Selasa, 06 November 2012

TAQLID,BEDANYA DENGAN ITTIBA’ DAN HUKUM TAQLID



TAQLID,BEDANYA DENGAN ITTIBA’ DAN HUKUM TAQLID
Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dan Ibnu As-subki’ialah: “Menerima suatu pendapat tanpa hujah atau dalil”. atau “taqlid” ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya.
Misalnya:  Orang-orang yang meminta fatwa hokum tentang suatu masalah kepada seorang mujtahid/mufti, mereka disebut muqallid (orang yang bertaqlid). Mereka itu harus menerima fatwa hokum /hukum ijtihadi dari mijtahid/mufti itu tanpa harus mengetahui dalil-dalil. Sebab mereka hanya diperintah oleh agama untuk bertanya kepada ahlu adz-dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan), sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 43 yang artinya “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”
            Mujtahid itu menjadi tempat bertanya dan rujukan bagi masyarakat awam. Mereka wajib mengikuti hukum ijtihadi mujtahid, tanpa harus mengikuti  dalil-dalilnya. Sebab mujtahid itu pasti menyandarkan seumua pendapatnya atas dalil-dalil syara’, Sekalipun ia tidak menerangkan dalil-dalilnya itu kepada masyarakat awam yang meminta fatwanya. Dan para mujtahid dari sahabat dan tabi’in banyak sekali memberikan fatwa hokum kepada masyarakat awam tanpa menerangka landsan fatwanya, dan mereka pun dapat menerima fatwa/hukum ijtihadinya dengan baik. Namun,hal ini tidak berarti bahwa tidak ada orang yang mengikuti hukum ijtihadi itu mengetahui dalil dan tempat pengambilannya. Dan orang-orang yang mengerti hokum ijtihadi dengan mengetahui dalil-dalilnya itu sudah tentu tingkatannya lebih tinggi daripada oranag-orang yang menikuti hokum ijtihadi tanpa mengetahi dalil-dalilnya. Karna itu,sebagian ulama member nama muttabii’, bukan muqallid kepada orang-orang yang mengikuti hokum ijtihadi dengan mengetahui dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hokum ijtihadi nya.
            Ulama telah sepakat,bahwa pandangan dan sikap seorang mujtahid tidak boleh berbeda dengan hukum ijtihadi nya dan mujtahid lain. Tetapi ulama belum ada kesepakatan mengenai suatu masalah yang belum pernah di ijtihadkan oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lain telah melakukan ijtihad.
            Adapun orang yang awam dan juga orang yang mempunyai pengetahuan sedikit tentang berijtihad, tetapi belum sampai ketingkat mujtahid, para ulama pada prinsipnya membolehkan mereka meminta fatwa dan taqlid. Hanya saja ulama membedakan masalah furu’ dengan masalah ushul atau aqidah.
            Mengenai taqlid dalam masalah-masalah furu’(masalah bukan aqidah),ada tiga pendapat, ialah:
1.      Tidak boleh taqlid begitu saja,tetapi mereka wajib berusaha  mengetahui hokum-hukum ijtihadi/fatwa dari mujtahid/mufti.
2.      Boleh taqlid dalam masalah-masalah ijtihadiyah,bukan masalah-masalah yang sudah ada kepastian hukumnya dalam nash Al-Quran dan sunah.
3.      Wajib mengikuti pendapat mujtahid dan mengambil fatwanya(taqlid)
Karena itu sesuai dengan tradisi di zaman sahabat dan tabi’in, masyarakat awam selalu bertanya kepada mujtahid dari kalangan sahabat dari tabi’in itu mengenai masalah-masalah hukum syara’. Dan mereka menanggapi secara cepat dengan memberikan fatwa-fatwa nya kepada masyarakat awam yang meminta fatwa nya. Kemudian mereka dengan penuh kepercayaan dapat menerima fatwa-fatwa para mujtahid itu, sekalipun fatwa-fatwa hukumnya tidak disertai dalil syara’, sebab masyarakat awam itu seolah-olah menganggap mujtahid sebagai dalil sendiri kedudukannya.
 Mengenai taqlid dalam masalah-masalah ushul/aqidah, kebanyakan ulama Ushul Fiqh berpendapat, bahwa tidak boleh taklid dalam masalah ushul/akidah, sekalipun bagi masyarakat awam. Siapa pun orang musli waib mengetahui dan memahami dalil-dalilnya secara global dengan alasan sebagai berikut:
1.      Masalah yang menyangkut ushul/akidah itu terbatas dan tertentu, berbeda dengan masalah furu’ yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga kewajiban mengetahui dan memahami dalil-dalil aqidah secara global itu tidak akan menimbulkan kerepotan dan kesulitan hidup masyarakat.
2.      Manusia diperintahkan untuk mencapai tingkatan yakin dalam masalah akidah. Misalnya Surat Al-A’raf ayat 185,yang artinya:
Apakah mereka lalai dan tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekat masa kebinasaan mereka?maka kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al-Qur’an?”
3.      Pada dasarnya taklid itu tercela dan dilarang oleh agama. Dan kalau kita diperbolehkan taklid dalam masalah furu’ itu tidak lain sebagai dispensasi. Banyak ayat Al-Quran yang mencela sikap bertaqlid. Antara lain surat Al-Baqarah ayat 170,yang artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, Mereka menjawab: Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar