Jumat, 26 Oktober 2012

KERAJAAN MUGHAL DI INDIA (SPI)



KERAJAAN MUGHAL DI INDIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
            Islam mengalami naik turun dalam sejarah perjalanannya. Ada kalanya Islam mengalami kejayaan dan ada kalanya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan seiring dengan berjalannya waktu dan pertikaian perpolitikan dalam pemerintahan Islam sendiri serta adanya akibat dari luar seperti serangan bangsa lain.
            Islam dirintis oleh Nabi Muhammad SAW dari tanah Arab. Kemudian berkembang sampai ke seluruh pelosok dunia. Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa bani Umayyah dan bani Abbasiyah. Dan setelah itu Islam mengalami kemunduran sampai munculnya kembali tiga kerajaan besar pada abad-abad sesudahhya. Tiga kerajaan itu adalah kerajaan Usmani, kerajaan Syafawi, dan kerajaan Mughal.
            Pada masa tiga kerajaan ini, Islam kembali bangkit dari keterpurukan. Tapi kebangkitan ini bukan didirikan oleh orang-orang Arab, melainkan oleh bangsa lain, terutama kerajaaan Mughal. Kerajaan ini justru didirikan oleh keturunan bangsa yang telah menghancurkan Islam pada masa pemerintahan Abbasiyah.
            Berdasarkan permasalahan diatas penulis akan membahas seluk beluk kerajaan Mughal yang merupakan kerajaan besar Islam yang terakhir. Sehingga diharapkan pembaca memahami bagaimana sejarah Islam pada masa akhir yang terletak di tanah India yang keadaannya adalah daerah tempat lahirnya agama Budha dan agama Hindu.
2.      RUMUSAN MASALAH
            Bagaimana asal-usul kerajaan Mughal?
            Bagaimana keadaan kerajaan Mughal pada masa kejayaanya?
            Bagaimana keadaan dan apa penyebab kemunduran kerajaan Mughal?
3.      TUJUAN
            Mengetahui asal-usul kerajaan Mughal
            Mengetahui keadaan kejayaan kerajaan Mughal
            Mengetahui keadaan dan penyebab kemunduran kerajaan Mughal
BAB II
PEMBAHASAN

1.  ASAL-USUL KERAJAAN MUGHAL
Jatuhnya Kota Baghdad ke dalam kekuasaan Hulako dalam tahun 656 H adalah permulaan masa Mughol dalam sejarah Islam sedang menurun. Masa yang tidak menggembirakan ini, berakhir dengan masuknya tentara Usmani ke Mesir dibawah pimpinan Sultan Al Fatih pada tahun 923 H.
Kekuasaan Mughol membujur dari perbatasan India di sebelah timur, sampai keperbatasan Syria di sebelah barat, dan pernah turunan Persia dan turunan Arab menguasai Persia dan Irak dalam waktu singkat. Irak dan Persia berada dibawah kekuasaan Daulah Elkhaniyah (turunan Mughol) yang kemudian berpindah kekuasaan Daulah Timuriyah yang juga keturunan Mughol.
Kerajaan Mughal berdiri seperempat abad sesudah berdirinya kerajaan Safawi. Kerajaan Mughal bukanlah kerajaan Islam pertama di anak benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa Khalifah al-Walid, dari Dinasti Bani Umayyah. Penaklukkan wilayah ini dilakukan oleh tentara Bani Umayyah di bawah pimpinan Muhammad ibn Qasim (Mahmudunnasir, 1981:163).
Pada fase desintegrasi, Dinasti Ghaznawi mengembangkan kekuasaannya di India dibawah pimpinan Sultan Mahmud dan pada tahun 1020 M, ia berhasil menaklukkan seluruh kerajaan Hindu di wilayah ini, sekaligus mengislamkan sebagian masyarakatnya (Mahmudunnasir, 1981:163). Setelah Dinasti Ghaznawi hancur, muncul Dinasti-Dinasti kecil seperti Mamluk (1206-1290 M), Khalji (1296-1316 M), Tuglug (1320-1412 M) dan Dinasti-Dinasti lain (Nasution, 1985:82).
Mughal merupakan kerajaan Islam di anak benua India, dengan Delhi sebagai ibukotanya, berdiri antara tahun 1526-1858 M. Dinasti Mughal di India didirikan oleh seorang penziarah dari Asia tengah bernama Zahiruddin Muhammad Babur (1482-1530 M), salah satu cucu dari Timur Lenk dari etnis Mongol, keturunan Jengis Khan yang telah masuk Islam dan pernah berkuasa di Asia Tengah pada abad ke 15. Kerajaan ini berdiri pada saat di Asia kecil berdiri tegak sebuah kerajaan Turki Usmani dan di Persia kerajaan Safawi. Ketiganya pada saat yang sama menjadi sebuah negara-negara adikuasa di Dunia. Mereka juga menguasai perekonomian, politik serta militer dan mengembangkan kebudayaan.
Ayahnya bernama Umar Mirza, penguasa Ferghana. Babur mewarisi daerah Ferghana dari orang tuanya dari orang tuanya ketika ia masih berusia 11 tahun. Setelah naik tahta ia mencanangkan obsesinya untuk menguasai seluruh Asia Tengah, sebagaimana Timur Lenk tempo dulu. Namun, ambisinya itu terhalang oleh kekuatan Urbekiztan, dan mengalami kekalahan Namun berkat bantuan Ismail I (1500-1524 M), raja Safawi, Babur dapat menguasai Samarkand tahun 1494 M. Pada tahun 1504 M, ia menduduki Kabul, ibukota Afganistan.
Dari sini ia memperluas kekuasaannya ke sebelah Timur (India). Saat itu, Ibrahim Lodi, penguasa India, di landa krisis sehingga stabilitas pemerintahan menjadi kacau. Daulah Khan, Gubernur Lahore dan Alam Khan, paman Ibrahim sendiri melakukan pembangkangan pada tahun 1524 terhadap pemerintahan Ibrahim Lodi, dan meminta bantuan Babur untuk merebut Delhi. Tiga kekuatan itu bersatu untuk menyerang kekuatan Ibrahim, tetapi gagal memperoleh kemenangan. Mereka melihat bahwa Babur tidak sungguh-sungguh membantu mereka.
Ketidak seriusan Babur menimbulkan kecurigaan di mata Daulah Khan dan Alam Khan, sehingga keduanya berbalik menyerang Babur. Kesempatan itu tidak disia-siakan Babur, ia berusaha keras untuk mengalahkan gabungan dua kekuatan tersebut. Daulah Khan dan Alam Khan dapat dikalahkan, Lahore dikuasainya pada tahun 1525 M. Dari Lahore ia terus bergerak ke selatan hingga mencapai Panipat. Di sinilah ia berjumpa dengan pasukan Ibrahim maka terjadilah pertempuran yang dahsyat. Ibrahim beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam pertempuran itu (Holt, 1970:22). Babur memperoleh kemenangan yang amat dramastis dalam pertempuran Panipat I (1526 M) itu, karena hanya dengan didukung 26.000 personel angkatan perang, ia dapat melumpuhkan kekuatan Ibrahim yang di dukung oleh 100.000 personel dan 1.000 pasukan gajah. Babur memasuki kota Delhi sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahannya disana. Dengan demikian berdirilah kerajaan Mughal di India.
1.                  Pemerintahan Babur
Pemerintahan ini diwarnai masa konsolidasi kekuasaan dengan mewarisi pemerintahan sebelumnya. Pada masa ini raja-raja Hindu Rajputh (seperti Rana Sanga) di seluruh India bangkit kembali mencoba melepaskan diri dari kekuasaan Islam. Proklamasi 1526 M yang dikumandangkan Babur mendapat tantangan dari Rajput dan Rana Sanga didukung oleh para kepala suku India tengah dan umat Islam setempat yang belum tunduk pada penguasa yang baru tiba itu, sehingga ia harus berhadapan langsung dengan dua kekuatan sekaligus. Tantangan tersebut dihadapi Babur pada tanggal 16 Maret 1527 M di Khanus dekat Agra. Babur memperoleh kemenangan dan Rajput jatuh ke dalam kekuasaannya.
Setelah Rajput dapat ditundukkan, konsentrasi Babur diarahkan ke Afganistan, yang saat itu dipimpin oleh Mahmud Lodi saudara Ibrahim Lodi. Kekuatan Mahmud dapat dipatahkan oleh babur tahun 1529 M sehingga Gogra dan Bihar jatuh ke bawah kekuasaannya. Dengan demikian, masa pemerintahan Babur ditandai oleh dua persoalan besar, yakni bangkitnya kerajaan-kerajaan Hindu dan munculnya penguasa Muslim yang tidak mengakui pemerintahannya di Afghanistan ada tahun 1530 M Babur meninggal Dunia dalam usia 48 tahun setelah memerintah selama 30 tahun, dengan meninggalkan kejayaan-kejayaan yang cemerlang. Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh anaknya sulungnya Humayun.
2.                  Pemerintahan Humayun
Ia memerintah antara tahun 1530-1539 M dan 1555-1556 M. Periode pemerintahannya banyak diwarnai kerusuhan dan berbagai pemberontakan. Hal ini dimungkinkan karena usia pemerintahan yang diwariskan ayahnya masih relatif masih muda dan belum stabil, seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Diantara tantangan yang muncul adalah pemberontakan Bahadur Syah, penguasa Gujarat yang memisahkan diri dari Delhi. Pemberontakan ini dapat dipadamkan. Bahadur Syah melarikan diri dan Gujarat dapat dikuasai. Salah satu dinasti dari Afghanistan yang saat itu diperintah Sher Khan. Suri menginvasinya pada tahun 1539 M ke pusat pemerintahan Humayun di Delhi.
Pasukan Humayun hancur dan negar dalam kondisi tak menentu. Akan tetapi, Humayun dapat meloloskan diri ke Kandahar lalu ke Persia dan diterima denga baik oleh Sultan Safawi, Shah Tahmasph. Di sinilah ia mengenal tradisi Syiah bahkan sering dibujuk untuk memasukinya, termasuk anaknya Jalaludin Muhammad Akbar.
Disini pula ia membangun kembali kekuatan militer yang telah hancur, dan berkat bantuan Shah Tahmasph yang memberinya pasukan militer sebanyak 12000 tentara kemudian terkumpul seluruhnya sebanyak 14000 orang. Humayun kembali mencoba merebut kekuasaannya di Delhi.
Pada tahun  1555 M ia menyerbu Delhi yang saat itu diperintah Sikandar Sur. Akhirnya, ia bisa memasuki kota ini dan ia bisa memerintah kembali sampai pada tahun 1556 M, ia meninggal dunia karena terjatuh dari tangga perpustakaanya, Din Panah (Mahmudunnasir, 1981:265-266). dan digantikan oleh anaknya Jalaludin Muhammad Akbar.

3.                  Pemerintahan Akbar
Sultan Akbar terkenal dengan gagasan-gagasannya yang sangat radikal dan liberal baik dalam aspek sosial atau pemikiran keagamaan. Masa pemerintahannya sangat berhasil dan cukup stabil bahkan wilayah-wilayah kekuasaannya semakin luas seperti Chundar, Ghond, Chitor, Rantabar, Surat, Behar, Bengal, Kashmir, Orissa, Dekan, Gawilghard, Narhala, Alamghar dan Asirghar.[1]
Kebijakan politiknya yang paling berani adalah menyingkirkan Bairan Syah, penasihat politik Syiah yang dipercayai Humayun. Kebijakan lainnya adalah menata sistem pemerintahannya dengan sistem militer termasuk ke seluruh wilayah taklukannya. Pemerintahan daerah dipegang oleh seorang shipar salar jenderal atau kepala komandan dan sub-distrik oleh faujdar (komandan), termasuk jabatan-jabatan sipil selalu diberi jenjang kepangkatan bercorak militer.
Dasr-dasar kebijakan sosialnya dengan politik sulakhul (toleransi universal). Dengan cara ini, semua rakyat dipandang sama, mereka tidak dibedakan sama sekali oleh ketentuan agama atau lapisan sosial, diantara reformasi itu adalah:
a.                   Menghapuskan jizyah bagi non muslim;
b.                  Memberikan pelayanan pendidikan dan pengajaran  yang sama bagi setiap masyarakat, yakni dengan mendirikan madrasah-madrasah dan memberi tanah-tanah waqaf bagi lembaga-lembaga sufi berupa iqtha atau madad ma’a sy;
c.                   Membentuk undang-undang perkawinan baru, diantaranya melarang orang-orang kawin muda, berpoligami bahkan ia menggalakkan kawin campur antaragama. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, stabilitas dan integrasi masyarakat Muslim dan non-Muslim;[2]
d.                  Menghapuskan pajak-pajak pertanian terutama bagi petani-petani miskin sekalipun non-Muslim;
e.                   Menghapuskan tradisi perbudakan yang dihasilkan dari tawanan perang dan mengatur khitanan anak-anak.
Aspek penting lainnya dari pembaruannya adalah menciptakan Din Ilahy yang ciri-ciri pentingnya adalah:
a.                  Percaya pada keesaan Tuhan;
b.                  Akbar sebagai khalifah Tuhan dan seorang padash (al-insan al-kamil); ia mewakili Tuhan dimuka bumi dan selalu mendapat bimbingan langsung dari Tuhan; ia terma’shum dari segala kesalahan;
c.                   Semua pemimpin agama harus tunduk dan sujud pada Akbar;
d.                  Sebagai manusia padash, ia berpantangan memakan daging (vegetarian);
e.                   Menghormati api dan matahari sebagi simbol kehidupan;
f.                    Hari ahad sebagai hari resmi ibadah;
g.                  “Assalamualaikum” diganti “Allahu Akbar” dan “Alaikum salam” diganti “jalla jalalah.”[3]
Di antara faktor-faktor yang mendorong Sultan Akbar menciptakan : ”Din  Ilahy” adalah sebagai berikut:
a.                   Para ulama dan pemimpin agama saling berbeda pendapat mengenai masalah-masalah keagamaan. Mereka saling mengecam dan berpecah-belah;
b.                  Keadaan rakyat dan penganut agama-agama di india semakin fanatik karena pengaruh tokoh-tokoh agama, bahkan rakyat tidak sedikit saling bertikai;
c.                   Pengaruh penasihat-penasihat agama dan politik Sultan Akbar, diantaranya Abu Fadhl, Mir Abdul Lathif (Persia) dan Syaikh Mubaraq yang membiarkan bahkan tidak jaranag mendorong Akbar berpikir bebas dan radikal.
Kebijakan-kebijakan itu pada umumnya lebih mementingkan persatuan politik, sekalipun dengan banyak mengorbankan nilai-nilai syariah Islam. Inilah periode “sinkretik” membumi di India; suatu usaha “pemerintahan Islam” untuk bisa diterima di kalangan rakyat India. Sultan akbar ingin menembus batas-batas terdalam tradisi Hinduistik dan agama-agama lain di di India. Ia meninggal pada tahun 1605 M setelah menderita sakit yang cukup parah. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dapat dipertahanakan oleh sultan-sultan selanjutnya , antara lain Jahangir (1605-1627 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb (1659-1707 M). Ketiganya merupakan sultan-sultan besar Mughal yang didukung dengan berbagai kecakapan dan kekuatan militer.[4] Setelah kepemimpinan mereka, sulit ditemukan sultan-sultan yang tangguh.

4.                  Pemerintahan Jahangir
Periode Jahangir (1605-1627 M) adalah masa-masa stabil. Karena ia memerintah dengan pandangan yang pragmatis dalam melihat sebuah fungsi kepemimpinan. Menurutnya, kedaulatan raja adalah pemberian Tuhan. Dengan demikian, tidak begitu penting menjalankankan hukum Tuhan (syariah).
Yang diperlukan adalah bagaimana memelihara kelestarian kehidupan duniawi ini, dan tuhan memilih seorang pemimpin sesuai dengan posisi kewibawaan yang dimiliki pemimpin itu. Teori-teori kenegaraan pada masa Jahangir ini menggunakan konsep Perso-Islamic yang banyak digunakan Nizham Al-Mulk dan Al-Ghazali di Baghdad.
Namun hukum islam hanya diterapkan sebatas pada lembaga pengadilan saja seperti pada masa ayahnya, Akbar. Dalam kasus umum, hukum islam hanya berlaku bagi umat islam, sedangkan hukum kriminal berlaku bagi sebelumnya. Jahangir adalah sultan yang toleran dan sekuler serta punya kebijakan-kebijakan politik yang liberal, seperti yang diteladani daari ayahnya.
Kegiatan politiknya telah menghasilkan warna budaya “Indo-Islam.” Ia memilki penasihat politik seperti Muhammad Baqir Najm-i Sani, seorang ulama dan prajurit yang gagasan-gagasannya dituangkan dalam kitab Mauidzah-I Jahangir dengan pendekatan yang sangat pragmatik dalam menangani segala persoalan politik, ditulis sejak tahun 1612 M. Penasihat lainnya adalah Qodi Nuruddin aakhaqany yang menulis Akhlaqi jahangir ditulis tahun 1622 M. Ia seorang yang alim dan ahli hukum.[5]

5.                  Pemerintahan  Syah Jehan
Ia melanjutkan pemerintahan Jahangir. Pada periode ini kondisi negara-negara betul-betul sangat stabil dan mengalami puncak keemasan yang luar biasa diantara kesultanan Mughal, kecuali pada periode Akbar dan setelah Syah jehan, Aurangzeb.
Karena pada periode ini dikembangkan kembali penaklukan wilayah sampai melampaui batas-batas India , seperti Kandahar, Balkh, Badkhsan dan Samarkand. Kesan-kesan keberhasilannya diwarnai dengan suksesnya menata politik kenegaraannya. Pembangunan ekonomi dimulai dari pengembangan sistem irigasi di Rav sepanjang 98 km wilayah pertanian subur.  Sistem perdagangannya ia kembangkan dengan sistem ekspor-impor dari industri-industri yang dikembangkannya seperti tekstil, keramik dan kerajinan tangan lainnya.[6]
Pos-pos perdagangan dibangkitkan kembali, sistem penataan sosial lebih banyak melestarikan para pendahulunya. Keamanan pada periode ini jauh lebih baik dibandingkan periode-periode sebelumnya, bahkan portugis yang mulai singgah di perairan India dapat diusirnya.
Dibidang kebudayaan menunujukkan suatu atmosfer yang sangat gemilang; sebagai puncak masa kemakmuran antara perpaduan Turki-Mongol, Persia dan India; yang terlihat pada bangunan-bangunan Tajmahal, masjid-masjid dan lain sebagainya.[7]
Faktor-faktor yang mendorong puncak kemajuannya adalah sebagai berikut:
1.                  Syah Jehan adalah seorang yang terpelajar, ia memiliki bakat kepemimpinan dan memiliki jiwa intelektual dan seni;
2.                  Kondisi sosial-politik sangat stabil- mewakili kondisi sebellumnya. Kemakmuran dibidang ekonomi dan dukungan rakyat yang sangat simpatik.
3.                  Memberikan penghargaan yang luar biasa kepada para ilmuwan dan ahli seni dan bangunan. Ia sebagai pelindung dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya. Ia peminat lukisan, pandai menyanyi dan peminat karya-karya kesusastraan.
Secara umum (terutama di akhir-akhir kekuasaannya) ada dua kebijakan secara keseluruhan yang dimainkan oleh kedua orang putranya, Darsyikuh dan Aurangzeb.
Darsyikuh lebih berpikiran universal, yakni lebih banyak menggunakan hukum-hukum Hindu bila dalam Alquran tidak ditemukan dibandingkan hasil-hasil ijtihad para ulama saat itu. Sedangkan Aurangzeb lebih menekankan tradisi keislaman (nilai-nilai syariah, tradisional). Dan pada akhirnya Darsyikuh dibunuh oleh Aurangzeb dan ayahnya, sedangkan Syah Jehan (ayahnya) dipenjarakan.[8] Selanjutnya Aurangzeb mewarisi kesultanan pada tahun 1658 M.

6.                  Pemerintahan Aurangzeb
Ternyata motif pengambilalihan kekuasaan lebih didasarkan atas kepentingan penyelamatan nilai-nilai syariah Islam, sekalipun tidak menutup kemungkinan faktor pribadi. Sepanjang masa pemerintahannya antara tahun 1658-1707 M, banyak mencapai keberhasilan seperti para pendahulunya; baik aspek ekonomi, sosial, politik dan agama.
Dalam penaklukan wilayah-wilayah baru keberhasilannya sangat luar biasa. Dibandingkan sultan Akbar yang hanya menguasai wilayah baru sebanyak 15 daerah, Aurangzeb bisa mencapai 21 daerah baru, 14 daerah di India Utara dan 6 di daerah Dekkan dan satu buah di Afghanistan.
Ia menerapkan nilai-nilai syariah yang ketat pada pemerintahannya yang pada periode-periode sebelumnya kurang begitu diperhatikan bahkan diabaikan sama sekali. Semangat politik islamnya didasarkan pada Alquran dan Sunnah serta dukungan para ulama sangat kuat, tetapi dilain pihak membuat kecemburuan.
Kaum Muslimin menganggap ia sebagai waliullah karena pembelaannya pada nilai-nilai syariah. Hal ini menjadi dukungan spiritual politik yang luar biasa. Sebaliknya orang-orang hindu fanatik menganggap ia sebagai pemimpin yang zalim walaupun masih banyak pula kelompok non-Muslim yang memberi dukungan karena keadilannya.
Dalam pandangannya, hanya islamlah yang dapat menyelesaikan berbagi masalah kehidupan. Oleh karena itu, undang-undang yang harus dipakai pemerintahan ialah undang-undang Islam. Ia menetapkan kembali peraturan jizyah yang telah dihapus Sultan Akbar 100 tahun silam. Karena hal itu merupakan suatu hal yang menyimpang  dan keluar dari garis keislaman.
Menghapuskan tradisi istana yang banyak diwarnai pola ke-mubadziran dan diganti pola yang islami sedemikian rupa, dengan melarang dan menghapuskan pusat-pusat minuman keras, nyanyian, musik dan berbagi persoalan yang  dipandang mubadzir menurut agama islam. Dalam hal ini ia menugaskan kementerian khusus guna mengawasi dan mensosialisasikan hukum-hukumn islam. Untuk itu ia membuat undang-undang dalam kitab Fatawa Alamngiri yang sangat terkenal.
Bahkan kebijakan lainnya yang sangat beranii adalah mengawasi perkembangan dan kegiatan-kegiatan agama lain di India, terutama Hndu sebagai agama mayoritasnya. Setiap kegiatan keagamaan harus ada izin sultan, sehingga tidak sedikit kuil-kuil Hindu yang selalu dislahgunakan untuk kegiatan-kegiatan politik dihancurkan olehnya.
Diantara berbagai kebijakan, ada yang melatarbelakangi bagi munculnya konflik, terutama diakhir-akhir pemerintahannya., yakni sebagai berikut:
1.                  Orang hindu dilarang mendirikan kuil-kuil baru. Tindakannya menghancurkan  kuil-kuil di Benares, Gujarat dan Orissa karena alasannya  sebagi sarang politik orang-orang Hindu telah menimbulkan kebangkitan dan kemarahan pengikut Hindu Rajput, Satnamis dan Jast untuk memberontak.
2.                  Penaklukan wilayah Dekkan telah menimbulkan dendam bagi orang-orang Syiah di sana sehingga gerakan yang dilakukan oleh mereka telah menyulitkan kerajaan Mughal untuk meneneramkannya
3.                  Aurangzeb tidak mempersiapkan penggantinya untuk meneruskan kesultanan Mughal kareana ia kesulitan memilih putra-putra mahkotanya. Hal ini disebabkan ia mengikuti jejak orang tuanya yang tidak pernah menunjuknya untuk memerintah.
4.                  Membuka jalur perdagangan  yang bebas termasuk dengan Inggris untuk memasuki wilayah India, di perairan Hungli dan Surat. Hal ini merupakan akar yang paling berbahaya terutama ketika memasuki kesultanan berikutnya yang lemah sedangkan Inggris sulit untuk dipatahkan.

7.                  Pemerintahan Pasca-Aurangzeb
Sepeninggal Aurangzeb tahun 1707 M, kesultanan Mughal diperintah oleh generasi-generasi yang lemah. Sampai tahun 1858 M, sultan-sultan Mughal tidak mampu lagi mengendalikan wilayah yang cukup luas dan kekuatan lokal Hindu yang cukup dinamis, disamping karena konflik diantara mereka sendiri yang berebut kekuasaan.
Di antara sultan-sultan itu adalah Bahadur Syah (1707-1712 M), Azimusyah (1717-1713 M), Farukh Siyar (1716-1719 M), Muhammad Syah (1719-1748 M). Sekalipun pada periode ini dilakukan restotarsi, tetap saja tidak bisa mengembalikan kewibawaan Ahmad Syah (1748-1754 M), Alamghir II (1754-1759 M), Syah Alam (1761-1806 M) dan Akbar II (1806-1837 M).
Pada masa Akbar II, diberikan kesempataan pada koloni dagang Inggris (EIC) untuk menggunakan tanah-tanah yang merdeka dengan jaminan para sultan mendapat dana untuk menghidupi kegiatan istana. Ketika organisasi dagang ini mengalami berbagai kerugian, pihak Inggris mengambil pajak langsung kepada seluruh rakyat India atas jaminan sultan.
Akhirnya, terjadi pemberontakan di berbagai wilayah. Hingga akhirnya Akbar II (1806-1837 M) digantikan oleh Bahadur Syah (1837-1858 M) dan mengorganisasi rakyat untuk melawan koloni Inggris, akan tetapi kareana bantuan raja-raja Hindu, Inggris dapat mematahkan perlawanan mereka yang berakhir dengan ditawan dan diasingkannya Bahadur Syah II pada tahun 1858.[9]

2.  MASA KEJAYAAN KERAJAAN MUGHAL
Masa kejayaan Mughal dimulai pada masa pemerintahan Akbar (1556-1605). dan tiga raja penggantinya, yaitu Jehangir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M), Aurangzeb (1658-1707 M). Setelah itu, kemajuan kerajaan Mughal tidak dapat dipertahankan oleh raja-raja berikutnya.
Akbar menggantikan ayahnya, pada saat ia berusia 14 tahun, sehingga seluruh urusan kerajaan diserahkan kepada Bairam Kahan, seorang Syi’i. Pada masa pemerintahannya, Akbar melancarkan serangan untuk memerangi pemberontakan sisa-sisa keturunan Sher Khan Shah yang berkuasa di Punjab. Pemberontakan lain dilakukan oleh Himu yang menguasai Gwalior dan Agra. Pemberontakan tersebut disambut oleh Bairam Khan sehingga terjadilah peperangan dahsyat, yang disebut Panipat I tahun 1556 M. Himu dapat dikalahkan dan ditangkap kemudian dieksekusi. Dengan demikian, Agra dan Gwalior dapat dikuasai penuh (Mahmudunnasir, 1981:265-266).
Setalah Akbar dewasa, ia berusaha menyingkirkan Bairam Khan yang sudah mempunyai pengaruh kuat dan terlampau memaksakan kepentingan aliran Syi’ah. Bairam Khan memberontak, tetapi dapat dikalahkan oleh Akbar di Jullandur tahun 1561 M.
Setelah persoalan dalam negeri dapat diatasi, Akbar mulai menyusun program ekspansi. Ia dapat menguasai Chundar, Ghond, Chitor, Ranthabar, Kalinjar, Gujarat, Surat, Bihar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan, Gawilgarh, Narhala, Ahmadnagar, dan Asirgah. Wilayah yang sangat luas itu diperintah dalam suatu pemerintahan militeristik (Mujib, 1967:254-255).
Hal itu membuat kerajaan Mughal menjadi sebuah kerajaan besar. Wilayah Kabul dijadikan sebagai gerbang ke arah Turkistan dan kota Kandahar sebagai gerbang ke arah Persia. Akbar berhasil menerapkan bentuk politik sulakhul (toleransi universal), yaitu politik yang mengandung ajaran bahwa semua rakyat India sama kedudukannya, tidak dapat dibedakan oleh etnis atau agama.
Keberhasilan yang dicapai Akbar dapat dipertahankan oleh penerusnya yang bernama Jehangir, Syah Jehan dan Aurangzeb yang mana mereka memang terhitung raja-raja yang besar dan kuat. Segala macam pemberontakan dapat dipadamkan, sehingga rakyat merasa aman dan damai.
Pada masa Syah Jehan banyak pendatang Portugis yang bermukim di Hugli Bengala, menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepada mereka dengan jalan menarik pajak dan menyebarkan agama KRISTEN. Kemudian Syah Jehan meninggal pada tahun 1658 M dan terjadinya perebutan tahta kerajaan di kalangan istana.
Mughal terpecah menjadi beberapa bagian. Shuja menobatkan dirinya sebagai Raja di Bengala. Murad menobatkan dirinya sebagai Raja di Ahmadabad. Shuja bergerak memasuki pemerintahan di Delhi. Namun pasukan Aurangzeb berhasil mengalahkannya pada tahun 1658 M. kemudian Aurangzeb memerangi pasukan Murad dan dimenangkan oleh Aurangzeb. Oleh karena itu, Aurangzeb secara resmi dinobatkan menjadi Raja Mughal.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Aurangzeb menghapuskan pajak, menurunkan bahan pangan dan memberantas korupsi, kemudian ia membentuk peradilan yang berlaku di India yang dinamakan fatwa alamgiri sampai akhirnya meninggal pada tahun 1707 M.
Selama satu setengah abad, India di bawah Dinasti Mughal menjadi salah satu negaraadikuasa. Ia menguasai perekonomian Dunia dengan jaringan pemasaran barang-barangnya yang mencapai Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Cina. Selain itu, India juga memiliki pertahanan militer yang tangguh yang sukar ditaklukkan dan kebudayaan yang tinggi.
Kemantapan stabilitas politik karena sistem pemerintahan yang diterapkan Akbar membawa kemajuan dalam bidang-bidang yang lain. Dalam bidang ekonomi, kerajaan Mughal dapat mengembangkan program pertanian, perrtambangan dan perdagangan. Akan tetapi, sumber keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor pertanian.
Di samping untuk kebutuhan dalam negeri, hasil pertanian itu di ekspor ke Eropa, Afrika, Arabia dan Asia Tenggara bersamaan dengan hasil kerajinan, seperti pakaian tenun dan kain tipis bahan gordiyn yang banyak di produksi di Bengal dan Gujarat. Untuk meningkatkan produksi, Jehangir mengizinkan Inggris (1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di Surat (Mujib, 1967:256).
Bersamaan dengan majunya bidang ekonomi, bidang seni dan budaya juga berkembang. Karya seni terbesar yang dicapai kerajaan Mughal adalah karya sastra gubahan penyair istana, berbahasa Persia dan India. Penyair India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayazi, dengan karyanya berjudul Padmavat, sebuah karya alegoris yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia (Holt, 1977:57). Pada masa Aurangzeb, muncul seorang sejarawan bernama Abu Fadl dengan karyanya Akhbar Nama dan Aini Akhbari, yang memaparkan sejarah kerajaan Mughal berdasarkan figure pemimpinnya.
Karya seni yang dapat dinikmati sampai sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai oleh kerajaan Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa Akbar di bangun istana Fatpur Sikri di Sikri, Villa dan masjidmasjid yang indah. Pada masa Syah Jehan dibangun masjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal di Agra, masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore (Ikram, 1967:247).

3.  MASA KEMUNDURAN DAN PENYEBABNYA
Setelah satu setengah abad Dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para
pelanjut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran, kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan di pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu para pedagang Inggris yang diijinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ia wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah (1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan penduduk Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi’ah kepada mereka (Ikram, 1967:254-255).
Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana, Bahadur Syah diganti oleh anaknya, Azimus Syah. Akan tetapi, pemerintahannya ditantang oleh Zulfiqar Khan, putra Azad Khan, Wazir Aurangzeb. Azimur Syah meninggal tahun 1712 M, dan diganti oleh putranya, Jihandar Syah, yang mendapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar Syah dapat disingkirkan oleh Farukh Siyar tahun 1713 M.
Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi ia tewas di tangan para pendukungnya sendiri (1719M). Sebagai penggantinya diangkat Muhammad Syah (1719-1748 M). Namun ia dan pendukungnya terusir oleh suku Asyfar di bawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya telah berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukkan kerajaan Mughal terutama karena menurutnya, kerajaan ini banyak sekali memberikan bantuan kepada pemberontak
Afghan di daerah Persia (Hamka, 1981:163). Oleh karena itu, pada tahun 1739 M, dua tahun setelah menguasai Persia, ia menyerang kerajaan Mughal.
Muhammad Syah tidak dapat bertahan dan mengaku tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi, setelah ia bersedia memberi hadiah yang sangat banyak kepada Nadir Syah. Kerajaan Mughal baru dapat melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir dipegang oleh Chin Qilich Khan yang bergelar Nizam al-Mulk (1722-1732 M) karena mendapat dukungan dari Marathas. Akan tetapi tahun 1732 M, Nizam al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabad dan menetap disana.
Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan terhadap daerah lemah. Pemerintahan daerah satu persatu melepaskan loyalitasnya dari pemerintah pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahananya masing-masing. Hiderabad dikuasai Nizam al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan pemerintahan sendiri di bawah pimpinan Jai Singh dari Amber, Punjab dikuasai oleh kelompok Sikh. Oudh dikuasai oleh Sadat Khan, Bengal dikuasai oleh Syuja’ al- Din, menantu Mursyid Qulli, penguasa Bengal yang diangkat Aurangzeb. Sementara wilayahwilayah pantai banyak yang dikuasai para pedagang asing, terutama EIC dari Inggris (Panikar, 1957:187).
Setelah Muhamamd Syah meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh Ahmad Syah (1748-1754 M) kemudian diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759 M), dan kemudian diteruskan oleh Syah Alam (1761-1806 M). Pada tahun 1761 M, kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal berada di bawah kekuasaan Afghan. Meskipun Syah Alam tetap diijinkan memakai gelar sultan.
Ketika kerajaan Mughal memasuki keadaan yang lemah seperti ni, pada tahun itu juga, perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata melawan pemerintah kerajaan Mughal. Peperangan berlangsung berlarut-larut. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai dengan menyerahkan Qudh, Bengal dan Orisa kepada Inggris (Hamka, 1981:163). Sementara itu, Najib al-Daula, wazir Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu, sehingga Delhi di kuasai oleh Sindhia dari Marathas. Akan tetapi Sindhia dapat dihalau kembali oleh Syah Alam dengan bantuan Inggris (1803 M) ((Ikram, 1967:286).
Syah Alam meninggal tahun 1806 M. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837 M). Pada masa pemerintahannya Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar sultan dipertahankan. Bahadur Syah (1837-1858 M), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara kedua kekuatan tersebut.
Pada waktu yang sama, pihak EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan administrasi perusahaan yang kurang efisien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan kerajaan Mughal di India. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuatan
Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi. Rumah-rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858M). Dengan demikian berakhirlah sejarah kekuasaan Dinasti Mughal di daratan India dan tinggallah disana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
Adapun urutan-urutan penguasa kerajaan Mughal sebagai berikut:
1. Zahiruddin Babur (1482-1530 M)
2. Humayun (1530-1539 M)
3. Akbar Syah I (1556-1605 M)
4. Jehangir (1605-1628 M)
5. Syah Jehan (1628-1658 M)
6. Aurangzeb (Alamgir I) (1658-1707 M
7. Muazzam (Bahadur Syah I) (1707-1712 M)
8. Azimus Syah (1712 M)
9. Jihandar Syah (1712 M)
10. Farukh Siyar (1713-1719 M)
11. Muhammad Syah (1719-1748 M)
12. Ahmad Syah (1748-1754 M)
13. Alamghir II (1754-1759 M)
14. Syah Alam II (1759-1806 M)
15. Akbar II (1806-1837 M)
16. Bahadur Syah II (1837-1858 M)

PENYEBAB KEMUNDURAN KERAJAAN MUHAL
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan Dinasti Mughal ini mundur pada satu setengah abad terakhir, dan membawa kehancuran pada tahun 1858 M adalah:
1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer    Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera di pantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persejataan buatan Mughal itu sendiri.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elite politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
3. Pendekatan Aurangzeb yang terlampau kasar dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
4. Semua pewaris kerajaan pada masa terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan, sehingga tidak mampu menangani kemerosotan politik dalam negeri.
5. Banyak terjadinya pemberontakan sebagai akibat dari lemahnya para pemimpin
kerajaan Mughal setelah kepemimpinan Aurangzeb, sehingga banyak wilayah-wilayah kerajaan Mughal yang terlepas dari kekuasaan Mughal. Adapun pemberontakan-pemberontakan tersebut antara lain:
a. Kaum Hindu yang dipimpin oleh Banda berhasil merebut Sadhura, letaknya di sebelah utara Delhi dan juga kota Sirhind.
b. Golongan Marata yang dipimpin oleh Baji Rao dan berhasil merebut wilayah Gujarat.
c. Pada masa pemerintahan Syah Alam terjadi beberapa serangan dari pasukan Afghanistan yang dipimpin oleh Ahmad Khan Durrani. Syah Alam mengalami kekalahan dan Mughal jatuh pada kekuasaan Afghanistan.















BAB III
KESIMPULAN

            Mughal adalah kerajaan islam yang berdiri pada masa-masa akhir kejayaan Islam. Kerjaan ini berdiri hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani dan Syafawi yang didirikan oleh keturunan bangsa Mongol setelah memeluk agama Islam yaitu Zahiruddin Babur. Dalam perkembangannya Mughal mengalami pasang-surut dalam pemerintahannya. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Akbar. Namun masa sesudah Akbar kerajaan ini semakin merosot dan lebih parah setelah meninggalnya Aurangzeb. Hal ini disebabkan karena raja-raja yang memerintah sudah tak memiliki jiwa kepemimpinan dan adanya saling berebut kekuasaan. Selain itu juga karena kedatangan bangsa portugis dan inggris.
Akhirnya selesai sudah perjalanan kekuasaan Islam di Asia. Dan dalam selanjutnya kekuasaan Islam tinggallah negara-negara kecil yang mulai hilang pengaruhnya dan mengalami ketertindasan oleh bangsa lain terlebih-lebih penindasan oleh penjajah.















DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S. 2003. Rekonstruksi Sejarah Islam. Yigyakarta: Fajar Pustaka Baru
Hamka, PROF. DR. ___. Sejarah Umat Islam III. Jakarta: Bulan Bintang
Lapidus, Ira. M. 2000.Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mubarok, Jaih, 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Islamika
Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Yatim, Badri, M.A, Dr. 2006. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada





[1] Badri Yatim, loc. Cit., hlm. 149.
[2] Mengenai gagasan perkawinan ini ia sendir menikah dengan puteri raja-raja Hindu. Dengan cara ini Akbar bisa menarik simpati kalangan masyarakat Hindu dan ia dianggap sebagai pahlawan bagi kelompoknya.
[3] Jahid Haji Sidek, Strategi Menjawab Sejarah Islam, (Kuala Lumpur: Nuirin Interpriese, 1984), hlm 234-235.
[4] Amir K. Ali,  loc. Cit., hlm. 355.
[5] Sayid S. Alwy, loc. Cit., hlm. 245-249.
[6] Jahid Haji Sidek, loc. Cit. hlm. 245-249.
[7] Inilah karya yang monumental dalam perkembangan arsitektur islam.
[8] Motif  pembunuhan ini masih diperdebatkan oleh kalangan ahli sejarah apakah karena ingin menegakkan islam atau hanya jarena ingin kekuasaan.
[9] Badri Yatim, Loc., Cit hlm. 159-162

Tidak ada komentar:

Posting Komentar