Sabtu, 04 Mei 2013

METODE IJTIHAD



METODE IJTIHAD

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHAD
Perkataan Al-ijtihad, seperti yang diuraikan dalam lisan al-Arab, terambil dari kata al-Jahd dan al-Juhd, secara etimologi berarti al-Thaqah (tenaga, kuasa dan daya), sementara al-Ijtihad dan al-tajahud berarti ”penumpahan segala kesempatan dan tenaga” (bazlal-wus’i wa al-majhud). Adapun definisi ijtihad secara terminologi secara umum menurut ulama ushul fiqih ialah ”aktifitas untuk memperoleh pengetahuan (istimbath)hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat. Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada.  Penambahan hamzah dan  ta’ pada kata ja-ha-da menjadai ijtahaada pada wazan ifta’ala yanag berarti ”usaha yang lebih kuat dan bersungguh sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi ik-ta-sa-ba yang berarti ”usaha yang lebih kuat dan sunguh-sungguh”. Berdasarkan peninjauan dari sudut etimologi ini, selanjutnya al-Ghazali umpamanya, merumuskan pengertian ijtihad dalam arti bahasa sebagai ”pencurahan segala daya usaha dan penumpahan segala kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang berat atau sulit”. Singkatnya ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu yang berat dan sulit.[1]
Ijtihad menurut bahasa ialah berusaha sungguh-sungguh. Ijtihad menurut arti luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha yang ada untuk mencapai sesuatu yang diharapkan.
Oleh karena itu, ijtihad dalam arti yang sangat luas meliputi segala usaha manusia yang sifatnya berat di dalam kehidupannya di dunia ini untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Sedangkan ijtihad dalam arti yang agak sempit yaitu dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah:
بدل الفقيه وسعه فى استنباط الأحكام العملية من أدلتها التفصيلية
“Pengerahan segala kemampuan yang pada seseorang ahli hukum Islam di dalam meng-istinbath-kan hukum yang amaliyah dari dalil-dalil yang tafsiliy”.


Ijtihad dalam bidang syari’at sesungguhnya ada dua macam:
1. Ijtihad dalam istimbath hukum dan penjelasannya (استنباط الأحكام وبيانها)
2. Ijtihad dalam penerapan hukum (تطبيق الأحكام) [2]
Syarat-syarat ijtihad menurut Syaikh Abu Zahrah
1. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah berbahasa Arab.
2. Mengetahui al-Qur’an termasuk tafsir asbab nuzul al-ayat meskipun menurut sebagian ulama tidak harus hafal al-Qur’an tetapi cukup mengetahui yang bersangkutan dengan permasalahan yang akan dipecahkan.
3.  Mengetahui al-Sunnah termasuk wurud al-hadits dan ilmu rijal al-hadits.
4.  Mengetahui masalah-masalah yang telah terdapat ijma padanya.
5.  Mengetahui masalah qiyas termasuk cara-cara mencari illat.
6.  Mengetahui maksud-maksud hukum/tujuan-tujuan hukum semacam rahmah li al-alamin.
a. Memelihara kemaslahatan: dlaruriy, hajjiy, dan tahsiniy
b. Tidak menimbulkan kesempitan
c. Memilih yang mudah bukan yang sukar kalaupun ada yang sukar dan memberatkan, bisa dilaksanakan manusia atau kesukaran (masyaqqah) itu untuk menolak kemadharatan yang lebih berat.
7. Pemahamannya baik, bisa memili alasan-alasan yang lebih kuat daripada yang kurang kuat, pola berpikirnya baik, dan istimewa.
8.  Mempunyai niat yang ikhlas.
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan diatas , ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenan dengan ijtihad

B. DASAR HUKUM IJTIHAD
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang menjadi landasan diperbolehkannya ijtihad banayak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun bardasarkan isyarat, diantaranya:


  1. Firman Allah dalam surat an Nisa’ ayat 105
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتبَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّا سِ بِمَااَركَ اللهُ وَلا تَكُنْ لِّلْخَا ئِنِيْنَ خَصِيْمًا.
Artinya:
”Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat”.
  1. Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad, diantara hadist yang diriwayatkan oleh Umar:
”Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah maka ia mendapat satupahala.”

 C. METODE-METODE IJTIHAD
1. IJMA’
Ijma’ menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang اجمع القوم على كذا yang berarti kaum itu sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu.
Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah saw meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah saw meninggal dunia diperlukan pegangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakat bersama pula diangkatlah Abu Bakar ra sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujui kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.  
2. QIAS
Qias menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau menukar, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qias juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut ulama ushul fiqh, qias ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qias, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasa nash, serta antara kedua kejadian atan peristiwa itu ada persamaan illat. Jadi suatu qias hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qias, ialah: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qias.
3. ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut istihsan.
Qias berbeda dengan istihsan. Pada qias ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Dengan perkataan yang lain bahwa pada qias yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.  
4. MASLAHAH MURSALAH
Maslahah mursalah disebut juga maslahah muthalaqah, karena dibatasi dengan dalil pengakuan atau pembatasan. Adapun di dalam istilah ahli ushul ialah:
تشريع الحكم فى واقعة لا نصّ فيها والاجتماع على مراعات مصلحة مرسلة أى مطلقة بمعنى أنها مصلحة لم يرد من الشارع دليل اعتبارها وإغاؤها.
ِArtinya:
Memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat di dalam nash dan ijma atas dasar memlihara kemaslahatan yang terlepas yaitu kemaslahatan yang tidak diteaskan oleh syara’ dan tidak pula ditolak”.
Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan definisi maslahah mursalah sebagai berikut “memelihara maksud syara’ dengan jalan menolak segala jalan yang merusak makhluk”.
A. Hanafiy, M.A., mendefinisikan maslahah mursalah sebagai berikut: ”maslahah mursalah ialah kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-singgung syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkannya sedangkan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat”.
Dalam hal ini, barangkali kita bisa simpulkan bahwa masalah mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu kasus atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, sedangkan apabila dikerjakan, jelas akan membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemafsadatan yang bersifat umum pula.
Adapun yang dimaksud maslahat dalam definisi tersebut, seperti yang dinyatakan Imam Asy-Syathiby yang telah memberikan kriteria maslahat dengan tiga ukuran, yaitu:
1.    Tidak bertentangan dengan maqashid al-syari’at yang dharuriyyat (hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-’aql, hifdh al-nasl, dan hifdh al-mal), hujiyyat dan tahsiniyyat.
2.    Rasional dalam arti bisa diterima oleh orang cerdik cendikiawan (ahl al-dzikr).
3.    Mengakibatkan raf’ al-haraj atas dasar:
وَجَا هِدُوْا فِى اللهِ حَقَّ جِهَا دِهِقلى هُوَا جْتَبَكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍقلى مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرَاهِمَ هُوَ سَمَّكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هَذَالِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَاَقِيْمُواالصَّلَوةَ وَاَتُواالزَّكَوةَ وَاعْتَصِمُوْابِاللهِ هُوَ مَوْ لَكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ.
ِDan Allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama (al-Hajj: 78).
5. ‘URF
’Urf  ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara urf dengan adat (adat kebiasaan), namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ’urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksiterhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual-beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual-beli. Menurut syarat jual-beli ialah pada saat jual-beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual-beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat melancarkan arus jual-beli, maka salam itu dibolehkan.
Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma’ dengan ’urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma’ ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan pendapatnya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada ’urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seorang atau beberapa orang anggota masyarakat menetapkan pendapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakannya pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku di antara mereka. Pada ijma’masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada ’urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.   

6. SYAR’UN MAN QABLANA
Yang  dimaksud dengan syar’un man qablana, ialah syari’at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad saw yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim as, syariat Nabi Musa as, syari’at Nabi Daud as, syari’at Nabi Isa as dan sebagainya.
Pada azasnya syari’at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai azas yang sama dengan syari’at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan pada firman Allah SWT:
ويضي صدرى ولا ينطلق لسانى فأرسل إلى هرون
Artinya: ”Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (Asy-Syuura, 13)
Di antara azas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadha dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syariat umat dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari’at Nabi Muhammad saw, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.

7. ISTISHHAB
Istishhab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakukan hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut As-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumannya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan para ulama di atas dipahami bahwa istishhab itu, ialah:
a.    Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa yang lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
b.    Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

8. SADDUTDZ-DARAA’I
Saddutdz dzarii’ah terdiri atas dua perkataan, yaitu saddu dan dzarii’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan, atau sumbatan, sedang dzarii’ah berarti jalan. Maksudnya, ialah menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarii’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari’at menetapkan perinta-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu; ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah :
مالايتمّ الواجب إلاّبه فهو واجب
Artinya: Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula.
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat lebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak. Sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langung seperti membuka warung yang menjual minuman khamar, berkhalwat anatara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar  pada hakikatnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju kepada minum khamar, maka perbuatan itupun dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju ke arah perbuatan-perbuatan maksiat itu. 


9. MADZHAB SAHABAT
Semasa Rasulullah saw masih hidup, semua masalah yang muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah saw, dan Rasulullah saw memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah Rasullulah saw meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong ahli dalam mengisthinbathkan hukum, telah berusaha dengan sungguh-sungguh memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslim dapat beramal sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diriwayatkan oleh tabi’in, tabi’in-tabi’in dan orang-orang sesudahnya, seperti meriwayatkan hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?

Pendapat-pendapat ulama mengenai madzab sahabat
Sebagaian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, yaitu:
  1. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah saw, karena pikiran tidak atau belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyah ra:
لا يمكث الحمل فى بطن أمّه أكثر من سنتين قدرما يتحوّل ظلّ المعزل )رواه الدارقطنى(
Artinya: kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang baying-bayang benda yang ditancapkan. (H.R. Daraquthni)
  1. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian waris, yang dikemukakan Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak sependapat dengannya.
Sedangkan pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Ahmad Hanbal dan sebagaian Syari’iyah, dan didahulukan dan qias. Bahkan Ahmad Hanbal mendahulukannya dari hadits mursal dan hadits dha’if.
As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya. 


[1] Amiur. Nuruddin, Ijtihad ‘Umar Ibn Al-Khaththab, (Jakarta: Rajawali pers, 191) hal 51-52
[2] Djazuli. Nurol. Aen., Ushul Fiqh Metodelogi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) hal 95-96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar