TAQLID,BEDANYA DENGAN
ITTIBA’ DAN HUKUM TAQLID
Taqlid
menurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu As-subki’ialah: “Menerima suatu pendapat tanpa hujah atau dalil”. atau “taqlid” ialah mengikuti pendapat seorang
mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya.
Misalnya: Orang-orang yang meminta fatwa hokum tentang
suatu masalah kepada seorang mujtahid/mufti, mereka disebut muqallid (orang yang bertaqlid). Mereka
itu harus menerima fatwa hokum /hukum ijtihadi dari mijtahid/mufti itu tanpa
harus mengetahui dalil-dalil. Sebab mereka hanya diperintah oleh agama untuk
bertanya kepada ahlu adz-dzikir (orang
yang mempunyai pengetahuan), sebagaimana
tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 43 yang artinya “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”
Mujtahid itu menjadi tempat bertanya
dan rujukan bagi masyarakat awam. Mereka wajib mengikuti hukum ijtihadi
mujtahid, tanpa harus mengikuti
dalil-dalilnya. Sebab mujtahid itu pasti menyandarkan seumua pendapatnya
atas dalil-dalil syara’, Sekalipun ia tidak menerangkan dalil-dalilnya itu
kepada masyarakat awam yang meminta fatwanya. Dan para mujtahid dari sahabat
dan tabi’in banyak sekali memberikan fatwa hokum kepada masyarakat awam tanpa
menerangka landsan fatwanya, dan mereka pun dapat menerima fatwa/hukum
ijtihadinya dengan baik. Namun,hal ini tidak berarti bahwa tidak ada orang yang
mengikuti hukum ijtihadi itu mengetahui dalil dan tempat pengambilannya. Dan
orang-orang yang mengerti hokum ijtihadi dengan mengetahui dalil-dalilnya itu
sudah tentu tingkatannya lebih tinggi daripada oranag-orang yang menikuti hokum
ijtihadi tanpa mengetahi dalil-dalilnya. Karna itu,sebagian ulama member nama muttabii’, bukan muqallid kepada
orang-orang yang mengikuti hokum ijtihadi dengan mengetahui dalil-dalil yang
dipakai sebagai dasar hokum ijtihadi nya.
Ulama telah sepakat,bahwa pandangan
dan sikap seorang mujtahid tidak boleh berbeda dengan hukum ijtihadi nya dan
mujtahid lain. Tetapi ulama belum ada kesepakatan mengenai suatu masalah yang
belum pernah di ijtihadkan oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lain telah
melakukan ijtihad.
Adapun orang yang awam dan juga
orang yang mempunyai pengetahuan sedikit tentang berijtihad, tetapi belum
sampai ketingkat mujtahid, para ulama pada prinsipnya membolehkan mereka
meminta fatwa dan taqlid. Hanya saja ulama membedakan masalah furu’ dengan
masalah ushul atau aqidah.
Mengenai taqlid dalam
masalah-masalah furu’(masalah bukan aqidah),ada tiga pendapat, ialah:
1. Tidak
boleh taqlid begitu saja,tetapi mereka wajib berusaha mengetahui hokum-hukum ijtihadi/fatwa dari
mujtahid/mufti.
2. Boleh
taqlid dalam masalah-masalah ijtihadiyah,bukan masalah-masalah yang sudah ada
kepastian hukumnya dalam nash Al-Quran dan sunah.
3. Wajib
mengikuti pendapat mujtahid dan mengambil fatwanya(taqlid)
Karena itu sesuai dengan tradisi di zaman sahabat
dan tabi’in, masyarakat awam selalu bertanya kepada mujtahid dari kalangan
sahabat dari tabi’in itu mengenai masalah-masalah hukum syara’. Dan mereka
menanggapi secara cepat dengan memberikan fatwa-fatwa nya kepada masyarakat
awam yang meminta fatwa nya. Kemudian mereka dengan penuh kepercayaan dapat
menerima fatwa-fatwa para mujtahid itu, sekalipun fatwa-fatwa hukumnya tidak
disertai dalil syara’, sebab masyarakat awam itu seolah-olah menganggap
mujtahid sebagai dalil sendiri kedudukannya.
Mengenai
taqlid dalam masalah-masalah ushul/aqidah, kebanyakan ulama Ushul Fiqh
berpendapat, bahwa tidak boleh taklid dalam masalah ushul/akidah, sekalipun
bagi masyarakat awam. Siapa pun orang musli waib mengetahui dan memahami
dalil-dalilnya secara global dengan alasan sebagai berikut:
1. Masalah
yang menyangkut ushul/akidah itu terbatas dan tertentu, berbeda dengan masalah
furu’ yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga kewajiban mengetahui dan memahami
dalil-dalil aqidah secara global itu tidak akan menimbulkan kerepotan dan
kesulitan hidup masyarakat.
2. Manusia
diperintahkan untuk mencapai tingkatan yakin dalam masalah akidah. Misalnya
Surat Al-A’raf ayat 185,yang artinya:
“Apakah mereka lalai dan tidak memperhatikan
kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan
kemungkinan telah dekat masa kebinasaan mereka?maka kepada berita manakah lagi
mereka akan beriman sesudah Al-Qur’an?”
3. Pada
dasarnya taklid itu tercela dan dilarang oleh agama. Dan kalau kita
diperbolehkan taklid dalam masalah furu’ itu tidak lain sebagai dispensasi.
Banyak ayat Al-Quran yang mencela sikap bertaqlid. Antara lain surat Al-Baqarah
ayat 170,yang artinya:
“Apabila
dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, Mereka
menjawab: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang
mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula
mendapat petunjuk?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar