ANALISIS
KEBIJAKAN HOMESCHOOLING
Pendidikan menjadi bagian
penting ketika dipahami secara luas sebagai sebuah proses belajar yang
berlangsung terus menerus sepanjang hayat. Proses tersebut terjadi alami baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui pengalaman hidup sehari-hari. Bagi
manusia, semua itu dilakukan untuk menyiapkan diri agar menjadi utuh, sehingga
dapat menunaikan tugas hidupnya dengan baik dan wajar. Utuh dalam pengertian
bahwa melalui pendidikan, manusia dapat menggunakan seluruh potensi yang
dimilikinya untuk dapat terus bertahan hidup. Dengan demikian pendidikan
bertujuan menggali dan mempertajam potensi keunikan pribadi agar dapat berguna
bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Hal ini berarti pula bahwa
pendidikan membantu manusia untuk menemukan potensi dan bakatnya serta
berkembang sesuai dengan keunikan dan keahliannya masing-masing, sehingga dapat
dikatakan bahwa pendidikan adalah hak untuk semua orang. Untuk memenuhi hak
tersebut orang tua merupakan orang utama dan pertama yang berkewajiban dalam
memberikan pendidikan.
Kebutuhan pokok yang semakin
meningkat membuat orang tua tidak mampu melaksanakan kewajibannya dalam
mendidik anak, orang tua harus bekerja untuk membangun negara dan hidupnya.
Negara memahami permasalahan tersebut kemudian membentuk sekolah publik agar
anak-anak yang seharusnya dididik di rumah tetap mendapat hak dalam pendidikan.
Sekolah juga mampu memenuhi kebutuhan pendidikan mendalam yang tidak mampu
diberikan orang tua karena keterbatasan tertentu. Namun esensi dari pendidikan
sebagai proses belajar mengoptimalkan potensi unik pribadi menjadi bias karena
sekolah memiliki tujuan tertentu yang dikembangkan sesuai tujuan kelembagaan.
Lulusan sekolah diharapkan terbentuk sesuai dengan tujuan kelembagaan tanpa
melihat potensi unik pribadi yang seharusnya dikembangkan. Istilah bahwa
sekolah merupakan proses pembodohan dan menghasilkan robot-robot kemudian
menjadi citra sekolah sebagai pendidikan formal.
Beberapa anak mampu berkembang
optimal di sekolah, namun sebagian lagi mengalami kegagalan. Penyebab kegagalan
anak masuk sekolah menurut John Holt dalam How Children Fail adalah
karena ketakutan, kebosanan dan kebingungan. Rasa takut sebagai penyebab
pertama mengandung arti anak takut dengan harapan-harapan orang tua yang sangat
tinggi sehingga berada dalam tekanan. Akhirnya pendidikan dilakukan semata-mata
untuk memenuhi harapan orang tua saja bukan untuk memenuhi kebutuhan anak untuk
hidup. Penyebab kegagalan kedua adalah kebosanan karena kurikulum yang
digunakan tidak relevan, tidak penting dan tidak menarik untuk anak. Kurikulum
dibuat hanya berdasarkan acuan atau standar dari pemerintah, tidak melihat
kebutuhan anak yang sesungguhnya. Penyebab ketiga adalah karena kebingungan.
Hal ini terjadi karena apa yang diterima dan dipahami anak di sekolah tidak
relevan dan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga anak tidak
mampu menerapkan apa yang didapat dan diperoleh dari sekolah untuk hidup. Oleh
karena itu pendidikan formal memiliki keterbatasan, sekolah tidak mampu
menjangkau anak-anak dengan kebutuhan spesifik dan khusus yang sesuai dengan
keunikannya. Pendidikan formal dengan segala keterbatasan membutuhkan jalur
informal untuk menyempurnakan sehingga pendidikan layak dikatakan sebagai
proses belajar.[1]
Kegagalan sekolah dalam
membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan potensi dan bakat, mendorong orang
tua untuk kembali ikut serta dalam pendidikan, mengingat bahwa mendidik anak
sebenarnya adalah tanggung jawab orang tua. Kerjasama antar kedua pihak yaitu
sekolah dan orang tua dapat diciptakan untuk saling menutupi keterbatasan dalam
berbagai hal tersebut. Namun beberapa keluarga memutuskan untuk lebih fokus
pada pendidikan dengan cara mengambil sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak
sampai anak masuk ke perguruan tinggi. Adapun alasan orang tua ketika
memutuskan menyekolahkan anak di rumah tidak hanya karena keterbatasan akademik
dalam pendidikan formal saja namun juga pada keinginan memfokuskan anak pada
satu bidang moral yang selama ini tidak diperoleh di sekolah (pembiasaan nilai
agama yang spesifik). Kemudian dengan alasan lain misalnya, masalah lingkungan
sosial di sekolah yang tidak selamanya positif, anak memerlukan perhatian
khusus (anak cacat/abnormal), tidak punya biaya untuk sekolah, jarak sekolah
dan rumah yang terlalu jauh dan lain sebagainya. Alasan-alasan ini kemudian
mencetuskan adanya homeschooling.
Oleh karena itu, pada pembahasan
kali ini kami akan membahas tentang analisis kebijakan homeschooling di Indonesia.
A. Pengertian
Homeschooling
Selain homeschooling,
ada istilah ‘home-education’ atau ‘home-based learning’ yang digunakan
untuk maksud yang kurang lebih sama yaitu, model alternatif belajar selain di
sekolah.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu pengertian homeschooling adalah sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak dengan berbasis rumah. Meskipun demikian, pendidikan tidak selalu dilakukan orang tua saja. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat pula mengundang guru privat, mendaftar anak pada kursus, melibatkan anak pada proses magang, dan sebagainya.
Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program homeschooling.[2]
Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur homeschooling adalah (1) model alternatif belajar selain di sekolah, (2) orang tua bertanggung jawab penuh, (3) pembelajaran tidak selalu dengan orang tua sebagai fasilitator, (4) suasana belajar kondusif, dan (5) tujuannya agar setiap potensi unik anak berkembang maksimal.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa salah satu pengertian homeschooling adalah sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pendidikan anak dengan berbasis rumah. Meskipun demikian, pendidikan tidak selalu dilakukan orang tua saja. Selain mengajar sendiri, orang tua dapat pula mengundang guru privat, mendaftar anak pada kursus, melibatkan anak pada proses magang, dan sebagainya.
Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, homeschooling adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya, agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama juga dipegang oleh lembaga-lembaga pendidik lain yang mulai menggiatkan sarana penyediaan program homeschooling.[2]
Dari dua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur homeschooling adalah (1) model alternatif belajar selain di sekolah, (2) orang tua bertanggung jawab penuh, (3) pembelajaran tidak selalu dengan orang tua sebagai fasilitator, (4) suasana belajar kondusif, dan (5) tujuannya agar setiap potensi unik anak berkembang maksimal.
B. Kebijakan
Homeschooling
Homeschooling masuk dalam jalur pendidikan informal. Keberadaan homeschooling
telah diatur dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 27 ayat (1), yang berisi sebagai berikut : Kegiatan pendidikan informal
yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Homeschooling menjadi bagiannya karena pendidikan dilakukan
di rumah atau dalam keluarga. Kemudian pasal 27 ayat (2) mengatur tentang
penilaian pendidikan informal yang mengatakan bahwa hasil pendidikan informal
dihargai setara dengan hasil pendidikan formal dan nonformal setelah melalui
proses penyetaraan. Penyetaraan tersebut mengacu pada standar pendidikan
nasional dan dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah. Proses
penyetaraan pendidikan informal sering disebut dengan ujian nasional
kesetaraan. Ujian nasional pendidikan kesetaraan ini dilakukan per paket, yaitu
Paket A untuk peserta dengan tingkatan pendidikan setara Sekolah Dasar, ujian
Paket B untuk peserta didik dengan tingkatan pendidikan setara SMP, dan Paket C
untuk peserta didik dengan tingkatan pendidikan setara SMU. Dengan demikian
keluarga yang memilih homeschooling tetap mendapat pengakuan dari
masyarakat ataupun pemerintah dalam melakukan pendidikan di masing-masing
kelompok, selain itu pemerintah juga dapat memantau mutu pendidikan yang
dilakukan secara informal.[3]
Untuk melengkapi
hasil proses belajar yang sesungguhnya seperti yang dilakukan di sekolah maka
peserta homeschooling harus mengumpulkan beberapa bentuk hasil
kegiatan belajar seperti penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan
yang terintegrasi dalam setiap modul, penilaian formatif oleh tutor melalui
pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio, dalam proses
tutorial, penilaian semester, dan Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian
Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional
yang dilakukan per paket tersebut. Adapun mata pelajaran yang diujikan dalam
Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan adalah sebagai berikut:1) Paket A: PPKN,
Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, IPA; 2) Paket B: PPKn, Matematika, IPS,
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA; 3) Paket C IPS: PPKn, Bahasa
Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ekonomi; 4)
Paket C IPA: PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fisika, dan Matematika; 5) Paket C Bahasa: PPKn, Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia, dan Bahasa Asing Pilihan. Dengan
mengikuti penilaian yang ditetapkan pemerintah maka peserta homeschooling
tetap dapat diakui keberadaannya sesuai dengan standar pendidikan nasional dan
dapat melanjutkan ke pendidikan formal.[4]
Pengakuan adanya homeschooling
di Indonesia semakin dipertegas dengan dikeluarkannya kesepakatan pada tanggal
7 Januari 2007, oleh Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas (PLS Depdiknas)
dengan Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (ASAHPENA). Kesepakatan
tersebut ditandatangani oleh Ace Suryadi, Ph. D (Dirjen PLS Depdiknas) dan Dr.
Seto Mulyadi (Ketua Umum ASAHPENA). Adapun
kerjasama yang dilakukan pemerintah dengan ASAHPENA berkaitan dengan pendataan
dan pengadministrasian, sosialisasi program Komunitas Sekolahrumah sebagai
satuan Pendidikan Kesetaraan, penyiapan dan pengembangan kapasitas sumber daya
manusia pendukung program Sekolahrumah, penyiapan dan pengembangan kurikulum,
bahan ajar, dan penilaian hasil belajar program Sekolahrumah, memberikan
bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program
Sekolahrumah.[5]
Pada surat kesepakatan itu pula
dirumuskan tugas dan tanggung jawab Depdiknas serta Asah Pena. Tugas dan
tanggung jawab Depdiknas adalah sebagai berikut : 1) menyiapkan acuan,
kriteria, dan prosedur yang terkait dengan Komunitas Sekolahrumah sebagai
satuan Pendidikan Kesetaraan; 2) memberikan bimbingan teknis dan evaluasi
terhadap penyelenggaraan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan
Kesetaraan; 3) memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap penyelenggaraan
Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan; 4) melaksanakan
bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan untuk mengendalikan mutu
Komunitas Sekolahrumah; 5) memberikan rekomendasi/ijin keberadaan Komunitas
Sekolahrumah sesuai prosedur.[6]
Tugas dan tanggung Jawab AsahPena adalah : 1) melaksanakan pendataan dan
pengadministrasian calon/peserta didik dan keluarga penyelenggaran
Sekolahrumah; 2) menyiapkan Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang diperlukan;
3) menyediakan sumberdaya sarana-prasarana pendukung pembelajaran; 4)
menyelenggarakan Komunitas Sekolahrumah sebagai satuan Pendidikan Kesetaraan
sejenis; 5) melakukan pemantauan, evaluasi, dan pembinaan serta pelaporan
secara berkala tentang Komunitas Sekolahrumah; 6) memfasilitasi peserta didik
Komunitas Sekolahrumah untuk dapat mengikuti Ujian Nasional Pendidikan
Kesetaraan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Ijazah Pendidikan
Kesetaraan dan diakui sebagai ijazah yang dapat digunakan untuk masuk
sekolah/pendidikan formal, termasuk perguruan tinggi negeri maupun swasta.[7]
Berdasarkan
penjabaran tersebut maka komunitas homeschooling (sekolahrumah) sudah
diakui keberadaannya dan Asahpena milik Seto Mulyadi atau yang dikenal dengan
nama Kak Seto diberi wewenang untuk memfasilitasi, melakukan pendataan,
menyiapkan pendidik, sarana prasarana dan melakukan pemantauan pertumbuhan homeschooling
di Indonesia.
C. Klasifikasi
Homeschooling
Salah satu langkah
yang harus dilakukan orang tua ketika memutuskan untuk melakukan homeschooling
adalah dengan memilih terlebih dahulu klasifikasi atau format homeschooling
yang diinginkan. Di Indonesia homeschooling terbagi dalam beberapa
klasifikasi atau format kegiatan. Klasifikasi tersebut antara lain; homeschooling
tunggal, homeschooling majemuk, dan komunitas homeschooling.
Setiap klasifikasi memiliki tantangan dan konsekuensi yang harus diperhatikan
oleh para orang tua.
Klasifikasi homeschooling yang
pertama adalah homeschooling
tunggal. Homeschooling tunggal merupakan homeschooling yang dilaksanakan oleh orang tua,
tanpa bergabung dengan keluarga lain. Adapun alasan memilih jenis ini adalah
ada tujuan atau alasan tertentu dari orang tua dan alasan tempat tinggal
sehingga tidak dapat dikompromikan dan tidak memungkinkan untuk berhubungan
dengan komunitas homeschooling lainnya, misalnya jarak tempat tinggal,
anak memiliki kebutuhan khusus dan lain sebagainya. Beberapa tantangan dari homeschooling
tunggal adalah orang tua/wali tidak mendapat dukungan dari keluarga lain jika
mengalami hambatan atau jika ingin bertanya, ingin berbagi serta membandingkan
keberhasilan proses belajar anak. Orang tua juga harus menyelenggarakan penilaian sendiri
terhadap hasil pendidikan anak sesuai dengan standar pendidikan formal atau
standar yang ditetapkan oleh komunitas homeschooling.
Klasifikasi yang
kedua adalah homeschooling
majemuk. Homeschooling tipe kedua ini merupakan layanan pendidikan yang
dilakukan oleh para orang tua/wali terhadap anak-anak dari suatu lingkungan
yang tidak selalu berhubungan dalam keluarga, yang diselenggarakan di beberapa
rumah atau di tempat/fasilitas pendidikan yang ditentukan oleh suatu komunitas
pendidikan yang dibentuk atau dikelola secara teratur dan terstruktur. Homeschooling
ini dilakukan bersama dengan dua atau lebih keluarga yang memiliki kebutuhan yang
sama akan pendidikan. Adapun alasan memilih jenis ini adalah ada kesamaan
kebutuhan dari beberapa keluarga yang dapat dikompromikan sehingga dapat
melakukan kegiatan bersama. Beberapa tantangan homeschooling majemuk
adalah dari segi kekompakan, perlu adanya kompromi dan fleksibilitas setiap
keluarga dalam menyesuaikan jadwal, suasana dan fasilitas tertentu. Untuk
kelompok yang besar maka harus ada pengawasan bimbingan, atau pelatihan dari
seorang ahli tertentu. Meskipun demikian orang tua tetap harus ada dan
bertanggung jawab atas proses pendidikan anaknya.
Jika beberapa homeschooling
majemuk bergabung menjadi satu maka membentuk komunitas. Komunitas homeschooling
merupakan klasifikasi/format ketiga dari homeschooling. Komunitas ini
menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, saran dan
prasarana, dan jadwal pelajaran sendiri sehingga dapat dilakukan bersama-sama
dengan homeschooling lainnya. Penyelenggaraan pendidikan dilakukan
dengan porsi 50:50 antara orang tua dan komunitas. Adapun alasan memilih
komunitas homeschooling ini adalah adanya kebutuhan yang sama,
sosialisasi anak semakin luas, orang tua mendapat dukungan dari keluarga lain,
dan dapat memenuhi kebutuhan belajar anak dalam tingkatan yang lebih. Adapun
tantangan yang dihadapi sama halnya dengan homeschooling majemuk,
namun untuk tindakan prefentif anak perlu dipersiapkan untuk menghadapi setiap
perbedaan antar teman dalam satu komunitas.[8]
D. Kurikulum
Homeschooling
Homeschooling dapat menggunakan berbagai kuikulum. Kurikulum nasional
yang digunakan berupa kurikulum pendidikan formal atau kurikulum pendidikan
kesetaraan. Kemudian dimodifikasi dengan beberapa bidang kurikulum yang menjadi
minat, potensi, dan kebutuhan yang ingin dikembangkan, misalnya anak ingin mengembangkan
minatnya dalam bermain musik maka dalam kurikulum dapat ditambahkan kegiatan
bermain musik menjadi bagian dalam fokus pendidikan atau homeschooling
untuk keluarga atlit dapat menambahkan kurikulum kegiatan berolah raga lebih
banyak disela-sela pelaksanaan bidang pendidikan yang lain.
Kurikulum lain yang
dapat digunakan adalah kurikulum yang berasal dari luar negeri. Kurikulum ini
biasanya sudah disiapkan langsung dengan paket lembar kerja, buku bacaan,
lembar evaluasi, dan materi dalam satu tahun. Orang tua dapat membeli paket
kurikulum ini dengan harga tertentu. Di Indonesia paket kurikulum seperti ini
sudah dirancang/disusun oleh komunitas sekolahrumah milik kak seto ”Asah Pena”.
Modul, lembar kerja, lembar evaluasi dan materi telah disediakan, jadwal
pertemuan antar orang tua dan pihak komunitas juga telah dirancang selama
beberapa periode. Adapun tujuannya adalah agar mutu pendidikan setiap homeschooling
yang tergabung dalam komunitas tersebut dapat terpantau dan tetap terjaga
kualitasnya.[9]
E. Pelaksanaan
Homeschooling
Kegiatan yang harus
dilakukan orang tua sebelum melaksanakan homeschooling adalah mencari
informasi sebanyak-banyaknya tentang kelebihan dan kelemahan format homeschooling
yang diinginkan. Kemudian orang tua mencocokkan setiap format dengan
karakteristik anak dan tujuan pendidikan yang ingin diberikan pada anak.
Berkaitan dengan pemilihan format selain melihat pada karakteristik anak, orang
tua juga sebaiknya mengukur kemampuannya dalam mengajar, dan bagaimana memberi
perhatian pada anak dalam belajar. Hal ini terkait erat dengan pemilihan
kurikulum dan kemampuan financial orang tua dalam menyediakan sarana dan
prasarana belajar, menjadi tutor bagi mata pelajaran tertentu, kegiatan olah
raga ataupun kegiatan rekreasi. Setelah melakukan pertimbangan tersebut maka
orang tua dapat memilih format homeschooling yang akan dipilih, apakah
homeschooling tunggal, majemuk atau bergabung dalam komunitas.
Kegiatan yang dilakukan setelah menetapkan format homeschooling adalah
memilih waktu belajar dan kegiatan anak, hal ini dilakukan agar
kurikulum/program yang telah dibuat dapat dilakukan dengan baik. Keberhasilan
pelaksanaan homeschooling adalah pada komitmen, kedisplinan dan kerja
keras orang tua dalam memberi motivasi dan menjadi pendidik untuk anak.
Adapun syarat
pelaksanaan homeschooling setiap format baik homeschooling
tunggal, majemuk, dan komunitas adalah sama yaitu setiap homeschooler harus
mendaftarkan diri ke Dinas Pendidikan melalui Kasubdin yang membidangi
pendidikan luar sekolah. Tujuan pendaftaran ini adalah agar pemerintah tetap
dapat memantau kualitas mutu pendidikan, dan para homeschooler juga mendapat
perlindungan hukum atas haknya ketika memutuskan untuk masuk dalam pendidikan
informal.
Lampiran-lampiran
yang harus disertakan pada saat pendaftarannya adalah sebagai berikut; 1) ada
surat pernyataan dari kedua orang tua yang menyatakan bahwa orang tua
bertanggung jawab melaksanakan pendidikan anak-anak di rumah secara sadar dan
berkesinambungan untuk keluarga yang memilih homeschooling tunggal,
bagi yang memilih homeschooling majemuk dan komunitas homeschooling
maka harus melampirkan surat pernyataan sama dengan di atas paling sedikit lima
keluarga; 2) melampirkan surat pernyataan dari peserta didik di atas 13 tahun
bahwa bersedia untuk memperoleh pendidikan melalui sekolahrumah; 3) melampirkan
rapor, ijazah, atau surat berpenghargaan sama dari sekolah yang pernah diikuti
peserta didik sebelumnya; 4) melampirkan surat pengunduran diri dari sekolah
terdahulu jika peserta didik pernah mengikuti sekolah formal; 5) melampirkan
program homeschooling yang sekurang-kurangnya mencantumkan format yang
akan dipilih, seperti jadwal, alokasi, kegiatan, program dan kurikulum yang
digunakan; 6) bagi komunitas homeschooling maka perlu melampirkan
surat ijin dari badan hukum yang menaungi kepentingan dan keberadaan homeschooling
antara lain; PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar), PT atau Yayasan.[10]
F. Kekurangan
dan Kelebihan Homeschooling
Kekurangan homeschooling diantaranya adalah:
1. Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi
dari orang tua
2. Sosialisasi seumur relative rendah
dibandingkan anak sekolah karena anak homeschooling
lebih terekspos dengan sosialisasi lintas umur
3. Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja
dalam tim, organisasi dan kepemimpinan
4. Perlindungan orang tua dapat memberikan
efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi social dan masalah yang
kompleks yang tidak terprediksi[11]
Kelebihan homeschooling antara lain:
1. Customized, sesuai kebutuhan anak dan kondisi
keluarga
2. Lebih memberikan peluang untuk
kemandirian dan kreatifitas individual yang tidak didapatkan dalam model
sekolah umum
3. Memaksimalkan potensi anak sejak usia
dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah
4. Lebih siap untuk terjun di dunia nyata
karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di
sekitarnya
5. Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak
dengan keluarga. Relative terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang
menyimpang
6. Kemampuan bergaul dengan orang tua dan
yang berbeda umur
7. Biaya pendidikan dapat menyesuaikan
dengan keadaan orang tua[12]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar