Sabtu, 04 Mei 2013

PERKEMBANGAN AGAMA DAN MORAL REMAJA

PERKEMBANGAN AGAMA DAN MORAL REMAJA

BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Pada realita sekarang ini banyak para remaja kehilangan kontrol terhadap tingkah lakunya. Entah apa yang terjadi pada para remaja saat ini? Mungkin salah satu penyebab dari merosotnya tingkah laku para remaja saat ini adalah dikarenakan peranan agama itu sendiri tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Padahal agama dan moral adalah merupakan salah satu pengontrol terhadap tingkah laku di dunia ini. Kelakuan remaja berbeda dengan apa yang diharapkan oleh kita. Seperti contoh minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Pergaulan bebas seakan-akan menjadi kebiasaan para remaja pada saat ini sehingga ke mana pun terikat oleh pergaulan bebas itu sendiri. Nah, di sini peran agama sangat perlu, begitu juga peran dari orang tua.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Mengapa pada era globalisasi ini para remaja mengalami dekadensi moral?
1.2.2        Bagaimana cara untuk mengatasi kenakalan remaja tersebut?
1.2.3        Bagaimana peran agama dan moral dalam menghadapi perkembangan remaja?

1.3  Tujuan Makalah
1.3.1        Untuk dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena yang terjadi di kalangan remaja!
1.3.2        Agar dapat mengatasi dan menghindari dari kenakalan remaja!
1.3.3        Untuk mengetahui peran agama dan moral terhadap perkembangan remaja!


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Moral
2.1.1 Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin "mos" (Moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/niali-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.[1]
Purwadarminto mengatakan dalam bukunya Dra. Enung Fatimah, M.M, bahwa yang dimaksud dengan moral adalah ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan lain sebagainya. Dengan demikian, bahwa moral berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk dapat membedakan antara perbuatan baik dan buruk atau benar dan salah.[2]
Pendapat lain dalam bukunya Aliah B. Purwakania Hasan yang mengatakan bahwa moral adalah sebagai kapasitas untuk membedakan yang benar dan salah atau baik dan buruk, bertindak atas perbedaan tersebut dan mendapat penghargaan diri ketika melakukan yang benar dan merasa bersalah atau malu ketika melanggar standar tersebut.[3]
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil benang merahnya bahwa moral adalah perubahan tingkah laku yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Dengan demikian, bahwa apabila anak mempunyai moral yang baik maka anak tersebut akan disanjung, dihormati. Sebaliknya, apabila anak yang mempunyai perilaku yang buruk maka anak tersebut akan menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Perilaku yang baik sangat menentukan perilaku anak itu sendiri, begitu juga sebaliknya. Dalam artian, bahwa orang yang melakukan perbuatan yang baik akan mendapatkan kebaikan, begitu juga orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang jelek akan mendapatkan kejelekan pula. Seperti contoh orang yang memberikan pertolongan pada orang lain dan sewaktu-waktu orang tersebut membutuhkan pertolongan, maka orang-orang yang ada di sekitarnya akan menolongnya.
2.1.2 Komponen-komponen Moral
Dalam moral itu sendiri terdapat beberapa komponen-komponen yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah; (1) Afektif atau emosional, (2) Kognitif, (3) Perilaku atau motorik.
Dalam komponen afektif atau emosional terdapat berbagai jenis perasaan seperti perasaan bersalah atau malu, perhatian terhadap perasaan orang lain, dan lain sebagainya yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi pemikiran dan tindakan moral.
Kadang-kadang orang yang mempunyai perasaan malu tidak dapat memberikan peluang untuk mengembangkan potensi, bakatnya. Sehingga untuk melangkah ke sana sini terhantui oleh perasaan malunya. Karena perasaan malu tersebut mendominasi akan perkembangan yang ada dalam diri anak itu sendiri. Perasaan malu ini tidak akan berkurang apabila seseorang tidak mau melepasnya jauh-jauh. Cara untuk melepas perasaan malu salah satunya adalah selalu berinteraksi atau berkomunikasi dengan teman yang ada di sekitarnya, menghilangkan pikiran-pikiran takut salah dalam berargumen, tidak menghiraukan teman-teman yang ada di sekitarnya ketika berbicara dengannya, dan masih banyak lagi cara-caranya.
Kata malu di sini dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu malu secara vertikal dan malu secara horizontal. Malu vertikal adalah malunya seseorang terhadap Sang Pencipta. Seyogyanya, apabila seseorang meninggalkan perintahnya dia harus mempunyai perasaan malu. Sedangkan malu dalam bentuk horizontal adalah malunya seseorang terhadap orang yang ada di sekitarnya.
Komponen afektif moralitas (moral affect) merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika. Dalam hal ini Islam mengajrakan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Seperti Hadits yang artinya “Malu adalah sebagian dari Iman”. Dikatakan demikian, agar manusia dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
Komponen kognitif merupakan pusat di mana seseorang melakukan konseptual benar dan salah dan membuat keputusan tentang bagaimana seseorang berperilaku. Dengan demikian, bahwa seseorang harus memiliki konsep dalam melakukan perbuatan yang baik dan buruk karena dengan konsep tersebut manusia akan terarah pada tujuan yang diinginkan.
Komponen kognitif moralitas (moral resoning) merupakan pikiran yang menunjukkan seseorang ketika memutuskan sesuatu dari berbagai keputusan atau tindakan yang benar atau salah. Dalam Islam sendiri dijelaskan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa manusia dua jalan yaitu kefasikan dan ketaqwaan. Manusia mempunyai akal untuk dapat memilih jalan mana yang akan ditempuh. Seperti firman Allah:
Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Al-Syams: 7-10).[4]
Jadi kita selaku manusia harus benar-benar dapat menentukan dan memilih mana perbuatan baik dan buruk. Kadang-kadang seseorang salah menempatkan perbautan baik dengan perbuatan buruk. Seperti contoh orang yang minum-minuman keras, mereka tahu bahwa minuman keras sangat merusak terhadap terhadap kesehatan, ingatan. Akan tetapi, orang tidak menghiraukan itu semua karena yang terpenting adalah keinginan nafsu bisa terpenuhi, dan masih banyak contoh-contoh yang lain.
Sedangkan komponen perilaku atau psikimotorik (moral behavior) merupakan tindakan yang konsisten terhadap tindakan moral seseorang dalam situasi di mana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan jalan yang benar seperti jalan yang mendaki lagi sukar. Seperti firman Allah:
Artinya: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan,Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar” (QS. Al-Balad: 10-11).
2.1.3 Perilaku-Perilaku Dasar Moral
Dalam moral itu sendiri terdapat beberapa perilaku dasar perkembangan moral. Perilaku-perilaku dasar tersebut antara lain: altruisme (perkembangan perilaku prososial), kontrol perilaku agresivitas, dan menerapkan prinsip keadilan moral.
Perilaku dasar altruisme adalah perkembangan remaja dalam bersosial. Dengan kata lain, bahwa banyak dari orang tuanya menghendaki anaknya bisa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Sosialisasi dan komunikasi adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari yang satu dengan yang lainnya. Kadang ada anak yang bisa bersosialisasi saja tapi tidak bisa berkomunikasi dengan baik, begitu juga sebaliknya.
Jadi, sosialisasi dan komunikasi harus dimiliki oleh setiap insan. Seperti saling tolong menolong, saling membagi, saling membantu, bekerja sama, dan lain sebagainya. Islam sendiri mengajarkan kita untuk melaksanakan tolong menolong di antara sesamanya.
Perkembangan altruisme pada seseorang sejalan dengan keterampilan dalam mengambil peran sosial. Orang yang memiliki keterampilan untuk menempatkan dirinya pada perspektif orang lain lebih dapat menunjukkan perilaku koperatif, saling membantu, menghargai orang lain, dan memperhatikan kebutuhan orang lain. Selain itu, kemampuan penalaran moral prososial dan kemampuan memberikan reaksi empatik juga merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap altruisme.
Kontrol perilaku agresivitas adalah segala bentuk perilaku yang disengaja dibuat untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup yang memiliki motivasi untuk menghindarinya. Agresivitas bukan merupakan konsekuensi perilaku. Namun, sesuatu perilaku merupakan agresivitas jika terdapat niat untuk menyakiti orang lain, misalnya tendangan keras yang meleset, dan lain-lain. Sebaliknya, jika tidak terdapat niat maka hal itu dianggap bukan agresivitas, misalnya kecelakan lalu lintas, dan lain-lain.
Orang yang mampu mengontrol diri untuk tidak menyakiti orang lain, meskipun dalam keadaan marah merupakan orang yang perkasa dalam Islam. Dengan demikian, bahwa Islam melarang manusia untuk melakukan tindakan agresivitas yang tidak memiliki alasan dapat dan mencegah kemungkaran.
Agresivitas sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu agresivitas permusuhan (hostile Aggression) dan agresivitas instrumental (instrumental aggression). Agresivitas permusuhan merupakan tindakan dengan tujuan utama untuk menyakiti atau melukai korban. Sementara agresivitas instrumental merupakan perilaku yang memiliki tujuan utama untuk mendapatkan akses objek, ruang atau hak-hak yang dimiliki. Kedua agresif ini tergantung pada situasi dan kondisi yang ada. Seperti contoh agresif pada adik perempuannya.
Penalaran moral prososial merupakan salah satu pikiran yang ditunjukkan untuk memutuskan apakah hendak membantu, membagi, mennyenangkan orang lain, yang kita kenal dengan pengorbanan. Sedangkan empati adalah kontributor afektif yang penting terhadap altruisme. Empati merupakan tanggapan manusia yang universal yang dapat diperkuat atau ditekan oleh pengaruh lingkungan dan budaya.
Karakteristik agresivitas anak berubah sejalan dengan meningkatnya usia. Anak-anak berusia 2 tahun lebih banyak menunjukkan agresivitas-nya dengan memukul dan menendang. Usia 3-5 tahun agresif fisik mulai menurun dan diganti dengan agresif yang lebih bersifat verbal. Pada usia 4-7 tahun juga lebih banyak memfokuskan agresivitas-nya pada benda terutama pada mainan atau kepentingan lainnya.
Ada dua golongan agresivitas tinggi yang terdapat dalam diri anak, yaitu;
Agresor proaktif, yaitu perilaku agresif mudah dilakukan dan menjadi tergantung pada agresivitas sebagai alat untuk menyelesaikan masalah sosial atau mencapai tujuan pribadi lainnya.
Agresor reaktif, merupakan anak yang menunjukkan permusuhan yang tinggi merasa terpancing karena merasakan permusuhan yang lebih kepada orang lain, dan tidak dapat mengontrol kemarahan mereka cukup lama untuk mencari solusi non-agresif dalam masalah sosial.
Agresor proaktif sering melakukan kekerasan (bully) terhadap orang lain, sementara agresor reaktif umumnya mereka pernah menjadi korban kekerasan tersebut. Semua ini, dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya yang ada di sekitarnya.
Adapun prinsip keadilan sosial harus benar-benar ada dalam diri seseorang. Seseorang tersebut harus memahami peraturan yang berlaku di masyarakat dan dapat menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya.
Dalam Islam-pun diajarkan bahwa manusia harus berusaha untuk berbuat adil, meskipun itu sulit. Seperti firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat” (QS. An-Nisa’: 105)
2.1.4 Perkembangan Penalaran Moral
Penalaran moral bukan merupakan penalaran terhadap standar perilaku yang ditentukan oleh konsensus sosial (social-convention-rules), namun lebih merupakan penalaran terhadap standar penerimaan dan penolakan perilaku yang berhubungan dengan hak dan kewenangan individu (moral rules).
Dalam hal ini, Kolhberg membagi penalaran moral menjadi tiga tingkatan dan masing-masing tingkatan mempunyai tahapan-tahapan tersendiri. Tingkatan-tingkatan tersebut antara lain:
Usia
Tahap
Contoh Perilaku
0-9
Tahun
Tingkat prakonvensional:
Kepatuhan dan hukuman
Pertukaran instrumen
Anak mengikuti aturan untuk menghindari hukuman
Anak mengikuti aturan untuk mendapatkan kesenangan dalam mencapai tujuan pribadi.
10-15 Tahun
Tingkat konvensional:
Orientasi anak baik-baik
Orientasi pemeliharaan otoritas
Anak mematuhi aturan untuk menghindari ketidaksetujuan sosial atau penolakan
Anak ingin menghindari kritikan dari orang lain atau pihak otoritas
16-…. Tahun
Tingkat Pascakonvensional:
Orientasi legalistic kontraktual
Orientasi prinsip etika universal
Orang memilih prinsip moral untuk hidup
Orang bertingkah laku dengan cara menghormati harga diri semua orang
2.1.5 Karakteristik Moral
Peck dan Havighurst dan kawan-kawan mengklasifikasi karakter moral ke dalam 5 tipe, yaitu;
Tipe amoral, tipe ini biasanya memperlihatkan sifat-sifat kekanak-kanakan, implusif, tidak bertanggung jawab, tanpa internalisasi prinsip-prinsip moral, dan tanpa memperhitungkan akibat-akibat tingkah lakunya.
Tipe expedient, yaitu seseorang yang “self centered”, seseorang yang egois, ia bertindak secara moral sepanjang tindakan tersebut berguna untuk mencapai maksud-maksudnya, untuk mendapatkan yang ia inginkan.
 Tipe conforming, orang yang prinsip moralnya adalah mengerjakan apa yang dikerjakan orang lain dan apa yang seharusnya dikerjakan. Orang seperti itu di dalam menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya dengan mengikuti aturan-aturan sebagaimana tertulis yang khusus untuk setiap kesempatan, dan tidak memiliki prinsip moral yang tergeneralisasi.
Tipe rational conscientious, yaitu seseorang yang memiliki standar internal tentang benar dan salah, dengan itu ia menilai tindakan-tindakannya, tapi ia sangat kaku di dalam menerapkan prinsip-prinsip moralnya. Ia memandang suatu tindakan adalah baik dan buruk, karena ia mendefinisikannya demikian, dan bukan atas pertimbangan apakah tindakannya itu berakibat baik atau buruk terhadap yang lain.
Tipe rational altruistic, yang menggambarkan tingkat kematangan moral yang tinggi. Ia memiliki satu set prinsip moral yang stabil yang membimbing tingkah lakunya. Berdasarkan prinsip-prinsipnya, dan ia bersifat altruistis di dalam memperlihatkannya tentang kesejahteraan orang lain dan juga dirinya.[5]
2.1.6 Perubahan Moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.
Erikson melihat perkembangan remaja dalam hubungannya dengan pembentukan identitas diri. Menurut dia, pada masa remaja, seseorang akan mempertanyakan identitas dirinya: siapa saya, apakah saya dan dimana tempat saya. Tujuan perkembangan pada masa remaja adalah untuk membentuk identitas diri.
Dalam usaha untuk mencari identitas diri inilah maka seorang remaja sering membantah orangtua atau tokoh otoritas lainnya. Karena pada masa remaja seseorang suka membantah, maka masa ini sering disebut sebagai masa 'negativistis' atau masa 'trotzalter.' Sesuai dengan perkembangan yang normal, maka sikap suka membantah pada masa remaja merupakan sesuatu yang wajar.
2.2 Perkembangan Agama
2.2.1 Peranan Agama
Dari sudut pandang individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terkahir baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Sedangkan dari sudut pandang sosial adalah seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai kometmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dan berusaha untuk bergabung dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Dari kedua sudut pandang di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan agama sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena fungsi agama adalah menjadi pengkontrol bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, dalam melakukan sesuatu seharusnya kita mensesuaikan dengan norma-norma yang ada. Apabila mengerjakan sesuatu bersimpangan dengan norma-norma yang ada, maka masyarakat di sekitarnya tidak akan menghormati, malahan sebaliknya yaitu memusuhi. Permusuhan di sini yang tidak diinginkan oleh kita.
Pada era globalisasi ini banyak dari para remaja menyalahkan fungsi dari agama itu sendiri sehingga hidupnya pun mengalami kebingungan. Seperti maraknya pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, peran orang tua juga sangat penting untuk menghadapi fenomena-fenomena yang ada pada saat ini.
Beberapa kelompok keagamaan memandang masa remaja sebagai saat penyadaran. Artinya saat di mana keimanan yang tadinya bersifat pinjaman, kini menjadi miliknya sendiri. Di samping itu terdapat anggapan bahwa masa remaja adalah suatu masa di mana remaja telah matang untuk bertobat atau siap untuk menceburkan dirinya ke dalam agama dengan lebih pasti, dibandingkan dengan masa kanak-kanak.
2.2.2 Faktor-faktor Perkembangan Agama
Pertumbuhan pikiran dan mental ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanakkanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul karena selain masalah agama mereka juga tertarik pada masalah sosial, budaya, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya. Ajaran agama yang bersifat konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sedangkan agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya.
Perkembangan perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula. Bila remaja kurang mendapatkan pendidikan dan sirama ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual karena masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Oleh karena didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negatif.
Pertimbangan sosial Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan remaja timbul konflik antara pertimbangan moral dan material, dan membuat remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka jiwa para remaja lebih cenderung untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah keagamaan dan akhirat hanya sekitar 3,6% dan 5,8% untuk masalah sosial.
Perkembangan moral Perkembangan moral remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja mencakupi: Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini juga tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka.
Ibadah Pandangan para remaja mengenai ibadah adalah dengan beribadah mereka yakin Tuhan mendengar dan mengabulkan doa mereka, dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita atau menyebabkan mereka senang sesudah menunaikannya. Beribadah juga mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan mereka sebagai anggota masyarakat. Dan sedikit sekali remaja yang memandang bahwa beribadah merupakan kebiasaan yang mengandung arti penting.
2.2.3 Pengaruh Pengalaman Masa Kecil Terhadap Sikap-sikap Religious Pada Masa Remaja
Dalam hal keagamaan, seperti halnya dalam hal-hal lain, kita dapat mengharapkan, bahwa pengembangan sikap dan keyakinan anak-anak muda, harus dibina atas dasar yang sudah dipelajari atau diterimanya. Keseluruhan kepribadian yang terbina sejak kecil sampai mencapi usia remaja, merupakan dasar yang cukup kuat terhadap orientasi keagamaan selama masa remaja dan masa selanjutnya[6].
Untuk merealisasikan rasa kasih saying yang sangat ditekankan dalam agama, anak-anak muda harus menarik pengalaman-pengalamannya sendiri tentang mencintai dan menyayangi manusia.
Sedangkan untuk merealisasikan makna dari pada konsep keyakinan, anak muda juga harus membina keyakinan-keyakinannya atas dasar apa-apa yang sudah terbina dalam dirinya pada masa kecil. Adalah sulit bagi para remaja untuk menangkap dari makna keyakinan-keyakinan agama, kalau keyakinan tersebut hanya diberikan dalam bentuk doktrin-doktrin atau kepercayaan yang harus dihafalkannya, seperti halnya mereka menghafalkan nama-nama negara yang tergabung dalam PBB.
2.2.4 Perubahan-perubahan Dalam Sikap-sikap dan Keyakinan
Dalam perkembangan remaja terdapat kecenderungan-kecenderungan terjadinya perubahan di dalam cara mereka berpikir dan cara mereka merasakan mengenai agama, tetkala ia berkembang dari permulaan masa remaja ke masa menginjak usia dua puluhan.
Apabila perkembangan berjalan dengan baik, anak-anak muda dalam tahun-tahun perkembangannya memiliki kapasitas yang cukup kuat untuk meneliti dan menguji makna dari kepercayaan dan ide-ide yang semulanya diterimanya seperti hal yang wajar dari orang-orang tuanya atau orang-orang lain. Penelitian dan pengujian yang dilakukan sendiri itu menunjukkan adanya perkembangan yang sehat. Lebih banyak dari mereka merenungkan keyakinan-keyakinannya akan lebih mampu pula mereka mengetes keyakinan-keyakinan tersebut. Lebih bermakna keyakinan-keyakinan ini bagi dirinya, akan lebih berani tapi ia menyelidiki makna keyakinan tersebut.























BAB III
KESIMPULAN

Dalam moral itu sendiri terdapat beberapa komponen-komponen yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut adalah; Afektif atau emosional, Kognitif, dan Perilaku atau motorik. Di samping itu, moral juga mempunyai perilaku-perilaku dasar perkembangan moral. Perilaku-perilaku dasar tersebut antara lain: altruisme (perkembangan perilaku prososial), kontrol perilaku agresivitas, dan menerapkan prinsip keadilan moral.
Dari sudut pandang individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terkahir baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Sedangkan dari sudut pandang sosial adalah seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai kometmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dan berusaha untuk bergabung dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.













DAFTAR PUSTAKA
Http//Anakciremai: Makalah-tentang-moral-dan-agama-remaja-html.
Fatimah, Enung, M.M, 2006, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), CV Pustaka Setia.
Purwakania Hasan, Aliah B, 2006, Psikologi Perkembangan Islam (Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sulaeman, Dadang, 1995, Psikologi Remaja (Dimensi-dimensi Perkembangan), CV Mandar Maju, Cetakan ke-1, Bandung.





[1] http//Anakciremai: Makalah-tentang-moral-dan-agama-remaja-html.
[2] Enung, Fatimah, 2006, Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), CV Pustaka Setia, hlm. 119.
[3] Aliah B. Purwakania Hasan, 2006, Psikologi Perkembangan Islam (Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 261.
[4] Aliah B. Purwakania Hasan, Op.,Cit, hlm. 262
[5] Dadang Sulaeman, Psikologi Remaja (Dimensi-dimensi Perkembangan), CV Mandar Maju, Cetakan ke-1, Bandung, 1995, hlm. 115-116
[6] Dadang Sulaeman, Op., Cit, hlm. 109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar