PERKEMBANGAN AGAMA DAN MORAL REMAJA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada realita sekarang
ini banyak para remaja kehilangan kontrol terhadap tingkah lakunya. Entah apa
yang terjadi pada para remaja saat ini? Mungkin salah satu penyebab dari
merosotnya tingkah laku para remaja saat ini adalah dikarenakan peranan agama
itu sendiri tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Padahal agama dan moral adalah merupakan salah satu
pengontrol terhadap tingkah laku di dunia ini. Kelakuan remaja berbeda dengan
apa yang diharapkan oleh kita. Seperti contoh minum-minuman keras, narkoba,
pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Pergaulan bebas seakan-akan menjadi
kebiasaan para remaja pada saat ini sehingga ke mana pun terikat oleh pergaulan
bebas itu sendiri. Nah, di sini peran agama sangat perlu, begitu juga peran
dari orang tua.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Mengapa
pada era globalisasi ini para remaja mengalami dekadensi moral?
1.2.2
Bagaimana cara untuk
mengatasi kenakalan remaja tersebut?
1.2.3
Bagaimana peran agama
dan moral dalam menghadapi perkembangan remaja?
1.3 Tujuan
Makalah
1.3.1
Untuk dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena yang terjadi
di kalangan remaja!
1.3.2
Agar dapat mengatasi
dan menghindari dari kenakalan remaja!
1.3.3
Untuk mengetahui peran
agama dan moral terhadap perkembangan remaja!
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Moral
2.1.1 Pengertian Moral
Istilah moral berasal
dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral.[1]
Purwadarminto
mengatakan dalam bukunya Dra. Enung Fatimah, M.M, bahwa yang dimaksud dengan moral
adalah ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan, akhlak,
kewajiban, dan lain sebagainya. Dengan demikian, bahwa moral berkaitan
dengan kemampuan seseorang untuk dapat membedakan antara perbuatan baik dan
buruk atau benar dan salah.[2]
Pendapat lain dalam
bukunya Aliah B. Purwakania Hasan yang mengatakan bahwa moral adalah
sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan salah atau baik dan buruk,
bertindak atas perbedaan tersebut dan mendapat penghargaan diri ketika
melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar
tersebut.[3]
Dari definisi-definisi
di atas dapat diambil benang merahnya bahwa moral adalah perubahan
tingkah laku yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Dengan demikian,
bahwa apabila anak mempunyai moral yang baik maka anak tersebut akan
disanjung, dihormati. Sebaliknya, apabila anak yang mempunyai perilaku yang
buruk maka anak tersebut akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang ada di
sekitarnya.
Perilaku yang baik
sangat menentukan perilaku anak itu sendiri, begitu juga sebaliknya. Dalam
artian, bahwa orang yang melakukan perbuatan yang baik akan mendapatkan
kebaikan, begitu juga orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang jelek akan
mendapatkan kejelekan pula. Seperti contoh orang yang memberikan pertolongan
pada orang lain dan sewaktu-waktu orang tersebut membutuhkan pertolongan, maka
orang-orang yang ada di sekitarnya akan menolongnya.
2.1.2 Komponen-komponen Moral
Dalam moral itu
sendiri terdapat beberapa komponen-komponen yang satu dengan yang lainnya
saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah; (1) Afektif
atau emosional, (2) Kognitif, (3) Perilaku atau motorik.
Dalam komponen afektif
atau emosional terdapat berbagai jenis perasaan seperti perasaan
bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan lain sebagainya
yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
Kadang-kadang orang
yang mempunyai perasaan malu tidak dapat memberikan peluang untuk mengembangkan
potensi, bakatnya. Sehingga untuk melangkah ke sana sini terhantui oleh perasaan
malunya. Karena perasaan malu tersebut mendominasi akan perkembangan yang ada
dalam diri anak itu sendiri. Perasaan malu ini tidak akan berkurang apabila
seseorang tidak mau melepasnya jauh-jauh. Cara untuk melepas perasaan malu
salah satunya adalah selalu berinteraksi atau berkomunikasi dengan teman yang
ada di sekitarnya, menghilangkan pikiran-pikiran takut salah dalam berargumen,
tidak menghiraukan teman-teman yang ada di sekitarnya ketika berbicara
dengannya, dan masih banyak lagi cara-caranya.
Kata malu di sini
dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu malu secara vertikal dan malu
secara horizontal. Malu vertikal adalah malunya seseorang
terhadap Sang Pencipta. Seyogyanya, apabila seseorang meninggalkan perintahnya
dia harus mempunyai perasaan malu. Sedangkan malu dalam bentuk horizontal
adalah malunya seseorang terhadap orang yang ada di sekitarnya.
Komponen afektif
moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan yang
menyertai pelaksanaan prinsip etika. Dalam hal ini Islam mengajrakan pentingnya
rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang
penting. Seperti Hadits yang artinya “Malu adalah sebagian dari Iman”.
Dikatakan demikian, agar manusia dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang
tidak bermoral.
Komponen kognitif
merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptual benar dan salah dan
membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Dengan demikian,
bahwa seseorang harus memiliki konsep dalam melakukan perbuatan yang baik dan
buruk karena dengan konsep tersebut manusia akan terarah pada tujuan yang
diinginkan.
Komponen kognitif
moralitas (moral resoning) merupakan pikiran yang menunjukkan
seseorang ketika memutuskan sesuatu dari berbagai keputusan atau tindakan yang
benar atau salah. Dalam Islam sendiri dijelaskan bahwa Allah mengilhamkan ke
dalam jiwa manusia dua jalan yaitu kefasikan dan ketaqwaan. Manusia mempunyai
akal untuk dapat memilih jalan mana yang akan ditempuh. Seperti firman Allah:
Artinya: “Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.
Al-Syams: 7-10).[4]
Jadi kita selaku
manusia harus benar-benar dapat menentukan dan memilih mana perbuatan baik dan
buruk. Kadang-kadang seseorang salah menempatkan perbautan baik dengan
perbuatan buruk. Seperti contoh orang yang minum-minuman keras, mereka tahu
bahwa minuman keras sangat merusak terhadap terhadap kesehatan, ingatan. Akan
tetapi, orang tidak menghiraukan itu semua karena yang terpenting adalah
keinginan nafsu bisa terpenuhi, dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
Sedangkan komponen
perilaku atau psikimotorik (moral behavior) merupakan tindakan
yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka
harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang
benar seperti jalan yang mendaki lagi sukar. Seperti firman Allah:
Artinya: “Dan
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan,Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang
mendaki lagi sukar” (QS. Al-Balad: 10-11).
2.1.3 Perilaku-Perilaku Dasar
Moral
Dalam moral itu
sendiri terdapat beberapa perilaku dasar perkembangan moral. Perilaku-perilaku
dasar tersebut antara lain: altruisme (perkembangan perilaku prososial),
kontrol perilaku agresivitas, dan menerapkan prinsip keadilan moral.
Perilaku dasar altruisme
adalah perkembangan remaja dalam bersosial. Dengan kata lain, bahwa banyak dari
orang tuanya menghendaki anaknya bisa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan
masyarakat setempat. Sosialisasi dan komunikasi adalah suatu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan dari yang satu dengan yang lainnya. Kadang ada anak yang
bisa bersosialisasi saja tapi tidak bisa berkomunikasi dengan baik, begitu juga
sebaliknya.
Jadi, sosialisasi dan
komunikasi harus dimiliki oleh setiap insan. Seperti saling tolong menolong,
saling membagi, saling membantu, bekerja sama, dan lain sebagainya. Islam
sendiri mengajarkan kita untuk melaksanakan tolong menolong di antara
sesamanya.
Perkembangan altruisme
pada seseorang sejalan dengan keterampilan dalam mengambil peran sosial. Orang
yang memiliki keterampilan untuk menempatkan dirinya pada perspektif orang lain
lebih dapat menunjukkan perilaku koperatif, saling membantu, menghargai orang
lain, dan memperhatikan kebutuhan orang lain. Selain itu, kemampuan penalaran
moral prososial dan kemampuan memberikan reaksi empatik juga merupakan hal yang
sangat berpengaruh terhadap altruisme.
Kontrol perilaku agresivitas
adalah segala bentuk perilaku yang disengaja dibuat untuk menyakiti atau
melukai makhluk hidup yang memiliki motivasi untuk menghindarinya. Agresivitas
bukan merupakan konsekuensi perilaku. Namun, sesuatu perilaku merupakan agresivitas
jika terdapat niat untuk menyakiti orang lain, misalnya tendangan keras yang
meleset, dan lain-lain. Sebaliknya, jika tidak terdapat niat maka hal itu
dianggap bukan agresivitas, misalnya kecelakan lalu lintas, dan
lain-lain.
Orang yang mampu
mengontrol diri untuk tidak menyakiti orang lain, meskipun dalam keadaan marah
merupakan orang yang perkasa dalam Islam. Dengan demikian, bahwa Islam melarang
manusia untuk melakukan tindakan agresivitas yang tidak memiliki alasan
dapat dan mencegah kemungkaran.
Agresivitas sendiri terbagi ke
dalam dua bagian, yaitu agresivitas permusuhan (hostile Aggression)
dan agresivitas instrumental (instrumental aggression). Agresivitas
permusuhan merupakan tindakan dengan tujuan utama untuk menyakiti atau melukai
korban. Sementara agresivitas instrumental merupakan perilaku yang
memiliki tujuan utama untuk mendapatkan akses objek, ruang atau hak-hak yang
dimiliki. Kedua agresif ini tergantung pada situasi dan kondisi yang
ada. Seperti contoh agresif pada adik perempuannya.
Penalaran moral
prososial merupakan salah satu pikiran yang ditunjukkan untuk memutuskan apakah
hendak membantu, membagi, mennyenangkan orang lain, yang kita kenal dengan
pengorbanan. Sedangkan empati adalah kontributor afektif yang penting terhadap altruisme.
Empati merupakan tanggapan manusia yang universal yang dapat diperkuat atau
ditekan oleh pengaruh lingkungan dan budaya.
Karakteristik agresivitas
anak berubah sejalan dengan meningkatnya usia. Anak-anak berusia 2 tahun lebih
banyak menunjukkan agresivitas-nya dengan memukul dan menendang. Usia
3-5 tahun agresif fisik mulai menurun dan diganti dengan agresif
yang lebih bersifat verbal. Pada usia 4-7 tahun juga lebih banyak memfokuskan
agresivitas-nya pada benda terutama pada mainan atau kepentingan lainnya.
Ada dua golongan agresivitas
tinggi yang terdapat dalam diri anak, yaitu;
Agresor proaktif, yaitu perilaku agresif
mudah dilakukan dan menjadi tergantung pada agresivitas sebagai alat
untuk menyelesaikan masalah sosial atau mencapai tujuan pribadi lainnya.
Agresor reaktif, merupakan anak yang
menunjukkan permusuhan yang tinggi merasa terpancing karena merasakan
permusuhan yang lebih kepada orang lain, dan tidak dapat mengontrol kemarahan
mereka cukup lama untuk mencari solusi non-agresif dalam masalah sosial.
Agresor proaktif sering melakukan
kekerasan (bully) terhadap orang lain, sementara agresor reaktif
umumnya mereka pernah menjadi korban kekerasan tersebut. Semua ini, dipengaruhi
oleh lingkungan dan budaya yang ada di sekitarnya.
Adapun prinsip
keadilan sosial harus benar-benar ada dalam diri seseorang. Seseorang tersebut
harus memahami peraturan yang berlaku di masyarakat dan dapat menempatkan
sesuatu sesuai pada tempatnya.
Dalam Islam-pun
diajarkan bahwa manusia harus berusaha untuk berbuat adil, meskipun itu sulit.
Seperti firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami
telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat” (QS. An-Nisa’: 105)
2.1.4 Perkembangan Penalaran
Moral
Penalaran moral bukan
merupakan penalaran terhadap standar perilaku yang ditentukan oleh konsensus
sosial (social-convention-rules), namun lebih merupakan penalaran
terhadap standar penerimaan dan penolakan perilaku yang berhubungan dengan hak
dan kewenangan individu (moral rules).
Dalam hal ini,
Kolhberg membagi penalaran moral menjadi tiga tingkatan dan masing-masing
tingkatan mempunyai tahapan-tahapan tersendiri. Tingkatan-tingkatan tersebut
antara lain:
Usia
|
Tahap
|
Contoh
Perilaku
|
0-9
Tahun
|
Tingkat prakonvensional:
Kepatuhan dan hukuman
Pertukaran instrumen
|
Anak mengikuti aturan untuk
menghindari hukuman
Anak mengikuti aturan untuk
mendapatkan kesenangan dalam mencapai tujuan pribadi.
|
10-15 Tahun
|
Tingkat konvensional:
Orientasi anak baik-baik
Orientasi pemeliharaan otoritas
|
Anak mematuhi aturan untuk
menghindari ketidaksetujuan sosial atau penolakan
Anak ingin menghindari kritikan
dari orang lain atau pihak otoritas
|
16-…. Tahun
|
Tingkat Pascakonvensional:
Orientasi legalistic
kontraktual
Orientasi prinsip etika
universal
|
Orang memilih prinsip moral
untuk hidup
Orang bertingkah laku dengan
cara menghormati harga diri semua orang
|
2.1.5 Karakteristik Moral
Peck dan Havighurst
dan kawan-kawan mengklasifikasi karakter moral ke dalam 5 tipe, yaitu;
Tipe amoral, tipe ini biasanya
memperlihatkan sifat-sifat kekanak-kanakan, implusif, tidak bertanggung jawab,
tanpa internalisasi prinsip-prinsip moral, dan tanpa memperhitungkan
akibat-akibat tingkah lakunya.
Tipe expedient, yaitu seseorang yang
“self centered”, seseorang yang egois, ia bertindak secara moral
sepanjang tindakan tersebut berguna untuk mencapai maksud-maksudnya, untuk
mendapatkan yang ia inginkan.
Tipe conforming, orang yang prinsip
moralnya adalah mengerjakan apa yang dikerjakan orang lain dan apa yang
seharusnya dikerjakan. Orang seperti itu di dalam menyesuaikan dirinya dengan
kelompoknya dengan mengikuti aturan-aturan sebagaimana tertulis yang khusus
untuk setiap kesempatan, dan tidak memiliki prinsip moral yang tergeneralisasi.
Tipe rational
conscientious,
yaitu seseorang yang memiliki standar internal tentang benar dan salah, dengan
itu ia menilai tindakan-tindakannya, tapi ia sangat kaku di dalam menerapkan
prinsip-prinsip moralnya. Ia memandang suatu tindakan adalah baik dan buruk,
karena ia mendefinisikannya demikian, dan bukan atas pertimbangan apakah
tindakannya itu berakibat baik atau buruk terhadap yang lain.
Tipe rational
altruistic,
yang menggambarkan tingkat kematangan moral yang tinggi. Ia memiliki satu set
prinsip moral yang stabil yang membimbing tingkah lakunya. Berdasarkan
prinsip-prinsipnya, dan ia bersifat altruistis di dalam
memperlihatkannya tentang kesejahteraan orang lain dan juga dirinya.[5]
2.1.6 Perubahan Moral
Pada masa remaja
terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada
masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral
umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat
diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku
moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami
kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan
ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu
merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Erikson melihat
perkembangan remaja dalam hubungannya dengan pembentukan identitas diri.
Menurut dia, pada masa remaja, seseorang akan mempertanyakan identitas dirinya:
siapa saya, apakah saya dan dimana tempat saya. Tujuan perkembangan pada masa
remaja adalah untuk membentuk identitas diri.
Dalam usaha untuk
mencari identitas diri inilah maka seorang remaja sering membantah orangtua
atau tokoh otoritas lainnya. Karena pada masa remaja seseorang suka membantah,
maka masa ini sering disebut sebagai masa 'negativistis' atau masa
'trotzalter.' Sesuai dengan perkembangan yang normal, maka sikap suka membantah
pada masa remaja merupakan sesuatu yang wajar.
2.2 Perkembangan Agama
2.2.1 Peranan Agama
Dari sudut pandang
individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terkahir
baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap
kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan
dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Sedangkan dari sudut
pandang sosial adalah seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai kometmen yang ia pegang
bersama dengan orang lain dan berusaha untuk bergabung dengan orang lain dalam
ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar
terhadap falsafah hidupnya.
Dari kedua sudut pandang
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan agama sangat penting dalam
kehidupan manusia. Karena fungsi agama adalah menjadi pengkontrol bagi
kehidupan manusia. Oleh sebab itu, dalam melakukan sesuatu seharusnya kita
mensesuaikan dengan norma-norma yang ada. Apabila mengerjakan sesuatu
bersimpangan dengan norma-norma yang ada, maka masyarakat di sekitarnya tidak
akan menghormati, malahan sebaliknya yaitu memusuhi. Permusuhan di sini yang
tidak diinginkan oleh kita.
Pada era globalisasi
ini banyak dari para remaja menyalahkan fungsi dari agama itu sendiri sehingga
hidupnya pun mengalami kebingungan. Seperti maraknya pergaulan bebas, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, peran orang tua juga sangat penting untuk
menghadapi fenomena-fenomena yang ada pada saat ini.
Beberapa kelompok
keagamaan memandang masa remaja sebagai saat penyadaran. Artinya saat di mana
keimanan yang tadinya bersifat pinjaman, kini menjadi miliknya sendiri. Di
samping itu terdapat anggapan bahwa masa remaja adalah suatu masa di mana
remaja telah matang untuk bertobat atau siap untuk menceburkan dirinya ke dalam
agama dengan lebih pasti, dibandingkan dengan masa kanak-kanak.
2.2.2 Faktor-faktor Perkembangan
Agama
Pertumbuhan
pikiran dan mental ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari
masa kanakkanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis
terhadap ajaran agama mulai timbul karena selain masalah agama mereka juga
tertarik pada masalah sosial, budaya, ekonomi dan norma-norma kehidupan
lainnya. Ajaran agama yang bersifat konservatif lebih banyak berpengaruh bagi
para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sedangkan agama yang
ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang
pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan
ajaran agamanya.
Perkembangan
perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estesis
mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam
lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat
kearah hidup yang religius pula. Bila remaja kurang mendapatkan pendidikan dan
sirama ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual karena masa
remaja merupakan masa kematangan seksual. Oleh karena didorong oleh perasaan
ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan
seksual yang negatif.
Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial.
Dalam kehidupan keagamaan remaja timbul konflik antara pertimbangan moral dan
material, dan membuat remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena
kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka jiwa para
remaja lebih cenderung untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest
Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan bahwa
70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan,
kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan
masalah keagamaan dan akhirat hanya sekitar 3,6% dan 5,8% untuk masalah sosial.
Perkembangan moral
Perkembangan moral remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk
mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja mencakupi: Self-directive,
taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi. Adaptive,
mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Submissive, merasakan
adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. Unadjusted, belum
meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. Deviant, menolak dasar
dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
Sikap dan minat remaja
terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini juga
tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi
mereka.
Ibadah Pandangan para
remaja mengenai ibadah adalah dengan beribadah mereka yakin Tuhan mendengar dan
mengabulkan doa mereka, dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka
derita atau menyebabkan mereka senang sesudah menunaikannya. Beribadah juga
mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan mereka sebagai anggota masyarakat. Dan
sedikit sekali remaja yang memandang bahwa beribadah merupakan kebiasaan yang
mengandung arti penting.
2.2.3
Pengaruh Pengalaman Masa Kecil Terhadap Sikap-sikap Religious Pada Masa Remaja
Dalam hal keagamaan,
seperti halnya dalam hal-hal lain, kita dapat mengharapkan, bahwa pengembangan
sikap dan keyakinan anak-anak muda, harus dibina atas dasar yang sudah
dipelajari atau diterimanya. Keseluruhan kepribadian yang terbina sejak kecil
sampai mencapi usia remaja, merupakan dasar yang cukup kuat terhadap orientasi
keagamaan selama masa remaja dan masa selanjutnya[6].
Untuk merealisasikan
rasa kasih saying yang sangat ditekankan dalam agama, anak-anak muda harus
menarik pengalaman-pengalamannya sendiri tentang mencintai dan menyayangi
manusia.
Sedangkan untuk
merealisasikan makna dari pada konsep keyakinan, anak muda juga harus membina
keyakinan-keyakinannya atas dasar apa-apa yang sudah terbina dalam dirinya pada
masa kecil. Adalah sulit bagi para remaja untuk menangkap dari makna
keyakinan-keyakinan agama, kalau keyakinan tersebut hanya diberikan dalam
bentuk doktrin-doktrin atau kepercayaan yang harus dihafalkannya, seperti
halnya mereka menghafalkan nama-nama negara yang tergabung dalam PBB.
2.2.4 Perubahan-perubahan Dalam
Sikap-sikap dan Keyakinan
Dalam perkembangan
remaja terdapat kecenderungan-kecenderungan terjadinya perubahan di dalam cara
mereka berpikir dan cara mereka merasakan mengenai agama, tetkala ia berkembang
dari permulaan masa remaja ke masa menginjak usia dua puluhan.
Apabila perkembangan
berjalan dengan baik, anak-anak muda dalam tahun-tahun perkembangannya memiliki
kapasitas yang cukup kuat untuk meneliti dan menguji makna dari kepercayaan dan
ide-ide yang semulanya diterimanya seperti hal yang wajar dari orang-orang
tuanya atau orang-orang lain. Penelitian dan pengujian yang dilakukan sendiri itu
menunjukkan adanya perkembangan yang sehat. Lebih banyak dari mereka
merenungkan keyakinan-keyakinannya akan lebih mampu pula mereka mengetes
keyakinan-keyakinan tersebut. Lebih bermakna keyakinan-keyakinan ini bagi
dirinya, akan lebih berani tapi ia menyelidiki makna keyakinan tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam moral itu
sendiri terdapat beberapa komponen-komponen yang satu dengan yang lainnya
saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah; Afektif atau
emosional, Kognitif, dan Perilaku atau motorik. Di samping
itu, moral juga mempunyai perilaku-perilaku dasar perkembangan moral.
Perilaku-perilaku dasar tersebut antara lain: altruisme (perkembangan
perilaku prososial), kontrol perilaku agresivitas, dan menerapkan prinsip
keadilan moral.
Dari sudut pandang
individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terkahir
baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap
kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan
dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Sedangkan dari sudut
pandang sosial adalah seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai kometmen yang ia pegang
bersama dengan orang lain dan berusaha untuk bergabung dengan orang lain dalam
ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar
terhadap falsafah hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Http//Anakciremai:
Makalah-tentang-moral-dan-agama-remaja-html.
Fatimah,
Enung, M.M, 2006, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik),
CV Pustaka Setia.
Purwakania
Hasan, Aliah B, 2006, Psikologi Perkembangan Islam (Menyingkap Rentang
Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian), PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sulaeman,
Dadang, 1995, Psikologi Remaja (Dimensi-dimensi Perkembangan), CV Mandar
Maju, Cetakan ke-1, Bandung.
[1] http//Anakciremai: Makalah-tentang-moral-dan-agama-remaja-html.
[2] Enung, Fatimah, 2006, Psikologi Perkembangan (Perkembangan
Peserta Didik), CV Pustaka Setia, hlm. 119.
[3] Aliah B. Purwakania Hasan, 2006, Psikologi Perkembangan Islam
(Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian),
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 261.
[4] Aliah B. Purwakania Hasan, Op.,Cit, hlm. 262
[5] Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja (Dimensi-dimensi Perkembangan),
CV Mandar Maju, Cetakan ke-1, Bandung, 1995, hlm. 115-116
[6] Dadang Sulaeman, Op., Cit, hlm. 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar