PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidik merupakan salah satu unsur
pendidikan yang banyak memegang peran dan ikut andil dalam pelaksanaan kegiatan
pendidikan. Tercapai tidaknya tujuan pendidikan dipengaruhi pula oleh pendidik,
atau bisa dikatakan pendidik adalah Central of Education.
Teori-teori tentang pendidik, banyak
dikemukakan oleh pemikir-pemikir barat. Padahal islam juga mempunyai pandangan
tentang pendidik yang tidak kalah dengan teorinya orang barat. Yang semua itu
bisa menjadi bukti bahwa pemikir islam bukan pengadobsi pemikiran orang barat.k
Selama ini islam hanya dipandang sebagai
pengikut (ma’mum) adanya kemajuan dari barat. Apabila ditelaah lebih jauh, ternyata
konsep yang diberikan islam tentang pendidik lebih baik dibandingkan konsep
barat. Konsep barat dipandang kering
dari unsur religi, karena mereka tidak memberikan unsur-unsur spiritual untuk
perubahan akhlak peserta didiknya.
Akan tetapi, kenapa selama ini
pendidikan islam masih kalah kualitasnya dari pendidikan barat?. Untuk itu, perlu dikaji sejauh manakah islam
memandang seorang pendidik, demi kemajuan pendidikan islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi pendidik menurut
pendidikan islam?.
2.
Apa saja istilah pendidik dalam
literatur pendidikan islam?.
3.
Bagaimana islam memandang
seorang pendidik?.
4.
Bagaimana tugas dan peran
pendidik?.
5.
Bagaimana sikap profesional dan
kode etik yang harus dimiliki seorang pendidik?.
C.
Tujuan
Makalah ini nantinya bertujuan untuk
mengetahui konsep pendidik dalam perspektif islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidik dalam Pendidikan
Islam
Pendidik dalam islam adalah
orang-orang yang bertanggung jawab perkembangan peserta didiknya dengan upaya
mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif (rasa),
kognitif (cipta), maupun psikomotorik (karsa).[1]
Di dalam ilmu pendidikan yang
dimaksud pendidik ialah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu
manusia, alam, dan ke-budayaan.[2] Pengertian
ini lebih luas dari pengertian yang diberikan oleh pendidikan islam.
Setelah mengetahui pengertian
tersebut, siapakah sebenarnya pendidik itu?. Dalam islam, orang tua merupakan
pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak
mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan
terdapat dalam kehidupan keluarga.[3]
Orang tua bertanggung jawab penuh
terhadap pendidikan anaknya. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya
oleh dua hal: Pertama, karena kodrat yaitu karena orang tua ditakdirkan
menjadi orang tua anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orang tua,
yaitu orang yang berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses
anaknya adalah sukses orang tua juga.[4] Firman
allah SWT:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.[5]
Akan tetapi tidak selamanya orang tua
dapat memberikan bimbingan terus terhadap anak-anaknya, untuk itu dibutuhkan
seorang guru. Walaupun telah dibantu seorang guru, orang tua tidak bisa lepas
dari tanggung jawab mendidik anaknya.
Pengertian guru
secara terbatas adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas.[6] Guru
adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan
dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul
dipundak orang tua.[7]
Dengan demikian guru adalah orang tua kedua ketika berada di sekolahan.
B.
Istilah-Istilah Pendidik dalam Perspektif
Pendidikan Islam
Dalam literatur pendidikan islam
seorang pendidik (guru) dapat di sebut sebagai ustadz, mu’allim, murabbiy,
mursyid, mudarris, dan mu’addib.[8]
Al-Ghozali menambahkan dengan al-Walid (orang tua).[9]
Kata “ustadz” biasa digunakan untuk
memanggil seorang profesor; ini mengandung makna bahwa seorang guru
dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya.[10]
Kata “muallim” berasal dari kata
dasar ‘ilm yang berarti menangkap sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung
dimensi teoritis dan dimensi amaliah (al-asfahani). Allah mengutus
rasul-Nya antara lain agar Beliau mengajarkan (ta’lim) kandungan al-kitab
dan al-hikmah yakni kebijakan dan kemahiran melaksanakan hal yang
mendatangkan manfaat dan menampik madlarat.[11]
Kata “murabby” berasal dari
kata dasar “Rabb”. Tuhan adalah sebagai Rabb al-‘alamin dan Rabb
al-nas, yakni yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam seisinya termasuk
manusia. Manusia sebagai khalifahnya diberi tugas untuk menumbuh kembangkan
kreativitasnya agar mampu mengkreasi, mengatur dan memelihara alam seisinya.
Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil
kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya, masyarakat, dan
alam sekitarnya.[12]
Kata “Mursyid” biasa digunakan
untuk guru dalam Thariqah (tasawuf). Seorang Mursyid (guru)
berusaha menularkan penghayatan (transinternalisasi) akhlak dan
kepribadiannya kepada peserta didiknya, baik yang berupa etos ibadahnya, etos
kerjanya, etos belajarnaya, maupun dedikasinya yang serba Lillahi Ta’ala (karena
mengharapkan ridla Allah semata). Dalam konteks pendidikan mengandung makna
bahwa guru merupakan model atau sentral identifikasi diri, yakni pusat
anutan dan teladan bahkan konsultan bagi peserta didiknya.[13]
Kata mudarris berasal dari
akar kata “darasa - yadrusu - darsan wa durasan wadirasatan”, yang
berarti: terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan usang, melatih,
mempelajari. Dilihat dari pengertian ini, maka tugas guru adalah berusaha
mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas
kebodohan mereka, serta melatih ke-trampilan mereka sesuai dengan bakat, minat,
dan kemampuannya.[14]
Sedangkan kata “mu’addib” berasal
dari kata ‘adab, yang berarti moral, etika, dan adab atau kemajuan
(kecerdasan, kebudayaan) lahir dan batin. Kata peradaban dalam bahasa Indonesia
juga berasal dari kata dasar ‘adab. Sehingga guru adalah orang yang
beradab sekaligus memiliki peran dan fungsi untuk membangun peradaban (civilization).[15]
C.
Kedudukan Pendidik dalam Islam
Salah satu hal yang menarik pada
ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu
tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat dibawah
kedudukan Nabi dan Rasul. Penghargaan Islam yang tinggi kepada guru tidak bisa
dilepaskan karena islam menghargai ilmu pengetahuan.[16]
Hadits Rosulullah SAW: Ulama ialah
pewaris para Nabi. (Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
Ada penyebab khusus mengapa orang
Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu semuanya
bersumber dari tuhan. Firman Allah:
(#qä9$s%
y7oY»ysö6ß w zNù=Ïæ
!$uZs9 wÎ) $tB
!$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ)
|MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
“Mereka menjawab: "Maha suci
Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [17]
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin,
sebagaimana dikutip al-Abrasyi mengatakan: “Seseorang yang berilmu dan kemudian
bekerja dengan ilmunya itu. Dialah yang bekerja dibidang pendidikan.
Sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan yang sangat penting,
hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya ini”.[18]
Dalam kitab Taisir Al-khollaq hal.
6, Karangan syaikh Hafid Husain al-mas’udi, diterangkan bahwa
seorang peserta didik hendaknya mempercayai
keutamaan guru itu lebih besar dari pada keutamaan orang tua, dikarenakan
pendidik (guru) adalah yang mendidik ruhaninya.
Hadits Nabi Muhammad SAW tentang
keutamaan seorang guru::
أغْدُ عَالِمًا, أَو
مُتَعَلِّمًا, أَوْ مُسْتَمِعًا, أَوْ مُحِبًّا, وَلاَ تَكُنْ الْخَامِسَ
فَتَهْلَكَ.
“
Jadilah engkau sebagai guru, atau pelajar, atau pendengar, atau pencinta, dan
janganlah kamu menjadi orang yang kelima, sehingga engkau menjadi rusak”.
Dalam hadits Nabi SAW yang lain: “Tinta
seorang Ilmuwan (yang menjadi guru) lebih berharga ketimbang darah para
Syuhada”.[20]
Andaikata di Dunia tidak ada
pendidik, niscaya manusia seperti binatang, sebab: “pendidikan adalah upaya
mengeluarkan manusia keluar dari sifat kebinatangan (baik binatang jinak maupun
binatang buas) kepada sifat insaniyah
dan ilahiyah.[21]
D.
Tugas dan Peran Pendidik
Sebagian ahli dan pemerhati
pendidikan berpandangan bahwa guru merupakan unsur determinan pendidikan yang
paling utama. Pandangan ini melahirkan pola pendidikan teacher centered,
guru adalah sentral proses pendidikan. Sebaliknya sebagian berpandangan bahwa
anak didik/siswalah yang menjadi unsur determinan pendidikan. Pandangan ini
mengimplikasikan pola pendidikan student centered, anak didik merupakan
sentral orientasi dalam proses pendidikan.[22]
Menurut al-Ghozali, tugas pendidik
yang utama adalah me-nyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan
hati manusia untuk mendekatkan diri (Taqorrub) kepada Allah SWT. hal
tersebut karena tujuan Pendidikan Islam yang utama adalah upaya mendekatkan
diri kepada-Nya.[23]
Menurut Ki Hajar Dewantara,
mengatakan bahwa tugas seorang pemimpin (guru) adalah ing ngarso sung tulada
(didepan memberi teladan), ing
madya mbangun karsa (ditengah membangun semangat), dan tut wuri
handayani (dibelakang memberi pengaruh).[24]
Muhaimin secara utuh mengemukakan
tugas-tugas pendidik dalam pendidikan islam. Dapat dilihat dalam bagan dibawah
ini:
NO.
|
PENDIDIK
|
KARAKTERISTIK DAN TUGAS
|
1
|
Utadz
|
Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang
melekat pada dirinya sikap dedikatif , komitmen, terhadap mutu proses dan
hasil kerja, serta sikap continuous improvement.
|
2
|
Mu’allim
|
Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya
serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan
praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi,
serta implementasi (amaliah).
|
3
|
Murabby
|
Orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik
agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekitarnya.
|
4
|
Mursyid
|
Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi
diri atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta didiknya.
|
5
|
Mudarris
|
Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan
informasi serta memperbarui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan,
dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya memberantas kebodohan mereka,
serta melatih keterampilan sesuai minat, bakat, dan kemampuannya.
|
6
|
Mu’addib
|
Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk
bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas dimasa depan.
|
Dari tabel diatas, tugas-tugas
pendidik sangat amat berat, yang tidak saja melibatkan kemampuan kognitif,
tetapi juga kemampuan afektif dan kemampuan psikomotorik.[25]
Terdapat beberapa peran guru dalam
pembelajaran tatap muka yang dikemukakan oleh Moon, yaitu sebagai berikut:
1)
Guru sebagai perancang
pembelajaran (Designer of Instruction).
Guru dapat merancang dan
mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.
2)
Guru sebagai pengelola
pembelajaran (Manager of Instruction).
Tujuan umum pengelolaan kelas adalah
menyediakan dan meng-gunakan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar
mengajar. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam
menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan
siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang
diharapkan.
3)
Guru sebagai pengarah
pembelajaran.
Hendaknya guru senantiasa berusaha
menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar.
4)
Guru sebagai Evaluator
(Evaluator of Student Learning).
Evaluasi fungsinya sebagai penilaian
hasil belajar peserta didik, informasi
yang diperoleh melaui evaluasi ini akan menjadi umpan balik terhadap proses
pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan
meningkatkan pembelajaran selanjutnya.
5)
Guru sebagai Konselor.
Sebagai konselor guru diharapkan akan
dapat merespons segala masalah tingkah laku yang terjadi dalam proses belajar.
6)
Guru sebagai pelaksana
kurikulum.
Sebagai pelaksana kurikulum tentunya
guru sebagai orang yang bertanggung jawab dalam upaya mewujudkan segala sesuatu
yang telah tertuang dalam suatu kurikulum resmi. Bahkan pandangan mutakhir
menyatakan bahwa meskipun suatu kurikulum itu bagus, namun berhasil atau
gagalnya kurikulum tersebut pada akhirnya terletak di tangan pribadi guru.[26]
E.
Profesionalisme dan Kode Etik
Seorang Pendidik.
Pendidik diharapkan mempunyai sikap
profesional, sikap professional akan menimbulkan semangat dalam diri pendidik
untuk terus berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan.
Seseorang dikatakan profesional
bilamana pada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya,
sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous
improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui
model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi
oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan
generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan.[27]
Profesional, jelas berkaitan dengan
kemampuan fungsional seorang guru untuk memahami, bersikap, menilai,
memutuskan, atau bertindak didalam kaitan tugasnya. Profesional itulah yang
akan menjadi kekuatan untuk mencapai hasil-hasil pendidikan dengan kualitas
yang baik.[28]
Di zaman yang menghargai
profesionalisme ini, guru sebagai tenaga profesional dibidang pendidikan
mengalami nasib yang kurang menguntungkan. Sedangakan realitas menunjukkan
bahwa ia telah melahirkan banyak orang yang cerdik pandai, diplomat, politikus,
menteri, bahkan presiden sekalipun kiranya tidak akan pernah ada tanpa ada
eksistensi guru. Fenomena ini mengedam karena tuntutan manusiawi dan
profesionalisnya belum diperhatikan secara baik.[29]
Pendidik yang profesional harus
memiliki kompetensi-kompetensi yang lengkap, meliputi:
1)
Penguasaan materi al-Islam yang
komprehensif serta wawasan dan bahan pengayaan, terutama pada bidang-bidang
yang menjadi tugasnya.
2)
Penguasaan strategi (mencakup
pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan islam, termasuk kemampuan
evaluasinya.
3)
Penguasaan ilmu dan wawasan
kependidikan.
4)
Memahami prinsip-prinsip dalam
menafsirkan hasil penelitian pendidikan, guna keperluan pengembangan pendidikan
islam masa depan.
5)
Memiliki kepekaaan terhadap
informasi secara langsung atau tidak langsung yang mendukung kepentingan
tugasnya.[30]
Kompetensi-kompetensi pendidik dapat
dilihat melalui pendekatan bayany, burhany, dan ‘irfany.[31]
Pendekatan bayani
|
Pendekatan burhani
|
Pendekatan ‘irfani
|
1. Orang yang menguasai
ilmu-ilmu agama.
2. orang yang memahami
al-qur’an dan menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya.
3. orang yang memahami
hadits dan menguasai ilmu yang berkaitan dengannya.
4. hafidz,mujtahid, fuqoha,
teolog.
|
1. ahli manthiq, ilmuan,
fisikawan.
2. peneliti.
3. orang yang punya pola
pikir logis-empiris.
|
1. spiritual-religius.
2. orang yang matang jiwa
dan moralnya.
3. mempunyai kepekaan
so-sial yang timggi dan terhindar dari sifat cela.
4. orang yang memiliki pengalaman,
baik ilmu maupun spiritual.
|
Selain sikap professional pendidik
juga harus mempunyai kode etik dalam proses belajar mengajar maupun terhadap
lingkungan pendidikannya. Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur
hubungan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua
peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya.[32]
KESIMPULAN
Pada hakikatnya, pendidik yang pertama
adalah Allah, karena Allah yang mengajari manusia dari ketidaktahuan, sesuai
dengan QS. Al-Baqorah: 32. kedua adalah para Nabi/Rasul. Ketiga
adalah orang tua. Keempat adalah guru. Akan tetapi dalam pelaksanaannya
orang tualah yang bertanggung jawab terhadap anaknya.
Pendidik merupakan salah satu unsur
pendidikan yang dipandang dalam islam sangat tinggi, mempunyai kedudukan yang
sangat mulia. Karena Ulama adalah pewaris para nabi, pendidiklah yang
meneruskan perjuangan para nabi untuk mengenalkan (mendekatkan) peserta didik
kepada Allah SWT.
Selaku pewaris para nabi, tentunya
pendidik juga harus mempunyai keagungan akhlak, etika yang luhur, secara tidak
langsung pendidik menjadi contoh (uswah) bagi peserta didiknya.
Dalam kaitannya tuntutan tersebut trentunya
hanya dapat dipenuhi apabila dalam diri pendidik mempunyai sikap profesional
yang harus dimilki oleh setiap pendidik, sikap yang mencerminkan bahwa pendidik
adalah pewaris para nabi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasyimi, Ahmad. Mukhtar
Al-hadits An-nabawiyyah. Surabaya: Al-hidayah.
Al-Mas’udi, Hafidz
Husain. Taisir Al-khollaq. Surabaya: Almiftah.
Bahruddin dan Muh. Makin. 2007. Pendidikan
Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan. Jogjakrta:
Ar-Ruzz Media.
Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
H. Muhaimin. Volume 1 No. 1 2003. el-Hikmah;
Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah. Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas
Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang.
Hamzah B. Uno, Haji. 2007. Profesi
Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali. 2003. Kapita
Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.
M. Suyudi. 2005. Pendidikan Dalam
Perspektif Al-Qur’an: integrasi epistemologi bayani, burhani, dan irfani.
Yogyakarta: Mikraj.
Muhaimin. 2006. Quo Vadis
Pendidikan Islam: pembacaan realitas
pendidikan islam, social dan keagamaan. Malang: UIN- Malang Press.
Mujib, Abdul. et al. 2006. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
___________. 2006. Filsafat
Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosdakarya,
[1] Abdul Mujib, et al, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 87.
[2] ___________, Filsafat
Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h.170.
[3] Zakiah Darajat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 35.
[4] Khoiron Rosyadi, Pendidikan
Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172-173.
[5] QS. al-Tahrim (66): 6.
[6] M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama
Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h. 81.
[7] Zakiah Darajat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 39.
[8] H. Muhaimin, el-Hikmah; Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah,
(Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang,
Volume 1 No. 1 2003), h. 10.
[9] Khoiron Rosyadi, Pendidikan
Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 172.
[10] Muhaimin, Quo Vadis Pendidikan Islam: pembacaan realitas pendidikan islam, social
dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, . 2006), h. 101.
[11] Ibid., h. 102.
[12] H. Muhaimin, el-Hikmah;
Jurnal Pendidikan Fakultas Tarbiyah, (Malang: Fakultas Tarbiyah Universitas
Islam Indonesia Sudan d.h. STAIN Malang, Volume 1 No. 1 2003), h. 10.
[13] Ibid., h. 10-11.
[14] Ibid., h. 11.
[15] Muhaimin, Quo Vadis
Pendidikan Islam: pembacaan realitas
pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, .
2006), h. 105.
[16] Khoiron Rosyadi, Pendidikan
Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 177.
[17] QS.
al-Baqarah:32
[18] Ibid., h. 178.
[20] Abdul Mujib, et al, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 88.
[21] Ibid., h. 89.
[22] Imam Tholkhah dan Ahmad
Barizi, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), h. 218.
[23] Abdul Mujib, et al, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 90.
[24] Bahruddin dan Muh. Makin, Pendidikan
Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan, (Jogjakrta:
Ar-Ruzz Media, 2007), h. 185-186.
[25] Abdul Mujib, et al, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 92.
[26] Hamzah B. Uno, Profesi Kependidikan, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), h. 22-25.
[27] Muhaimin, Quo Vadis
Pendidikan Islam: pembacaan realitas
pendidikan islam, social dan keagamaan, (Malang: UIN- Malang Press, .
2006), h. 101-102.
[28] Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, Kapita
Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 2003), h.
82-83.
[29] Bahruddin dan Muh. Makin, Pendidikan
Humanistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia pendidikan, (Jogjakrta:
Ar-Ruzz Media, 2007), h. 181.
[30] Abdul Mujib, et al, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 94-95.
[31] M. Suyudi, Pendidikan
Dalam Perspektif Al-Qur’an: integrasi epistemologi bayani, burhani, dan
irfani, (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 183.
[32] Ibid., h. 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar