DINAMIKA PEMIKIR DAN PEMIKIRAN KONTEMPORER STUDI AL
QURAN
PENDAHULUAN
Al Quran bukanlah suatu kitab
atau buku ilmiah, bukan pula buku sejarah atau buku sastra, atau buku
ensiklopedia. Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
saw. untuk disampaikan kepada seluruh
umat manusia agar dipahami, dikaji, dihayati dan diamalkan isinya sehingga
menjadi bimbingan dan pedoman dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Al Quran
diturunkan oleh Allah secara sempurna seirama dengan berakhirnya masa risalah
kenabian yang ditandai dengan wafatnya Rasullullah saw. Kemudian al Quran
menjadi pusaka yang paling berharga bagi manusia, khusunya umat beriman, untuk
dijadikan penyuluh dan sumber inspirasi dalam menjalankan berbagai aktivitas. Dengan demikian al Quran tidak hanya diturunkan untuk orang-orang
beriman tetapi juga kepada seluruh manusia. Hanya saja, dilihat dari
aplikasinya, al Quran menjadi pedoman hidup, mau’ziah, furqon dan rahmat bagi
orang yang bertaqwa, tetapi tidak hanya tertutup kemungkinan untuk dijadikan
pelajaran oleh siapa saja yang mengkajinya.
Ketika Rasullullah saw. masih hidup, para sahabat dan
orang-orang beriman pada masa itu tidak mengalami kesulitan dalam memahami al
Quran karena mereka dapat menanyakan langsung kepada Nabi tentang hal-hal yang
tidak mereka ketahui. Nabi menjelaskan sesuai dengan arahan wahyu dan tidak ada
keraguan sedikitpun di kalangan para sahabat terhadap penjelasannya. Namun
belakangan ini al Quran menjadi sulit bagi yang berbeda bahasa, ketika Islam mulai
berkembang keluar Jazirah Arabia. Apalagi setelah Nabi Muhammad saw. wafat dan
Islam sudah menyebar ke berbagai kawasan dunia mengalami kesulitan memahami
pesan-pesan al Quran. Maka muncullah ulama-ulama tafsir untuk memberikan
penjelasan atau syarahan terhadap ayat-ayat al Quran yang sulit dipahami.
Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan tentang
dinamika pemikiran al Quran dari pemikir yang terdahulu maupun pemiki saat ini.
Serta mengidentifikasi
persamaan dan perbedaan pemikiran para mufasir dalam menafsirkan al Quran.
SUBSTANSI KAJIAN
2.1 DINAMIKA PEMIKIRAN PARA PAKAR
KONTEMPORER
Pemikir Kontemporer dan Pemikirannya
Menurut Ibn Katsir al
Quran mulai diturunkan di sebuah tempat yang suci yang agung yaitu kota suci
Makkah. Juga dalam bulan yang agung yaitu bulan Ramadhan, maka ia menggabungkan
antara ruang dan waktu. Selain itu al Quran juga memiliki kualitasyang berada
di luar kemampuan daya dukung sebuah gunung karangpun. Kenapa kami tulis
seperti ini, karena gagasan ini telah
ditegaskan dalam kitab itu sendiri dan ini benar-benar dari Allah. Namun
kekuatan ini tidak hanya kekuatan yang merusak saja, tetapi ia juga sumber
positif bagi kesembuhan dan damai.[1]
Para ahli Barat umumnya
menganggap kata-kata seperti Quran, Furqan, surah dan
seterusnya merupakan kata-kata pinjaman. Para ahli muslim umumnya menyatakan
bahwa Quran itu seluruhnya dalam bahasa Arab dan kata-kata asing di dalamnya
adalah kata-kata yang telah disepakati baik oleh orang Arab maupun bukan Arab
atau sudah menjadi bagian dari bahasa Arab sebelum dipakai dalam al Quran yang
menyatakan bahwa kitab itu telah diturunkan pada ayat-ayat al Quran yang
menyatakan bahwa kitab itu telah diturunkan dalam bahasa Arab.[2]
Dari sedikit penjabaran
pemikiran di atas, ada beberapa ahli tafsir yang menyebutkan bahwa kebanyakan
tafsir yang didasarkan pada tradisi Nabi sebenarnya berpijak pada haits-hadits
yang dapat diragukan, lemah dan sering berupa hadits palsu. Zarkasyi mengajukan pandapatnya mengenai peringatan
Nabi untuk tidak melakukan penafsiran Quran menurut pendapat sendiri sebagai
berikut: “Jika Hadits ini kuat, maka barangsiapa yang berbicara mengenai Quran
semata-mata berdasarkan pendapatnya sendiri, tanpa bertumpu pada sesuatupun
kecuali ucapannya sendiri, walaupun dia benar, akan sesat dari jalan yang benar.
Ini karena ia berpendapat tanpa bukti apa pun”. Zarkasyi kemudian
mengutip sebuah hadits Rasul yang mendukung penafsiran pribadi: “Quran itu
lembut, mampu terhadap berbagai jenis penafsiran. Maka tafsirkanlah menurut
jenis yang terbaik”.[3]
Kebanyakan sarjana keagamaan
Sunni sangat kritis terhadap tafsir-tafsir yang mewakili pandangan madzhab
pemikiran, aliran hukum atau mistik tertentu. Salah satu madzhab pemikiran,
aliran hukum atau mistik tertentu. Salah satu madzhab tertua yang dalam
beberapa hal pengaruh dalam teologi dan filsafat Islam adalah Mu’tazilah. Kaum
Mu’tazili menekankan rasionalitas ketat dalam pikiran manusia sebagaimana juga
dalam tindakan Ilahi. Allah bertindak secara rasional
dan sesuai dengan kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Jika Allah baik, Dia tidak
dapat berbuat jahat. maka Allah terikat oleh kebaikan dan oleh keadilan
mutlak-Nya. Karena itu manusia sendirilah yang bertanggungjawab atas
tindakannya.[4]
Kaum Syiah umumnya sepakat dengan penafsiran Sunni
mengenai prinsip Zhahr (luar) dan Bathn (dalam) Quran. Karena
Quran terutama ditujukan kepada para imam, acuan sejarahnya tentunya kepada
mereka lebih dahulu dan barulah setelah itu kepada para pengikutnya (Syiah)
dan berikutnya kepada mereka yang datang setelahnya. Maka diriwayatkan, Imam
Kelima mendefinisikan baik Zahr maupun Bathn sebagai takwil.
Takwil dalam hal ini bukan berarti penafsiran tetapi pencapaian. Imam Kelima
melanjutkan: ”Ada darinya (takwil) yang telah dipenuhi dan ada yang belum. Ia
berlangsung sebagaimana matahari dan bulan. Bila waktu baginya tiba, ia
terpenuhi”.[5]
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905),
salah seorang ahli tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip “Tidak
menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak
pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh al Quran”. Ketika
menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang “Timbangan amal perbuatan di
Hari Kemudian”, ‘Abduh menulis: “Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan
apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas
dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka
hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar
keimanan”. Bahkan, ‘Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang
tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap
yang ditempuh oleh sahabat ‘Umar bin Khattab ketika membaca abba dalam
surat Abasa (80:31) yang berbicara tentang keanekaragaman nikmat Tuhan kepada
makhlukn-makhlukNya.[6]
Sumbangan besar pemikiran Muhammad Abduh adalah
demitologis teks-teks dasar yang setidaknya dalam tiga cara,
1.
Menegaskan historitas teks-teks
sumber (yakni al Quran dan Sunnah) dengan cara yang moderat dan menggambarkan
mentalitas bahasa Arab (pada masa Nabi). Serta mangaitkan teks-teks sumber itu
dengan mentalitas Arab tersebut.
2.
Dia mencoba untuk membedakan al
Quran sebagai buku petunjuk dengan buku-buku yang lain yang berbicara tentang
sejarah filsafat atau hukum.
3.
Dia mengesahkan prinsip bahwa
al Quran menjelaskan tentang dirinya
sendiri (yufassiru ba’dhuhum ba’dhan) untuk mengurangi efek samping
strategi tafsir tradisional yang terlalu banyak dibebani oleh perdebatan
filosofis dan grmatikal yang tidak perlu, serta dibebani oleh pendapat sekitar
identifikasi hal-hal yang tidak perlu disebutkan dalam al Quran dengan cara
mengutip hadits-hadits yang tidak otentik.[7]
Bisa dikatakan bahwa Abduh telah membangun prinsip dasar
hermeneutika al Quran modern, yang sedemikian jauh sudah dielaborasi dan dikembangkan
tanpa mempertanyakan asumsi esensial yang mendasarinya, yakni al Quran sebuah
teks yang hanya membutuhkan analisis tekstual yang memperhatikan konteks
pewahyuan. Dalam asumsi ini pendekatan mistis sufi terhadap al Quran dicela
sebagai praktik mistik dan gerakan-gerakan sufi (sufi orders) dianggap anti
modern dan semi politeistik. Namun di Sudan gerakan dan tradisi sufi ini justru
memunculkan pemikir seperti Mahmud Muhammad Thaha (dieksekusi pada tahun
1985) yang mencuatkan konsep ‘pesan kedua Islam’ (al-risalah al-tsaniyah
lil-islam) dengan menggunakan dua konsep dari wilayah ilmu-ilmu al Quran.
Yaitu tentang makkiyah-madaniyah dan nasikh-mansukh.
Menurut pemikiran Muhammad Thaha, pesan ayat-ayat makkiyah
yang secara mendasar bersifat spiritual, memuat keadilan, kebebasan dan
kesetaraan telah diganti oleh pesan ayat-ayat madaniyah yang menekankan
hukum aturan dan ketaatan, karena masyarakat Arab tidak mampu menerima
ayat-ayat makkiyah dalm konteks abad ketujuh. Sekarang bukan hanya mungkin,
tetapi juga sangat penting untuk kembali kepada ayat-ayat makkiyah dan
menunda pemberlakuan ayat-ayat madaniyah yang hanya sesuai dengan
masyarakat Arab pada abad ketujuh. Menurut Thaha, syariah pada abad ketujuh
tidak cocok diterapkan pada abad keduapuluh ini. Dengan menerapkan konsep nasikh-mansukh
pada pesan ayat-ayat madaniyah, yang menurutnya telah dinaskh (dihapus
pemberlakuannya) oleh ayat-ayat makkiyah, maka ayat-ayat makkiyah
akan diaktifkan kembali dan diberi kekuatan besar untuk diterapkan.[8]
Sedangkan pemikiran Muhammad Shahrur agak sedikit
berbeda dengan pemikir lainnya. Shahrur menyatakan dalam al Quran sebagai kata
Tuhan adalah diciptakan (created;makhluk):
“Seluruh yang ada dalam semesta alam adalah kata Allah, karena
kata-katanya tidak berbahasa, kata matahari bagi Allah adalah matahari itu
sendiri. Kata “sun” dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “syams” dalam
bahasa Arab, tetapi bagi Allah “sun” adalah matahari itu sendiri, maka al Quran
sebagai sebuah kata, adalah diciptakan, karena apabila ia tidak diciptakan
berarti Allah adalah zat beretnis Arab”.[9]
Bagi Sharur kehidupan yang dicontohkan Nabi hanya
menyediakan sebuah model bagi muslim kontemporer, dalam pengertian bahwa beliau
telah hidup sesuai pesan Allah, bukan hanya dalam pengertian bahwa kita hidup
harus membuat pilihan yang sama dengan beliau (secara mutlak). Dalam pandangan
Shahrur bahwasanya konteks terpenting bagi penafsiran al Quran adalah konteks
politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup umat dan satu-satunya batasan
pada penafsiran di dalam konteks itu telah tersedia dalam bahasa teks itu
sendiri dan tuntunan era modern yang tentangnya
(al Quran) harus bicara.[10]
Disinilah terletak keunikan pendekatan Shahrur: tidak
ada kontekstualisasi baik bagi teks, penerimaannya, maupun penyusunannya.
Dengan kata lain, al Quran menurut pandangan ini adalah sebuah teks tanpa
konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan
dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah
orang penerima, ia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan pesan
hanya terbatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh
pertama atau sebagai variasi pertama dari beragam variasi perwujudan al Quran
lainnya.[11]
Sharur, menerapkan pendekatan linguistik tertentu untuk
membedakan sejumlah variasi kata-kata yang digunakan dalam al Quran. Al Kitab
tidak sama dengan al Quran, keduanya bukan sinonim. Sebenarnya teori tidak ada
sinomitas dalam bahasa Arab Arab berasal dari teori linguistik Dr. Ja’far
Dakk Al Bab, yang menulis pengantar dan menyumbangkan bab penutup Asrar
al-Lisan al-Arabi.[12]
Perbedaan al Quran dan al Kitab sejajar dengan dua aspek
yang juga dibedakan Shahrur, yaitu al Mubuwwah (Kenabian) dan al Risalah
(Pesan/Kerisalahan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas dan khayalan /ilusi. Sedangkan yang kedua
berisi hukum dan aturan tingkah laku. Yang pertama bersifat obyektif dan
independen dari penerimaan manusia. Yang kedua bersifat subjektif dan
tergantung pada pengetahuan manusia dan kapasitas manusia untuk mengetahui
antara yang benar dan yang salah.[13]
Muhammad Arkoun, seorang pemikir
Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “Al Quran memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh
ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak.
Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah
pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.[14]
Penafsiran yang
berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al Quran
terpisah-pisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh.
Memang satu masalah dalam al Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam
beberapa surat. Misalnya masalah riba’, yang dikemukakan dalam
surat-surat al Baqarah, Ali Imran dan Al Rum, sehingga untuk mengetahui
pandangan al Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup
ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.[15]
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi,
bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda,
namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang
berbea-beda tersebut.[16]
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun
kitab tafsirnya, Tafsir al Quran Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide
yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat
demi ayat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya
dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.[17]
Fakhruddin
ar-Razi[18] lebih mengedepankan ilmu-ilmu aqliah di dalam tafsirnya, sehingga ia
mencampur adukkan di dalamnya berbagai kajian mengenai kedokteran, logika,
filsafat, dan hikmah. Ini semua mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna
Qur’an dan jiwa ayat-ayatnya serta membawa nash-nash Kitab kepada
persoalan-persoalan ilmu aqliah dan peristilahan ilmiahnya, yang bukan untuk
itu nash-nash tersebut diturunkan. Oleh karena itu kitab ini tidak memiliki
ruhaniah tafsir dan hidayah Islam, sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Di
dalamnya terdapat segala sesuatu selain tafsir itu sendiri”, sebagaimana telah
kami kemukakan pada bagian muka.[19]
Kitab al-Kasysyâf
karya Zamakhsyari[20]
adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur di antar sekian banyak tafsir
yang disusun oleh mufasir bir-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi,
Abus Su’ud, An-Nasafi dan para mufasir lain banyak menukil dari
kitab tersebut, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam
tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh ‘Allamah Ahmad An-Nayyir
yang dituangkan dalam bukunya al-Intisâf. Dalam kitab ini An-Nayyir
menyerang Zamakhsyari dengan mendiskusikan masalah aqidah mazhab Mu’tazilah yang
dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya sebagaimana
ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan. Al-Maktabah at-Tijariyah
Mesir telah menrbitkan al-Kasysyâf cetakan terakhir yang diterbitkan
oleh Mustafa Husain Ahmad, dan diberi lampiran empat buah kitab; 1) al-Intisâf
oleh An-Nayyir, 2) asy-Syâfi fî Tajhrîji Ahâdîsil Kasysyâf oleh al-Hafiz
Ibn Hajar al’Asqalani, 3) Hâsyiyah Tafsîr al-Kasysyâf oleh Syaikh
Muhammad Ulyan al-Marzuqi, dan 4) Masyâhidul Insâf ‘alâ Syawâhidil
Kasysyâf juga oleh al-Marzuqi. Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa
tafsir Zamakhsyari mengandung banyak aqidah Mu’tazilah yang diungkapkan secara
tersirat. Dan pada bagian terdahulu kami telah mengemukakan keterangan yang
dinukil dari al-Buqini, “Saya telah mengeluarkan dari al-Kasysyaf paham
Mu’tazilah untuk didiskusikan.” [21]
Fathul Qadir
karya Asy-Syaukani[22]
adalah sebuah tafsir yang menggaungkan antara riwayat dengan istinbat dan
penalaran atas nash-nash ayat. Dalam tafsir ini asy-Syaukani banyak bersandar
pada tokoh-tokoh mufasir seperti an-Nahhas, Ibn ‘Atiyah dan al-Qurtubi.
Dan tafsir tersebut kini beredar luas di berbagai penjuru dunia Islam.[23]
2.2 PERBEDAAN
DAN PERSAMAAN PEMIKIRAN PARA PAKAR AL QURAN KONTEMPORER DENGAN SALAF
Pengenalan Salaf dan Kontemporer
Al Quran merupakan kitab suci
yang paling sempurna yang antara lain sebagai Hudan Lin Naas. Al Quran
menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmu-ilmu
keislaman tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan Islam
sepanjang empat belas abad. Jika demikian maka pemahaman terhadap ayat-ayat al
Quran melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan penting terhadap maju
mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan
perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Sejak masa Nabi Muhammad saw.
hingga saat ini banyak bermunculan para ulama antara lain ulama Mutaqaddimin
dan ulama Mutaakhirin. Pengertian Ulama’ Mutaqaddimin ialah
ulama’ yang tumbuh dan berkembang sebelum masa abad ke-3 H, dalam masa ini
memiliki 3 periode:
1.
Periode awal Islam (Rasul dan
Sahabat) abad ke-1 H
2.
Periode Tabi’in abad ke-1 H
samapi abad ke-2 H
3.
Periode Tabi’ Tabi’in abad ke-2
H dan ke-3 H
Pengertian ulama mutaakhirin (sesudah tahun 300
H) ialah ulama yang tumbuh dan berkembang sesudah masa abad ke-3 H, yaitu abad
ke-4 H sampai abad ke-12 H.
Ulama mutaqaddimin (ulama salaf/terdahulu) sumber penafsiran
didapat dari penafsiran Rasul saw, penafsiran Sahabat dan tabi’in yang dikelompokkan
Tafsir bi al-Ma’tsur, tetapi mengembangkan lebih jauh dengan
metode-metode kondisional.[24]
Penafsiran Ulama’ Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
Terdapat perbedaan yang mendasar antara tafsir
mutaqaddimin dengan tafsir-tafsir selanjutnya. Penafsiran pada masa Rasul,
Sahabat dan Tabi’in senantiasa berpijak dan mengacu kepada inti dan kandungan
al Quran itu sendiri. Kalau pada masa Rasul, para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas (mubham) kepada beliau, maka
setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya yang memiliki
kemampuan seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.[25]
Pada periode mutaqaddimin mereka belum pernah menaruh
perhatian dari segi nahwu dan I’rab dan merekapun belum
mengadakan kajian terhadap suatu ayat al Quran, susunan-susunan kalimat,
majaz, ijaz, ithnab , taqdim dan ta’khir, washal dan qatha’ serta rida’
dan isitisna’.[26]
Penafsir al Quran Pertama Kali
Penafsir al Quran yang pertama kali adalah Nabi Muhammad
saw. karena beliaulah yang menerima perintah lansung dari hadhirat yang
menurunkan al Quran, agar beliau menerangkannya tentang barang yang telah
diturunkan kepada umat manusia. Dan tafsir dari Nabi saw. itu adalah yang oleh
beliau dinyatakan “sunnah” atau “hadits” dari beliau, baik yang mengenai urusan
kepercayaan atau I’tiqad, maupun yang mengenai urusan ibadah pula yang mengenai
urusan hukum-hukum, urusan undang-undang, urusan akhlaq atau budi pekerti.[27]
Nabi saw. memberi pimpinan kepada segenap umatnya supaya mempelajari al
Quran dengan arti kata yang sebenarnya serta mencari keterangannya yang sulit,
sebagaimana oleh beliau pernah dinyatakan dengan sabdanya, yang artinya:
“Pelajarilah olehmu akan al Quran dan carilah olehmu akan arti
tujuannya yang sulit”.(Riwayat Imam Ad Dailani dari s. Abi Hurairah r.a.).[28]
Para Ahli Tafsir di Zaman Sahabat, Tabi’ien dan di Masa Sesudahnya
1. Para ulama ahli tafsir dizaman
para sahabat, menurut riwayat adalah sebagi berikut:
a. Sahabat Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana
tadi telah kami uraikan. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling
shahih dan dapat dipercaya adalah yang diriwayatkan dengan jalan Ali bin Abi
Thalhah, yang biasa diambil/dikutip oleh Al bukhari dalam kitab tafsirnya dan
oleh At Thabari dalam kitab tafsirnya serta oleh para Imam ahli tafsir yang
mu’tabar.[29]
b. S. Ali bin Abi Thalib.
Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling shahih dan dapat dipercaya,
adalah yang diriwayatkan oleh Wahin dari Ibnu Thufail.
c. S. Abdullah bin Mas’ud.
Tafsir yang shahih dari beliau adalah yang diriwayatkan oleh Imam At Thabari.
d. S. Ubayya bin Ka’ab.
Tafsirnya diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar Razi dan biasa dikutip oleh Imam
Ahmad Bin Hambal, Imam Abu Hatim, Imam Al Hakim dan Imam Ibnu Jarir At Thabari.[30]
2. Para sahabat Nabi yang ahli
tafsir al Quran, banyaklah dari antara mereka yang kemudian mengajarkan tafsir
al Quran kepada para muridnya yang sungguh belajar kepada mereka, ialah para
orang Islam yang hanya dapat bertemu dengan para sahabat Nabi yang masih hidup,
yang mereka itu menurut istilah para ulama Islam disebut para Tabi’in.
Diantara
mereka tabi’ien yang ahli tafsir al Quran ialah:
a.
Imam Sa’id bin Jubair i. Imam Qatadah
b.
Imam Ikrimah j. Imam Ar Rabi’an Anas
c.
Imam Mujahid k. Imam Abdurrahman bin Zaid
d.
Imam ‘Athaa bin Abi
Rabah l. Imam Ad Dhahhak bin Muzaahim
e.
Imam Muhammag bin Ka’ab m. Imam
‘Athiyyah Al ‘Ufi
f.
Imam Abil ‘Aliyah n. Imam Murrah Al Hamdani
g.
Imam Hasan Bashri o. Imam Abu Malik
h.
Imam Athaa bin Abi
Salamah
Mereka itulah para ulama ahli
tafsir dimasa sesudah para sahabat Nabi dan mereka itu oleh para ulama Islam
dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu.[31]
3. Para ulama
tafsir dimasa kemudian yang semua tafsir mereka disandarkan atas riwayat dari
para sahabat Nabi, para tabi’ien dan tabi’ tabi’ien antara lain sebagai
berikut:
a. Imam Sufyan bin Umaiyah g. Ishaq bin Rahuwaih
b. Waki’ bin Al Jarrah h. Rauh bin Ubadah
c. Syu’bah bin Al Hujjaj i. Abdu bin Humaid
d. Yazied bin Harun j. Abu Bakar bin Abi Syaibah
e. Aadam bin Iyas k. Sa’ied
f. Abdurrazaq
Dan tafsir mereka itu yang
paling baik serta banyak dipercaya adalah tafsir Imam Ibnu Jarier At Thabari,
karena memang kitab tafsir ”Jami’ul Bayaan” yang dikarang beliau adalah satu-satunya
kitab tafsir yang baik susunannya.[32]
Pemikir dan Pemikiran al Quran Masa Klasik/Salaf
Bila pada Rasullullah saw. para sahabat menanyakan
persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya,
mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa
masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al
Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah
bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar dan lain-lain.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat
yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari kalangan tabi’in,
khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh
tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, seperti:
- Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr di Makkah yang ketika itu berguru kepada Ibnu ‘Abbas
- Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam di Madinah yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab
- Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.[33]
Berdasarkan penuturan Ibn Abbas bahwa, “Ada empat aspek
tafsir: satu yang diketahui oleh orang Arab melalui pembicaraan mereka; yang
lain karena ketidak tahuan, yang tidak seorangpun dapat dimanfatkan karenanya;
aspek lainnya adalah yang diketahui oleh para ahli; dan yang terakhir adalah
aspek yang diketahui Allah”.[34]
Riwayat dari Ibn
Abbas [35]
mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, dan apa yang dinukil darinya itu
telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas yang campur aduk yang diberi
nama Tafsir Ibn Abbas. Di dalamnya terdapat bermacam-macam riwayat dan
sanad yang berbeda-beda, tetapi sanad paling baik adalah melalui Ali bin Abi
Talhah al-Hasyimi, dari Ibn Abbas; sanad ini dipedomani oleh Bukhari dalam
kitab Sahih-nya. Sedangkan sanad yang cukup baik, Jayyid, ialah
yang melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari ‘Atâ’ bin as-Sa’ib.
Di dalam kitab-kitab
tafsir besar yang mereka sandarkan kepada Ibn Abbas terdapat kerancuan sanad.
Sanad paling rancu dan lemah adalah sanad melalui al-Kalbi dari Ubu Salih.
Al-Kalbi adalah Abu Nasr Muhammad bin as-Sa’ib (w. 146 H). dan jika dengan
sanad ini digabungkan riwayat Muhammad bin Marwan as-Sadi as-Sagir, maka hal
ini akan merupakan silsilatul kazib, mata rantai kedustaan. Demikian
juga sanad Muqatil bin Sulaiman bin Bisyr al-Azdi. Hanya saja al-Kalbi lebih
baik daripadanya karena pada diri Muqatil terdapat berbagai mazhab atau paham
yang rendah.
Sementara itu sanad
ad-Dahlak bin Muzahim al-Kufi, dari Ibn Abbas adalah Munqati’, terputus,
karena ad-Dahlak tidak bertemu langsung dengan Ibn Abbas. Apabila digabungkan
kepadanya riwayat Bisyr bin ‘Imarah maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr
adalah lemah. Dan jika sanad itu melalui riwayat Juwaibir, dari ad-Dahlak, maka
riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan ditinggalkan
riwayatnya.
Sanad melalui
al-‘Aufi, dan seterusnya dari Ibn Abbas, banyak dipergunakan oleh Ibn Jarir dan
Ibn Abi Hatim, padahal al-‘Aufi itu seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak
keterlaluan dan bahkan terkadang dinilai hasan oleh Tirmizi.
Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca
menyelidiki jalan periwayatan tafsir Ibn Abbas dan mengetahui mana jalan yang
cukup baik dan diterima, serta mana pula jalan yang lemah atau ditinggalkan,
sebab tidak setiap apa yang dirwayatkan dari Ibn Abbas itu sahih atau pasti.
Masalah ini telah kami kemukakan lebih rinci pada bagian terdahulu ketika
membicarakan tentang tafsirnya.[36]
Kitab At-Tabari[37]
tentang tafsir, Jâmi’ul Bayân fî Tafsîril Qur’ân, merupakan tafsir
paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para musafir
bil-ma’sir. Ibn Jarir memaparkan tafsir dengan menyandarkannya kepada sahabat,
tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan
mentarjihkan sebagian atas yang lain. Para ulama berkompeten sependapat bahwa
belum pernah disusun sebuah kita tafsir pun yang dapat menyamainya. Nawawi
adalah Tahżîb-nya mengemukakan, “Kitab Ibn Jarir dalam bidang tafsir
adalah sebuah kitab yang belum seorang pun pernah kitab yang menyaminya.” Ibn
Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istinbat yang unggul dari
pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samara i’rabnya. Dengan itulah,
antara lain, tafsir tersebut berada di atas tafsir-tafsir yang lain. Sehingga
Ibn Kasir pun banyak menukil darinya.[38]
Tentang tafsir Ibn Kasir [39]
Muhammad Rasyid Rida menjelaskan:
“Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan
perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan
menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan i’rab
dan cabang-cabang balagah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar
oleh kebanyakn mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu
lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau memahami
hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”
Di antara ciri khas
atau keistimewaannya adalah perhatiannya yang cukup besar terhadap apa yang
mereka namakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”. Dan sepanjang pengetahuan kami,
tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat
yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan (penafsiran ayat dengan)
hadis-hadis marfu’ yang ada relevansinya dengan ayat (yang sedang ditafsirkan)
serta menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti pula dengan asar
para sahaat dan pendapat para tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.
Termasuk
keistimewaannya pula ialah disertakannya selalu peringatan akan cerita-cerita
Isra’iliyat tertolak (munkar) yang banyak tersebar dalam tafsir-tafsir
bil-ma’sûr, baik peringatan itu secara global maupun mendetail. Namun alangkah
akan sangat lebih baik lagi andaikan ia menyelidikinya secara tuntas, atau
bahkan tidak memuatnya sama sekali jika tidak untuk keeperluan penyaringan dan
penelitian.[40]
Para ulama ahli tafsir al
Quran di zaman klasik, pada umumnya mereka dalam menafsirkannya adalah amat
berhati-hati, tidak ceroboh dan tidak suka serampangan. Mereka dalam
mengerjakannya, selain sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban sebagai orang yang
mengerti dan dapat menafsirkan al Quran, juga karena mencari keridhaan Allah
semata-mata. Disamping itu mereka insaf, jangan sampai
menyalahi apa yang menjadi tujuan al Quran itu diturunkan kepada umat manusia.[41]
Sedangkan para ulama ahli tafsir dimasa kontemporer,
menafsirkannya tidak seteliti para ulama terdahulu. Mareka hanya mengutip dari
kitab-kitab tafsir yang terdahulu dengan tidak diselidiki lebih lanjut lagi,
dan pula cara mengutipnya dengan singkat, sehingga tidak merupakan sebagai
tafsir. Maksud mereka hendak memudahkan orang mempelajari tafsir al Quran,
tetapi akhirnya malah menjauhkan orang dari al Quran.[42]
Disamping itu, banyak juga di antara ulama yang
mengarang tafsir al Quran dengan cara yang menjadi kesukaan mereka, lantaran
dari keahlian masing-masing dan atau menurut aliran mereka masing-masing. Kalau
keahlian dan/atau aliran yang mereka ikut itu di dalam kebenaran, sesuai dengan
perintah Allah dan pemimpin RasulNya, tidaklah mengapa, tetapi kalau keahlian,
kesukaan dan atau aliran mereka itu di dalam kesesatan tentu tafsir itu akan
membahayakan bagi Islam dan kaum Muslimin.[43]
Namun diantara perbedaan corak pemikiran para pemikir
Salaf dan Kontemporer mereka juga mempunyai persamaan dalam pemikiran mereka.
Yaitu mereka sama-sama menkaji al Quran sebagai landasan hidup seluruh umat
Islam dan menjadi sumber hokum dalam perikehidupan.
Produk Pemikiran Para Ulama Kontemporer
dan Ulama Salaf
Banyak
kita temukan para Ulama Kontemporer maupun Ulama Salaf melalui hasil karyanya. Para Ulama tersebut antara lain adalah:
1.
Imam Al Waahidi, dalam
tafsirnya “Al Basieth”. Beliau ini dalam tafsirnya hanya menjelaskan dengan
panjang lebar tentang yang berkenaan dengan I’rab al Quran, menurut
qaidah-qaidah atau peraturan-peraturan ilmu nahwu dan sebagainya. Maksudnya,
untuk menunjukkan, bahwa betapa baiknya susunan kalimat-kalimat di dalam al
Quran itu, kalau memang akan diuji menurut peraturan bahasa Arab yang biasa
dipakai oleh para ahli Nahwu.[44]
2.
Imam al Qurthubi dalam
tafsirnya “Jaami’u Ahkaamil Quran”. Beliau ini mengarang tafsir ini dengan
sengaja menerangkan ayat-ayatnya disesuaikan dengan segala sesuatu yang
bersangkut-paut dengan soal-soal ilmu Fiqih. Cara beliau menjelaskannya dengan
tertib di dalam tafsirnya itu dari bab bersuci sampai ke bab orang perempuan yang
menjadi hamba sahaya yang dikawini oleh majikannya sampai melahirkan anak. Dan
dalam membicarakannya soal Fiqih itu kadang-kadang dengan panjang lebar,
sehingga keluar dari batas-batas ayat yang ditafsirkan.[45]
3.
Imam Ibnul ‘Arabi dalam
tafsirnya “Ahkamul Quran”. Beliau ini menafsirkan al Quran dalam tafsirnya ini
hanya menghimpunkan ayat-ayat yang bertalian dengan hukum-hukum saja, kemudian
dibahas dikupas dan dipecahkan hukum-hukumnya, sampai suatu masalah menjadi
beberapa masalah. Maksudnya untuk menunjukkan kehebatan hukum-hukum yang
terkandung di dalam al Quran.[46]
4.
Imam al Baghawi, dalam
tafsirnya “Ma’alimut Tanziel”, dan Imam Ibnu Katsir dalam kita tafsirnya yang
terkenal. Keduanya mengarang tafsir, yang semua penjelasannya disandarkan atas
beberapa riwayat atau hadits dari nabi saw. atau disandarkan atas beberapa riwayat
dari para sahabat dan dari para ulama Tabi’ien. Cara yang diambil oleh mereka
dalam menafsirkan al Quran, dapatlah kami katakan hampir serupa dengan cara
yang diusahakan oleh Imam Ibnu Jarier At Thabari dalam tafsirnya “Jami’ul
Bayaan”. Hanya At Thabari
labih luas cara membicarakannya dari pada kedua beliau di atas ini.[47]
5.
Imam Ats Tsa’labi dalam
tafsirnya “Araaisul Majaalis”. Beliau ini menafsirkan al Quran dengan cara
dongeng-dongeng, cerita-cerita dari orang-orang kuno yang tidak berarti, dengan
tidak diselidiki terlebih dahulu benar dan tidaknya. Oleh sebab itu, dalam
tafsirnya ini banyak cerita yang sesungguhnya bukan pada tempatnya dan tidak
selayaknya dikutip, lalu dinamakan tafsir al Quran, Karena kecuali dari
golongan kaum Yahudi atau Nasrani dan lain-lainnya, pula dongeng-dongeng yang
didengar dari para penyembah berhala, penyembah api dan lain-lainnya, yang
sesungguhnya sangat berlawanan dengan al Quran.[48]
2.3 ANALASIS DAN KOMENTAR
Dalam sebuah surat al Quran yang paling awal, Rasul
ditegur dengan kalimat: ”Kami akan
menurunkan kepadamu sabda yang berat (Quran). Al Quran adalah kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan melalui malaikat Jibril. Karena itu
al Quran dianggap sebagai beban yang agung dan mereka yang membacanya,
mempelajarinya dan mengajarkannya disebut pendukung (Hamalah) Quran.
Allah dan RasulNya menyatakan bahwa al Quran adalah
petunjuk yang benar terhadap kesalahan dan menerangi kegelapan. Ia sebagai
sumber kecerahan bagi kesedihan dan pelindung terhadap kejahatan. Ia adalah
dasar kebenaran melawan dosa dan petunjuk terbaik dari dunia ini ke dunia
berikutnya. Tiada yang berpaling dari al Quran kecuali mereka yang berpaling
kepada neraka. Dengan demikian Quran itu sendiri adalah sumber kebenaran dan
berkat tidak hanya yang sibuk mempelajarinya dan pembacanya, namun juga bagi
dunia dan sejarahnya.
Al Quran telah memainkan dua peran yang berbeda tetapi
terus-menerus dalam kehidupan umat Islam. Ia telah menjadi petunjuk jalan
kehidupan yang melelahkan ini menuju ke kehidupan berikutnya. Al Quran adalah
sebagai sumber berkat dan kehormatan bagi pembawanya di dunia yang fana ini dan
bekal pertemuannya dengan Allah di hari Kiamat kelak nanti.
Setelah kehidupan umat Islam semakin meluas, umat Islam
semakin banyak mengenal kebudayaan asing, sehingga mereka tekun mempelajari
berbagai ilmu yang belum dikenal seperti ilmu logika, filsafat dan sebagainya.
Sebab itulah berkembang pemikiran para
pemikir al Quran sejak masa Salaf hingga masa Kontemporer saat ini.
Para pemikir tersebut juga menciptakan sebuah produk
berupa kitab yang bertujuan untuk mengikuti gerak dan garis perjuangan umat
Islam, selaras dengan kecenderungan dan alam pikiran mereka. Umumnya hasil
pemikiran yang dituangkan oleh para pemikir dari masa ke masa, ke dalam sebuah
kitab tersebut, dimaksudkan untuk membangkitkan terus menerus kesadaran umat
Islam akan kemajuan.
Berkembangnya pemikiran tentang al Quran sebagai
dinamika sosial dari waktu ke waktu mempunyai implikasi dalam wacana keilmuan
yang dinamis. Dan dari pengkajian masing-masing pemikiran al Quran tersebut
akan menimbulkan pertanyaan antara lain:
Mana pemikiran yang paling cocok diantara pemikiran-pemikiran ini,
apakah tidak mungkin perkembangan pemikiran baru yang lebih sesuai dengan
dinamika kehidupan yang berubah dengan cepat, dll.
Betapapun baiknya satu pemikiran itu bukan semata-mata
menggambarkan hebatnya si pemikir, sebab pemikiran adalah produk sejarah dan
peradaban. Sebagai produk ia tidak berdiri sendiri, melainkan ada
ketergantungan dengan faktor-faktor lain yang mengiringi perjalanan sejarah itu
sendiri. Situasi politik, sosial dan
budaya yang berkembang pada waktu itu.
Masalah ini perlu ditegaskan untuk menghindari klaim
sepihak karya seorang, sebab kalau ditilik dari fase perkembangan masing-masing
periode, pemikiran tidak tumbuh secara bersamaan tetapi muncul melalui evolusi
yang panjang sesuai dengan situasi dan kondisi. Kalau zaman sudah berubah,
pemikiran memahami al Quran tidak berubah bisa jadi al Quran akan ketinggalan
atau bahkan ditinggal. Oleh karena itu dicarilah pemikiran yang bijak untuk
menghadirkan pemahaman al Quran sesuai dengan obyek akan dituju.
Bahkan memasuki millennium ketiga ini semakin berkembang
bidang kajian terapan yang lebih operasional dan spesifik, maka perlu dicari
jalan bagaimana cara menghadirkan pemikiran yang sesuai alam pemikiran tentang
al Quran. Agar semua aktifitasnya dimaknai oleh al Quran, dengan kata lain al
Quran aktual dalam realitasnya.
Adalah suatu hal yang tidak mustahil pada zaman modern
ini apabila kajian al Quran itu tidak hanya dikeluarkan oleh pemikir yang hanya
alim dalam ilmu tafsir saja, tetapi juga melihat para praktisi dan profesional
pada masing-masing bidang untuk duduk dalam satu majlis dan berusaha
mengeluarkan daya ijtihadnya untuk mencari jalan menafsirkan al Quran sesuai
dengan bidang masing-masing dan akhirnya al Quran akan aktual dalam semua
realita kehidupan.
PENUTUP
Saran
Perkembangan pemikiran Islam yang semakin luas dari masa
ke masa saat ini menuntut kita harus mengkaji pemikiran orang-orang zaman klasik
sebagai bahan pertimbangan pemikiran tentang al Quran di masa yang akan datang.
Kita dapat melihat bagaimana tanggapan masyarakat saat ini yang pro dan kontra
terakait dengan ketidaksesuaian antara isi al Quran dengan umat Islam saat ini.
Oleh karena itu pemikir al Quran saat ini sebaiknya
perlu mengkaji ulang pemikiran para pemikir al Quran yang klasik/salaf agar
kesinambungan pemikiran pemikir terdahulu dengan pemikiran pemikir saat ini
dapat disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang akan datang.
Kesimpulan
Dinamika pemikiran tentang al Quran akan terus berlanjut sesuai
dengan tuntutan zaman yang nantinya akan dilalui oleh seluruh umat manusia pada
umunya dan umat Islam pada khususnya. Al Quran sebagai pedoman hidup merupakan
sumber yang nantinya secara sengaja maupun tidak sengaja akan membimbing kita
untuk memikirkan kebenaran dari al Quran itu sendiri. Pemikiran para pemikir al
Quran saat ini merupakan sebuah contoh bahwa al Quran sesungguhnya lebih dulu mengetahui
apa yang akan terjadi di hari kemudian. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk
mencari hakikat kebenaran yang sesungguhnya terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Al Mukhlasib, Ra’abal Madjid
Abdussalam, 1973, Itijaahatu At-Tafsiri Fi Al-Ashri Al-Hadits, Damaskus:
Daarul Fikr
Al Munawar, Said Agil Husin, 2004, Al
Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press
Al Qattan, Manna’ Khalil, 2004, Studi
Ilmu-Ilmu Quran, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Ash Shabuni, Muhammad Ali, 1985, At-Tibyan
Fi Ulumi Al Quran, Alamul Al-Kutub
Ayub, Mahmud, 1991, Quran dan
Para Penafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus
Kholil, Moenawar, 1994, Al Quran
dari Masa ke Masa, Solo: Ramadhani
Samira’I, Khasib, 1976, Rasyid
Ridha Al Mufassir, Baghdad: Daarut Risalah Lit Thaba’ah
Shahrur, Muhammad, al-Kitab wa
al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah, Penerjemah, Syamsuddin, Sahiron, 2004,
Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ
Press
Shihab, M. Quraish, 1992, Membumikan
Al Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, Bandung: Mizan
[2] Ibid, Hal 27
[3] Ibid, Hal 35
[4] Ibid, Hal 48
[5] Ibid, Hal 53
[6] M. Quraish Shihab, 1992, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Masyarakat, Bandung: Mizan, Hal 78-79
[7] Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah
Mu’ashirah, Penerjemah, Sahiron Syamsuddin, 2004, Prinsip dan Dasar
Hermeneutika al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press. Hal.6
[8] Ibid, Hal. 7
[9] Ibid, Hal 8-9
[10] Ibid, Hal 10-11
[11] Ibid, Hal 11
[12] Ibid, Hal 12
[13] Ibid, Hal 12
[14] M. Quraish Shihab, 1992, op.cit, Hal 72
[15] Ibid, Hal 73-74
[16] Ibid, Hal 74
[17] Ibid, Hal 74
[18] Seorang pemikir kontemporer. Beliau dilahirkan di Ray tahun 543 H
dan wafat di Harah pada 606 H
[19] Manna’ Khalil Al Qattan,, 2004, Studi Ilmu-Ilmu Quran,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, hal. 529
[20] Dilahirkan 27 Rajab 467 H di Zamakhsyar sebuah perkampungan besar
di kawasan Khawarizm, Turkistan
[21] Ibid, hal. 531
[22] Nama lengkapnya Qadi Muhammad bin Ali bin Abdullah asy-Syaukani
as-San’ani, seorang imam mujtahid, pembela sunnah dan pembasmi bid’ah. Lahir
pada 1173 H di kampong Syaukan dn dibesarkan di San’a
[23] Ibid, hal. 532
[24] Said Agil Husin Al Munawar, 2004, Al Quran Membangun Tradisi
Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, Hal 61-62
[25] Ibid, Hal 62
[26] Ibid, Hal 62
[27] Moenawar Kholil, 1994, Al Quran dari Masa ke Masa, Solo:
Ramadhani, Hal 176-177
[28] Ibid, Hal 177
[29] Ibid, Hal 179-180
[30] Ibid, Hal 180
[31] Ibid, Hal. 180
[32] Ibid, Hal 181
[33] M. Quraish Shihab, 1992, op.cit, Hal 71
[34] Mahmud Ayub, op.cit, Hal 32-33
[35] Nama lengkapnya Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim
bin Abdi Manaf al-Quraisyi al-Hasyimi, putra paman Rasullullah
[36]Manna’ Khalil Al Qattan,, op.cit, hal. 524-525
[37] Nama lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid bin Kasir
Abu Ja’far at Tabariat Tabari, berasal dari Amol, lahir dan wafat di Baghdad.
Dilahirkan pada 224 H dan wafat pada 310 H
[38] Manna’ Khalil Al Qattan,, op.cit, hal. 527
[39] Nama lengkapnya Ismail bin ‘Amr al Quraisy bin Kasir al-Basri
ad-Dimasyqi ‘Imaduddin Abul Fida’ al Hafiz al Muhaddis asy-Syafi’i. Dilahirkan
pada 705 H dan wafat 774 H
[40] Manna’ Khalil Al Qattan,, op.cit, hal. 528
[41] Moenawar Kholil, op.cit, Hal 196
[42] Ibid, Hal 196-197
[45] Ibid, Hal 197-198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar