KERAJAAN MUGHAL DI INDIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Islam mengalami
naik turun dalam sejarah perjalanannya. Ada
kalanya Islam mengalami kejayaan dan ada kalanya mengalami kemunduran. Hal ini
disebabkan seiring dengan berjalannya waktu dan pertikaian perpolitikan dalam
pemerintahan Islam sendiri serta adanya akibat dari luar seperti serangan
bangsa lain.
Islam dirintis oleh
Nabi Muhammad SAW dari tanah Arab. Kemudian berkembang sampai ke seluruh
pelosok dunia. Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa bani Umayyah dan
bani Abbasiyah. Dan setelah itu Islam mengalami kemunduran sampai munculnya
kembali tiga kerajaan besar pada abad-abad sesudahhya. Tiga kerajaan itu adalah
kerajaan Usmani, kerajaan Syafawi, dan kerajaan Mughal.
Pada
masa tiga kerajaan ini, Islam kembali bangkit dari keterpurukan. Tapi
kebangkitan ini bukan didirikan oleh orang-orang Arab, melainkan oleh bangsa
lain, terutama kerajaaan Mughal. Kerajaan ini justru
didirikan oleh keturunan bangsa yang telah menghancurkan Islam pada masa
pemerintahan Abbasiyah.
Berdasarkan
permasalahan diatas penulis akan membahas seluk beluk kerajaan Mughal yang
merupakan kerajaan besar Islam yang terakhir. Sehingga diharapkan pembaca
memahami bagaimana sejarah Islam pada masa akhir yang terletak di tanah India
yang keadaannya adalah daerah tempat lahirnya agama Budha dan agama Hindu.
2.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana asal-usul kerajaan
Mughal?
Bagaimana keadaan kerajaan
Mughal pada masa kejayaanya?
Bagaimana
keadaan dan apa penyebab kemunduran kerajaan Mughal?
3.
TUJUAN
Mengetahui asal-usul kerajaan
Mughal
Mengetahui keadaan kejayaan
kerajaan Mughal
Mengetahui
keadaan dan penyebab kemunduran kerajaan Mughal
BAB II
PEMBAHASAN
1.
ASAL-USUL KERAJAAN MUGHAL
Jatuhnya Kota Baghdad ke dalam
kekuasaan Hulako dalam tahun 656 H adalah permulaan masa Mughol dalam sejarah
Islam sedang menurun. Masa yang tidak menggembirakan ini, berakhir dengan
masuknya tentara Usmani ke Mesir dibawah pimpinan Sultan Al Fatih pada tahun
923 H.
Kekuasaan Mughol membujur dari
perbatasan India di sebelah timur, sampai keperbatasan Syria di sebelah barat,
dan pernah turunan Persia dan turunan Arab menguasai Persia dan Irak dalam
waktu singkat. Irak dan Persia
berada dibawah kekuasaan Daulah Elkhaniyah (turunan Mughol) yang kemudian
berpindah kekuasaan Daulah Timuriyah yang juga keturunan Mughol.
Kerajaan
Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Kerajaan
Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di
wilayah India
terjadi pada masa Khalifah al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Penaklukkan
wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn
Qasim (Mahmudunnasir, 1981:163).
Pada fase
desintegrasi, Dinasti Ghaznawi mengembangkan kekuasaannya di India dibawah
pimpinan Sultan Mahmud dan pada tahun 1020 M, ia berhasil menaklukkan seluruh
kerajaan Hindu di wilayah ini, sekaligus mengislamkan sebagian masyarakatnya (Mahmudunnasir,
1981:163). Setelah Dinasti Ghaznawi hancur, muncul Dinasti-Dinasti kecil
seperti Mamluk (1206-1290 M), Khalji (1296-1316 M), Tuglug (1320-1412 M) dan Dinasti-Dinasti
lain (Nasution, 1985:82).
Mughal
merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibukotanya,
berdiri antara tahun 1526-1858 M. Dinasti Mughal di India didirikan oleh seorang
penziarah dari Asia tengah bernama Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah
satu cucu dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan yang telah masuk
Islam dan pernah berkuasa di Asia Tengah pada abad ke 15. Kerajaan ini berdiri pada
saat di Asia kecil berdiri tegak sebuah kerajaan Turki Usmani dan di Persia
kerajaan Safawi. Ketiganya pada saat yang sama menjadi sebuah negara-negara
adikuasa di Dunia. Mereka
juga menguasai perekonomian, politik serta militer dan mengembangkan kebudayaan.
Ayahnya
bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana. Babur mewarisi daerah Ferghana dari
orang tuanya dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun. Setelah naik
tahta ia mencanangkan obsesinya untuk menguasai seluruh Asia Tengah,
sebagaimana Timur Lenk tempo dulu. Namun, ambisinya itu terhalang oleh kekuatan
Urbekiztan, dan mengalami kekalahan Namun berkat bantuan Ismail I (1500-1524
M), raja Safawi, Babur dapat menguasai Samarkand tahun 1494 M. Pada tahun 1504
M, ia menduduki Kabul, ibukota Afganistan.
Dari sini
ia memperluas kekuasaannya ke sebelah Timur (India). Saat itu, Ibrahim Lodi,
penguasa India,
di landa krisis sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Daulah Khan,
Gubernur Lahore dan Alam Khan, paman Ibrahim sendiri melakukan pembangkangan
pada tahun 1524 terhadap pemerintahan Ibrahim Lodi, dan meminta bantuan Babur
untuk merebut Delhi. Tiga kekuatan itu bersatu untuk menyerang kekuatan Ibrahim,
tetapi gagal memperoleh kemenangan. Mereka melihat bahwa Babur tidak
sungguh-sungguh membantu mereka.
Ketidak seriusan
Babur menimbulkan kecurigaan di mata Daulah Khan dan Alam Khan, sehingga
keduanya berbalik menyerang Babur. Kesempatan itu tidak disia-siakan Babur, ia
berusaha keras untuk mengalahkan gabungan dua kekuatan tersebut. Daulah Khan
dan Alam Khan dapat dikalahkan, Lahore
dikuasainya pada tahun 1525 M. Dari Lahore ia terus bergerak ke selatan hingga
mencapai Panipat. Di sinilah ia berjumpa dengan pasukan Ibrahim maka terjadilah
pertempuran yang dahsyat. Ibrahim beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam
pertempuran itu (Holt, 1970:22). Babur memperoleh kemenangan yang amat
dramastis dalam pertempuran Panipat I (1526 M) itu, karena hanya dengan
didukung 26.000 personel angkatan perang, ia dapat melumpuhkan kekuatan Ibrahim
yang di dukung oleh 100.000 personel dan 1.000 pasukan gajah. Babur memasuki kota Delhi sebagai pemenang
dan menegakkan pemerintahannya disana. Dengan demikian
berdirilah kerajaan Mughal di India.
1.
Pemerintahan Babur
Pemerintahan ini diwarnai masa konsolidasi
kekuasaan dengan mewarisi pemerintahan sebelumnya. Pada masa ini raja-raja
Hindu Rajputh (seperti Rana Sanga) di seluruh India bangkit kembali mencoba
melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan
Babur mendapat tantangan dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala
suku India tengah dan umat Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang
baru tiba itu, sehingga ia harus berhadapan langsung dengan dua kekuatan
sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di
Khanus dekat Agra. Babur memperoleh kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam
kekuasaannya.
Setelah Rajput dapat ditundukkan, konsentrasi
Babur diarahkan ke Afganistan, yang saat itu dipimpin oleh Mahmud Lodi saudara
Ibrahim Lodi. Kekuatan Mahmud dapat dipatahkan oleh babur tahun 1529 M sehingga
Gogra dan Bihar jatuh ke bawah kekuasaannya. Dengan demikian, masa pemerintahan
Babur ditandai oleh dua persoalan besar, yakni bangkitnya kerajaan-kerajaan
Hindu dan munculnya penguasa Muslim yang tidak mengakui pemerintahannya di
Afghanistan ada tahun 1530 M Babur meninggal Dunia dalam usia 48 tahun setelah
memerintah selama 30 tahun, dengan meninggalkan kejayaan-kejayaan yang
cemerlang. Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh anaknya sulungnya Humayun.
2.
Pemerintahan Humayun
Ia memerintah antara tahun 1530-1539 M dan 1555-1556 M.
Periode pemerintahannya banyak diwarnai kerusuhan dan berbagai pemberontakan. Hal
ini dimungkinkan karena usia pemerintahan yang diwariskan ayahnya masih relatif
masih muda dan belum stabil, seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Diantara
tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan
diri dari Delhi.
Pemberontakan ini dapat dipadamkan. Bahadur Syah melarikan diri dan Gujarat dapat dikuasai. Salah satu dinasti dari Afghanistan yang saat itu
diperintah Sher Khan. Suri menginvasinya pada tahun 1539 M ke pusat
pemerintahan Humayun di Delhi.
Pasukan Humayun hancur dan
negar dalam kondisi tak menentu. Akan tetapi, Humayun dapat meloloskan diri ke Kandahar
lalu ke Persia dan diterima denga baik oleh Sultan Safawi, Shah Tahmasph. Di
sinilah ia mengenal tradisi Syiah bahkan sering dibujuk untuk memasukinya,
termasuk anaknya Jalaludin Muhammad Akbar.
Disini pula ia membangun
kembali kekuatan militer yang telah hancur, dan berkat bantuan Shah Tahmasph
yang memberinya pasukan militer sebanyak 12000 tentara kemudian terkumpul
seluruhnya sebanyak 14000 orang. Humayun kembali mencoba merebut kekuasaannya
di Delhi.
Pada tahun 1555 M ia menyerbu Delhi yang saat itu
diperintah Sikandar Sur. Akhirnya, ia bisa memasuki kota ini dan ia bisa
memerintah kembali sampai pada tahun 1556 M, ia meninggal dunia karena terjatuh
dari tangga perpustakaanya, Din Panah (Mahmudunnasir, 1981:265-266). dan
digantikan oleh anaknya Jalaludin Muhammad Akbar.
3.
Pemerintahan Akbar
Sultan Akbar terkenal dengan
gagasan-gagasannya yang sangat radikal dan liberal baik dalam aspek sosial atau
pemikiran keagamaan. Masa pemerintahannya sangat berhasil dan cukup stabil
bahkan wilayah-wilayah kekuasaannya semakin luas seperti Chundar, Ghond,
Chitor, Rantabar, Surat, Behar, Bengal, Kashmir, Orissa, Dekan, Gawilghard,
Narhala, Alamghar dan Asirghar.[1]
Kebijakan politiknya yang
paling berani adalah menyingkirkan Bairan Syah, penasihat politik Syiah yang
dipercayai Humayun. Kebijakan lainnya adalah menata sistem pemerintahannya
dengan sistem militer termasuk ke seluruh wilayah taklukannya. Pemerintahan daerah
dipegang oleh seorang shipar salar jenderal
atau kepala komandan dan sub-distrik oleh faujdar
(komandan), termasuk jabatan-jabatan sipil selalu diberi jenjang
kepangkatan bercorak militer.
Dasr-dasar
kebijakan sosialnya dengan politik sulakhul
(toleransi universal). Dengan cara ini, semua rakyat dipandang sama, mereka
tidak dibedakan sama sekali oleh ketentuan agama atau lapisan sosial, diantara
reformasi itu adalah:
a.
Menghapuskan
jizyah bagi non muslim;
b.
Memberikan
pelayanan pendidikan dan pengajaran yang
sama bagi setiap masyarakat, yakni dengan mendirikan madrasah-madrasah dan
memberi tanah-tanah waqaf bagi lembaga-lembaga sufi berupa iqtha atau madad ma’a sy;
c.
Membentuk
undang-undang perkawinan baru, diantaranya melarang orang-orang kawin muda,
berpoligami bahkan ia menggalakkan kawin campur antaragama. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan, stabilitas dan integrasi masyarakat Muslim
dan non-Muslim;[2]
d.
Menghapuskan
pajak-pajak pertanian terutama bagi petani-petani miskin sekalipun non-Muslim;
e.
Menghapuskan
tradisi perbudakan yang dihasilkan dari tawanan perang dan mengatur khitanan
anak-anak.
Aspek
penting lainnya dari pembaruannya adalah menciptakan Din Ilahy yang ciri-ciri pentingnya adalah:
a.
Percaya
pada keesaan Tuhan;
b.
Akbar
sebagai khalifah Tuhan dan seorang padash
(al-insan al-kamil); ia mewakili
Tuhan dimuka bumi dan selalu mendapat bimbingan langsung dari Tuhan; ia terma’shum dari segala kesalahan;
c.
Semua
pemimpin agama harus tunduk dan sujud pada Akbar;
d.
Sebagai manusia padash, ia
berpantangan memakan daging (vegetarian);
e.
Menghormati api dan matahari sebagi simbol kehidupan;
f.
Hari ahad sebagai hari resmi ibadah;
g.
“Assalamualaikum”
diganti “Allahu Akbar” dan “Alaikum salam” diganti “jalla jalalah.”[3]
Di antara faktor-faktor yang
mendorong Sultan Akbar menciptakan : ”Din
Ilahy” adalah sebagai berikut:
a.
Para ulama dan pemimpin agama saling
berbeda pendapat mengenai masalah-masalah keagamaan. Mereka saling mengecam dan
berpecah-belah;
b.
Keadaan
rakyat dan penganut agama-agama di india semakin fanatik karena pengaruh
tokoh-tokoh agama, bahkan rakyat tidak sedikit saling bertikai;
c.
Pengaruh
penasihat-penasihat agama dan politik Sultan Akbar, diantaranya Abu Fadhl, Mir
Abdul Lathif (Persia) dan Syaikh Mubaraq yang membiarkan bahkan tidak jaranag
mendorong Akbar berpikir bebas dan radikal.
Kebijakan-kebijakan
itu pada umumnya lebih mementingkan persatuan politik, sekalipun dengan banyak
mengorbankan nilai-nilai syariah Islam. Inilah periode “sinkretik” membumi di
India; suatu usaha “pemerintahan Islam” untuk bisa diterima di kalangan rakyat
India. Sultan akbar ingin menembus batas-batas terdalam tradisi Hinduistik dan
agama-agama lain di di India. Ia meninggal pada tahun 1605 M setelah menderita
sakit yang cukup parah. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dapat
dipertahanakan oleh sultan-sultan selanjutnya , antara lain Jahangir (1605-1627 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1659-1707 M). Ketiganya
merupakan sultan-sultan besar Mughal yang didukung dengan berbagai kecakapan
dan kekuatan militer.[4] Setelah kepemimpinan mereka, sulit ditemukan sultan-sultan yang tangguh.
4.
Pemerintahan Jahangir
Periode Jahangir
(1605-1627 M) adalah masa-masa stabil. Karena ia memerintah dengan pandangan
yang pragmatis dalam melihat sebuah fungsi kepemimpinan. Menurutnya, kedaulatan
raja adalah pemberian Tuhan. Dengan demikian, tidak begitu penting
menjalankankan hukum Tuhan (syariah).
Yang diperlukan adalah
bagaimana memelihara kelestarian kehidupan duniawi ini, dan tuhan memilih
seorang pemimpin sesuai dengan posisi kewibawaan yang dimiliki pemimpin itu.
Teori-teori kenegaraan pada masa Jahangir ini menggunakan konsep Perso-Islamic yang banyak digunakan
Nizham Al-Mulk dan Al-Ghazali di Baghdad.
Namun hukum islam hanya
diterapkan sebatas pada lembaga pengadilan saja seperti pada masa ayahnya,
Akbar. Dalam kasus umum, hukum islam hanya berlaku bagi umat islam, sedangkan
hukum kriminal berlaku bagi sebelumnya. Jahangir adalah sultan yang toleran dan
sekuler serta punya kebijakan-kebijakan politik yang liberal, seperti yang
diteladani daari ayahnya.
Kegiatan politiknya
telah menghasilkan warna budaya “Indo-Islam.” Ia memilki penasihat politik
seperti Muhammad Baqir Najm-i Sani, seorang ulama dan prajurit yang
gagasan-gagasannya dituangkan dalam kitab Mauidzah-I
Jahangir dengan pendekatan yang sangat pragmatik dalam menangani segala
persoalan politik, ditulis sejak tahun 1612 M. Penasihat lainnya adalah Qodi
Nuruddin aakhaqany yang menulis Akhlaqi jahangir ditulis tahun 1622 M. Ia
seorang yang alim dan ahli hukum.[5]
5.
Pemerintahan Syah Jehan
Ia melanjutkan
pemerintahan Jahangir. Pada periode ini kondisi
negara-negara betul-betul sangat stabil dan mengalami puncak keemasan yang
luar biasa diantara kesultanan Mughal, kecuali pada periode Akbar dan setelah
Syah jehan, Aurangzeb.
Karena pada periode ini
dikembangkan kembali penaklukan wilayah sampai melampaui batas-batas India ,
seperti Kandahar, Balkh, Badkhsan dan Samarkand. Kesan-kesan keberhasilannya
diwarnai dengan suksesnya menata politik kenegaraannya. Pembangunan ekonomi dimulai dari pengembangan
sistem irigasi di Rav sepanjang 98 km wilayah pertanian subur. Sistem
perdagangannya ia kembangkan dengan sistem ekspor-impor dari industri-industri
yang dikembangkannya seperti tekstil, keramik dan kerajinan tangan lainnya.[6]
Pos-pos perdagangan
dibangkitkan kembali, sistem penataan sosial lebih banyak melestarikan para
pendahulunya. Keamanan pada periode ini jauh lebih baik dibandingkan
periode-periode sebelumnya, bahkan portugis yang mulai singgah di perairan
India dapat diusirnya.
Dibidang kebudayaan menunujukkan suatu atmosfer
yang sangat gemilang; sebagai puncak masa kemakmuran antara perpaduan
Turki-Mongol, Persia dan India; yang terlihat pada bangunan-bangunan Tajmahal, masjid-masjid dan lain
sebagainya.[7]
Faktor-faktor
yang mendorong puncak kemajuannya adalah sebagai berikut:
1.
Syah
Jehan adalah seorang yang terpelajar, ia memiliki bakat kepemimpinan dan
memiliki jiwa intelektual dan seni;
2.
Kondisi
sosial-politik sangat stabil- mewakili kondisi sebellumnya. Kemakmuran dibidang
ekonomi dan dukungan rakyat yang sangat simpatik.
3.
Memberikan
penghargaan yang luar biasa kepada para ilmuwan dan ahli seni dan bangunan. Ia
sebagai pelindung dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Ia peminat lukisan,
pandai menyanyi dan peminat karya-karya kesusastraan.
Secara umum
(terutama di akhir-akhir kekuasaannya) ada dua kebijakan secara keseluruhan
yang dimainkan oleh kedua orang putranya, Darsyikuh
dan Aurangzeb.
Darsyikuh
lebih berpikiran universal, yakni lebih banyak menggunakan hukum-hukum Hindu
bila dalam Alquran tidak ditemukan dibandingkan hasil-hasil ijtihad para ulama
saat itu. Sedangkan Aurangzeb lebih menekankan tradisi keislaman (nilai-nilai
syariah, tradisional). Dan pada akhirnya Darsyikuh dibunuh oleh Aurangzeb dan
ayahnya, sedangkan Syah Jehan (ayahnya) dipenjarakan.[8]
Selanjutnya Aurangzeb mewarisi kesultanan pada tahun 1658 M.
6.
Pemerintahan Aurangzeb
Ternyata motif pengambilalihan
kekuasaan lebih didasarkan atas kepentingan penyelamatan nilai-nilai syariah
Islam, sekalipun tidak menutup kemungkinan faktor pribadi. Sepanjang masa
pemerintahannya antara tahun 1658-1707 M, banyak mencapai keberhasilan seperti
para pendahulunya; baik aspek ekonomi, sosial, politik dan agama.
Dalam penaklukan
wilayah-wilayah baru keberhasilannya sangat luar biasa. Dibandingkan sultan
Akbar yang hanya menguasai wilayah baru sebanyak 15 daerah, Aurangzeb bisa
mencapai 21 daerah baru, 14 daerah di India Utara dan 6 di daerah Dekkan dan
satu buah di Afghanistan.
Ia menerapkan nilai-nilai
syariah yang ketat pada pemerintahannya yang pada periode-periode sebelumnya
kurang begitu diperhatikan bahkan diabaikan sama sekali. Semangat politik
islamnya didasarkan pada Alquran dan Sunnah serta dukungan para ulama sangat
kuat, tetapi dilain pihak membuat kecemburuan.
Kaum Muslimin menganggap ia
sebagai waliullah karena pembelaannya pada nilai-nilai syariah. Hal ini menjadi
dukungan spiritual politik yang luar biasa. Sebaliknya orang-orang hindu
fanatik menganggap ia sebagai pemimpin yang zalim walaupun masih banyak pula
kelompok non-Muslim yang memberi dukungan karena keadilannya.
Dalam pandangannya, hanya
islamlah yang dapat menyelesaikan berbagi masalah kehidupan. Oleh karena itu, undang-undang yang harus dipakai pemerintahan ialah
undang-undang Islam. Ia
menetapkan kembali peraturan jizyah yang telah dihapus Sultan Akbar 100 tahun
silam. Karena hal itu merupakan suatu hal yang menyimpang dan keluar dari garis keislaman.
Menghapuskan tradisi istana
yang banyak diwarnai pola ke-mubadziran
dan diganti pola yang islami sedemikian rupa, dengan melarang dan menghapuskan
pusat-pusat minuman keras, nyanyian, musik dan berbagi persoalan yang dipandang mubadzir
menurut agama islam. Dalam hal ini ia menugaskan kementerian khusus guna
mengawasi dan mensosialisasikan hukum-hukumn islam. Untuk itu ia membuat
undang-undang dalam kitab Fatawa
Alamngiri yang sangat terkenal.
Bahkan kebijakan lainnya yang
sangat beranii adalah mengawasi perkembangan dan kegiatan-kegiatan agama lain
di India, terutama Hndu sebagai agama mayoritasnya. Setiap kegiatan keagamaan
harus ada izin sultan, sehingga tidak sedikit kuil-kuil Hindu yang selalu
dislahgunakan untuk kegiatan-kegiatan politik dihancurkan olehnya.
Diantara berbagai kebijakan,
ada yang melatarbelakangi bagi munculnya konflik, terutama diakhir-akhir
pemerintahannya., yakni sebagai berikut:
1.
Orang
hindu dilarang mendirikan kuil-kuil baru. Tindakannya menghancurkan kuil-kuil di Benares, Gujarat dan Orissa
karena alasannya sebagi sarang politik
orang-orang Hindu telah menimbulkan kebangkitan dan kemarahan pengikut Hindu
Rajput, Satnamis dan Jast untuk memberontak.
2.
Penaklukan
wilayah Dekkan telah menimbulkan dendam bagi orang-orang Syiah di sana sehingga
gerakan yang dilakukan oleh mereka telah menyulitkan kerajaan Mughal untuk
meneneramkannya
3.
Aurangzeb
tidak mempersiapkan penggantinya untuk meneruskan kesultanan Mughal kareana ia
kesulitan memilih putra-putra mahkotanya. Hal ini disebabkan ia mengikuti jejak
orang tuanya yang tidak pernah menunjuknya untuk memerintah.
4.
Membuka
jalur perdagangan yang bebas termasuk
dengan Inggris untuk memasuki wilayah India, di perairan Hungli dan Surat. Hal
ini merupakan akar yang paling berbahaya terutama ketika memasuki kesultanan
berikutnya yang lemah sedangkan Inggris sulit untuk dipatahkan.
7.
Pemerintahan Pasca-Aurangzeb
Sepeninggal Aurangzeb
tahun 1707 M, kesultanan Mughal diperintah oleh generasi-generasi yang lemah.
Sampai tahun 1858 M, sultan-sultan Mughal tidak mampu lagi mengendalikan
wilayah yang cukup luas dan kekuatan lokal Hindu yang cukup dinamis, disamping
karena konflik diantara mereka sendiri yang berebut kekuasaan.
Di antara sultan-sultan
itu adalah Bahadur Syah (1707-1712
M), Azimusyah (1717-1713 M), Farukh Siyar (1716-1719 M), Muhammad Syah (1719-1748 M). Sekalipun
pada periode ini dilakukan restotarsi, tetap saja tidak bisa mengembalikan
kewibawaan Ahmad Syah (1748-1754 M),
Alamghir II (1754-1759 M), Syah Alam (1761-1806 M) dan Akbar II (1806-1837 M).
Pada masa Akbar II,
diberikan kesempataan pada koloni dagang Inggris (EIC) untuk menggunakan
tanah-tanah yang merdeka dengan jaminan para sultan mendapat dana untuk
menghidupi kegiatan istana. Ketika organisasi dagang ini mengalami berbagai
kerugian, pihak Inggris mengambil pajak langsung kepada seluruh rakyat India
atas jaminan sultan.
Akhirnya, terjadi
pemberontakan di berbagai wilayah. Hingga akhirnya Akbar II (1806-1837 M) digantikan
oleh Bahadur Syah (1837-1858 M) dan
mengorganisasi rakyat untuk melawan koloni Inggris, akan tetapi kareana bantuan
raja-raja Hindu, Inggris dapat mematahkan perlawanan mereka yang berakhir
dengan ditawan dan diasingkannya Bahadur Syah II pada tahun 1858.[9]
2.
MASA KEJAYAAN KERAJAAN MUGHAL
Masa
kejayaan Mughal dimulai pada masa pemerintahan Akbar (1556-1605). dan tiga raja
penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), Aurangzeb
(1658-1707 M). Setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan
oleh raja-raja berikutnya.
Akbar
menggantikan ayahnya, pada saat ia berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan
kerajaan diserahkan kepada Bairam Kahan, seorang Syi’i. Pada masa pemerintahannya,
Akbar melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan
Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab.
Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang menguasai Gwalior
dan Agra.
Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan sehingga terjadilah peperangan
dahsyat, yang disebut Panipat I tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap
kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai
penuh (Mahmudunnasir, 1981:265-266).
Setalah
Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai
pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan
memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah
persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia
dapat menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat,
Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah.
Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik (Mujib,
1967:254-255).
Hal itu
membuat kerajaan Mughal menjadi sebuah kerajaan besar. Wilayah Kabul dijadikan
sebagai gerbang ke arah Turkistan dan kota Kandahar sebagai gerbang ke arah Persia. Akbar berhasil menerapkan
bentuk politik sulakhul (toleransi universal), yaitu politik yang
mengandung ajaran bahwa semua rakyat India sama kedudukannya, tidak dapat
dibedakan oleh etnis atau agama.
Keberhasilan
yang dicapai Akbar dapat dipertahankan oleh penerusnya yang bernama Jehangir,
Syah Jehan dan Aurangzeb yang mana mereka memang terhitung raja-raja yang besar
dan kuat. Segala macam pemberontakan dapat dipadamkan, sehingga rakyat merasa aman
dan damai.
Pada masa
Syah Jehan banyak pendatang Portugis yang bermukim di Hugli Bengala, menyalahgunakan
kepercayaan yang diberikan kepada mereka dengan jalan menarik pajak dan
menyebarkan agama KRISTEN. Kemudian Syah Jehan meninggal pada tahun 1658 M dan terjadinya
perebutan tahta kerajaan di kalangan istana.
Mughal
terpecah menjadi beberapa bagian. Shuja menobatkan dirinya sebagai Raja di Bengala.
Murad menobatkan dirinya sebagai Raja di Ahmadabad. Shuja bergerak memasuki
pemerintahan di Delhi.
Namun pasukan Aurangzeb berhasil mengalahkannya pada tahun 1658 M. kemudian
Aurangzeb memerangi pasukan Murad dan dimenangkan oleh Aurangzeb. Oleh karena
itu, Aurangzeb secara resmi dinobatkan menjadi Raja Mughal.
Langkah
pertama yang dilakukan oleh Aurangzeb menghapuskan pajak, menurunkan bahan
pangan dan memberantas korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku di
India
yang dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707
M.
Selama
satu setengah abad, India
di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu negaraadikuasa. Ia menguasai
perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran barang-barangnya yang mencapai
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina. Selain itu, India juga memiliki pertahanan
militer yang tangguh yang sukar ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.
Kemantapan
stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar membawa
kemajuan dalam bidang-bidang yang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal
dapat mengembangkan program pertanian, perrtambangan dan perdagangan. Akan tetapi,
sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian.
Di
samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu di ekspor ke Eropa, Afrika,
Arabia dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian
tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang banyak di produksi di Bengal dan
Gujarat. Untuk meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan
Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat (Mujib, 1967:256).
Bersamaan
dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya
seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya sastra gubahan penyair
istana, berbahasa Persia dan
India.
Penyair India
yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, dengan karyanya berjudul Padmavat,
sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia (Holt,
1977:57). Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl dengan
karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah
kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya.
Karya
seni yang dapat dinikmati sampai sekarang dan merupakan karya seni terbesar
yang dicapai oleh kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan.
Pada masa Akbar di bangun istana Fatpur Sikri di Sikri, Villa dan masjidmasjid yang
indah. Pada masa Syah Jehan dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal
di Agra, masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore (Ikram, 1967:247).
3.
MASA KEMUNDURAN DAN PENYEBABNYA
Setelah
satu setengah abad Dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para
pelanjut Aurangzeb tidak sanggup
mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada
abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran, kekuasaan politiknya
mulai merosot, suksesi kepemimpinan di pusat menjadi ajang perebutan, gerakan
separatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian
timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu para pedagang Inggris yang
diijinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh
kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa
Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul,
tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb
yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya
rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal
Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb
yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.
Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut
aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima
tahun, ia dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau
memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka (Ikram, 1967:254-255).
Setelah
Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan
kekuasaan di kalangan keluarga istana, Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus
Syah. Akan tetapi, pemerintahannya ditantang oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan,
Wazir Aurangzeb. Azimur Syah meninggal tahun 1712 M, dan diganti oleh putranya,
Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri.
Jihandar Syah dapat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh
Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi ia
tewas di tangan para pendukungnya sendiri (1719M). Sebagai penggantinya
diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun ia dan pendukungnya terusir oleh
suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil
melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan
kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali
memberikan bantuan kepada pemberontak
Afghan di daerah Persia (Hamka, 1981:163). Oleh karena
itu, pada tahun 1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan
Mughal.
Muhammad
Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah
kembali berkuasa di Delhi,
setelah ia bersedia memberi hadiah yang sangat banyak kepada Nadir Syah.
Kerajaan Mughal baru dapat melakukan restorasi kembali, terutama setelah
jabatan wazir dipegang oleh Chin Qilich Khan yang bergelar Nizam al-Mulk
(1722-1732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi tahun 1732 M,
Nizam al-Mulk meninggalkan Delhi
menuju Hiderabad dan menetap disana.
Konflik-konflik
yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah.
Pemerintahan daerah satu persatu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat,
bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahananya masing-masing. Hiderabad dikuasai
Nizam al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan
sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab
dikuasai oleh kelompok Sikh. Oudh dikuasai oleh Sadat Khan, Bengal dikuasai
oleh Syuja’ al- Din, menantu Mursyid Qulli, penguasa Bengal
yang diangkat Aurangzeb. Sementara wilayahwilayah pantai banyak yang dikuasai
para pedagang asing, terutama EIC dari Inggris (Panikar, 1957:187).
Setelah
Muhamamd Syah meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh Ahmad Syah (1748-1754 M)
kemudian diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759 M), dan kemudian diteruskan
oleh Syah Alam (1761-1806 M). Pada tahun 1761 M, kerajaan Mughal diserang oleh
Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu
Mughal berada di bawah kekuasaan Afghan. Meskipun Syah Alam tetap diijinkan memakai
gelar sultan.
Ketika
kerajaan Mughal memasuki keadaan yang lemah seperti ni, pada tahun itu juga,
perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata melawan pemerintah
kerajaan Mughal. Peperangan berlangsung berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat
perjanjian damai dengan menyerahkan Qudh, Bengal
dan Orisa kepada Inggris (Hamka, 1981:163). Sementara itu, Najib al-Daula,
wazir Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu, sehingga Delhi di kuasai oleh Sindhia dari Marathas.
Akan tetapi Sindhia dapat dihalau kembali oleh Syah Alam dengan bantuan Inggris
(1803 M) ((Ikram, 1967:286).
Syah Alam
meninggal tahun 1806 M. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II
(1806-1837 M). Pada masa pemerintahannya Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk
mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan
Inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga
istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun
kedudukan dan gelar sultan dipertahankan. Bahadur Syah (1837-1858 M), penerus
Akbar, tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga
terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut.
Pada
waktu yang sama, pihak EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan administrasi
perusahaan yang kurang efisien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan
istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC
mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung
kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu
maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur
Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan
kerajaan Mughal di India. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India
terhadap kekuatan
Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Perlawanan
mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari
beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman
yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota
Delhi.
Rumah-rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir,
diusir dari istana (1858M). Dengan demikian berakhirlah sejarah kekuasaan Dinasti
Mughal di daratan India
dan tinggallah disana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi
mereka.
Adapun urutan-urutan penguasa
kerajaan Mughal sebagai berikut:
1. Zahiruddin Babur (1482-1530 M)
2. Humayun (1530-1539 M)
3. Akbar Syah I (1556-1605 M)
4. Jehangir (1605-1628 M)
5. Syah Jehan (1628-1658 M)
6. Aurangzeb (Alamgir I) (1658-1707
M
7. Muazzam (Bahadur Syah I)
(1707-1712 M)
8. Azimus Syah (1712 M)
9. Jihandar Syah (1712 M)
10. Farukh Siyar (1713-1719 M)
11. Muhammad Syah (1719-1748 M)
12. Ahmad Syah (1748-1754 M)
13. Alamghir II (1754-1759 M)
14. Syah Alam II (1759-1806 M)
15. Akbar II (1806-1837 M)
16. Bahadur Syah II (1837-1858 M)
PENYEBAB KEMUNDURAN KERAJAAN MUHAL
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan Dinasti Mughal ini mundur pada satu
setengah abad terakhir, dan membawa kehancuran pada tahun 1858 M adalah:
1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga
operasi militer Inggris di wilayah-wilayah
pantai tidak dapat segera di pantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan
pasukan darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persejataan
buatan Mughal itu sendiri.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang
mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau kasar dalam melaksanakan
ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar agama
sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4. Semua pewaris kerajaan pada masa terakhir adalah orang-orang
lemah dalam bidang kepemimpinan, sehingga tidak mampu menangani kemerosotan
politik dalam negeri.
5. Banyak terjadinya pemberontakan sebagai akibat dari lemahnya para
pemimpin
kerajaan
Mughal setelah kepemimpinan Aurangzeb, sehingga banyak wilayah-wilayah kerajaan
Mughal yang terlepas dari kekuasaan Mughal. Adapun pemberontakan-pemberontakan
tersebut antara lain:
a. Kaum Hindu yang dipimpin oleh Banda berhasil merebut Sadhura,
letaknya di sebelah
utara Delhi dan juga kota Sirhind.
b. Golongan Marata yang dipimpin oleh Baji Rao dan berhasil merebut
wilayah Gujarat.
c. Pada masa pemerintahan Syah Alam terjadi beberapa serangan dari
pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani. Syah Alam mengalami kekalahan dan Mughal jatuh pada kekuasaan Afghanistan.
BAB III
KESIMPULAN
Mughal adalah kerajaan islam yang
berdiri pada masa-masa akhir kejayaan Islam. Kerjaan ini berdiri hampir
bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani dan Syafawi yang didirikan oleh
keturunan bangsa Mongol setelah memeluk agama Islam yaitu Zahiruddin Babur.
Dalam perkembangannya Mughal mengalami pasang-surut dalam pemerintahannya.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Akbar. Namun
masa sesudah Akbar kerajaan ini semakin merosot dan lebih parah setelah
meninggalnya Aurangzeb. Hal ini disebabkan karena raja-raja yang memerintah
sudah tak memiliki jiwa kepemimpinan dan adanya saling berebut kekuasaan.
Selain itu juga karena kedatangan bangsa portugis dan inggris.
Akhirnya selesai sudah perjalanan kekuasaan Islam
di Asia. Dan dalam selanjutnya kekuasaan Islam tinggallah negara-negara kecil
yang mulai hilang pengaruhnya dan mengalami ketertindasan oleh bangsa lain
terlebih-lebih penindasan oleh penjajah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S. 2003. Rekonstruksi Sejarah Islam. Yigyakarta: Fajar Pustaka
Baru
Hamka, PROF. DR. ___. Sejarah Umat Islam III. Jakarta: Bulan Bintang
Lapidus, Ira. M. 2000.Sejarah Sosial Umat
Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mubarok, Jaih, 2008.
Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Islamika
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Yatim, Badri, M.A, Dr. 2006. Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
[1] Badri Yatim, loc. Cit.,
hlm. 149.
[2] Mengenai gagasan perkawinan ini ia sendir
menikah dengan puteri raja-raja Hindu. Dengan cara ini Akbar bisa menarik
simpati kalangan masyarakat Hindu dan ia dianggap sebagai pahlawan bagi
kelompoknya.
[3] Jahid Haji Sidek, Strategi Menjawab Sejarah Islam, (Kuala Lumpur: Nuirin Interpriese,
1984), hlm 234-235.
[4] Amir K. Ali, loc.
Cit., hlm. 355.
[5] Sayid S. Alwy, loc. Cit., hlm.
245-249.
[6] Jahid Haji Sidek, loc. Cit. hlm.
245-249.
[7] Inilah karya yang monumental dalam perkembangan arsitektur islam.
[8] Motif pembunuhan ini masih
diperdebatkan oleh kalangan ahli sejarah apakah karena ingin menegakkan islam
atau hanya jarena ingin kekuasaan.
[9] Badri Yatim, Loc., Cit hlm.
159-162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar