Jumat, 03 Mei 2013

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN



BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Keberhasilan guru dalam menciptakan kondisi yang optimal dalam kegiatan belajar mengajar juga dapat mempengaruhi siswa untuk belajar dan menerima stimulus dengan tanggapan positif yang pada akhirnya akan mempengaruhi belajar siswa. Dengan demikian pendidikan dapat didefinisikan bahwa pendidikan adalah merupakn suatu usaha atau proses yang ditujuakan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional ditengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan demikian akan dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia.[1]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi singkat Imam Al-Ghazali?
2.      Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan?
C.    Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan kedalam tujuan masalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui biografi singkat Imam Al-Ghazali.
2.      Untuk mengetahui pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Pendidikan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Singkat
Nama lengkap Imam Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad ibn Ahmad Al-Thusi Al-Ghazali, beliau dilahirkan di desa Khurasan, Persia (sekarang Iran) pada tahun 450 H/1059 dan meninggal dunia di tanah kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al-Ghazali dinisbahkan ke Thusi karena ia merupakan kota dimana penduduk Khurasan bekerja, yang sebelumnya bernama Thabaran. Kota Thusi ditaklukan oleh umat Islam pada tahun 28 H/649 M, dirobohkan oleh para penghianat pada tahun 791 H/1389 M, dan di kota itulah Khalifah Harun Al-Rasyid dikuburkan.[2] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad juga dikenal dengan nama Al-Ghazali karena ada hubungannya dengan nama tempat kelahirannya, desa Ghazalah. Al-Ghazali artinya orang yang berasal dan desa Ghazalah. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau dipanggil al-Ghazali karena ayahnya seorang pemintal benang tenun (Ghazali dalam bahasa Arab berarti benang tenunan). Jadi, al-Ghazali artinya anak seorang pemintal benang tenun.
Ayah al-Ghazali, yaitu Muhammad, bekerja sebagai pemintal benang tenun. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Walaupun hidup dalam keadaan serba kekurangan, Muhammad adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan dan berharap kedua anaknya, yaitu Al-Ghazali dan Ahmad kelak menjadi orang-orang yang memilki ilmu pengetahuan yang luas.[3]
Remaja, sebuah usia anak yang seringkali mengalami fluktuasi di pelbagai dimensi perkembangan tidak disia-siakan Al-Ghzali. Dia pergi ke jurjan dan memperdalam fiqih ke Abi Al-Qasim Al-Isma’ili (w. 477/1085), disaat umurnya belum genap 20 tahun. Tidak diketahui pasti berapa lama dia tinggal di sana. Yang pasti, ketika hendak  pulang dari sana Al-Ghazali di hadang oleh para pembegal dengan merampas tasnya yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang disenanginya. Kejadian itu menjadikan trauma psikologis berkepanjangan bagi Al-Ghazali, dan sejak itu juga dia selalu berhati-hati terhadap apa yang dibawanya (Fa’iz Muhammad ‘Ali Al-Hajj, 1988: 29). Setelah kejadian itu, Al-Ghazali menjadi bertambah rajin mempelajari kitab-kitabnya, memahami limu yang dikandungnya, dan berusaha mengamalkannya. Juaga selalu menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus yang aman (Abuddin Nata, 2000:82).[4]
Di kota Bagdad, nama Al-Ghazali semakin populer, halaqah (kelompok) pengajiannya semakin luas,. Di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al-asyak), yang oleh orang abrat dikaenal dengan Skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua makrifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya, seperti rector dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098M, ia menuju Palestina berdoa disamping kubur Nabi Ibrahim a.s. kemudian, ia berangkat ke Makkah dan ke Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf. [5]
Cukup banyak pengalaman-pengembaraan Al-Ghazali di luas dan dalamnya lautan ilmu. Dia menghibahkan diri sebagai pribadi yang haus akan ilmu dengan merelakan diri hanyut di rantau keilmuan. Ke Bagdad, Syam, Mekkah, Palestina, Hijaz, Mesir, dan pelbagai belahan dunia keilmuan, merupakan tempat dimana al-ghazali sekurang-kurangnya pernah singgah dalam beberapa waktu untuk belajar/mengajar.[6]
Pada tanggal 14 jumadil akhir 505H/1111M, Imam Al-Ghazali wafat. Beberapa saat sebelum wafat, beliau minta dibawakan keranda yang biasa digunakan untuk memanggul jenazah. Beliau menatap keranda itu sambil berkata, “Apapun perintah Allah, aku siap untuk melaksanakannya.” Beliau lalu melunjurkan kakinya dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan jenazahnya dimakamkan di kota Thus, Iran.[7]

B.     Pemikiran Pendidikan Imam al-Ghazali
Al-Ghazali adalah penganut paham kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan jenis kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia Islam maka hukumnya wajib. Ia juga salah satu penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih).Jadi sekiranya kurang arif jika ada anggapan bahwa umat islam terbelakang gara-gara al-Ghazali.
Dalam kategorisasi ilmu yang dilakukan, ilmu-ilmu agama menduduki peringkat pertama dan utama dalam pemikiran al-Ghazali. Sehingga menurut al-Ghazali selayaknya seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum mempelajari ilmu furu’ . jadi dalam kategorisasi ilmu agamapun al-Ghazali masih membaginya pada apa yang ia sebut demi kepentingan tertib belajar. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada ilmu agama dalam kacamata al-Ghazali karena ilmu agama meliputi keselamatan di akhirat, Sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Disamping itu ia juga menjelaskan bagaimanakah seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar.Dan menurut penulis apa yang telah dikemukakan al-Ghazali adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang yang banyak penambahan sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih beroriantasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan al-Ghazali mencakup pula pada bagaimana seorang guru harus bersikap dan memperlakukan murid dalam pengajaran yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan. Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and panisment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistic dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghazali menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.
Tapi hal yang paling Nampak dalam kacamata al-Ghazali tentang pendidikan adalah bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika pendidikan. Karya al-ghazali mengenai pendidikan cukup banyak. Diantara yang paling masyhur adalah fatihah al-‘ulam, ayyuha al-walad, mizan al-‘amal, dan al-risalah al-ladunniyyah. Sedangkan karya monumentalnya yang di dalamnya juga banyak dijelaskan masalah-masalah keilmuan dan kependidikan- sealain kalam, fiqih, dan akhlak adalah ihya’ ‘ulam al-din. Jauh sebelum para filosof kependidikan memikirkan/membangun struktur kependidikan, al-ghazali sudah meletakkan struktur kependidikan itu (nizhaman tarbawiyyah) secara universal dan komprehensif. Tidaklah asing bagi kita bahwa pendidikan merupakan produk deterministic (natijah hatmiyyah) bagi filsafat, karena seorang filosof biasa bekerja sesuai kerangka dasar dan prinsip-prinsip yang ada jika terlebih dahulu masuk ke dalam pendidikan. Artinya, pendidikan merupakan pintu masuk bagi filosof dalam berfilsafat.
Tujuan pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah mencapai mardlatillah (Ridha Allah) dan haruslah dihindari dari tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi dapat merusak seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti pendidikan itu sendiri.
Al-ghazali membangun paradigma tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan dan falsafah hidup manusia. Paradigma pendidikan yang dibangun harus sesuai dan sekaligus mampu mengaktualisasikan tujuan-tujuan kependidikandalam bingkai falsafah hidupnya.
Skematik Bangunan Keilmuan/Kependidikan Al-Ghazali
Secara skematik bangunan keilmuan/kependidikan al-ghazali bisa dijelaskan sebai berikut:

Syar’iyyah                                                       Wajib Kifayah
Ilmu                                               Mahmudah                 
                                                                        Wajib Fadhilah
Ghayr Syar’iyyah        Mubah

                                    Madzmumah
Keterangan:
1.      Ilmu yang disyariatkan (al-syar’iyyah) adalah ilmu yang disandarkan kepada Nabi Saw. Dan bukan diperoleh melalui aktivitas akal (wa al yursyid al-‘aql) seperti ilmu berhitung (al-hisab), bukan pula dari pengalaman (at-tajribah) seperti ilmu kedokteran, dan bukan pula dari pendengaran seperti fiqih.
2.      Ilmu yang tidak disyariatkan (al-‘ulum ghayr al-syar’iyyah) adalah ilmu yang tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Dan diperoleh melalui penalaran akal, pengalaman, pendengaran dan sebagainya.
3.      Ilmu yang terpuji (al-‘ilm al-mahmud) adalah ilmu yang berkaitan dengan kemaslahatan dunia, seperti kedokteran, berhitung/matematika, dan seterusnya.
4.      Ilmu yang wajib sebagian (Fardhu Kifayah) adalah semua ilmu yang berkaitan dengan urusan keduniaan yang cukup dipelajari oleh sebagian di antara sekian banyak orang secara spesialis-profesional. Ilmu kedokteran, misalnya, dalam konteks wajib kifayah yang spesialis urgen untuk dipelajari bagi kelangsungan kesehatan hidup manusia. Ilmu berhitung penting dipelajar untuk menjamin hubungan social/kontrak social, pembagian harta warisan, peninggalan, wasiat, dan sebagainya. Termasuk di dalam kategori ilmu wajib kifayah adalah ilmu politik, ilmu pertanian, ilmu perindustrian, dan sebagainya.
5.      Ilmu yang diutamakan (‘ilmu fadhilah) adalah ilmu yang secara professional lebih dalam dari ilmu wajib kifayah. Jika dalam ilmu wajib kifayah seseorang hanya mengetahui dasar-dasarnya saja, dalam ilmu yang diutamakan adalah mendalami lebih jauh ilmu wajib kifayah itu sampai pada batas di mana orang lain tidak menandinginya.
6.      Ilmu yang tercela (al’ilm al-madzmum) adalah ilmu yang tidak dikehendaki oleh syari’ah, seperti ilmu sihir, ilmu jimat/mantera, ilmu sulap (‘ilm al-sya’badzah), dan ilmu-ilmu samara lainnya(ilm al-talbisat).
7.      ilmu yang dibolehkan (ilm al-mubah) adalah seperti ilmu sastra, syair, ilmu sejarah, dan sebagainya.
Kerangka paradigmatik kependidikan Al-Ghazali kiranya sesuai dengan kaum Empirisme Inggris seperti John Locke (1632-1704) dan David Hume (1711-1776), yang menyatakan bahwa anak itu lahir bagaikan kertas putih yang kepadanya bisa dituliskan apa saja. Konsep ini dalam ilmu jiwa perkembangan dikenal dengan istilah Tabula Rasa. Empirisisme Locked dan Hume dibangun berdasarkan prinsip tunggal, “semua pengetahuan berawal dari pengalaman.” Akal budi dan spekulasi yang abstrak, dalam terminologinya filsafat, harus diletakkan pada pengalaman, dalam kemampuan belajar dan mengetahui tentang dunia melalui pancaindera. Tegasnya, “semua pengetahuan berasal dari indera.” Namun Locke juga menerima metafora Cartesian, yaitu perbedaan antara pikiran dan tubuh; dan Karena itu, dia memandang bahwa pengetahuan pertama-tama berkenaan dengan pemeriksaan pikiran. Pikiran, demikian Locke, adalah suatu,”potongan kayu kosong” yang akan ditulis oleh pengalaman di sepanjang kehidupan seseorang. Jika kaum rasionalis lain, seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716), berargumen bahwa untuk sejumlah “ide bawaan” yang jelas, justru Locke menyarankan bahwa pikiran lebih mirip dengan suatu kamar kecil yang kosong, yang akan diterangi hanya melalui cahaya yang masuk dari luar (Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, dalam terj. Saut Pasaribu, 2002:386-387).
Al-Ghazali, sebagaimana Empirisme Locked dan Hume, berpandangan bahwa anak berpotensi secara sama (‘ala haddin sawa’) untuk menerima yang baik dan yang buruk. Sebagaimana dikatakan dalam hadis Nabi saw., “semua anak itu dilahirkan berdasarkan fitrah-nya, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nasrani, dan majusi” (HR. Muslim). Dalam menafsirkan hadis ini Al-Ghazali mengatakan bahwa pada dasarnya setiap anak dilahirkan dengan membawa watak potensial yang seimbang (al-mizaj al-I’tidal), dia menjadi jahat karena pengaruh lingkungan dan begitu juga sebaliknya dia menjadi baik karena pengaruh lingkungan. Namun demikian, Al-Ghazali juga tidak menampik adanya potensi bawaan (al-isti’dad al-waritsiyyah) yang juga berprestasi bagi pembentukan pribadi si anak. Namun, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa bawaan itu akan berkembang secara efektif dan dinamis bilamana dikembangkan melalui pendidikan. Jadi, pendidikan merupakan media paling efektif bagi pembentukan pribadi anak didik. Sebagaimana dikatakan para psikolog modern, “Pohon dan biji kurma tidaklah berbuah pohon apeel sebelum kita memproteksinya dengan menanam dan “mendidik”-nya lebih dahulu. Artinya, suatu pendidikan tidak mungkin bisa mengubah potensi kesiapan biji kurma untuk menerima sebagian keadaan (lingkungan). Namun jga karena pendidikan (pencangkokan/cloning) biji kurma bisa menghasilkan buah apel dan begitu pula sebaliknya.” Juga dikatakan, “kita juga tidak kuasa menahan marah dan keinginan secara keseluruhan sehingga tiada berbekas sekalipun kita mengusahakannya secara sungguh-sungguh melalui latihan dan perjuangan kea rah itu” (Al-Ghazali, ihya’’ulam al-din, juz III, hlm.48)[8]
Kompetensi professional guru kiranya menjadi perhatian serius Al-Ghazali dalam mendidik anak didik. Guru harus professional dalam mendekati aspek kejiwaan dan watak anak didik (nafisah al-thifl wa thabi’atihi). Guru hendaknya mendidik anak didik dengan cara-cara yang baik (keteladanan) yang bisa menumbuhkan etika dan perilaku yang baik dalam pergaulan social. Anak didik jangan dibiasakan dengan sesuatu yang jelek (al-‘abats, sesuatu yang sia-sia) dan kelakar yang berlebihan (al-mujun). Anak didik jangan dibiasakan tidur siang karena kebiasaan demikian mewarisi kemalasan. Anak didik jangan dibiasakan mengkonsumsi makanan berlebihan yang mengakibatkan kelelahan dan kegemukan, yang pada akhirnya menjadikannya pemalas. Sabda Nabi Saw., “tidur waktu pagi bisa mewarisi kefakiran.” Karena pagi-siang hari, bagi Al-Ghazali, merupakan waktu paling efektif untuk bergerak, berlatih, dan berjuang mengembangkan diri kearah yang lebih baik dalam semua aspek kehidupan baik kesehatan, kecerdasan, maupun ekonomi. Sebaiknya, demikian Al-Ghazali, anak didik hendaknya dibiasakan dengan sesuatu yang baik di waktu-waktu luangnya, seperti membaca atau mempelajari al-Qur’an, Hadis, Hikayat/Kisah, Syair, dan Lagu-lagu yang “merangsang” jiwa anak didik kearah kebaikan.
Lebih dari itu, guru juga disarankan memilki rouping atau “Panggilan hati nurani” untuk melakukan kegiatan pembelajaran/pendidikan. Rasa senang dan menyenangi profesi yang ditekuni adalah prasyarat khusus yang harus dimilki guru. Guru harus merasa ikhlas, sebagai nyawa bagi keberlangsungan proses pembelajaran/pendidikan yang efektif. Jika guru mengajar/mendidik bukan karena panggilan hati nurani (ikhlas) laksana tubuh manusia berjalan tanpa ruh. “Setiap manusia akan celaka kecuali orang yang berilmu akan celaka kecuali yang mengamalkan ilmunya, dan orang yang mengamalkan ilmunya pun akan celaka kecuali yang beramal dengan ikhlas.” Demikian Sabda Nabi. Yang selalu dikutip Al-Ghazali. Artinya, proses pembelajaran/pendidikan harus dijalankan dengan penuh rasa cinta karena dengan cinta segala sesuatu yang kaku akan menjadi cair. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali mengenai ta’mim al-mutsir, “Persaksian dan pengamalan menunjukkan bahwa sesungguhnya cinta itu melampaui segala sesuatu yang meliputi dan berkenaan dengan pribadi yang dicintainya……Barangsiapa mencintai Allah berarti ia mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya, dan siapa yang mencintai manusia berarti ia mencintai pekerjaan, garis hidup, dan semua perilakunya” (Fa’iz Muhammad ‘Ali Al-Hajj, dalam Min A’lam Al-Tarbiyyah Al-‘Arabiyyah Al-Islamiyyah, jilid III, 1409H/1988M, Hlm.47).
Selain itu, kiranya learnig experiences atau pengalaman belajar guru juga berprestasi positif dalam merangsang kesadaran dan komitmen anak didik mengenai masalah social dan etika masyarakatnya. Anak didik, demikian Al-Ghazali, harus diberikan kesadaran mendalam mengenai ajaran agamanya guna terbina kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Secara pragmatis-teologis, sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2000:94), Al-Ghazali menyarankan supaya ajaran Islam tidak saja dikuasai kognitif, tetapi juga mengimplementasi ke dalam perilaku afektif dan psikomotorik anak didik. Akhirnya, proses pembelajaran/pendidikan harus bisa membangkitkan kesadaran kependidikan bagi anak didik baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.[9]
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat Al-Islam (Argumentasi Islam) karena pembelaannya yang menggunakan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bathiniyat dan kaum filosof. Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad Saw. memperkuat kebesaran nama yang disandangnya.
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Pemaparannya sangat bagus, gaya bahasanya menarik, dalil yang disajikan sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat dijadikan hujjah. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangannya ini tidak sedikit dialihbahasakan orang ke dalam berbagai bahasa di Eropa. Di bawah ini hanya akan disebutkan beberapa warisan dari karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam.
1.      Ihya’ Ulum Al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
2.      Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad, diuraikan di dalamnya akidah menurut aliran al-asy’ariah.
3.      Maqasid Al-Falasifat, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.
4.      Tahafut Al-Falasifat, berisikan kritikan terhadap para filosof.
5.      Al-Munqiz Min Al-Dhalal, dipaparkan di dalamnya seperangkat  ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
6.      Mizan Al-‘Amal, di dalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.
Dari hasil pemaparan di atas dapat dilihat bahwa Al-Ghazali dalam hidupnya telah menempuh berbagai jalan dan meneliti berbagai madzhab; dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik menjadi seorang teolog Muslim, berpindah sebagai filosof Muslim, dan berakhir sebagai seorang sufi.[10]
Al-ghazali juga seorang pengarang kitab-kitab yang telah populer, diantaranya:
1.      Ihya Ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama).
2.      Tahafutul Falasifah wa Maqashidul falasifah (Kerancuan ahli filsafat dan tujuan filsafat).
3.      Al-Munqidzu minad dhalali (Pembahas dari kesesatan).
4.      Misykatul Anwari (Lampu yang terang).
Al-Ghazali telah menulis tentang metafisika berbab-bab dan berpasal-pasal yang merupakan pembahasan yang paling dahulu tentang metafisika dan yang ditulis dewasa ini dalam berbagai bahasa tentang kematian, siksa, pahala, dan hisab, sebenarnya al-ghazali telah mendahuluinya.[11]
Al-Ghazali mempunyai pemikiran dan pandangan luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata seperti yang dituduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain, sepertti aspek keimanan (ketauhidan, keesaan), akhlak sosial, jasmaniah, dan sebagainya. Jadi, pada hakikatnya usaha pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingakan semua hal tersebut dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangakan Al-Ghazali (awal dari kandungan ajaran Islam dan tradisi Islam), yang berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.
aspek-aspek pendidikan dalam pandangan al-ghazali
Pembahasan ini dapat diuraikan sesuai dengan urusan aspek-aspek pendidikan sebagai berikut:
1.      Aspek pendidikan keimanan
2.      Aspek pendidikan akhlak
3.      Aspek pendidikan akliah
4.      Aspek pendidikan social
5.      Aspek pendidikan jasmaniah.[12]













KESIMPULAN


Pemikiran pendidikan menurut al-Ghozali merupakan hasil dari aplikasi dan responsi jawabannya terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya pada saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak bahwa sebagiaanya masih ada yang sesuai dan sebagian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Aspek kejiwaan atau kerohanian yang dikemukakan Al-Ghazali memiliki dasar-dasar persamaan dengan Al-Qur’an meskipun susunan katanya berbeda tetapi maksud dan tujuannya sama. Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah bukan semata-mata untuk dunia tetapi karena Allah SWT.
Dalam proses belajar misalnya, peserta didik hendaknya belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah dan mendahulukan kesucian hati dari akhlak yang rendah dan sifat tercela, karena ilmu adalah ibadah dan sholatnya dari hati, dan pendekatan pada Allah SWT .
Kemuliaan pendidikan menurut al-Ghozali sangat jelas diterangkan  dalam al-Qur’an, Al-Hadits, dan perkataan para Sahabat. Dari ketiga sumber tersebut mendorong kepada  setiap individu maupun kelompok untuk belajar, menuntut ilmu dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan dengan jalan pendidikan.












DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Abuddin nata, Ma, Metodologi study Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Dr. Imam Tholkhah, MembukaJjendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.a., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Al-Ustadz. Ing. Abdul Razak Nawfal, Tokoh-tokoh Muslim Sebagai Perintis ilmu pengetahuan modern, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.

Drs. H hamdani Ihsan dkk.Filsafat Pendidikan Islam, Bandumg : CV Pustaka Setia..


[1] Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Study Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hlm. 290
[2] DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.260
[3] Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.2
[4]DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan...., Op.Cit.,Hlm.260-261
[5]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, Hlm.157
[6]DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.262
[7] Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.9

[8] DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.287
[9] Ibid., Hlm.269-270
[10] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, Hlm. 158-159
[11] Al-Ustadz. Ing. Abdul Razak Nawfal, Tokoh-tokoh Muslim sebagai perintis ilmu pengetahuan modern, Jakarta: Klam Mulia, 1999, Hlm.214
[12] Drs. H hamdani Ihsan dkk.Filsafat Pendidikan Islam, Bandumg : CV Pustaka Setia.hlm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar