BIOGRAFI
DAN PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang. Keberhasilan guru dalam menciptakan
kondisi yang optimal dalam kegiatan belajar mengajar juga dapat mempengaruhi
siswa untuk belajar dan menerima stimulus dengan tanggapan positif yang pada
akhirnya akan mempengaruhi belajar siswa. Dengan demikian pendidikan dapat
didefinisikan bahwa pendidikan adalah merupakn suatu usaha atau proses yang
ditujuakan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya agar dapat
melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pendidikan
pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara
fungsional ditengah-tengah kehidupan manusia. Pendidikan demikian akan dapat
dirasakan manfaatnya bagi manusia.[1]
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat disimpulkan dalam
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana biografi singkat Imam
Al-Ghazali?
2.
Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali
tentang pendidikan?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan kedalam
tujuan masalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui biografi
singkat Imam Al-Ghazali.
2.
Untuk mengetahui pemikiran Imam
Al-Ghazali tentang Pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat
Nama lengkap Imam Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad ibn Ahmad Al-Thusi Al-Ghazali, beliau dilahirkan di desa Khurasan,
Persia (sekarang Iran) pada tahun 450 H/1059 dan meninggal dunia di tanah
kelahirannya pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al-Ghazali dinisbahkan ke Thusi
karena ia merupakan kota dimana penduduk Khurasan bekerja, yang sebelumnya
bernama Thabaran. Kota Thusi ditaklukan oleh umat Islam pada tahun 28 H/649 M,
dirobohkan oleh para penghianat pada tahun 791 H/1389 M, dan di kota itulah
Khalifah Harun Al-Rasyid dikuburkan.[2] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad juga
dikenal dengan nama Al-Ghazali karena ada hubungannya dengan nama tempat
kelahirannya, desa Ghazalah. Al-Ghazali artinya orang yang berasal dan desa
Ghazalah. Ada pula yang mengatakan bahwa beliau dipanggil al-Ghazali karena
ayahnya seorang pemintal benang tenun (Ghazali dalam bahasa Arab berarti benang
tenunan). Jadi, al-Ghazali artinya anak seorang pemintal benang tenun.
Ayah al-Ghazali, yaitu Muhammad, bekerja sebagai
pemintal benang tenun. Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya sehari-hari. Walaupun hidup dalam keadaan serba kekurangan,
Muhammad adalah seorang pecinta ilmu pengetahuan dan berharap kedua anaknya,
yaitu Al-Ghazali dan Ahmad kelak menjadi orang-orang yang memilki ilmu
pengetahuan yang luas.[3]
Remaja, sebuah usia anak yang seringkali mengalami
fluktuasi di pelbagai dimensi perkembangan tidak disia-siakan Al-Ghzali. Dia
pergi ke jurjan dan memperdalam fiqih ke Abi Al-Qasim Al-Isma’ili (w.
477/1085), disaat umurnya belum genap 20 tahun. Tidak diketahui pasti berapa
lama dia tinggal di sana. Yang pasti, ketika hendak pulang dari sana Al-Ghazali di hadang oleh
para pembegal dengan merampas tasnya yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu
pengetahuan yang disenanginya. Kejadian itu menjadikan trauma psikologis
berkepanjangan bagi Al-Ghazali, dan sejak itu juga dia selalu berhati-hati
terhadap apa yang dibawanya (Fa’iz Muhammad ‘Ali Al-Hajj, 1988: 29). Setelah
kejadian itu, Al-Ghazali menjadi bertambah rajin mempelajari kitab-kitabnya,
memahami limu yang dikandungnya, dan berusaha mengamalkannya. Juaga selalu
menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus yang aman (Abuddin Nata,
2000:82).[4]
Di kota Bagdad, nama Al-Ghazali semakin populer, halaqah (kelompok) pengajiannya semakin
luas,. Di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan golongan Bathiniyah
Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita krisis rohani
sebagai akibat sikap kesangsiannya (al-asyak),
yang oleh orang abrat dikaenal dengan Skepticisme, yaitu krisis yang menyangsikan
terhadap semua makrifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat
krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya
mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya,
seperti rector dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami’
Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah)
untuk beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.
Lalu pada tahun 490 H/1098M, ia menuju Palestina berdoa disamping kubur Nabi Ibrahim
a.s. kemudian, ia berangkat ke Makkah dan ke Madinah untuk menunaikan ibadah
haji dan berziarah ke makam Rasulullah Muhammad SAW. Akhirnya, ia terlepas dari
kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf. [5]
Cukup banyak pengalaman-pengembaraan Al-Ghazali di luas
dan dalamnya lautan ilmu. Dia menghibahkan diri sebagai pribadi yang haus akan
ilmu dengan merelakan diri hanyut di rantau keilmuan. Ke Bagdad, Syam, Mekkah, Palestina,
Hijaz, Mesir, dan pelbagai belahan dunia keilmuan, merupakan tempat dimana al-ghazali
sekurang-kurangnya pernah singgah dalam beberapa waktu untuk belajar/mengajar.[6]
Pada tanggal 14 jumadil akhir 505H/1111M, Imam Al-Ghazali
wafat. Beberapa saat sebelum wafat, beliau minta dibawakan keranda yang biasa
digunakan untuk memanggul jenazah. Beliau menatap keranda itu sambil berkata, “Apapun
perintah Allah, aku siap untuk melaksanakannya.” Beliau lalu melunjurkan
kakinya dan menghembuskan nafasnya yang terakhir, dan jenazahnya dimakamkan di
kota Thus, Iran.[7]
B. Pemikiran Pendidikan Imam
al-Ghazali
Al-Ghazali
adalah penganut paham kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan jenis
kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia
Islam maka hukumnya wajib. Ia juga salah satu penganut konsep pendidikan tabula
rasa (kertas putih).Jadi sekiranya kurang arif jika ada anggapan bahwa umat
islam terbelakang gara-gara al-Ghazali.
Dalam
kategorisasi ilmu yang dilakukan, ilmu-ilmu agama menduduki peringkat pertama
dan utama dalam pemikiran al-Ghazali. Sehingga menurut al-Ghazali selayaknya
seorang pelajar pemula mempelajari ilmu agama asasi terlebih dahulu sebelum
mempelajari ilmu furu’ . jadi dalam kategorisasi ilmu agamapun
al-Ghazali masih membaginya pada apa yang ia sebut demi kepentingan tertib
belajar. Ilmu kedokteran, matematika dan ilmu terapan lain harus mengalah pada
ilmu agama dalam kacamata al-Ghazali karena ilmu agama meliputi keselamatan di
akhirat, Sedangkan yang terapan hanya untuk keselamatan di dunia.
Disamping
itu ia juga menjelaskan bagaimanakah seorang pelajar harus bersikap terhadap
ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar.Dan menurut
penulis apa yang telah dikemukakan al-Ghazali adalah lebih moderat ketimbang
apa yang kemudian diterjemahkan ulang yang banyak penambahan sana sini oleh
pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih beroriantasi pada etika murid
pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan
al-Ghazali mencakup pula pada bagaimana seorang guru harus bersikap dan
memperlakukan murid dalam pengajaran yang dilakukan, bahkan ia juga menyinggung
metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai
pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang
dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang
murid berprestasi hendaklah seorang Guru mengapresiasi Murid tersebut, dan jika
melanggar hendaklah diperingatkan. Untuk bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali
tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang
memberikan reward and panisment-nya dalam bentuk kebendaan dan
simbol-simbol materi. Al- Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah
(dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping
pendekatan behavioristik diatas, al-Ghazali juga mengelaborasi dengan
pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak
didik sebagai manusia secara holistic dan mengahrgai mereka sebagai manusia.
Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap
lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah
anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghazali menginginkan
sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam
pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya
guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu
masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Lebih
dari itu, ia adalah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara
guru dan murid dalam tataran sama, yang pertama mendapatkan jasa karena
memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan
pengetahuan.
Tapi
hal yang paling Nampak dalam kacamata al-Ghazali tentang pendidikan adalah
bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah
etika pendidikan. Karya al-ghazali mengenai pendidikan cukup banyak. Diantara
yang paling masyhur adalah fatihah al-‘ulam, ayyuha al-walad, mizan al-‘amal,
dan al-risalah al-ladunniyyah. Sedangkan karya monumentalnya yang di dalamnya
juga banyak dijelaskan masalah-masalah keilmuan dan kependidikan- sealain
kalam, fiqih, dan akhlak adalah ihya’ ‘ulam al-din. Jauh sebelum para filosof
kependidikan memikirkan/membangun struktur kependidikan, al-ghazali sudah
meletakkan struktur kependidikan itu (nizhaman tarbawiyyah) secara universal
dan komprehensif. Tidaklah asing bagi kita bahwa pendidikan merupakan produk
deterministic (natijah hatmiyyah) bagi filsafat, karena seorang filosof biasa
bekerja sesuai kerangka dasar dan prinsip-prinsip yang ada jika terlebih dahulu
masuk ke dalam pendidikan. Artinya, pendidikan merupakan pintu masuk bagi
filosof dalam berfilsafat.
Tujuan
pendidikan dalam pandangan al-Ghazali adalah mencapai mardlatillah (Ridha
Allah) dan haruslah dihindari dari tujuan-tujuan duniawi. Karena tujuan duniawi
dapat merusak seluruh proses pendidikan. Dan dapat mendangkalkan arti
pendidikan itu sendiri.
Al-ghazali membangun paradigma tujuan pendidikan sesuai
dengan pandangan dan falsafah hidup manusia. Paradigma pendidikan yang dibangun
harus sesuai dan sekaligus mampu mengaktualisasikan tujuan-tujuan kependidikandalam
bingkai falsafah hidupnya.
Skematik Bangunan Keilmuan/Kependidikan Al-Ghazali
Secara skematik bangunan keilmuan/kependidikan
al-ghazali bisa dijelaskan sebai berikut:
Syar’iyyah Wajib
Kifayah
Ilmu Mahmudah
Wajib Fadhilah
Ghayr Syar’iyyah Mubah
Madzmumah
Keterangan:
1.
Ilmu yang disyariatkan (al-syar’iyyah) adalah ilmu yang
disandarkan kepada Nabi Saw. Dan bukan diperoleh melalui aktivitas akal (wa al yursyid al-‘aql) seperti ilmu
berhitung (al-hisab), bukan pula dari
pengalaman (at-tajribah) seperti ilmu
kedokteran, dan bukan pula dari pendengaran seperti fiqih.
2.
Ilmu yang tidak disyariatkan (al-‘ulum ghayr al-syar’iyyah) adalah
ilmu yang tidak disandarkan kepada Nabi Saw. Dan diperoleh melalui penalaran
akal, pengalaman, pendengaran dan sebagainya.
3.
Ilmu yang terpuji (al-‘ilm al-mahmud) adalah ilmu yang
berkaitan dengan kemaslahatan dunia, seperti kedokteran, berhitung/matematika,
dan seterusnya.
4.
Ilmu yang wajib sebagian (Fardhu Kifayah) adalah semua ilmu yang
berkaitan dengan urusan keduniaan yang cukup dipelajari oleh sebagian di antara
sekian banyak orang secara spesialis-profesional. Ilmu kedokteran, misalnya,
dalam konteks wajib kifayah yang spesialis urgen untuk dipelajari bagi
kelangsungan kesehatan hidup manusia. Ilmu berhitung penting dipelajar untuk
menjamin hubungan social/kontrak social, pembagian harta warisan, peninggalan,
wasiat, dan sebagainya. Termasuk di dalam kategori ilmu wajib kifayah adalah
ilmu politik, ilmu pertanian, ilmu perindustrian, dan sebagainya.
5.
Ilmu yang diutamakan (‘ilmu fadhilah) adalah ilmu yang secara
professional lebih dalam dari ilmu wajib kifayah. Jika dalam ilmu wajib kifayah
seseorang hanya mengetahui dasar-dasarnya saja, dalam ilmu yang diutamakan
adalah mendalami lebih jauh ilmu wajib kifayah itu sampai pada batas di mana
orang lain tidak menandinginya.
6.
Ilmu yang tercela (al’ilm al-madzmum) adalah ilmu yang
tidak dikehendaki oleh syari’ah, seperti ilmu sihir, ilmu jimat/mantera, ilmu
sulap (‘ilm al-sya’badzah), dan
ilmu-ilmu samara lainnya(ilm al-talbisat).
7.
ilmu yang dibolehkan (ilm al-mubah) adalah seperti ilmu
sastra, syair, ilmu sejarah, dan sebagainya.
Kerangka paradigmatik kependidikan Al-Ghazali kiranya
sesuai dengan kaum Empirisme Inggris seperti John Locke (1632-1704) dan David
Hume (1711-1776), yang menyatakan bahwa anak itu lahir bagaikan kertas putih
yang kepadanya bisa dituliskan apa saja. Konsep ini dalam ilmu jiwa
perkembangan dikenal dengan istilah Tabula
Rasa. Empirisisme Locked dan Hume dibangun berdasarkan prinsip tunggal, “semua pengetahuan berawal dari pengalaman.”
Akal budi dan spekulasi yang abstrak, dalam terminologinya filsafat, harus
diletakkan pada pengalaman, dalam kemampuan belajar dan mengetahui tentang
dunia melalui pancaindera. Tegasnya, “semua pengetahuan berasal dari indera.”
Namun Locke juga menerima metafora Cartesian, yaitu perbedaan antara pikiran
dan tubuh; dan Karena itu, dia memandang bahwa pengetahuan pertama-tama
berkenaan dengan pemeriksaan pikiran. Pikiran, demikian Locke, adalah
suatu,”potongan kayu kosong” yang akan ditulis oleh pengalaman di sepanjang
kehidupan seseorang. Jika kaum rasionalis lain, seperti Rene Descartes
(1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Gottfried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716), berargumen bahwa untuk sejumlah “ide bawaan” yang jelas, justru Locke
menyarankan bahwa pikiran lebih mirip dengan suatu kamar kecil yang kosong,
yang akan diterangi hanya melalui cahaya yang masuk dari luar (Robert C.
Solomon dan Kathleen M. Higgins, dalam terj. Saut Pasaribu, 2002:386-387).
Al-Ghazali, sebagaimana Empirisme Locked dan Hume,
berpandangan bahwa anak berpotensi secara sama (‘ala haddin sawa’) untuk menerima yang baik dan yang buruk.
Sebagaimana dikatakan dalam hadis Nabi saw., “semua anak itu dilahirkan berdasarkan fitrah-nya, kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya yahudi, nasrani, dan majusi” (HR. Muslim). Dalam
menafsirkan hadis ini Al-Ghazali mengatakan bahwa pada dasarnya setiap anak
dilahirkan dengan membawa watak potensial yang seimbang (al-mizaj al-I’tidal), dia menjadi jahat karena pengaruh lingkungan
dan begitu juga sebaliknya dia menjadi baik karena pengaruh lingkungan. Namun
demikian, Al-Ghazali juga tidak menampik adanya potensi bawaan (al-isti’dad al-waritsiyyah) yang juga
berprestasi bagi pembentukan pribadi si anak. Namun, sekali lagi perlu
ditegaskan bahwa bawaan itu akan berkembang secara efektif dan dinamis bilamana
dikembangkan melalui pendidikan. Jadi, pendidikan merupakan media paling
efektif bagi pembentukan pribadi anak didik. Sebagaimana dikatakan para
psikolog modern, “Pohon dan biji kurma tidaklah berbuah pohon apeel sebelum
kita memproteksinya dengan menanam dan “mendidik”-nya lebih dahulu. Artinya,
suatu pendidikan tidak mungkin bisa mengubah potensi kesiapan biji kurma untuk
menerima sebagian keadaan (lingkungan). Namun jga karena pendidikan
(pencangkokan/cloning) biji kurma bisa menghasilkan buah apel dan begitu pula sebaliknya.”
Juga dikatakan, “kita juga tidak kuasa menahan marah dan keinginan secara
keseluruhan sehingga tiada berbekas sekalipun kita mengusahakannya secara
sungguh-sungguh melalui latihan dan perjuangan kea rah itu” (Al-Ghazali, ihya’’ulam al-din, juz III, hlm.48)[8]
Kompetensi professional guru kiranya menjadi perhatian
serius Al-Ghazali dalam mendidik anak didik. Guru harus professional dalam
mendekati aspek kejiwaan dan watak anak didik (nafisah al-thifl wa thabi’atihi). Guru hendaknya mendidik anak didik
dengan cara-cara yang baik (keteladanan) yang bisa menumbuhkan etika dan
perilaku yang baik dalam pergaulan social. Anak didik jangan dibiasakan dengan
sesuatu yang jelek (al-‘abats,
sesuatu yang sia-sia) dan kelakar yang berlebihan (al-mujun). Anak didik jangan dibiasakan tidur siang karena
kebiasaan demikian mewarisi kemalasan. Anak didik jangan dibiasakan
mengkonsumsi makanan berlebihan yang mengakibatkan kelelahan dan kegemukan,
yang pada akhirnya menjadikannya pemalas. Sabda Nabi Saw., “tidur waktu pagi bisa mewarisi kefakiran.”
Karena pagi-siang hari, bagi Al-Ghazali, merupakan waktu paling efektif untuk
bergerak, berlatih, dan berjuang mengembangkan diri kearah yang lebih baik
dalam semua aspek kehidupan baik kesehatan, kecerdasan, maupun ekonomi.
Sebaiknya, demikian Al-Ghazali, anak didik hendaknya dibiasakan dengan sesuatu
yang baik di waktu-waktu luangnya, seperti membaca atau mempelajari al-Qur’an, Hadis,
Hikayat/Kisah, Syair, dan Lagu-lagu yang “merangsang” jiwa anak didik kearah
kebaikan.
Lebih dari itu, guru juga disarankan memilki rouping atau “Panggilan hati nurani”
untuk melakukan kegiatan pembelajaran/pendidikan. Rasa senang dan menyenangi
profesi yang ditekuni adalah prasyarat khusus yang harus dimilki guru. Guru
harus merasa ikhlas, sebagai nyawa
bagi keberlangsungan proses pembelajaran/pendidikan yang efektif. Jika guru
mengajar/mendidik bukan karena panggilan hati nurani (ikhlas) laksana tubuh
manusia berjalan tanpa ruh. “Setiap manusia
akan celaka kecuali orang yang berilmu akan celaka kecuali yang mengamalkan
ilmunya, dan orang yang mengamalkan ilmunya pun akan celaka kecuali yang
beramal dengan ikhlas.” Demikian Sabda Nabi. Yang selalu dikutip Al-Ghazali.
Artinya, proses pembelajaran/pendidikan harus dijalankan dengan penuh rasa
cinta karena dengan cinta segala sesuatu yang kaku akan menjadi cair.
Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali mengenai ta’mim
al-mutsir, “Persaksian dan pengamalan menunjukkan bahwa sesungguhnya cinta
itu melampaui segala sesuatu yang meliputi dan berkenaan dengan pribadi yang
dicintainya……Barangsiapa mencintai Allah berarti ia mencintai segala sesuatu
yang berhubungan dengan-Nya, dan siapa yang mencintai manusia berarti ia mencintai
pekerjaan, garis hidup, dan semua perilakunya” (Fa’iz Muhammad ‘Ali Al-Hajj,
dalam Min A’lam Al-Tarbiyyah Al-‘Arabiyyah Al-Islamiyyah, jilid III,
1409H/1988M, Hlm.47).
Selain itu, kiranya learnig
experiences atau pengalaman belajar guru juga berprestasi positif dalam
merangsang kesadaran dan komitmen anak didik mengenai masalah social dan etika
masyarakatnya. Anak didik, demikian Al-Ghazali, harus diberikan kesadaran
mendalam mengenai ajaran agamanya guna terbina kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Secara pragmatis-teologis, sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2000:94),
Al-Ghazali menyarankan supaya ajaran Islam tidak saja dikuasai kognitif, tetapi
juga mengimplementasi ke dalam perilaku afektif dan psikomotorik anak didik.
Akhirnya, proses pembelajaran/pendidikan harus bisa membangkitkan kesadaran
kependidikan bagi anak didik baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.[9]
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat Al-Islam (Argumentasi Islam)
karena pembelaannya yang menggunakan terhadap agama Islam, terutama terhadap
kaum bathiniyat dan kaum filosof.
Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam)
bahwa ia adalah muslim terbesar sesudah Muhammad Saw. memperkuat kebesaran nama
yang disandangnya.
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa,
ia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang
produktif. Pemaparannya sangat bagus, gaya bahasanya menarik, dalil yang
disajikan sangat kuat sehingga setiap ilmu yang dituliskannya dapat dijadikan hujjah. Karya tulisnya meliputi berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangannya ini tidak sedikit dialihbahasakan
orang ke dalam berbagai bahasa di Eropa. Di bawah ini hanya akan disebutkan
beberapa warisan dari karya ilmiahnya yang paling besar pengaruhnya terhadap
pemikiran umat Islam.
1.
Ihya’ Ulum Al-Din, berisikan kumpulan
pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
2.
Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad, diuraikan di
dalamnya akidah menurut aliran al-asy’ariah.
3.
Maqasid Al-Falasifat, berisikan ilmu
mantiq, alam, dan ketuhanan.
4.
Tahafut Al-Falasifat, berisikan kritikan
terhadap para filosof.
5.
Al-Munqiz Min Al-Dhalal, dipaparkan di
dalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai
zamannya dan berbagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut
dikajinya secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
6.
Mizan Al-‘Amal, di dalamnya berisikan
penjelasan tentang akhlak.
Dari hasil pemaparan di atas dapat dilihat bahwa
Al-Ghazali dalam hidupnya telah menempuh berbagai jalan dan meneliti berbagai
madzhab; dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik menjadi seorang
teolog Muslim, berpindah sebagai filosof Muslim, dan berakhir sebagai seorang
sufi.[10]
Al-ghazali juga seorang pengarang kitab-kitab yang telah
populer, diantaranya:
1.
Ihya Ulumuddin (Menghidupkan
ilmu-ilmu agama).
2.
Tahafutul Falasifah wa
Maqashidul falasifah (Kerancuan ahli filsafat dan tujuan filsafat).
3.
Al-Munqidzu minad dhalali
(Pembahas dari kesesatan).
4.
Misykatul Anwari (Lampu yang
terang).
Al-Ghazali telah menulis tentang metafisika berbab-bab dan
berpasal-pasal yang merupakan pembahasan yang paling dahulu tentang metafisika
dan yang ditulis dewasa ini dalam berbagai bahasa tentang kematian, siksa,
pahala, dan hisab, sebenarnya al-ghazali telah mendahuluinya.[11]
Al-Ghazali mempunyai pemikiran dan pandangan luas
mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek
akhlak semata-mata seperti yang dituduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuan
tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain, sepertti aspek keimanan
(ketauhidan, keesaan), akhlak sosial, jasmaniah, dan sebagainya. Jadi, pada
hakikatnya usaha pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingakan semua hal
tersebut dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan
yang dikembangakan Al-Ghazali (awal dari kandungan ajaran Islam dan tradisi
Islam), yang berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.
aspek-aspek pendidikan dalam pandangan al-ghazali
Pembahasan ini dapat diuraikan sesuai dengan urusan
aspek-aspek pendidikan sebagai berikut:
1.
Aspek pendidikan keimanan
2.
Aspek pendidikan akhlak
3.
Aspek pendidikan akliah
4.
Aspek pendidikan social
5.
Aspek pendidikan jasmaniah.[12]
KESIMPULAN
Pemikiran
pendidikan menurut al-Ghozali merupakan hasil dari aplikasi dan responsi
jawabannya terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya pada
saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak bahwa
sebagiaanya masih ada yang sesuai dan sebagian lainnya ada yang perlu
disempurnakan. Aspek kejiwaan atau kerohanian yang dikemukakan Al-Ghazali
memiliki dasar-dasar persamaan dengan Al-Qur’an meskipun susunan katanya
berbeda tetapi maksud dan tujuannya sama. Pendidikan menurut Al-Ghazali adalah
bukan semata-mata untuk dunia tetapi karena Allah SWT.
Dalam
proses belajar misalnya, peserta didik hendaknya belajar dengan niat ibadah
dalam rangka taqarrub ila Allah dan mendahulukan kesucian hati dari
akhlak yang rendah dan sifat tercela, karena ilmu adalah ibadah dan sholatnya
dari hati, dan pendekatan pada Allah SWT .
Kemuliaan
pendidikan menurut al-Ghozali sangat jelas diterangkan dalam al-Qur’an, Al-Hadits, dan perkataan
para Sahabat. Dari ketiga sumber tersebut mendorong kepada setiap individu maupun kelompok untuk
belajar, menuntut ilmu dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka
meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan dengan jalan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abuddin nata, Ma, Metodologi study Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Dr.
Imam Tholkhah, MembukaJjendela Pendidikan
(mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan Islam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan
Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.a., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
Al-Ustadz. Ing. Abdul Razak Nawfal, Tokoh-tokoh Muslim Sebagai Perintis ilmu pengetahuan modern, Jakarta:
Kalam Mulia, 1999.
Drs. H hamdani Ihsan dkk.Filsafat Pendidikan Islam,
Bandumg : CV Pustaka Setia..
[1] Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi
Study Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hlm. 290
[2] DR. Imam Tholkhah, Membuka
Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan
Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.260
[3] Ikhwan Fauzi, Lc, Cendekiawan Muslim Klasik, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, Hlm.2
[4]DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan...., Op.Cit.,Hlm.260-261
[5]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, Hlm.157
[6]DR. Imam Tholkhah, Membuka Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi
keilmuan pendidikan Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
Hlm.262
[8] DR. Imam Tholkhah, Membuka
Jendela Pendidikan (mengurai akar tradisi dan integrasi keilmuan pendidikan
Islam), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Hlm.287
[9] Ibid., Hlm.269-270
[10] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007, Hlm. 158-159
[11] Al-Ustadz. Ing. Abdul Razak Nawfal, Tokoh-tokoh Muslim sebagai perintis ilmu pengetahuan modern, Jakarta:
Klam Mulia, 1999, Hlm.214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar