Jumat, 26 Oktober 2012

Makna Obyektivisme dan Subyektivisme dalam Filsafat Ilmu

Makna Obyektivisme dan Subyektivisme dalam Filsafat Ilmu
Pergeseran ke arah obyek inderawi ini tidak lagi menerima subyek, melainkan justru menghapusnya, dan menyudahi refleksi atas subyek itu sendiri. Yang terbentuk dari krisis pengetahuan ini adalah filsafat ilmu pengetahuan yang memusatkan analisisnya pada penelitian metodologis. Pemusatan ini akhirnya berkembang menjadi obyektivisme. Obyektivisme tidak mengakui peranan subyek di dalam membentuk pengetahuan, sehingga subyek seolah-olah hanya menyalin fakta obyektif. Obyektivisme juga membuat subyek menjadi pasif sedemikian rupa, sehingga subyek hanya memiliki fungsi-fungsi yang mekanis. Di dalam psikologi positivis, konsep-konsep kecemasan, rasa bersalah, perilaku, dan bahkan pikiran direduksi menjadi bagian dari fungsi-fungsi suatu sistem obyektif yang lebih luas. Dampak yang sama juga dapat dilihat pada ilmu-ilmu kemanusiaan. Manusia dilihat dan dianalisis pada permukaan obyektifnya. Lalu, segala sesuatu yang timbul dari hasil analisis tersebut digeneralisasikan begitu saja ke dalam dimensi subyektifnya.

Yang menjadi fokus diskusi di dalam problematika ini adalah tentang pengamatan di dalam ilmu-ilmu alam, yang berbeda dengan pengamatan di dalam ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam mengamati gejala-gejala alam. Sedangkan, ilmu-ilmu sosial mencoba untuk mengamati dan memahami masyarakat dan manusia secara historis. Berbeda dari gejala dan proses-proses alam yang bisa dikuasai secara teknis, proses-proses sosial terdiri dari tindakan-tindakan manusia yang tak dapat begitu saja diramalkan, atau dikuasai secara teknis. Begitu banyak perbedaan yang harus diperhatikan, sehingga kita tidak dapat memperlakukan manusia dan masyarakat seperti kita memperlakukan alam. Jika kita tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan itu, positivisme pada tahap metodologis mau merancang kontrol atas masyarakat menurut kontrol atas alam. Jürgen Habermas, filsuf dan teoritikus sosial asal Jerman, berpendapat bahwa penerapan positivisme di dalam ilmu-ilmu sosial merupakan sebentuk penerapan pengetahuan untuk mengontrol proses-proses alam terhadap manusia dan masyarakat, yang seharusnya diketahui dengan pendasaran pemahaman intersubyektif.[1][10] Pada tahap metodologis, positivisme di dalam ilmu-ilmu sosial semacam ini akan menghasilkan teknologi sosial. Teknologi sosial ini akan berkembang menjadi determinasi sosial, dan akhirnya menjadi sebentuk dominasi. Di dalam masyarakat yang bersifat teknokratis dan dominatif, peranan manusia sebagai subyek yang membentuk ‘realitas’ tampak dipinggirkan. Pada titik ini, yang terjadi adalah obyektivisme, di mana subyek hanya menjadi ‘petugas’ penyalin fakta obyektif. 


Kedudukan Obyektivisme Dalam Sains
POMPA udara Boyle adalah mesin yang memproduksi fakta dan menguji keabsahan suatu pengetahuan. Bagi Boyle, fakta ilmiah hanya dapat lahir dari eksperimen yang dilakukan secara empiris. Di sinilah tonggak awal sains modern dimulai. Eksperimen menjadi bagian signifikan dalam epistemologi sains. Eksperimen adalah ruang di mana fakta ilmiah "ditemukan". Dalam sains, fakta ilmiah bersifat self-explanatory, dalam arti dia menjelaskan dirinya sendiri. Saintis "hanyalah" pengamat yang menjadi modest witness atau saksi jujur bagaimana fakta tersebut dimunculkan melalui suatu konfigurasi teknis material. Klaim obyektivisme menuntut saintis untuk berada di wilayah yang terpisah dari fakta yang diamatinya.
Bagi para sarjana studi sains (science studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang, ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial.
Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan (saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.
Secara antropologis, sistem pengetahuan terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas yang terjadi di alam.

Pendapat Beberapa Ahli Tentang Obyektivitas
Haraway berargumen bahwa obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.

Pendapat Para Filosof Tentang Obyektivisme dan Subyektivisme
Protagoras, seorang sofis, mengatakan bahwa bukanlah Ada yang menentukan pengenalan kita, melainkan pengenalan kita yang menentukan Ada. Jadi bukan obyektivisme, melainkan subyektivisme. Oleh sebab itu
dia berpendapat bahwa “manusia adalah tolok ukur untuk segala-galanya”.
SÖREN KIERKEGAARD (1813-1855)
Sebagai Bapak Eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya: Individu tidak ditempatkan di hadapan Ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan.
Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona. Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif – termasuk agama – harus mendarah daging dalam si individu.
Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan
kematianku. Kierkegaard mencari kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuan yang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge. Dia membedakan manusia dalam stadium estetis, etis dan religius.  Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih
dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat. Ia bisa menjadi seorang hedonis yang
sempurna, seorang “perayu” seperti Don Juan, atau seorang yang “sok tahu” dan seorang Sofis (mis. Mendalami filsafat dan teologi).
Secara obyektif kehidupan kita memang tidak mempunyai makna sedikitpun dan absurd sama sekali. Kita tidak mempunyai alas an untuk berada. Manusia merupakan une pasion inutile, suatu gairah yang tidak berguna. Namun kita bisa memberi makna kepada kehidupan kita dan dengan itu kehidupan manusiawi sebetulnya baru menjadi mungkin. Jadi seorang manusia dapat memberi makna kepada keberadaannya dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dengan merancang dirinya.
Di antara aliran positivis-empiris dan aliran idealis ini, ada    banyak aliran-aliran filsafat lain yang mencoba menggabungkan keduanya. Misalnya, Immanuel Kant yang mengatakan bahwa ada realitas objektif di dunia empiris, tapi dia tidak bisa diserapi oleh indera    manusia. Inilah yang disebut ding-an-sich, inti dari sebuah realitas.  Cara mencapai realitas ini bukanlah dengan indra, tetapi dengan  pemikiran logis untuk memperkuat kesimpulan yang dicapai secara    a-priori. Misalnya, kita tidak akan bisa melihat sekaligus keenam    bidang yang ada pada sebuah kubus. Paling banyak yang bisa kita lihat hanyalah tiga bidangnya. Tapi, melalui rekonstruksi logis pengalaman kita, kemudian kesimpulan yang a-priori, kita bisa menyatakan bahwa sebuah kubus memiliki enam bidang, meskipun kita tidak pernah bisa melihat keenam bidangnya ini secara empiris. Aliran idealis kemudian  menjadi kuat kembali di bidang ilmu sosial pada saat ini dengan munculnya aliran baru yang sangat populer pada saat ini: post-modernisme atau posmo

Fakta Obyektivitas Dalam Kehidupan
Sebagai contoh, marilah kita lihat keadaan kaum perempuan sekarang. Kalau kita mengukur secara empiris, maka jelas kaum perempuan lebih lemah secara fisik ketimbang laki-laki, dan juga lebih emosional (perempuan mudah menangis, laki-laki tidak). Inilah fakta objektifnya, realitas empirisnya. Maka atas dasar ini, usaha memperjuangkan persamaan derajat bagi kaum perempuan merupakan sebuah "ideologi" yang
hanya diperjuangkan oleh kaum aktivis tanpa mau mempedulikan kenyataan empirisnya.
Tampak jelas artikel yang memuat diri saya sebagai contoh itu masih menganut teori bahwa ada realitas objektif di dunia empiris yang harus dihormati sebagai kebenaran mutlak di dunia ilmiah. Sama sekali tidak disadari bahwa teori ilmu sudah berkembang lebih jauh dari itu, yakni dengan memasukkan faktor manusia dan kekuasaan dalam pembentukan realitas. Terjadi interaksi antara dunia subjektif manusia dengan dunia objektif empiris dalam hubungan yang dialektis. Kegagalan menyadari hal ini akan membuat kita, tanpa sadar, menjadi alat dari kekuasaan yang ada di masyarakat, karena mengira bahwa realitas buatan manusia sebagai dunia objektif yang tidak bisa diubah. Kapitalisme adalah realitas objektif, karena itu usaha untuk mengubahnya akan sia-sia.                                                                          


Dalam paradigma baru tentang hubungan antara kekuasaan dan realitas empiris, antara subyektivisme dan obyektivisme, memang beda ilmuwan dan aktivis menjadi sangat kompleks. Dalam paradigma baru ini, tidak lagi diterima posisi seorang ilmuwan yang netral, yang bersinggasana di atas menara gadingnya yang bisa mempersoalkan realitas secara ilmiah dan tidak berpihak. Inilah ilmuwan yang oleh Antonio Gramsci
dinamakan sebagai "cendekiawan universal", yakni cendekiawan yang menganggap dirinya objektif, bebas dari keterlibatan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di masyarakat. Seorang ilmuwan obyektif yang melihat bahwa kapitalisme telah mendominasi dunia dan karena itu berkesimpulan bahwa inilah realitas empiris yang tidak bisa diubah, tanpa sadar, telah menjadi alat dari kekuatan-kekuatan yang telah menciptakan dan mendukung sistem ini. Ini sama saja dengan seorang ilmuwan yang mengatakan bahwa perjuangan kaum Feminis merupakan agenda kaum aktivis yang tidak ilmiah dan sarat dengan ideologi karena telah melawan kodrat manusia yang obyektif dan ilmiah.

Ini berbeda dengan ilmuwan yang dinamakan Gramsci sebagai "cendekiawan organis," yakni cendekiawan yang mengakui bahwa dirinya merupakan bagian dari kekuatan yang ada di masyarakat. Ilmuwan jenis ini mengakui bahwa dia tidak bisa melepaskan dirinya dari permainan kekuatan-kekuatan masyarakat yang ada di sekitarnya. Daripada mengingkari masalah ini, lebih baik memilih kekuatan mana yang paling baik untuk dipihaki. Karena itulah bagi Gramsci, cendekiawan universal pada dasarnya adalah cendekiawan organis juga, hanya mereka tidak menyadari posisinya yang berpihak.

Barangkali, kalau mau dibedakan juga antara seorang ilmuwan dan aktivis, maka dapat dikatakan seorang aktivis adalah orang yang memakai produk-produk konsep yang dihasilkan oleh sang ilmuwan. Seorang aktivis bukanlah seorang pemikir, dia hanyalah pemakai. Seorang aktivis adalah konsumen, bukan produsen. Karena itulah seorang aktivis, seperti dalam tulisan majalah itu, cenderung menjadi fanatik dengan konsep-konsep yang dianutnya, sedangkan seorang ilmuwan tidak, karena pada dasarnya dia adalah seorang pemikir.

subyek pengetahuan dari kecenderungan untuk menjadi seorang obyektivis. Maka, tak ada pretensi sistematis di dalam uraian ini, melainkan lebih merupakan undangan untuk wacana lebih jauh.

Gambaran Kedudukan manusia sebagai Subyek dan obyek
Memang, masyarakat abad pertengahan memiliki cara berpikir yang secara kualitatif berbeda dengan masyarakat modern. Mereka yakin, bahwa ada suatu bentuk tatanan realitas obyektif yang berdiri independen dari subyek pengetahuan. Misalnya, mereka meyakini adanya kebenaran pada dirinya sendiri, realitas pada dirinya sendiri, dan adanya realitas tertinggi yang sepenuhnya terlepas dari dunia ini. Di dalam filsafat, istilah tersebut kurang lebih terangkum pada kata ‘metafisika’. Di dalam bidang religius, keyakinan atas realitas metafisis semacam ini dapat dilihat pada istilah-istilah tertentu, seperti surga, neraka, setan, dan allah. Cara berpikir masyarakat abad pertengahan ini dapat dirangkum di dalam satu kalimat, yakni pemusatan pada obyek pengetahuan.[2][1] Di dalam aktivitas kesadaran, setidaknya selalu ada dua kutub, yakni kutub subyek mengetahui, dan kutub obyek yang diketahui, atau realitas. Subyek mengetahui adalah orang yang mengetahui, sedangkan obyek yang diketahui adalah realitas. Nah, dengan penekanan pada obyek, cara berpikir masyarakat abad pertengahan tampak mengabaikan subyek. Mereka lupa bahwa subyek mampu membentuk realitas dengan penafsirannya, dan juga bahwa tatanan realitas obyektif yang mereka yakini ada tersebut ternyata juga sedikit banyak dibentuk oleh pikiran mereka sendiri.[3][2]
            Penemuan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi, munculnya negara-negara nasional yang memisahkan diri dari Gereja, dan munculnya sistem ekonomi kapitalis telah menghancurkan cara berpikir semacam itu. Rene Descartes menjadi pemikir utama keruntuhan cara berpikir abad pertengahan itu. Semua bentuk makna obyektif metafisis yang bersifat tradisional disangsikannya secara metodis, sehingga ia sampai pada suatu bentuk pengetahuan yang pasti, yakni ‘aku berpikir maka aku ada’. Yang ditemukannya adalah peranan mutlak subyek di dalam mengkonstitusikan realitas. Di dalam sejarah filsafat, Descartes dikenal sebagai filsuf yang menggerakkan pendulum dari kutub obyek ke subyek. Subyektifitaslah yang menciptakan realitas, sehingga realitas dapat diketahui.
            Pergeseran pendulum semacam ini bermula pada Descartes, Leibniz, dan Kant di satu sisi, serta di dalam tradisi Anglo-Sakson, seperti pada Hobbes, Locke, dan Hume di sisi lain.  Modernisasi telah membawa suatu keyakinan bahwa lebih baiklah menyelidiki kondisi-kondisi pikiran manusia itu sendiri, yakni subyek, daripada memperdebatkan panjang lebar dan tak pernah berhenti tentang kebenaran, kebebasan, dan Allah. Immanuel Kantlah yang meradikalkan analisis Descartes tentang subyek. Di samping itu, ia juga memperlihatkan ‘kondisi-kondisi kemungkinan’ dari pikiran manusia. Refleksi Kant ini melambangkan suatu keyakinan baru bahwa meneliti subyek jauh lebih memungkinkan daripada meneliti obyek. Oleh Kant, batas-batas kemampuan manusia itu adalah kenyataan inderawi yang terlihat, sementara kita tidak bisa mengetahui apa yang disebut Kant sebagai ‘benda-pada-dirinya-sendiri’.

 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar