Jumat, 26 Oktober 2012

Jamaluddin al-Ghani

PARA PEMBAHARU MESIR MODERN

Jamaluddin al-Ghani
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun ia lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Ia merupakan seorang pemikir Islam, aktivis politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20.
Dilahirkan di Desa Asadabad, Distrik Konar, Afganistan pada tahun 1838, al-Afgani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya Sayyid Safdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali al-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur yang telah lama bermigrasi ke Kabul) juga dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Keluarganya merupakan penganut mazhab Hanafi. Masa kecil dan remajanya, ia habiskan di Afganistan. Namun ketika beranjak dewasa, ia berpindah dari satu negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan Prancis.
Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya. Pada usia 8 tahun Al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul, sampai umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping filsafat dan ilmu eksakta.
Kemudian ketika berada di India dan tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia menerima pendidikan yang lebih modern. Di India, al-Afgani memulai misinya membangkitkan Islam. Kala itu India berada di bawah kekuasaan penjajahan Inggris. Pada saat perlawanan terjadi di seluruh India, al-Afgani turut ambil bagian dengan bergabung dalam perang kemerdekaan India di tahun 1857. Meski demikian, ia masih sempat pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, al-Afgani memutuskan untuk pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afganistan, Dost Muhammad Khan, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Ketika Sher Ali Khan menggantikan Dost Muhammad Khan pada tahun 1864, al-Afgani diangkat menjadi penasihatnya. Dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A'zam Khan.
Karena campur tangan Inggris dalam soal poilitk di Afganistan dan kekalahannya dalam pergolakan melawan golongan yang disokong Inggris, ia meninggalkan Afganistan tahun 1869 menuju India. Karena koloni Inggris yang berada di India selalu mengawasi kegiatannya, ia pun meninggalkan India dan pergi ke Mesir pada tahun 1871, dan menetap di Kairo. Pada mulanya ia menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatiannya pada bidang ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Rumahnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan para pengikutnya. Di sinilah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi.
Salah seorang murid al-Afgani adalah Muhammad Abduh. Ia kembali ke lapangan politik ketika pada tahun 1876 melihat adanya campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir. Kondisi tersebut mendorong al-Afgani untuk terjun ke dalam kegiatan politik di Mesir. Ia bergabung dengan perkumpulan yang terdiri atas orang-orang politik di Mesir. Lalu pada tahun 1879, al-Afgani membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Watani (Partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Partai yang ia dirikan ini bertujuan untuk memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi militer. Kegiatan yang dilakukan al-Afgani selama berada di Mesir memberi pengaruh yang besar bagi umat Islam di sana. Ia yang membangkitkan gerakan berpikir di Mesir sehingga negara itu dapat mencapai kemajuan dan menjadi negara modern. Akan tetapi, karena keterlibatannya dalam bidang politik itu, pada tahun 1882 ia diusir dari Mesir oleh penguasa saat itu. Dia kemudian pergi ke Paris. Pada tahun 1883 ketika berada di Paris, al-Afgani mendirikan suatu perkumpulan yang diberi nama al-'Urwah al-Wusqa (Ikatan yang Kuat), yang anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan didirikannya perkumpulan tersebut, antara lain, memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan.
Sebagai sarana untuk menyalurkan ide-ide dan kegiatannya, al-Afgani bersama Muhammad Abduh menerbitkan jurnal berkala, yang juga bernama al-'Urwah al-Wusqa. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Majalah ini hanya berumur delapan bulan karena dunia Barat melarang peredarannya di negeri-negeri Islam. Majalah ini dinilai dapat menimbulkan semangat dan persatuan orang-orang Islam. Di mana-mana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India, majalah ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, majalah ini terus saja beredar meski secara ilegal.
Jurnal berkala ini segera menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan al-Afgani. Selama mengurus jurnal ini, al-Afgani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International Lord Salisbury, London.
Atas undangan penguasa Persia saat itu, Syah Nasiruddin, pada tahun 1889 ia mengunjungi Persia. Di sana ia diminta untuk menolong mencari penyelesaian persengketaan Rusia-Persia yang timbul karena politik pro-Inggris. Pada tahun 1892, ia ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid yang ingin memanfaatkan pengaruh al-Afgani di berbagai negara Islam untuk menentang Eropa yang pada waktu itu mendesak kedudukan Kerajaan Usmani (Ottoman) di Timur Tengah.
Akan tetapi kedua tokoh tersebut tidak mencapai kerja sama. Sultan Abdul Hamid tetap mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, sedangkan al-Afgani mempunyai pemikiran demokrasi tentang pemerintahan. Akhirnya, Sultan membatasi kegiatan al-Afgani dan tidak mengizinkannya keluar dari Istanbul sampai wafatnya pada tanggak 9 Maret 1897. Ia dikubur di sana. Jasadnya kemudian dipindahkan ke Afganistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya "Al-Afgani: Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan, bahwa al-Afgani meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada rencana Sultan untuk membinasakannya.
Di samping majalah al-‘Urwah al-Wusqa yang diterbitkannya, al-Afgani juga menulis banyak buku dan artikel. Di antaranya ialah Bab ma Ya’ulu Ilaihi Amr al-Muslimin (Pembahasan tentang Sesuatu Yang Melemahkan Orang-Orang Islam), Makidah asy-Syarqiyah (Tipu Muslihat Orientalis), Risalah fi ar-Radd ‘Ala al-Masihiyyin (Risalah untuk Menjawab Golongan Kristen; 1895), Diya’ al-Khafiqain (Hilangnya Timur dan Barat; 1892), Haqiqah al-Insan wa Haqiqah al-Watan (Hakikat Manusia dan Hakikat Tanah Air; 1878), dan ar-Radd ‘Ala al-Dahriyin.
Apa yang dilihat al-Afgani di dunia Barat dan apa yang dilihatnya di dunia Islam memberi kesan kepadanya bahwa umat Islam pada masanya sedang berada dalam kemunduran, sementara dunia Barat dalam kemajuan. Hal ini mendorong al-Afgani untuk menimbulkan pemikiran-pemikiran baru agar umat Islam mencapai kemajuan.
Ia telah menimbulkan pemikiran pembaruan yang mempunyai pengaruh besar dalam dunia Islam. Pemikiran pembaruannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman.
Dalam pandangan al-Afgani, jika ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi zaman saat ini, maka harus dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru terhadap ajaran-ajaran Islam yang tercantum dalam Alquran dan hadis. Untuk mencapai hal ini dilakukan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya masih tetap terbuka.
Ia melihat bahwa kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan perubahan kondisi. Kemunduran mereka disebabkan oleh beberapa faktor. Umat Islam, menurutnya, telah dipengaruhi oleh sifat statis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya menghendaki agar umat Islam bersifat dinamis, tidak bersifat fatalis, berpegang teguh pada akhlak yang tinggi, dan mencintai ilmu pengetahuan.
Sifat statis, menurut al-Afgani, telah membawa umat Islam menjadi tidak berkembang, dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi hasil ijtihad ulama sebelum mereka. Karenanya umat Islam dinilai al-Afgani hanya bersikap menyerah dan pasrah kepada nasib.
Faktor lainnya adalah adanya paham Jabariah dan salah paham terhadap qada (ketentuan Tuhan yang tercantum di lauh mahfuz/belum terjadi). Paham itu menjadikan umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja giat. Menurut pemikiran al-Afgani, qada dan qadar mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab-musabab (kausalitas).
Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat Islam tentang dasar-dasar ajaran agama mereka, lemahnya rasa persaudaraan, dan perpecahan di kalangan umat Islam yang dibarengi oleh pemerintahan yang absolut, mempercayakan kepemimpinan kepada yang tidak dapat dipercaya, dan kurangnya pertahanan militer merupakan faktor-faktor yang ikut membawa kemunduran umat Islam. Faktor-faktor ini semua menjadikan umat Islam lemah, statis, fatalis, dan mundur.
Ia juga ingin melihat umat Islam kuat, dinamis, dan maju. Jalan keluar yang ditunjukkannya untuk mengatasi keadaan ini adalah melenyapkan pengertian yang salah yang dianut umat Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut dia, Islam mencakup segala aspek kehidupan, baik ibadah, hukum, maupun sosial. Corak pemerintahan autokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi dan persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung kepada keberhasilan membina persatuan dan kerja sama.
Pemikiran lain yang dimunculkan oleh al-Afgani adalah idenya tentang adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal. Wanita dan pria sama dalam pandangannya. Keduanya mempunyai akal untuk berpikir. Ia mmelihat tidak ada halangan bagi wanita untuk bekerja di luar jika situasi menuntut itu. Dengan jalan demikian, al-Afgani menginginkan agar wanita juga meraih kemajuan dan bekerja sama dengan pria untuk mewujudkan umat Islam yang maju dan dinamis. dia/berbagai sumber

al-Tahtawi
Nama lengkapnya adalah Rifa’ah Badawi Rafi al-Tahtawi. Dia merupakan pembaharu Mesir yang hidup pada masa Muhammad Ali Pasya. Lahir tahun 1801 di Mesir sebelah selatan dan meninggal tahun 1873 di Kairo. Dia adalah anak yang menjadi korban kekuasaan M. Ali Pasya karena mengambil harta rakyatnya. Sekolahnya dibantu oleh keluarga ibunya, dan umur 16 belajar di al-Ahzar dan selesai TAHUN 1822.Ia adalah murid kesayangan Syeikh Hasan al-Attar karena kecakapannya. Oleh karena itu ia mengenal para ilmuwan Prancis dan mengetahui banyak ilmu pengetahuan. Tahun 1824 ia diangkat menjadi imam tentara. Hingga akhirnya ditugaskan untuk menjadi imam bagi mahasiswa yang belajar ke Perancis. Kesempatan ini ia gunakan sebaik mungkin untuk belajar bahasa Perancis. Dan dalam waktu singkat ia sudah menguasai bahasa Perancis.
Selama lima tahun di sana dia mempelajari dan menerjemahkan berbagai macam buku dengan bantuan gurubya. Buku yang diterjemahkan antara lain buku sejarah Alexander Macedonia, pertambangan, akhlak dan adat istiadat berbagai bangsa, geografi, ilmu tehnik, HAM, politik, kesehatan jasmani dan sebagainya. Ia juga membaca buku karangan, Montesquieu, Voltaire, dan Rouseau. Ia menerjemahkan berbagai buku ke bahasa arab agar para pembaca arab mampu memahami buku–buku bangsa barat demi kemajuan Mesir. Sebelum pulang ia diuji kelayakannya dan dinyatakan cakap dalam penerjemahan.
Sampai di Kairo ia diangkat menjadi guru bahasa Perancis di sekolah kedokteran dan selanjutnya di sekolah artileri. Kemudian tahun 1836 dia diserahi sebagai pimpinan sekolah penerjemahan yang mengajarkan bahasa arab, perancis, turki, persi, itali, ilmu teknik, sejarah, dan ilmu bumi. Selain itu ia juga mengoreksi buku hasil penerjemahan murid-muridnya yang menurut riwayat hampir seribu buku.
Pada tahun 1848 Muhammad Ali Pasya meninggal dan digantikan cucunya Abbas. Tapi karena tidak senang Tahtawi disingkirkan ke Sudan sebagai kepala sekolah dasar. Setelah Abbas meninggal dan digantikan Ismail ia dipanggil ke Kairo untuk menjadi pimpinan sekolah militer dan dia memusatkan pada pengajaran bahasa asing. Lalu Ismail mengadakan penerjemahan Undang-Undang Perancis dan Tahtawi sebagai pimpinannya.
Selain mengajar dia juga mengarang sehingga menerbitkan sebuah majalah dan surat kabar resmi. Pada waktu M. Ali hidup surat kabar yang terbit tentang politik dan pemerintahan demokrasi, aristokrasi, monarki dan sebagainya. Agar dia tidak dicurigai M. Ali dia selalu memujinya bahwa pemerintahannya membawa kemajuan Mesir dan peraturan barat tidak berdasarkan al-Quran dan Hadits.  Selain majalah juga menerbitkan buku yang membahas tentang ilmu-ilmu pengetahuan, baik satra, ilmu bumi kedokteran, tumbuhan , sejarah, ilmu pasti, sistem pemerintahan Perancis adat istiadat bangsa Eropa dan lain-lain. Buku itu kebanyakan dipelajari oleh para pegawai.
Selain itu adalah buku tentang ekonomi. Menurut Tahtawi kesejahteraan akan tercapai jika ada dua cara yaitu: berpegang pada agama serta budi pekerti dan kemajuan ekonomi. Karena Mesir adalah daerah pertanian maka dengan memajukan pertanian maka kesejahteraan dunia akan tercapai. Selain itu pemerintahan yang baiklah yang memajukan ekonomi. Oleh karena itu pemerintahan yang baik adalah menurut pemerintahan tradisional Islam. Kekuasaaan raja mutlak tapi harus dibatasi dengan syariat dan syura para ulama. Ulama harus dihormati dan menempatkan ulama sebagai pembantu raja dalam pemerintahan. Masyarakat suatu negara menurutnya ada empat golongan yaitu: raja, ulama, ahli, dan tentara. Dua golongan pertama adalah golongan yang memerintah dan yang lain adalah rakyat dan harus patuh dan setia kepada pemerintah. Raja harus takut kepada Allah sehingga akan bersikap baik kepada rakyatnya. Bahkan seorang gubernur/kepala daerah harua didik dan dilatih dulu agar bekerja sesuai tugasnya.
Tahtawi sangat mementingkan pendidikan. Tahtawi menjelaskan bahwa pendidikan harus merata baik putra maupun putri. Penddidikan dasar harus universal dan sama bentuknya untuk semua golongan. Tingkat menengah harus berkwalitas tinggi. Tujuan pendidikan bukan hanya mengajarkan ilmuntapi menanamkan kepribadian dan membentuk rasa patriotisme. Beliau adalah orang Mesir pertama yang menjelaskan rasa patriotisme. Umat Islam mengetahui negara Islam adalah seluruh daerah yang beragama Islam untuk itu saudaranya hanyalah orang Islam. Tapi Tahtawi menjelaskan nasionalisme tentang saudara setumpah darah. Jadi ada dua saudara yaitu saudara seagama dan saudara setanah air walaupun berbeda agama. Kaum ulama juga menguasai ilmu modern agar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan modern. Kalau umat Islam waktu itu menganggap ijtihad sudah di tutup. Dia menentang dan ijtihad harus dibuka kembali. Tapi dia tidak berani secara terang-terangan. Ia hanya menjelaskan syarat  dan rupa ijtihad dlam mahzab dan ijtihad dalam fatwa. Tapio akhirnya masyarakat tertarik dan menyatakan bahwa ijtihad adalah terbuka.
Tentang fatalisme ia mencela orang Paris yang tidak percaya pada qada dan qadar. Ia menjelaskan manusia harus percaya pada qada dan qadar tapi juga harus berusaha. Bagi yang hanya mempercayai qada dan qadar berarti ia lemah. Orang Eropa percaya jka ingin mendapatkan sesuatu harus berusaha dengan kemauan dan usaha sendiri. Jika ia gagal, itu bukan qada dan qadar Allah tapi karena salah perkiraaan atau kurang dalam berfikir.
Disinilah terdapat ide dinamisme sebagai lawan sikap stasis yang umum tetdapat pada dunia Islam saat itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar