membuat pembentukan PETA lebih bersifat politik daripada
ketentaraan. Pembentukan PETA bukan hanya karena permohonan Gatot Mangkupraja,
ataupun usulan milisi dari R. Sutarjo, karena Jepang sendiri telah memiliki
konsep tentang pembentukan tentara pribumi.
Untuk
merealisasikan tentara pribumi ini diserahkan pada Beppen (Seksi khusus, dinas
intelijen). Segera Beppan membentuk Jawa Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai (Korps
latihan perwira pasukan sukarela pembela tanah air Jawa) di Bogor. Disinilah
ulama dilatih sebagai calon daidanco (komandan batalion).
Untuk mendapatkan dukungan lebih banyak dari umat Islam,
maka dikatakan bahwa tugas peta sebagai
tugas suci. Daidanki (Bendera peta) dengan lambang bulan bintang ini dijelaskan
oleh Kan Po sebagai lambang yang dihormati oleh rakyat di Jawa.[47]
Tujuan penguasa militer Jepang sebenarnya tidak akan
menciptakan kesatuan, tetapi hanya menginginkan kerja sama lebih mudah dengan
umat Islam Indonesia.adapun usaha Jepang bertujuan; 1. Menanamkan semangat Nippon, 2. Menumbuhkan loyalitas ulama terhadap Jepang,
3. Meyakinkan kebencian ulama terhadap sekutu, 4. Perang asia
Timur Raya adalah perang suci, 5. Menambahkan keyakinan bahwa Jepang dan Indonesia
adalah satu nenek moyang dan satu ras.
Tujuan di atas menumbuhkan sikap takut Jepang akan
timbulnya kesatuan umat Islam. Peta selain diharapkan bantuannya, juga
disiapkan untuk memecah belah struktur organisasinya. Namun ulama masih sanggup
memanfaatkan Peta untuk membangkitkan semangat keprajuritan. Usaha ulama inilah
yang menjadikan peta sebagai wadah pembibitan pemimpin TNI nanti di kemudian
hari.[48]
Bait A-Mal dan Jawa Hokokai
MIAI dalam
memanfaatkan perubahan selama penduduk Jepang, digunakan pula untuk menghimpun
dana. Dari dana ini diharapkan dapat membiayai pembinaan umat. Untuk itu MIAI
diluar KUA mengadakan gerakan pengumpulan zakat Bait Al-Mal (BAM). Usaha ini
terlihat nyata di Bandung
yang dipelopori oleh bupati Wiranta Kusuma dan meluas di seluruh Jawa terbentuk
35 cabang (BAM).
Tampaknya Jepang tidak sejalan dengan tindakan MIAI
membentuk BAM tanpa Backing dari KUA. Untuk mengimbangi atau mematikan BAM,
Jepang melancarkan kegiatan Jawa Hokokai (kebangkitan rakyat), dan Tonari Gumi
(rukun tetangga) usaha ini benar-benar berhasil tertunjang oleh kondisi
peperangan sehingga BAM tidak bisa melanjutkan usahanya.
Masyumi
Pengaruh MIAI cukup
membahayakan. MIAI masih sanggup menunjukkan
kemampuannya menggerakkan massanya, berbeda dengan partai sekuler
lainnya yang sudah tidak mampu menampakkan potensi massanya lagi. Oleh karenanya
Jepang mencoba menghilangkan pengaruh MIAI dengan membentuk Majelis Syura
Muslimin Indonesia,
sekaligus dengan pembentukan organisasi baru ini bertujuan untuk menurunkan
pimpinan MIAI dengan mengangkat Hasyim Asyari sebagai ketua Masyumi.[49]
Jepang mengharapkan timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam. Tetapi
kenyataannya perkembangan Masyumi sangat cepat kontras sekali dengan Putera dan
Hokokai.
Sejak awal Jepang
telah mencoba untuk menetralisir Masyumi dari kegiatan politik. Karena itu
pimpinan Masyumi disumpah untuk membebaskan dirinya dari kegiatan politik
apapun. Dengan demikian Masyumi dapat menjadi wadah yang menjauhkan umat Islam
dari politik. Usaha ini juga mempunyai latar belakang lain, yaitu agar Jepang
mudah mematahkan basis suplai pesantren.
Pemberontakan Santri Peta
Selain menghadapi
sekutu, Jepang juga mempersiapkan diri agar dapat mematahkan potensi Islam di
Jawa Barat, yang ternyata berakar di desa-desa. Melalui Romusha (prajurit
kerja) dan menyerahkan padi, Jepang memperkirakan akan dapat melumpuhkan
potensi umat Islam. Ternyata tindakan Jepang dijawab oleh umat Islam dengan
adanya pemberontakan santri di Singaparna yang dipimpin oleh Kiai Zainal
Musthafa (NU), yang bercita-citakan menegakkan kebahagiaan rakyat di dalam
negara Islam yang bebas dari kekuasaan asing.[50]
Pemberontakan ini secara fisik berhasil dipadamkan, tetapi tiga bulan kemudian
pecah lagi pemberontakan santri yang
lebih meluas yang meliputi kecamatan Lohbener dan kecamatan Simpang. Tentara
dan polisi Jepang membasmi pemberontakan tersebut. Pemimpin-pemimpin berhasil
di tembak mati.
Cita-cita
pemberontakan tersebut menginginkan tegaknya kebahagiaan dan negara Islam.
Jepang pun segera memberikan janji kemerdekaan yang sejalan dengan cita-cita
tersebut. Perdana Menteri dalam sidang Teikoku Gikai ke-85 di Tokyo tanggal 7
september 1944 mengumumkan janji kemerdekaan. Berita ini disampaikan secara
resmi kepada rakyat Indonesia
dengan menyebutkan gambaran pembentukan "negara Indonesia yang berdasarkan
Islam".
Kaum politis Islam
setelah pemberontakan terjadi, mereka sibuk dengan menyambut perkenan
kemerdekaan. Tetapi Jepang lupa mengulur waktu
pelaksanaan janji. Bagi yang menantikan sekalipun baru satu tahun,
dirasakan terlalu lama. Apalagi dilakukan tindakan pemerasan yang dilakukan
diluar peri kemanusiaan.
Tepat satu tahun
setelah pembentukan santri sukamah, di Blitar timbul pemberontakan Peta yang
dipimpin oleh Supriyadi (14 februari 1945). Adapun motivasi yang mendorong
pemberontakan tersebut yaitu: 1. Tidak tahan melihat penderitaan rakyat, 2.
Tidak tahan melihat kesombongan dan kesewenangan Jepang, 3. Janji kemerdekaan
itu omong kosong.
Sebenarnya baik
pemberontakan santri dan Peta dilancarkan pada saat Jepang sedang menghadapi
kehancuran. Bila hal tersebut telah diketahui oleh rakyat banyak, kemudian
didukung oleh politis termasuk bung Karno dan bung Hatta, riwayat Jepang tamat
lebih awal dari penyerahan di Amerika.[51]
BAB
III
KESIMPULAN
1.
Islam pada masa penjajahan
Portugis menghadapi banyak sekali tantangan. Sikap Portugis yang sangat tidak
menyukai Islam terbukti dengan berbagai usahanya dalam mengganggu aktifitas
dakwah terutama dalam lewat perdagangan. Dengan semangat juang pemimpin atau
raja-raja Islam dalam menghadapi ancaman Portugis itu, maka sebagian besar
rintangan bisa dihalau. Namun sayangnya Islam dalam lingkungan Demak sempat
mengalami gangguan internal sehingga memperlemah kekuatannya. Walau demikian
perkembangan Islam tidak berhenti. Seperti halnya Islam di Maluku yang berhasil
bertahan menancapkan perjuangan dakwahnya di tengah-tengah kristenisasi pada
masa penjajahan Portugis.
2.
Pada masa penjajahan Belanda
terjadi pemberontakan pejuang-pejuang Islam yang berkobar untuk membela tanah
air. Untuk menghadapi umat Islam, Belanda menggunakan cara depolitisasi, yaitu
menjadikan para ulama tuna politik. Selain itu, banyak taktik Belanda yang
lainnya seperti adu domba antara Islam-Priyayi, tanam paksa dan lain-lain.
Namun tentu saja umat Islam tidak selamanya berdiam diri dalam urusan politik,
sehingga mulailah bermunculan organisasi-organisasi bernuansa Islam di sekitar
awal abad ke dua puluh. Inilah permulaan kembalinya Islam di kancah politik
secara nasional.
3.
Perkembangan Islam pada masa
Jepang ini sangat berarti, karena kebijaksanaan yang diberlakukan bangsa Jepang
sedikit berbeda dengan Belanda, walau intinya tetap sama yaitu dalam mengeruk
kekayaan Indonesia
alias imperialisme. Dengan demikian Islam dapat lebih berperan dalam kehidupan
kenegaraan walaupun tak sedikit pula tekanan dari pihak Jepang. Perkembangan
Islam ini dapat dilihat dari keterlibatan umat Islam di dalam organisasi
politik dan militer baik bentukan anak negeri maupun bentukan Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
Ira, dkk. 1997. Sejarah Sosial
Umat Islam. Semarang:
PT Rajawali Pers Persada
Mansur Suryanegara, Ahmad. 1995. Menemukan
Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Waridah Q., Siti, dkk. 2001. Sejarah
Nasional dan Umum untuk SMU Kelas I. Jakarta: Bumi Aksara
Yatim, Badri. 2000. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Zuhri, Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia. Bandung:
Al Ma’arif
[1] K. H. Syaifuddin
Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung:
Al Ma’arif, 1979), hal. 342
[2] Ibid., hal. 343
[3] Ibid., hal. 344
[4] Ibid., hal. 342
[5] Ibid., hal. 346
[6] Ira M., dkk, Sejarah Sosial
Ummat Islam, (Semarang: PT Rajawali Pers Persada, 1997), hal. 722
[7] K. H. Syaifuddin Zuhri, op.
cit., hal. 347
[8] Dra. Siti Waridah Q., dkk, Sejarah Nasional dan Umum untuk SMU Kelas I. (Jakarta:
Bumi Aksara, 2001), hal. 133
[9] Ira M., dkk, op. cit., hal.
722
[10] K. H. Saifuddin Zuhri, op.
cit., hal. 347
[11] Ibid., hal. 348
[12] Ibid., hal. 349
[13] Ibid., hal. 350
[14] Ibid., hal. 356
[15] Ira M., dkk, op. cit., hal.
723
[16] Ibid.
[17] K. H. Saifuddin Zuhri, op.
cit., hal. 367
[18] Dr. Badri Yatim, MA, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 222
[19] K. H. Saifuddin Zuhri, op.
cit., hal. 370
[20] Ibid., hal. 371
[21] Ibid., hal. 382
[22] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 237
[23] Ibid., hal. 238
[24] Ibid., hal. 239
[25] Ibid.
[26] Dr. Badri Yatim,
MA, op. cit., hal. 245
[27] Ibid., hal. 241
[28] Ahmad Mansur Suryanegara, op.
cit., hal. 241
[29] Ibid.
[30] Ibid., hal. 242
[32] Ibid., hal. 244
[33] Ibid.
[34] Ibid., hal. 245
[35] Ibid., hal. 246
[36] Ibid., hal. 248
[37] Ibid., hal. 249
[38] Ibid., hal. 251
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41] Dr. Badri Yatim,
MA, op. cit., hal. 263
[42] Ahmad Mansur Suryanegara, op.
cit., hal. 254
[43] Ibid., hal. 256
[44] Dr. Badri Yatim,
MA, op. cit., hal. 262
[45] Ahmad Mansur Suryanegara, op.
cit., hal. 258
[46] Ibid., hal. 259
[47] Ibid., hal. 261
[48] Ibid., hal. 262
[49] Ibid.
[50] Ibid., hal. 263
[51] Ibid., hal. 266