BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Al-Qur’an adalah
kalam Allah. yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad
Saw. yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung
dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf.
Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah
meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam
segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan
berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap
al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit
dipahami.
Lahirnya
pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan
bahwa sistimatikan al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang
tidak berdasarkan pada kronologis turunnya, itulah sebabnya terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama salaf tentang urutan surat dalam al-Qur’an. Pendapat
pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golongan kedua
berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad. Kehadiran al-Qur’an dan misi
risalah Rasulullah Saw selalu mengudang perhatian berbagai pihak untuk
mengadakan studi. Aspek kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah
maupun aspek non ilmiah. Hal ini barangkali dikarenakan oleh mu’jizat
al-Qur’an. Keajaiban al-Qur’an seperti air laut tak pernah kering untuk
ditimba. Ia lalu memeberikan inspirasi kepada manusia tanpa habis-habisnya.
B. Identifikasi Masalah
1. Pengertian
munasabah
2. Beberapa
contoh munasabah dalam alquran
3. Cara
mengetahui munasabah
4. Macam-macam
munasabah alquran
5. Urgensi dan kegunaan
mempelajari munasabah alquran
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengerian
munasabah?
2. Apa saja
contoh munasabah yang ada di dalam alquran?
3. Bagaimana
cara mengetahui munasabah?
4. Ada berapa
macam munasabah alquran?
5. Apa urgensi
dan kegunaan dari mempelajari munasabah alquran?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Munasabah
Munasabah
secara etimologi berarti kecocokan, kesesuaian atau kepantasan. Kata munasabah
secara etimologi menurut as-Suyuthi berarti al-Musakalah (keserupaan)
dan dan al-Muqabarah (kedekatan). Sedangkan menurut terminologi dapat
difinisikan sebagai berikut, Menurut az-Zarkasyi, munasabah adalah
suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu
menerimannya. Menurut Ibnu al-Araby, munasabah adalah keterkaitan
ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai
kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Menurut al-Biqai, munasabah adalah
suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau
urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat atau surat dengan surat. M. Quraisy
Shihab memberi pengertian munasabah sebagai kemiripan-kemiripan yang terdapat
pada hal-hal tertentu dalam al-Qur’an, baik surah maupun ayat-ayatnya yang
menghubungkan uraian satu ayat dengan yang lainnya. Menurut Manna’ al-Qattan, munasabah
adalah segala pertalian antara kalimat dengan kalimat dalam satu ayat atau
antara ayat dengan ayat dalam banyak ayat atau antara surat dengan surat.
Dengan kata lain
ilmu munasabah al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan suatu
ayat dengan ayat lainnya, atau suatu surat dengan surat lainnya. Hubungan itu
dapat berupa hubungan umum dengan khusus, hubungan logis (‘aqli) atau
hubungan konsekuensi logis seperti hubungan sebab dengan akibat, hubungan dua
hal yang sebanding atau berlawanan.
B. Beberapa Contoh Munasabah Dalam al-Qur’an
Untuk
membuktikan apakah ada hubungan antara surat atau ayat dengan surat atau ayat
lain dalam al-Qu’an berikut beberapa contoh.
a). Hubungan surat al-‘Alaq [96]
dengan surat al-Qadar [97]. Dalam surat al-‘Alaq, nabi dan umatnya disuruh
membaca (iqra), yang harus dibaca itu banyak sekali di antaranya
adalah al-Qur’an. Maka wajarlah jika surat berikutnya adalah surat al-Qadar
yang menjelaskan turunya al-Qur’an. Inilah keserasian susunan surat dalam al-Qur’an.
b). Hubungan surat al-Baqarah
dengan surat al-Fatihah. Pada awal surat al-Baqarah tertulis “kitab al-Qur’an
ini tidak ada keraguan di dalamnya. Pada surat al-Fatihah tercantum kalimat “tunjukilah
kami jalan yang lurus,”ini berarti bahwa ketika mereka meminta “tunjukilah
kami jalan yang lurus,” maka Allah menjawab: jalan lurus yang kalian minta
ini adalah al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya.”
c). Keserasian surat al-Kautsar
[108] dengan surat al-Ma’un [107]. Hubungan ini adalah hubungan dua hal yang
berlawanan. Dalam surat al-Ma’un, Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik;
bakhil (tidak memberi makan fakir miskin dan anak yatim), meninggalkan shalat, riya,
(suka pamer), dan tidak mau membayar zakat. Dalam surat al-Kautsar Allah
mengatakan “sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu banyak sekali
(lawan dari bakhil, mangapa kamu bakhil?, tetaplah menegakkan shalat); shalat
kamu itu hendaklah karena Allah saja, dan berkorbanlah, lawan dari enggan
membayar zakat. Inilah keserasian yang amat mengagumkan sebagai petanda adanya
hikmah dalam susunan surat-surat dalam al-Qur’an.
C. Cara Mengetahui Munasabah
Sebagaimana kita
ketahui, bahwa sejarah munculnya kajian tentang munasabah tidak terjadi pada
masa Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau empat abad setelah
masa beliau. Hal ini berarti, bahwa kajian ini bersifat taufiqi (pendapat
para ulama). Karena itu, keberadaannya tetap sebagai hasil pemikiran manusia
(para ahli Ulumul-Qur’an) yang bersifat relatif, mengandung kemungkinan benar
dan kemungkinan salah. Sama halnya dengan hasil pemikiran manusia pada umumnya,
yang bersifat relatif (Zhanniy).
Sungguhpun
keberadaannya mengandung nilai kebenaran yang relatif, namun dasar pemikiran
tentang adanya munasabah dalam al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang
bersifat absolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan)
ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kita lihat sekarang adalah bersifat Tauqifi
yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah berdasarkan petunjuk dari
Allah (wahyu), bukan susunan manusia, atas dasar pemikiran inilah, maka sesuatu
yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan yang sangat
teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula.
Oleh sebab itu, secara sistematis tentulah dalam susunan ayat-ayat al-Qur’an
terdapat korelasi, keterkaitan makna (munasabah) antara suatu ayat dengan ayat
dengan ayat sebelumnya atau ayat sesudahnya. Karena itu pula, sebagaimana ulama
menamakan ilmu munasabah ini dengan ilmu tentang rahasia/hikmah susunan
ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an.
Asy-Syatibi
menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah namun
masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi
hendaknya memperhatikan pula akhir surah atau sebaliknya. Karena bila tidak
demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
Mengetahui
hubungan antara suatu ayat atau surah lain (sebelum atau sesudahnya) tidaklah
kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya
hubungan antara ayat-ayat dan surah-surah itu dapat pula membantu kita memahami
dengan tepat ayat-ayat dan surah-surah yang bersangkutan.
Ilmu ini dapat
berperan mengganti ilmu asbabul nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui
sebab turunnya suatu ayat tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu
dengan yang lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul masalah mana yang
didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan
antara ayat itu dengan yang lainnya.
Tentang masalah
ilmu munasabah di kalangan ulama’ terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat
atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang
menyatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Tetapi sebagian besar ayat-ayat
dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa
mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali
mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lainnya.
Muhammad Izah
Daruzah mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat
dengan ayat atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya.
Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat itu ada
hubungan antara satu dengan yang lain.
Untuk
meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Alquran diperlukan
ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat
yang menjadi objek pencarian.
2. Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan
tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan-tingkatan itu, apakah ada
hubungannya atau tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya
memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
D. Macam-Macam Munasabah al-Qur’an
1. Munasabah antara surah dengan surah
Keserasian
hubungan atau munasabah antar surah ini pada hakikatnya memperlihatkan kaitan
yang erat dari suatu surah dengan surah lainnya. Bentuk munasabah yang
tercermin pada masing-masing surah, kelihatannya memperlihatkan kesatuan tema.
Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan surah-surah yang lainnya
menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya baik secara umum maupun secara
parsial. salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah munasabah yang
dapat ditarik pada tiga surah beruntun, masing-masing Q. S al-Fatihah. (1), Q.
S al-baqarah dan Q. S Al-Imran.
Satu surah berfungsi menjelaskan
surah sebelumnya, misalnya di dalam surah al-Fatihah:
Artinya: “Tunjukan kami ke
jalan yang lurus”
Lalu dijelaskan di dalam surah
al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah mengikuti petunjuk al-Qur’an,
sebagaimana disebutkan:
Artnya: “Kitab ini tidak ada
keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”.
2. Munasabah antara satu surat dengan surat
sebelumnya
Untuk mencari munasabah
antara satu surat dengan surat sebelumnya, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa satu
surat berfungsi menerangkan atau menyempurkan ungkapan pada surat sebelumnya.
Sebagai contoh dalam surat al-Bawarah [2] ayat 152 dan 182:
فاذكروني أذكركم واشكروا
لي ولا تكفرون
Ayat-ayat dari surat ini
menerangkan dan menyemprnakan dari surat sebelumnya al-fatihah [1] ayat 2:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
Begitu juga ayat 21-22 surat
al-Baqarah [2]:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ {21} الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَآءَ
بِنَآءًوَأَنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ
رِزْقًا لَكُمْ فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Merupakan penyempurnaan dari ungkapan
(رَبِّ الْعَالَمِينَ)dalam surat al-fatihah.
3. Munasabah Antara Nama Surah Dengan Kandungan
Isinya
Nama suatu surah
pada dasarnya bersifat tauqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa
suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih.
Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah
dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah
dengan isi ini dapat di indentifikasikan sebagai berikut :
a. Nama diambil dari urgensi isi
serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah disebut dengan umm al-Kitab karena
urgensinya dan disebut dengan al-Fatihah karena kedudukannya.
b. Nama diambil dari perumpamaan,
peristiwa, kisah atau peran yang menonjol, yang dipaparkan pada rangkaian
ayat-ayatnya; sementara di dalam perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu
sarat dengan ide. Di sini dapat disebut nama-nama surah : al-‘Ankabut,
al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan sebagainya.
c. Nama sebagai cerminan isi
pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung ide pokok keimanan yang paling
mendalam serta kepasrahan ; al-Mulk mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan
sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik
untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain yang tersebar diberbagai surah.
Contoh al-Hajj ( dengan spesifik tema haji ), al-Nisa ( dengan
spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata Nisa yang berarti
kaum wanita adalah lambang keharmonisan rumah tangga.
e. Nama diambil dari huruf-huruf
tertentu yang terletak dipermulaan surah, sekaligus untuk menuntut perhatian
khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya yang memakai huruf itu. Contohnya :
Thaha, Yasin, Shad dan Qaf.
4. Munasabah Antara Satu Kalimat Lainnya Dalam
Satu Ayat
Munasabah antara
satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat dilihat dari dua
segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang
jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat.
Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid / tasydid
( penguat / penegasan ) dan tafsir / I’tiradh ( interfretasi / penjelasan dan
ciri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
“فإن
لم تفعلوا “
, dikuti “ ولن تفعلوا” ( Q.S al-Baqarah / 2 : 24 ).
Contoh tafsir :
سبحان الذى اسرى بعبده
ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى
Kemudian diikuti dengan
الذى باركنا حوله لنريه
من اياتنا ( الإسراء / 17
Kedua
masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung
secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘ athaf ‘ dan terkadang
tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a. Susunan kalimat-kalimatnya
berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau larangan yang tak dapat
diputus dengan fashilah.
Salah satu contoh :
ولئن سألتهم من خلق
السماوات والأرض __ ليقولون الله __ قل الحمد لله ( لقمان : 25 )
b. Munasabah berbentuk
istishrad ( penjelasan lebih lanjut ). Contoh :
يسألونك عن الأهلة ___
قل هى ___ ( البقرة / 2 : 189
c. Munasabah berbentuk nazhir
/ matsil ( hubungan sebanding ) atau mudhaddah / ta’kis ( hubungan kontradiksi
). Contoh :
ليس البر أن تولوا
وجوهكم قبل المشرق والمغرب ___ ولكن البر … ( البقرة / 2 : 177
5. Munasabah Antara Nama Surat Dengan Tujuan
Turunnya
Al-Biqai
menjelaskan bahwa nama-nama surat al-Qur’an merupakan “inti pembahasan surat
tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan”. Setiap surat mempunyai tema
pembicaraan yang sangat menonjol, dan itu tercermin dalam nama-nama
masing-masing surat, seperti surat al-Baqarah, surat yusuf, surat an-Naml, dan
surat al-Jinn. Cerita tentang sapi betina dalam surat al-Baqarah umpamanya
merupakan inti pembicaraan surat tersebut, yaitu kekuasaan Allah membangkitkan
orang mati. Surat Yusuf mengisahkan Nabi Yusuf a.s. yang dibuang ke sumur oleh
saudara-saudaranya, kemudian setelah menjadi orang istana ia difitnah
memperkosa Zulaekha, permasuri penguasa Mesir, padahal justru wanita itu yang
berusaha memaksa Yusuf melakukan pembuatan tidak terpuji. Surat al-Jinn yang
mengisahkan bahwa Jin adalah mahluk yang juga sering mendengarkan bacaan
al-Qur’an, dsb. Singkat cerita semua nama surat mencerminkan isi dari surat
itu.
6. Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu
Surah
Untuk melihat
munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada pandangan
datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada
hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu
sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk
menyebut sebuah contoh, ayat-ayat diawal Q.S al-Baqarah 1 – 20 memberikan
sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta kemunafikan. Untuk
mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq, dapat ditarik
hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surah al-Mu’minun dimulai
dengan :
قد أفلح المؤمنون “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surah ini
ditemukan kalimat :
انه لا يفلح الكافرون
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
7. Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat
Itu Sendiri
Munasabah pada
bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-Tamkin ( mengukuhkan
isi ayat ), al-Tashdir ( memberikan sandaran isi ayat pada sumbernya ), al-Tausyih
( mempertajam relevansi makna ) dan al-Ighal ( tambahan penjelasan ).
Sebagai contoh :
فتبارك الله احسن
الخالقين mengukuhkan
ثم خلقنا النطفة علقة bahkan
mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya ( al-Mukminun : 12 – 14 ).
Kalimat-kalimat : لقوم يتفكرون
, لقوم يعقلون , لقوم يفقهون selalu menjadi sandaran isi ayat. Kata “halim”
sangat erat hubungannya dengan ‘ibadat, sementara “rasyid” kuat
hubungannya dengan al-amwal seperti bunyi ayat Q.S Hud : 87 berikut :
قالوا يا شعيب أصلاتك
تأمرك أن نترك مايعبد اباؤنا أو أن نفعل فى أموالنا مانشاؤا إنك لأنت الحليم
الرشيد
Sedangkan bentuk al-Ighal dapat
dijumpai pada Q.S al-Naml ( 27 ) : 80 :
انك لاتسمع الموتى
ولاتسمع الصم الدعاء إذا ولوا مد برين
Kata “Wallaw” yang artinya
‘bila mereka berpaling’ berfungsi sebagai penjelasan terhadap arti ( orang tuli
).
8. Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan
Akhir Uraian Surah
Salah satu
rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang erat
antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh,
dikemukakan oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun
diawali dengan “قد افلح المؤمنون “ ( respek Tuhan
kepada orang-orang Mukmin ) dan diakhiri dengan “انه
لايفلح الكافرين
“ ( sama sekali Allah tidak menaruh respek terhadap orang-orang Kafir ). Dalam
Q.S al-Qashas, al-Sayuthi melihat adanya munasabah antara pembicaraan tentang
perjuangan Nabi Musa menghadapi Fir’aun seperti tergambar pada awal surah
dengan Nabi Muhammad Saw yang menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada
situasi yang dihadapi oleh Musa As dan Muhammad Saw, serta jaminan Allah bahwa
mereka akan memperoleh kemenangan.
9. Munasabah Antara Penutup Suatu Surah Dengan
Awal Surah Berikutnya
Misalnya akhir surah al-Waqi’ah /
96 :
فسبح باسم ربك العظيم
“Maka bertasbihlah dengan ( menyebut ) nama Tuhanmu Yang Maha
Besar”.
Lalu surah berikutnya, yakni surah
al-Hadid / 57 ayat 1 :
سبح الله مافى السموات
والأرض وهو العزيز الحكيم
“Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada
Allah ( menyatakan kebesaran Allah ). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
10. Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema
Munasabah antar
ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi,
pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’I dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani
menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan
karyanya yang berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang
dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh
Abu ‘Abd Allah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn
al-Zubair.
Munasabah
ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya
suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah,
yakni Q.S al-Nisa ( 4 ) : 34 :
الرجال قوامون على
النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم
Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11 :
يرفع الله الذين امنوا
منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
Tegaknya qiwamah
( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali kaitannya
dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa
menunjuk kata kunci “Bima Fadhdhala” dan “al-Ilm” . Antara “Bima
fadhdhala” dengan “yarfa’” terdapat kaitan dan keserasian arti
dalam kata kunci nilai lebih yang muncul karena faktor ‘Ilmu.
Munasabah
al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi ( tauqifi
). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab
al-Qur’an.
E. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah al-Qur’an
Sebagaimana
asbabunnuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Alquran. Muhammad
Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkan
oleh surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal
dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika
surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga
memerhatikan segala permasalahannya.”
Kegunaan
mempelajari ilmu munasabah sebagai berikut:
1. Dapat mengembangkan sementara anggapan orang
yang menganggap bahwa tema-tema Alquran kehilangan relevansi antara satu bagian
dengan bagian lainnya.
2. Mengetahui persambungan atau hubungan antara
bagian Alquran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam
pengetahuan dan pengenalan terhadap Alquran dan memperkuat keyakinan terhadap
kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalghahan
bahasa Alquran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya,
serta persesuaian ayat/surat yang satu dengan yang lainnya.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan Alquran setelah
diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat dengan yang
lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Munasabah
secara etimologi menurut as-Syuti, berarti al-Musyakalah (keserupaan)
dan al-Muqabarah (kedekatan). Sedangkan secara terminology, ada tiga
pengertian yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya menurut az-Zarkazi,
menurut al-Biqai. Sedangkan Imam as-Syuyuti membagi tujuh macam ilmu munasabah,
yaitu: munasabah antar surat dengan surat sebelumnya; munasabah antara nama
surat dan tujuan turunnya; munasabah antar bagian suatu ayat; munasabah antar
ayat yang letaknya berdampingan; munasabah antar fasilah (pemisah) dan isi
ayat; munasabah anatar awal surat dengan akhir surat yang sama.
Macam-Macam Munasabah al-Qur’an: (1) Munasabah antara surah dengan surah, (2) Munasabah
antara satu surat dengan surat
sebelumnya, (3) Munasabah Antara Nama Surah Dengan Kandungan Isinya, (4)
Munasabah Antara
Satu Kalimat Lainnya Dalam Satu Ayat, (5) Munasabah
Antara Nama Surat Dengan
Tujuan Turunnya, (6) Munasabah Antara Ayat Dengan Ayat Dalam Satu Surah, (7) Munasabah Antara Penutup Ayat Dengan Isi Ayat Itu Sendiri, (8)
Munasabah Antara Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah, (9) Munasabah
Antara Penutup Suatu Surah
Dengan Awal Surah Berikutnya, (10) Munasabah Antar Ayat Tentang Satu Tema.
Untuk meneliti keserasian susunan
ayat dan surat (munasabah) dalam Alquran diperlukan ketelitian dan pemikiran
yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu
diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu: (1) Harus
diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian. (2)
Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam
surat. (3) Menentukan tingkatan-tingkatan itu, apakah ada hubungannya atau
tidak. (4) Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan
ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
Kegunaan mempelajari ilmu
munasabah sebagai berikut: (1) Dapat mengembangkan sementara anggapan orang
yang menganggap bahwa tema-tema Alquran kehilangan relevansi antara satu bagian
dengan bagian lainnya. (2) Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian
Alquran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun surat-suratnya yang
satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan
terhadap Alquran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan
kemukjizatannya. (3) Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalghahan bahasa
Alquran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta
persesuaian ayat/surat yang satu dengan yang lainnya. (4) Dapat membantu dalam
menafsirkan Alquran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan
kalimat atau ayat dengan yang lain.
Inilah al-Qur’an yang mutlak firman Allah.
Keserasian ayat-ayatnya makin menegaskan bahwa ia tidak tercampurkan
tangan-tangan manusia hatta manusia sekelas Nabi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ulum
al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Ahsin W, Kamus
Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Amzah, 2005
Al-Qathan, Manna
Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998
Badr
al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar
al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin
Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995
Hasbi, Muhammad, Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, Semarang: Pustaka rizki Putra, 2002
Imad
al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim,
Beirut : Dar al-Fikr, 1966
Jalal
al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar
al-Fikr, 1979, Juz I
Manna’
al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr
al-Hadits, t.th
Muhammad
Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina
Publisher, cet. I
Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta
: LkiS, 2001
Shihab, Quraish, dkk,
Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001
Saefuddin
Buchori, Didin, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an, Granada Sarana
Pustaka, 2005
Taufiq
Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian
Agama dan Budaya, 2001
W.
Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal
(Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar