Sabtu, 04 Mei 2013

ANALISIS KEBIJAKAN HOMESCHOOLING



ANALISIS KEBIJAKAN HOMESCHOOLING
Pendidikan menjadi bagian penting ketika dipahami secara luas sebagai sebuah proses belajar yang berlangsung terus menerus sepanjang hayat. Proses tersebut terjadi alami baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pengalaman hidup sehari-hari. Bagi manusia, semua itu dilakukan untuk menyiapkan diri agar menjadi utuh, sehingga dapat menunaikan tugas hidupnya dengan baik dan wajar. Utuh dalam pengertian bahwa melalui pendidikan, manusia dapat menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk dapat terus bertahan hidup. Dengan demikian pendidikan bertujuan menggali dan mempertajam potensi keunikan pribadi agar dapat berguna bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Hal ini berarti pula bahwa pendidikan membantu manusia untuk menemukan potensi dan bakatnya serta berkembang sesuai dengan keunikan dan keahliannya masing-masing, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua orang. Untuk memenuhi hak tersebut orang tua merupakan orang utama dan pertama yang berkewajiban dalam memberikan pendidikan.
Kebutuhan pokok yang semakin meningkat membuat orang tua tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam mendidik anak, orang tua harus bekerja untuk membangun negara dan hidupnya. Negara memahami permasalahan tersebut kemudian membentuk sekolah publik agar anak-anak yang seharusnya dididik di rumah tetap mendapat hak dalam pendidikan. Sekolah juga mampu memenuhi kebutuhan pendidikan mendalam yang tidak mampu diberikan orang tua karena keterbatasan tertentu. Namun esensi dari pendidikan sebagai proses belajar mengoptimalkan potensi unik pribadi menjadi bias karena sekolah memiliki tujuan tertentu yang dikembangkan sesuai tujuan kelembagaan. Lulusan sekolah diharapkan terbentuk sesuai dengan tujuan kelembagaan tanpa melihat potensi unik pribadi yang seharusnya dikembangkan. Istilah bahwa sekolah merupakan proses pembodohan dan menghasilkan robot-robot kemudian menjadi citra sekolah sebagai pendidikan formal.
Beberapa anak mampu berkembang optimal di sekolah, namun sebagian lagi mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan anak masuk sekolah menurut John Holt dalam How Children Fail adalah karena ketakutan, kebosanan dan kebingungan. Rasa takut sebagai penyebab pertama mengandung arti anak takut dengan harapan-harapan orang tua yang sangat tinggi sehingga berada dalam tekanan. Akhirnya pendidikan dilakukan semata-mata untuk memenuhi harapan orang tua saja bukan untuk memenuhi kebutuhan anak untuk hidup. Penyebab kegagalan kedua adalah kebosanan karena kurikulum yang digunakan tidak relevan, tidak penting dan tidak menarik untuk anak. Kurikulum dibuat hanya berdasarkan acuan atau standar dari pemerintah, tidak melihat kebutuhan anak yang sesungguhnya. Penyebab ketiga adalah karena kebingungan. Hal ini terjadi karena apa yang diterima dan dipahami anak di sekolah tidak relevan dan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga anak tidak mampu menerapkan apa yang didapat dan diperoleh dari sekolah untuk hidup. Oleh karena itu pendidikan formal memiliki keterbatasan, sekolah tidak mampu menjangkau anak-anak dengan kebutuhan spesifik dan khusus yang sesuai dengan keunikannya. Pendidikan formal dengan segala keterbatasan membutuhkan jalur informal untuk menyempurnakan sehingga pendidikan layak dikatakan sebagai proses belajar.[1]
Kegagalan sekolah dalam membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan potensi dan bakat, mendorong orang tua untuk kembali ikut serta dalam pendidikan, mengingat bahwa mendidik anak sebenarnya adalah tanggung jawab orang tua. Kerjasama antar kedua pihak yaitu sekolah dan orang tua dapat diciptakan untuk saling menutupi keterbatasan dalam berbagai hal tersebut. Namun beberapa keluarga memutuskan untuk lebih fokus pada pendidikan dengan cara mengambil sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak sampai anak masuk ke perguruan tinggi. Adapun alasan orang tua ketika memutuskan menyekolahkan anak di rumah tidak hanya karena keterbatasan akademik dalam pendidikan formal saja namun juga pada keinginan memfokuskan anak pada satu bidang moral yang selama ini tidak diperoleh di sekolah (pembiasaan nilai agama yang spesifik). Kemudian dengan alasan lain misalnya, masalah lingkungan sosial di sekolah yang tidak selamanya positif, anak memerlukan perhatian khusus (anak cacat/abnormal), tidak punya biaya untuk sekolah, jarak sekolah dan rumah yang terlalu jauh dan lain sebagainya. Alasan-alasan ini kemudian mencetuskan adanya homeschooling.
Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini kami akan membahas tentang analisis kebijakan homeschooling di Indonesia.

A.    Pengertian Homeschooling
Selain homeschooling, ada istilah ‘home-education’ atau ‘home-based learning’ yang digunakan untuk maksud yang kurang lebih sama yaitu, model alternatif belajar selain di sekolah.
         Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu pengertian homeschooling adalah sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak dengan berbasis rumah. Meskipun demikian, pendidikan tidak selalu dilakukan orang tua saja. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat pula mengundang guru privat, mendaftar anak pada kursus, melibatkan anak pada proses magang, dan sebagainya.
         Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program homeschooling.[2]
         Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur homeschooling adalah (1) model alternatif belajar selain di sekolah, (2) orang tua bertanggung jawab penuh, (3) pembelajaran tidak selalu dengan orang tua sebagai fasilitator, (4) suasana belajar kondusif, dan (5) tujuannya agar setiap potensi unik anak berkembang maksimal.
B.     Kebijakan Homeschooling
Homeschooling masuk dalam jalur pendidikan informal. Keberadaan homeschooling telah diatur dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 ayat (1), yang berisi sebagai berikut : Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Homeschooling menjadi bagiannya karena pendidikan dilakukan di rumah atau dalam keluarga. Kemudian pasal 27 ayat (2) mengatur tentang penilaian pendidikan informal yang mengatakan bahwa hasil pendidikan informal dihargai setara dengan hasil pendidikan formal dan nonformal setelah melalui proses penyetaraan. Penyetaraan tersebut mengacu pada standar pendidikan nasional dan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Proses penyetaraan pendidikan informal sering disebut dengan ujian nasional kesetaraan. Ujian nasional pendidikan kesetaraan ini dilakukan per paket, yaitu Paket A untuk peserta dengan tingkatan pendidikan setara Sekolah Dasar, ujian Paket B untuk peserta didik dengan tingkatan pendidikan setara SMP, dan Paket C untuk peserta didik dengan tingkatan pendidikan setara SMU. Dengan demikian keluarga yang memilih homeschooling tetap mendapat pengakuan dari masyarakat ataupun pemerintah dalam melakukan pendidikan di masing-masing kelompok, selain itu pemerintah juga dapat memantau mutu pendidikan yang dilakukan secara informal.[3]
Untuk melengkapi hasil proses belajar yang sesungguhnya seperti yang dilakukan di sekolah maka peserta homeschooling harus mengumpulkan beberapa bentuk hasil kegiatan belajar seperti penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul, penilaian formatif oleh tutor melalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio, dalam proses tutorial, penilaian semester, dan Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional yang dilakukan per paket tersebut. Adapun mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan adalah sebagai berikut:1) Paket A: PPKN, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, IPA; 2) Paket B: PPKn, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA; 3) Paket C IPS: PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ekonomi; 4) Paket C IPA: PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika, dan Matematika; 5) Paket C Bahasa: PPKn, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia, dan Bahasa Asing Pilihan. Dengan mengikuti penilaian yang ditetapkan pemerintah maka peserta homeschooling tetap dapat diakui keberadaannya sesuai dengan standar pendidikan nasional dan dapat melanjutkan ke pendidikan formal.[4]
Pengakuan adanya homeschooling di Indonesia semakin dipertegas dengan dikeluarkannya kesepakatan pada tanggal 7 Januari 2007, oleh Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas) dengan Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas) dan Dr. Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA). Adapun kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan ASAHPENA berkaitan dengan pendataan dan pengadministrasian, sosialisasi program Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan, penyiapan dan pengembangan kapasitas sumber daya manusia pendukung program Sekolahrumah, penyiapan dan pengembangan kurikulum, bahan ajar, dan penilaian hasil belajar program Sekolahrumah, memberikan bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program Sekolahrumah.[5]
Pada surat kesepakatan itu pula dirumuskan tugas dan tanggung jawab Depdiknas serta Asah Pena. Tugas dan tanggung jawab Depdiknas adalah sebagai berikut : 1) menyiapkan acuan, kriteria, dan prosedur yang terkait dengan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan; 2) memberikan bimbingan teknis dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan; 3) memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan; 4) melaksanakan bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan untuk mengendalikan mutu Komunitas Sekolahrumah; 5) memberikan rekomendasi/ijin keberadaan Komunitas Sekolahrumah sesuai prosedur.[6]
Tugas dan tanggung Jawab AsahPena adalah : 1) melaksanakan pendataan dan pengadministrasian calon/peserta didik dan keluarga penyelenggaran Sekolahrumah; 2) menyiapkan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang diperlukan; 3) menyediakan sumberdaya sarana-prasarana pendukung pembelajaran; 4) menyelenggarakan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan sejenis; 5) melakukan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan serta pelaporan secara berkala tentang Komunitas Sekolahrumah; 6) memfasilitasi peserta didik Komunitas Sekolahrumah untuk dapat mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Ijazah Pendidikan Kesetaraan dan diakui sebagai ijazah yang dapat digunakan untuk masuk sekolah/pendidikan formal, termasuk perguruan tinggi negeri maupun swasta.[7]
Berdasarkan penjabaran tersebut maka komunitas homeschooling (sekolahrumah) sudah diakui keberadaannya dan Asahpena milik Seto Mulyadi atau yang dikenal dengan nama Kak Seto diberi wewenang untuk memfasilitasi, melakukan pendataan, menyiapkan pendidik, sarana prasarana dan melakukan pemantauan pertumbuhan homeschooling di Indonesia.
C.    Klasifikasi Homeschooling
Salah satu langkah yang harus dilakukan orang tua ketika memutuskan untuk melakukan homeschooling adalah dengan memilih terlebih dahulu klasifikasi atau format homeschooling yang diinginkan. Di Indonesia homeschooling terbagi dalam beberapa klasifikasi atau format kegiatan. Klasifikasi tersebut antara lain; homeschooling tunggal, homeschooling majemuk, dan komunitas homeschooling. Setiap klasifikasi memiliki tantangan dan konsekuensi yang harus diperhatikan oleh para orang tua.
Klasifikasi homeschooling yang pertama adalah homeschooling tunggal. Homeschooling tunggal merupakan homeschooling yang dilaksanakan oleh orang tua, tanpa bergabung dengan keluarga lain. Adapun alasan memilih jenis ini adalah ada tujuan atau alasan tertentu dari orang tua dan alasan tempat tinggal sehingga tidak dapat dikompromikan dan tidak memungkinkan untuk berhubungan dengan komunitas homeschooling lainnya, misalnya jarak tempat tinggal, anak memiliki kebutuhan khusus dan lain sebagainya. Beberapa tantangan dari homeschooling tunggal adalah orang tua/wali tidak mendapat dukungan dari keluarga lain jika mengalami hambatan atau jika ingin bertanya, ingin berbagi serta membandingkan keberhasilan proses belajar anak. Orang tua juga harus menyelenggarakan penilaian sendiri terhadap hasil pendidikan anak sesuai dengan standar pendidikan formal atau standar yang ditetapkan oleh komunitas homeschooling.
Klasifikasi yang kedua adalah homeschooling majemuk. Homeschooling tipe kedua ini merupakan layanan pendidikan yang dilakukan oleh para orang tua/wali terhadap anak-anak dari suatu lingkungan yang tidak selalu berhubungan dalam keluarga, yang diselenggarakan di beberapa rumah atau di tempat/fasilitas pendidikan yang ditentukan oleh suatu komunitas pendidikan yang dibentuk atau dikelola secara teratur dan terstruktur. Homeschooling ini dilakukan bersama dengan dua atau lebih keluarga yang memiliki kebutuhan yang sama akan pendidikan. Adapun alasan memilih jenis ini adalah ada kesamaan kebutuhan dari beberapa keluarga yang dapat dikompromikan sehingga dapat melakukan kegiatan bersama. Beberapa tantangan homeschooling majemuk adalah dari segi kekompakan, perlu adanya kompromi dan fleksibilitas setiap keluarga dalam menyesuaikan jadwal, suasana dan fasilitas tertentu. Untuk kelompok yang besar maka harus ada pengawasan bimbingan, atau pelatihan dari seorang ahli tertentu. Meskipun demikian orang tua tetap harus ada dan bertanggung jawab atas proses pendidikan anaknya.
Jika beberapa homeschooling majemuk bergabung menjadi satu maka membentuk komunitas. Komunitas homeschooling merupakan klasifikasi/format ketiga dari homeschooling. Komunitas ini menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, saran dan prasarana, dan jadwal pelajaran sendiri sehingga dapat dilakukan bersama-sama dengan homeschooling lainnya. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan dengan porsi 50:50 antara orang tua dan komunitas. Adapun alasan memilih komunitas homeschooling ini adalah adanya kebutuhan yang sama, sosialisasi anak semakin luas, orang tua mendapat dukungan dari keluarga lain, dan dapat memenuhi kebutuhan belajar anak dalam tingkatan yang lebih. Adapun tantangan yang dihadapi sama halnya dengan homeschooling majemuk, namun untuk tindakan prefentif anak perlu dipersiapkan untuk menghadapi setiap perbedaan antar teman dalam satu komunitas.[8]
D.    Kurikulum Homeschooling
Homeschooling dapat menggunakan berbagai kuikulum. Kurikulum nasional yang digunakan berupa kurikulum pendidikan formal atau kurikulum pendidikan kesetaraan. Kemudian dimodifikasi dengan beberapa bidang kurikulum yang menjadi minat, potensi, dan kebutuhan yang ingin dikembangkan, misalnya anak ingin mengembangkan minatnya dalam bermain musik maka dalam kurikulum dapat ditambahkan kegiatan bermain musik menjadi bagian dalam fokus pendidikan atau homeschooling untuk keluarga atlit dapat menambahkan kurikulum kegiatan berolah raga lebih banyak disela-sela pelaksanaan bidang pendidikan yang lain.
Kurikulum lain yang dapat digunakan adalah kurikulum yang berasal dari luar negeri. Kurikulum ini biasanya sudah disiapkan langsung dengan paket lembar kerja, buku bacaan, lembar evaluasi, dan materi dalam satu tahun. Orang tua dapat membeli paket kurikulum ini dengan harga tertentu. Di Indonesia paket kurikulum seperti ini sudah dirancang/disusun oleh komunitas sekolahrumah milik kak seto ”Asah Pena”. Modul, lembar kerja, lembar evaluasi dan materi telah disediakan, jadwal pertemuan antar orang tua dan pihak komunitas juga telah dirancang selama beberapa periode. Adapun tujuannya adalah agar mutu pendidikan setiap homeschooling yang tergabung dalam komunitas tersebut dapat terpantau dan tetap terjaga kualitasnya.[9]
E.     Pelaksanaan Homeschooling
Kegiatan yang harus dilakukan orang tua sebelum melaksanakan homeschooling adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang kelebihan dan kelemahan format homeschooling yang diinginkan. Kemudian orang tua mencocokkan setiap format dengan karakteristik anak dan tujuan pendidikan yang ingin diberikan pada anak. Berkaitan dengan pemilihan format selain melihat pada karakteristik anak, orang tua juga sebaiknya mengukur kemampuannya dalam mengajar, dan bagaimana memberi perhatian pada anak dalam belajar. Hal ini terkait erat dengan pemilihan kurikulum dan kemampuan financial orang tua dalam menyediakan sarana dan prasarana belajar, menjadi tutor bagi mata pelajaran tertentu, kegiatan olah raga ataupun kegiatan rekreasi. Setelah melakukan pertimbangan tersebut maka orang tua dapat memilih format homeschooling yang akan dipilih, apakah homeschooling tunggal, majemuk atau bergabung dalam komunitas. Kegiatan yang dilakukan setelah menetapkan format homeschooling adalah memilih waktu belajar dan kegiatan anak, hal ini dilakukan agar kurikulum/program yang telah dibuat dapat dilakukan dengan baik. Keberhasilan pelaksanaan homeschooling adalah pada komitmen, kedisplinan dan kerja keras orang tua dalam memberi motivasi dan menjadi pendidik untuk anak.
Adapun syarat pelaksanaan homeschooling setiap format baik homeschooling tunggal, majemuk, dan komunitas adalah sama yaitu setiap homeschooler harus mendaftarkan diri ke Dinas Pendidikan melalui Kasubdin yang membidangi pendidikan luar sekolah. Tujuan pendaftaran ini adalah agar pemerintah tetap dapat memantau kualitas mutu pendidikan, dan para homeschooler juga mendapat perlindungan hukum atas haknya ketika memutuskan untuk masuk dalam pendidikan informal.
Lampiran-lampiran yang harus disertakan pada saat pendaftarannya adalah sebagai berikut; 1) ada surat pernyataan dari kedua orang tua yang menyatakan bahwa orang tua bertanggung jawab melaksanakan pendidikan anak-anak di rumah secara sadar dan berkesinambungan untuk keluarga yang memilih homeschooling tunggal, bagi yang memilih homeschooling majemuk dan komunitas homeschooling maka harus melampirkan surat pernyataan sama dengan di atas paling sedikit lima keluarga; 2) melampirkan surat pernyataan dari peserta didik di atas 13 tahun bahwa bersedia untuk memperoleh pendidikan melalui sekolahrumah; 3) melampirkan rapor, ijazah, atau surat berpenghargaan sama dari sekolah yang pernah diikuti peserta didik sebelumnya; 4) melampirkan surat pengunduran diri dari sekolah terdahulu jika peserta didik pernah mengikuti sekolah formal; 5) melampirkan program homeschooling yang sekurang-kurangnya mencantumkan format yang akan dipilih, seperti jadwal, alokasi, kegiatan, program dan kurikulum yang digunakan; 6) bagi komunitas homeschooling maka perlu melampirkan surat ijin dari badan hukum yang menaungi kepentingan dan keberadaan homeschooling antara lain; PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar), PT atau Yayasan.[10]
F.     Kekurangan dan Kelebihan Homeschooling
Kekurangan homeschooling diantaranya adalah:
1. Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua
2. Sosialisasi seumur relative rendah dibandingkan anak sekolah karena anak homeschooling lebih terekspos dengan sosialisasi lintas umur
3. Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan
4. Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi social dan masalah yang kompleks yang tidak terprediksi[11]
Kelebihan homeschooling antara lain:
1. Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga
2. Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreatifitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum
3. Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah
4. Lebih siap untuk terjun di dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya
5. Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relative terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang
6. Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur
7. Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua[12]


[1] http://marthachristianti.wordpress.com/2008/04/08/homeschooling
[3] http://marthachristianti.wordpress.com/2008/04/08/homeschooling
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[9] http://marthachristianti.wordpress.com/2008/04/08/homeschooling
[10] ibid
[12] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar