Selasa, 18 September 2012

Agama Sebagai Motivator Tindakan Sosial


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbicara tentang agama memang sangat luas cakupanya memerlukan suatu sikap ekstra hati-hati, karena meskipun masalah agama merupakan masalah sosial, tetapi penghayatanya amat bersifat individual. Apa yang dihayati dan dipahami sebagai agama oleh seorang, akan tergantung dari latar belakang dan kepribadiaan seseorang tersebut. Hal ini akan memacu adanya suatu perbedaan titik tekan penghayataan dari satu orang kepada orang lain, dan membuat agama menjadi bagian yang sangat mendalam dari kepribadiaan atau privasi seseorang. Oleh karena itu agama menjadi faktor utama dan bersangkutan dengan kepekaan emosional. Meskipun demikian masih ada kemungkinan untuk membicarakan agama sebagai suatu yang objektif dan umum. Tetapi diharapkan adanya keseragaman penganut agama, meskipun realita yang ada sangat sulit sekali.
Untuk itu perlu adanya kajian tentang agama secara sepesifik lagi. Ada berbagai devinisi agama yang adanya pemahaman yang berbeda secara individual. Para ilmuan barat diantaranya mengajukan pendapat berbeda beda diantaranya sebagai berikut.
1.      Wallace mengatakan bahwa agama adalah”Suatu kepercayaan tentang makna terahir alam raya.”
2.      E.S.P. Haynes yang berpendapat bahwa agama merupakan “Suatu teori tentang hubungan manusia dengan alam raya.”
3.      John Morley yang mengartikan agama sebagai “Perasaan –perasaan kita tentang kekuatan –kekuatan tertinggi yang menguasai umat manusia.”
4.      James Martineau yang mendefinisikan agama sebagai “kepercayan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang jiwa dan kemauan ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada hubungan –hubungan moral dengan umat manusia.”
Dari definisi-definisi para ilmuan diatas, ternyata pemahaman keberagaman seseorang melatar belakangi dibuatnya definisi tersebut. Seorang ilmuaan sosial Julian Huxley mencoba memperjelas makna agama. Dalam pandangannya realitas keagamaan yang esensial, berupa pengalaman khusus yang berusaha menyatakan dirinya dalam simbol-simbol dan mencari pernyataaan intelektualnya dalam ilmu kalam atau teologi  adalah rasa kesucian. Rasa kesuciaan itu sendiri setidaknya erat dengan rasa kebaikan, kebenaran, keadilan, kemuliaan yang serba tinggi. Adanya kesuciaan pada jiwa manusia secara alamiah atau fitrah telah membuat manusia menjadi apa yang disebut hanif dalam agama islam. Jadi secara singkat agama adalah perwujudan sifat hanif manusia yang telah tertanam dalam jiwa manusia. Oleh karena itu, beragama adalah natural, dan merupakan kebutuhan manusia secara esensi.
Perlu digaris bawahi peran agama dalam kehidupan manusia modern atau primitif sekalipun hakikatnya tidak ada perbedaan, yakni memenuhi kecenderungan alamiahnya. yaitu ekspresi dan rasa kesuciaan. Ada sedikit perbedaan mungkin muncul bagi masyarakat moderen, yang beranggapan bahwa kesuciaan itu terletak dalam daerah mental, spiritual, atau rohani. Dalam kehidupan modern, memang terjadi kecenderungan untuk untuk mencoba merendahkan arti kehidupan material, sehingga kadang campur aduk antara kehidupan rohani dan kehidupan material. Ini terwujud dalam sikap-sikap yang mengingkari kehidupan duniawi, menempuh hidup uzlah dan menyelami hidup mistik semata. Dua munculnya sikap yang menuntut adanya pembenaran langsung segi-segi kehidupan material dalam ukuran-ukuran formal agama bagi penganut agama memang dalam kehidupan harus mendapatkan pembenaran dari agamanya, tetapi tidak mesti dan selalu secara langsung, justru kebanyakan bersifat tidak langsung.

B.     Rumusan  Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian tindakan sosial dan berapa tipe-tipe dari tindakan sosial?
2.      Bagaimana analisis dari agama sebagai motivator tindakan sosial?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan tipe tindakan sosial
Manusia sebagai makhluk sosial, selalu berhubungan dengan orang lain. Oleh karena berhubungan dengan orang lain, maka tingkah laku manusia dipengaruhi oleh orang lain. Pengaruh itu bisa berasal dari keluarga, teman, dan masyarakat di lingkungan kita. Oleh karena itu tingkah laku atau tindakan manusia tersebut disebut tindakan sosial.
Tindakan sosial adalah perbuatan atau perilaku manusia untuk mencapai tujuan subjekif dirinya. Misalnya: sejak kecil manusia sudah melakukan tindakan sosial, antara lain membagi makanan dengan temannya, dan memberi sesuatu kepada pengemis. Tindakan sosial manusia diperoleh melalui proses belajar dan proses pengalaman dari orang lain.
Jika tindakan sosial itu dianggap baik, maka manusia akan melakukan tindakan yang sama. Jika tindakan sosial itu baik dan bermanfaat bagi orang lain, makin lama tindakan sosial tersebut dapat dianggap sebagai suatu kebisaaan yang harus dilakukan oleh seluruh anggota kelompok sosial. Pada dasarnya tindakan sosial dapat dibedakan menjadi empat tipe. Keempat tipe tindakan itu diuraikan seperti berikut.
1.      Bersifat Rasional (Instrumental)
Tindakan sosial yang bersifat rasional adalah tindakan sosial yang dilakukan dengan pertimbangan dan pilihan secara sadar (masuk akal). Artinya tindakan sosial itu sudah dipertimbangkan masak-masak tujuan dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya: Ari memutuskan bekerja dari pada memilih melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. Alasannya karena Ari ingin segera dapat membantu orang tua dan membiayai sekolah adik-adiknya. Setelah mengambil keputusan bekerja, maka Ari membuat lamaran kerja ke semua perusahaan yang membuka lowongan kerja sesuai kualifikasi pendidikan yang dimilikinya.

2.      Berorientasi Nilai
Tindakan sosial yang berorientasi nilai dilakukan dengan memperhitungkan manfaat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai tidak terlalu dipertimbangkan.Tindakan ini menyangkut kriteria baik dan benar menurut penilaian masyarakat. Bagi tindakan sosial ini yang penting adalah kesesuaian tindakan dengan nilai-nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Contohnya: tidak pernah mempersoalkan mengapa kita harus makan dan minum dengan tangan kanan. Tindakan tersebut kita lakukan karena pandangan masyarakat yang menekankan kalau makan dan minum dengan tangan kanan lebih sopan dari pada dengan tangan kiri.
3.      Tradisional
Tindakan sosial tradisional adalah tindakan sosial yang menggunakan pertimbangan kondisi kebisaaan yang telah baku dan ada di masyarakat. Oleh karena itu, tindakan ini cenderung dilakukan tanpa suatu rencana terlebih dahulu, baik tujuan maupun caranya, karena pada dasarnya mengulang dari yang sudah dilakukan. Contohnya: upacara-upacara adat yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan tersebut dilakukan mengikuti kebiasaan yang telah turun-temurun.
4.      Afektif
Tindakan sosial afektif adalah tindakan sosial yang sebagian besar tindakannya dikuasai oleh perasaan (afektif) ataupun emosi, tanpa melakukan pertimbangan yang matang. Perasaan marah, cinta, sedih, gembira muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap situasi tertentu. Oleh sebab itu tindakan sosial itu bisa digolongkan menjadi tindakan yang irasional. Contohnya: seorang wanita menangis begitu mendengar cerita sedih. Tindakan tersebut merupakan ungkapan-ungkapan langsung tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu alasan tujuannya.[1]



B.     Analisis Terhadap Agama Sebagai Motivator Tindakan Sosial.
Dalam bab ini menganalisis agama sebagai motifator tindakan manusia (sosial), berarti mengulas kembali pada adanya perbedaan pemahaman dan penghayatan seseoarang. Oleh karena itu sering kali terdapat dilema, sampai sampai agama itu tidak berguna lagi. Misalnya, apa yang diungkapkan A.N Wilson dalam bukunya, Against Religion: Wy We Should Try To live With out It. (Melawan Agama: Mengapa kita harus menncoba hidup tanpa agama) Tulisan ini di dasari oleh pernyataan paus yang mengutuk sikap tidak toleran kalangan kaum komunis dan muslimin dan dikalangan kelompok manusia yang lain. Dalam pikiranya, kutukan paus itu menggambarkan terjadinya dilema seorang agamawan. Seorang agamawan seringkali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiaya, sementara mereka sendiri mempertahankan hak untuk memaksa dan menyerang orang lain yang menyimpang. Bahkan, ada kalangan mereka menggagap membunuh orang yang menyimpang wajib hukumnya.
Ini diungkapkan oleh Nurcholis Majid dengan mengambil penyebab terjadinya perang dengan motif agama. Menurutnya, sebelum zaman industri, perang sering terjadi karena didorong oleh rebutan harta, lanjutnya kita tidak begitu saja menilai baik bahkan mulia bahwa perang atas nama agama lebih baik dari pada perang atas nama harta. Upamanya kita kita berada di luar agama yang sedang berperang barang tentu kita akan tersenyum mengejeknya karena peperangan yang terjadi antara dua agama dan bukan agama kita, ini adalah suatu ironi dan tragedi, karena merupakan usaha saling menghancurkan oleh dua pihak yang dalam pandangan kita sama-sama palsu.
Inilah yang disebut sebuah dilema atau Dilema Agama, mengapa demikian, Karena pada dasarnya semua agama mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seorang semakin yakin kepada agamanya, dan keyakinan semakin baik “orang baik“ justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan mereka merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sefaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran .
Jika dikaitkan dengan waktu terahkir ini, pernyataan diatas mengisyaratkan apa yang terjadi, contoh di Ambon disana sekarang terjadi peperangan konflik antara dua pengikut agama muslim dan Nasrani. Masing-masing memproklamirkan jihad dalam dalam mempertahankan kelompoknya, sehingga timbul dibenak kita kapan tragedi ini berakhir. Masih banyak tragedi lain yang amat parah lagi.
Agar kita tidak jatuh pada pemahaman yang sempit inklusif khususnya agama kita harus kembali pada penegasan Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya agama disisi Allah adalah Al –hanifiyyaht al-samhah; semagat kebenaran dan lapang serta terbuka untuk menolong manusia, jika ini dapat diterapkan maka pada tataran kehidupan sehari, agama dapat menjadi pendorong semangat bagi setiap tindakan sosial.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari analisis pembahasan diatas dapat tersimpul bahwa Agar kita tidak jatuh pada pemahaman yang sempit inklusif khususnya agama kita harus kembali pada penegasan Nabi Muhammad Saw yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya agama disisi Allah adalah Al –hanifiyyaht al-samhah; semangat kebenaran dan lapang serta terbuka untuk menolong manusia, jika ini dapat diterapkan maka pada tataran kehidupan sehari, agama dapat menjadi pendorong semangat bagi setiap tindakan sosial.
Manusia adalah mahluk religi yang butuh terhadap suatu agama jika tanpa adanya agama taktaulah mungkin dunia ini akan tambah aburadul ada agama saja manusia masih amburadul apalagi tanpa agama, sekaligus agama sebagai monitoring dan filter bagi manusia atas perilaku dalam bersosial.



DAFTAR PUSTAKA

Dr.H. Kahmad, Dadang,Msi, Sosiologi Agama, Bandung : Rosda Karya, 2000.
Majid, Nurcholis, Agama dan Masyarakat, dalam Manusia Indonesia, Jakarta: CV Akademika Presinndo, 1986.
http://sociologyknowledgeseeker.wordpress.com/2011/04/06/diskusi-kajian-pemikiran-tokoh-max-weber/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar