METODE IJTIHAD
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Perkataan Al-ijtihad, seperti yang diuraikan dalam
lisan al-Arab, terambil dari kata al-Jahd dan al-Juhd,
secara etimologi berarti al-Thaqah (tenaga, kuasa dan daya), sementara al-Ijtihad
dan al-tajahud berarti ”penumpahan segala kesempatan dan tenaga” (bazlal-wus’i
wa al-majhud). Adapun definisi ijtihad secara terminologi secara umum
menurut ulama ushul fiqih ialah ”aktifitas untuk memperoleh pengetahuan
(istimbath)hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat. Ijtihad adalah
masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadai ijtahaada pada
wazan ifta’ala yanag berarti ”usaha yang lebih kuat dan bersungguh
sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi ik-ta-sa-ba yang
berarti ”usaha yang lebih kuat dan sunguh-sungguh”. Berdasarkan peninjauan dari
sudut etimologi ini, selanjutnya al-Ghazali umpamanya, merumuskan pengertian
ijtihad dalam arti bahasa sebagai ”pencurahan segala daya usaha dan penumpahan
segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit”. Singkatnya
ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang berat dan
sulit.[1]
Ijtihad menurut bahasa ialah berusaha
sungguh-sungguh. Ijtihad menurut arti luas adalah mengerahkan segala kemampuan
dan usaha yang ada untuk mencapai sesuatu yang diharapkan.
Oleh karena itu, ijtihad dalam arti yang sangat
luas meliputi segala usaha manusia yang sifatnya berat di dalam kehidupannya di
dunia ini untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedangkan ijtihad dalam arti yang agak sempit
yaitu dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah:
بدل الفقيه وسعه فى استنباط الأحكام العملية من أدلتها التفصيلية
“Pengerahan
segala kemampuan yang pada seseorang ahli hukum Islam di dalam meng-istinbath-kan
hukum yang amaliyah dari dalil-dalil yang tafsiliy”.
Ijtihad dalam bidang syari’at sesungguhnya ada dua
macam:
1. Ijtihad dalam istimbath hukum dan penjelasannya
(استنباط
الأحكام وبيانها)
Syarat-syarat ijtihad menurut Syaikh Abu Zahrah
1. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah berbahasa
Arab.
2. Mengetahui al-Qur’an termasuk tafsir asbab
nuzul al-ayat meskipun menurut sebagian ulama tidak harus hafal al-Qur’an
tetapi cukup mengetahui yang bersangkutan dengan permasalahan yang akan
dipecahkan.
3. Mengetahui
al-Sunnah termasuk wurud al-hadits dan ilmu rijal al-hadits.
4. Mengetahui
masalah-masalah yang telah terdapat ijma padanya.
5. Mengetahui
masalah qiyas termasuk cara-cara mencari illat.
6. Mengetahui
maksud-maksud hukum/tujuan-tujuan hukum semacam rahmah li al-alamin.
a.
Memelihara kemaslahatan: dlaruriy, hajjiy, dan tahsiniy
b.
Tidak menimbulkan kesempitan
c. Memilih yang mudah bukan yang sukar kalaupun
ada yang sukar dan memberatkan, bisa dilaksanakan manusia atau kesukaran (masyaqqah)
itu untuk menolak kemadharatan yang lebih berat.
7. Pemahamannya baik, bisa memili alasan-alasan
yang lebih kuat daripada yang kurang kuat, pola berpikirnya baik, dan istimewa.
8. Mempunyai
niat yang ikhlas.
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah
memenuhi persyaratan diatas , ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang
tersebut berkenan dengan ijtihad
B. DASAR HUKUM IJTIHAD
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode
untuk menggali sumber hukum islam. Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad
banayak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun bardasarkan
isyarat, diantaranya:
- Firman Allah dalam surat an Nisa’ ayat 105
اِنَّا
اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّا سِ بِمَااَركَ
اللهُ وَلا تَكُنْ لِّلْخَا ئِنِيْنَ خَصِيْمًا.
Artinya:
”Sesungguhnya kami
Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela)
orang-orang yang khianat”.
- Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad, diantara hadist yang diriwayatkan oleh Umar:
”Jika seorang
hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka
ia mendapat satupahala.”
C. METODE-METODE IJTIHAD
1. IJMA’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan
atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang اجمع القوم على كذا yang berarti kaum itu sepakat (sependapat)
tentang yang demikian itu.
Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid
umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah
Rasulullah saw meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah saw
meninggal dunia diperlukan pegangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah.
Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang
khalifah dan atas kesepakat bersama pula diangkatlah Abu Bakar ra sebagai
khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujui
kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
2. QIAS
Qias menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau menukar, seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama,
wajah yang sama dan sebagainya. Qias juga berarti mengukur, seperti mengukur
tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan
sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut ulama ushul fiqh, qias ialah menetapkan
hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang
perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar
untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qias, yaitu
dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasa nash,
serta antara kedua kejadian atan peristiwa itu ada persamaan illat. Jadi suatu
qias hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada
satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa
atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang
akan melakukan qias, ialah: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar ada
nash yang dimaksud barulah dilakukan qias.
3. ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik
atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian
yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari
peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut
istihsan.
Qias berbeda dengan istihsan. Pada qias ada dua
peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan
hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan illat dengan peristiwa
pertama. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama
sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu
peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan yang lain bahwa pada qias yang
dicari seorang mujtahid ialah persamaan illat dari dua peristiwa atau kejadian,
sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan
untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
4. MASLAHAH MURSALAH
Maslahah mursalah disebut juga maslahah muthalaqah, karena
dibatasi dengan dalil pengakuan atau pembatasan. Adapun di dalam istilah ahli
ushul ialah:
تشريع الحكم فى واقعة لا نصّ فيها والاجتماع على مراعات مصلحة مرسلة أى مطلقة بمعنى أنها مصلحة لم يرد من الشارع دليل اعتبارها وإغاؤها.
ِArtinya:
“Memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus
yang tidak terdapat di dalam nash dan ijma atas dasar memlihara kemaslahatan
yang terlepas yaitu kemaslahatan yang tidak diteaskan oleh syara’ dan tidak
pula ditolak”.
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan
definisi maslahah mursalah sebagai berikut “memelihara maksud syara’
dengan jalan menolak segala jalan yang merusak makhluk”.
A. Hanafiy, M.A., mendefinisikan maslahah
mursalah sebagai berikut: ”maslahah mursalah ialah kebaikan (maslahah) yang
tidak disinggung-singgung syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkannya
sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat”.
Dalam hal ini, barangkali kita bisa simpulkan
bahwa masalah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu kasus atas dasar
kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, sedangkan
apabila dikerjakan, jelas akan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan
apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum
pula.
Adapun yang dimaksud maslahat dalam definisi
tersebut, seperti yang dinyatakan Imam Asy-Syathiby yang telah memberikan
kriteria maslahat dengan tiga ukuran, yaitu:
1.
Tidak
bertentangan dengan maqashid al-syari’at yang dharuriyyat (hifdh
al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-’aql, hifdh al-nasl, dan hifdh al-mal),
hujiyyat dan tahsiniyyat.
2. Rasional dalam arti bisa diterima oleh
orang cerdik cendikiawan (ahl al-dzikr).
3. Mengakibatkan raf’ al-haraj atas
dasar:
وَجَا
هِدُوْا فِى اللهِ حَقَّ جِهَا دِهِقلى
هُوَا جْتَبَكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍقلى
مِلَّةَ
اَبِيْكُمْ اِبْرَاهِمَ هُوَ سَمَّكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ
هَذَالِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ فَاَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَاَتُواالزَّكَوةَ وَاعْتَصِمُوْابِاللهِ هُوَ
مَوْ لَكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ.
ِ”Dan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama (al-Hajj: 78).
5. ‘URF
’Urf ialah
sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh,
urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak
ada perbedaan antara urf dengan adat (adat kebiasaan), namun dalam pemahaman
biasa diartikan bahwa pengertian ’urf lebih umum dibanding dengan pengertian
adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa
dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis,
sehingga ada sanksi-sanksiterhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual-beli dengan pesanan) yang
tidak memenuhi syarat jual-beli. Menurut syarat jual-beli ialah pada saat
jual-beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan
pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang
yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual-beli dilakukan,
baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan
dalam masyarakat, bahkan dapat melancarkan arus jual-beli, maka salam itu
dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan
antara ijma’ dengan ’urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan
dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma’ ada suatu
peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahid membahas dan menyatakan pendapatnya, kemudian ternyata pendapatnya
sama. Sedang pada ’urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian seorang atau beberapa orang anggota masyarakat menetapkan pendapat dan
melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain,
lalu mereka mengerjakannya pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya
sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku di antara mereka.
Pada ijma’masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada ’urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah
biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
6. SYAR’UN MAN QABLANA
Yang dimaksud dengan syar’un man qablana, ialah
syari’at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad saw yang
menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari’at Nabi
Ibrahim as, syariat Nabi Musa as, syari’at Nabi Daud as, syari’at Nabi Isa as
dan sebagainya.
Pada azasnya syari’at yang diperuntukkan Allah SWT
bagi umat-umat dahulu mempunyai azas yang sama dengan syari’at yang
diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan pada
firman Allah SWT:
ويضي صدرى ولا ينطلق لسانى فأرسل
إلى هرون
Artinya: ”Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).” (Asy-Syuura, 13)
Di antara azas yang sama itu ialah yang
berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan
qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya
atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan
keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syariat umat dahulu itu
sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari’at Nabi Muhammad saw,
seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.
7. ISTISHHAB
Istishhab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada
hubungannya”. Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada
hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang
mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya
hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan
tetap berlakukan hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan
belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya.
Sedangkan menurut As-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah
ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumannya pada masa
sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan para
ulama di atas dipahami bahwa istishhab itu, ialah:
a.
Segala
hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu, dinyatakan tetap berlaku pada
masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
b.
Segala
hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
8. SADDUTDZ-DARAA’I
Saddutdz dzarii’ah terdiri atas dua perkataan, yaitu saddu dan
dzarii’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan, atau sumbatan,
sedang dzarii’ah berarti jalan. Maksudnya, ialah menghambat atau
menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau
maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarii’ah
ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan
terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat.
Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukallaf, yaitu untuk
mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan
ini syari’at menetapkan perinta-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi
perintah dan menghentikan larangan itu; ada yang dapat dikerjakan secara
langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada
hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah :
مالايتمّ الواجب
إلاّبه فهو واجب
Artinya: Semua yang menyempurnakan perbuatan
wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat
yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar
shalat lebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam
hal ini tampak bahwa belajar shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia
menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak. Sangat tergantung
kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat,
sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada
perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak
langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina
dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langung seperti membuka warung yang
menjual minuman khamar, berkhalwat anatara laki-laki dan perempuan yang tidak
ada hubungan mahram. Menjual khamar pada
hakikatnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju
kepada minum khamar, maka perbuatan itupun dilarang. Demikian pula halnya
dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun
dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya,
maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju ke arah perbuatan-perbuatan
maksiat itu.
9. MADZHAB SAHABAT
Semasa Rasulullah saw masih hidup, semua masalah
yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat
kepada Rasulullah saw, dan Rasulullah saw memberikan jawaban dan
penyelesaiannya. Setelah Rasullulah saw meninggal dunia, maka kelompok sahabat
yang tergolong ahli dalam mengisthinbathkan hukum, telah berusaha dengan
sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslim dapat
beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini
diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’in-tabi’in dan orang-orang sesudahnya, seperti
meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu
dapat dijadikan hujjah atau tidak?
Pendapat-pendapat
ulama mengenai madzab sahabat
Sebagaian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat dapat
dijadikan hujjah, yaitu:
- Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah saw, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah ra:
لا يمكث الحمل فى بطن أمّه أكثر من سنتين قدرما يتحوّل ظلّ المعزل )رواه الدارقطنى(
Artinya: kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya,
(yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang baying-bayang benda yang ditancapkan. (H.R.
Daraquthni)
- Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.
Sedangkan pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain
tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah,
Malikiyah, dan Ahmad Hanbal dan sebagaian Syari’iyah, dan didahulukan dan qias.
Bahkan Ahmad Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha’if.
As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid
yang lain, tidak harus kita mengikutinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar