BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wacana mahabbatullah dalam dunia tasawuf
dipopulerkan oleh seorang wanita suci yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah),
Rabiah al-Adawiyyah. Tampilnya Rabiah dalam sejarah tasawuf Islam, memberikan
cinta tersendiri dalam menyetarakan gender pada dataran spiritual Islam. Bahkan
dengan kemampuannya dalam menempuh perjuangan ‘melawan diri sendiri’ dan
seterusnya tenggelam dalam ‘telaga cinta Ilahi’, dinilai oleh kalangan sufi
telah melampau seratus derajat orang-orang soleh dari kalangan laki-laki.
Rabiah al-Adawiyyah termasyhur kerana
pengalaman spiritualnya, yaitu mahabbah atau penyerahan diri total kepada Allah
s.w.t. Pengalaman ini diperolehnya bukan melalui guru, melainkan melalui
pengalamannya sendiri. Jika sebelumnya Hasan al-Basri, ahli hadis dan fikh,
telah merintis kehidupan zuhud berdasarkan rasa takut dan harapan, makan Rabiah
melengkapinya dengan cinta kepada Tuhan. Cintanya kepada Allah s.w.t telah
memenuhi seluruh jiwa raganya, tidak menyisakan tempat di hatinya untuk
mencintai sesuatu selain Allah s.w.t. Baginya, dorongan mahabbah berasal dari
dirinya sendiri dan juga karena hak Allah s.w.t untuk dipuja dan dicintai.
Puncak pertemuan mahabbah antara hamba dan cinta kasih Allah s.w.t yang menjadi
akhir keinginan Rabiah.
Rabiah yang berparas cantik, memiliki suara
merdu, dan pandai menari ini ditugaskan oleh tuannya sebagai penghibur. Setelah
belasan tahun menjadi penghibur, suatu hari ketika bernyanyi, Rabiah merasakan
kedekatannya dengan Allah s.w.t yang seolah-olah memanggilnya. Sejak itu, ia
menolak semua perintah tuannya untuk bernyanyi dan menari sehingga tuannya
marah, bahkan menyiksanya. Namun, Rabiah tetap berdoa kepada Allah sw.t. Rabiah
pun dijual kepada seorang sufi yang kemudian mengajaknya menikah. Rabiah
menolaknya kerana kecintaannya yang tinggi pada Allah s.w.t. Setelah
dibebaskan, Rabiah memutuskan untuk hidup menyendiri.
Cinta Rabiah kepada Allah s.w.t merupakan
cinta suci, murni, dan sempurna seperti disenandungkan kepada syair ini: “Aku
mencintaimu dengan dua cinta; cinta kerana diriku, dan cinta kerana diri-Mu.
Cinta kerana diriku adalah keadaanku yang sentiasa mengingat-Mu yang
mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini, maupun untuk itu,
pujianku bukanlah bagiku; bagi-Mulah pujian untuk semuanya. Buah hatiku, hanya
Engkaulah yang kukasihi, berilah keampunan pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu.
Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku, hatiku enggan mencintai
selain Engkau”.
Rabiah mencurahkan seluruh hidupnya untuk
mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Kerana itu, ia memilih hidup zuhud agar
bebas daripada segala rintangan dalam perjalanan menuju Tuhan. Dalam
pandangannya, kenikmatan duniawi adalah hambatan menuju Tuhan. Dia pernah
memanjatkan doa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu daripada segala perkara
yang menyibukkanku sehingga aku tidak sempat menyembah-Mu dan daripada segala
rintangan yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.”
Perkawinan baginya adalah rintangan. Dia
menerima banyak lamaran untuk menikah, tetapi menolak semua lamaran itu.
Mengenai cinta kepada Nabi Muhammad s.a.w, dia berkata: “Aku cinta kepada Nabi
s.a.w, tetapi cintaku kepada Khalik (Maha Pencipta) memalingkan perhatianku
daripada cinta kepada makhluk (segala ciptaan).”
Rabiah sang pencinta agung itu, mencintai
Tuhan buka kerana naluri kewanitannya. Dia mencintai Tuhan dengan sepenuh
jiwanya, ia mencintai zat-Nya, sifat-sifat-Nya. Ia bertafakur, berzikir, juga
suntuk memaknai segala sesuatu tentang Kekuasaan dan Kebesaran-Nya, sehingga
tidak ada ruang sedikit pun dalam dirinya untuk berfikir selain Dia. Dia
merelakan dirinya menjadi ‘gadis abadi’. Dia tidak ingin menikah bukan lantaran
tidak ada yang meminangnya, dia memilih ‘kegadisan abadi’ kerana tidak tertarik
dengan kenikmatan hidup duniawi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud mahabbah?
2. Apa saja dasar-dasar ajaran
mahabbah?
3. Ada berapakah
macam-macam mahabbah?
4. Siapakah tokoh sufi
dalam mahabbah?
5. Apa saja doktrin-doktrin
mahabbah?
6. Apa pengaruh dari
doktrin mahabbah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan,
yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi,
Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan
dari benci. Al mahabbah dapat pula berarti al wadud yakni yang sangat kasih
atau penyayang.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti
suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawwuf ini lebih lanjut
dikemukakan al Qusyairi sebagai berikut: “almahabbah adalah merupakan hal
(keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakkan)
Allah swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta
kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah swt”.
Antara mahabbah dan ma’rifah ada persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah tujuan untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.
Selain itu juga mahabbah merupakan hal keadaan mental
seperti senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Mahabbah
berlainan dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi bagi para sufi
dalam perjalanan mendekatkan diri pada Allah swt menggambarkan keadaan dekatnya
seorang sufi dengan Tuhan. Perbedaannya mahabbah menggambarkan hubungan dengan
bentuk cinta, sedangkan ma’rifah menggambarkan hubungan dalam bentuk
pengetahuan dengan hati sanubari.
B. Dasar-Dasar Ajaran
Mahabbah
1. Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan
landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan
bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah
mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang
sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.
a. Dalil-dalil
dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:
1) QS. Al-Baqarah ayat 165
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat
siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan
bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
2) QS. Al-Maidah ayat
54
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang
suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
3) QS. Ali Imran
ayat 31
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Dalil-dalil dalam
hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
“Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan
manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia
cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang
kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada
kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.”
“….Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah
sunah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun
menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya
yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul;
dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …”
“Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada
anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”
1. Dasar Filosofis
Dalam mengolaborasikan dasar-dasar filosofis
ajaran tentang cinta(mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama
tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga
hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai
berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi
tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu
itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b. Cinta terwujud sesuai dengan
tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang
terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai
dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha
Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri,
kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang
mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan
hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak
lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha
Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia
mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat
baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang
lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan
membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada
hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap
kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif
tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya,
ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan
mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan
ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan
sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik
tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih
berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta
kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan
kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya
bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih.
Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para
makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat
banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi
orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang
Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung
jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang
berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar
manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia
pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak
dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai
rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan
sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan
dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan
korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap
oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga
membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun
mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik
atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah.
Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang
bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun
keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya
dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul
menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat
kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa
indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan
antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan
sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen
daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal
dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari
kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua
orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan
dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula
akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan
muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah
seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang
kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut
al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi
boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada
Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran,
kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi
atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu
yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati,
hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut
adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul
mengalami cinta ilahiah.
C. Macam-Macam Mahabah
Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian
berikut ini penjelasannya:
1. Mahabbah mawaddah adalah
jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”. Orang yang memiliki cinta
jenis mawaddah, maunya selaluberdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan
dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir
lain.
2. Mahabbah rahmah adalah
jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap berkorban, dan siap
melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan
orang yang dicintainya dibandingterhadap diri sendiri. Baginya yang penting
adalah kebahagiaan sangkekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat
memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk
dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya.
darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya.
Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat
disebut al arham, dzawi al arham ,yakni orang-orang yang memiliki hubungan
kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut
rahim (dari katarahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana
psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim.Selanjutnya
diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber
silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami
isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling
setia lahir batin-dunia akhirat.
3. Mahabbah mail, adalah
jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh
perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail
ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang
jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan
kepada yang lama.
4. Mahabbah syaghaf.
Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang
terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila,
lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an
menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri
pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5. Mahabbah ra’fah, yaitu
rasa kasih yang dalam hingga mengalahkannorma-norma kebenaran, misalnya kasihan
kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya
meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah
cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini
kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
6. Mahabbah shobwah, yaitu
cinta buta, cinta yang mendorong perilakupenyimpang tanpa sanggup mengelak. Al
Qur’an menyebut term ni ketikamengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar
dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan
penjara saja),sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam
perbuatanbodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min
aljahilin (Q/12:33)
7. Mahabbah syauq (rindu). Term
ini bukan dari al Qur’an tetapi darihadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam
surat al `Ankabut ayat 5dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti
waktunya akantiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa
ma’tsurdari hadis riwayat Ahmad; wa as’aluka ladzzata an nadzori ila wajhikawa
as syauqa ila liqa’ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yangapinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab naruha fi qalb al muhibbi.
memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu.Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yangapinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa iltihab naruha fi qalb al muhibbi.
8. Mahabbah kulfah. yakni
perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip
meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan
kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika
menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286).
D. Rabi’ah Al-Adawiyah: Perintis Tasawuf Cinta
Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia
tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski
ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu
tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya,
bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta
kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di
zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme)
yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya
pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang
dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan
menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang
dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia
panjatkan:“Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut
neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah
kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku
beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi
aku melihat keindahan-Mu yang abadi.”
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada
Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi
tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi
Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun,
bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada
Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak
menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya
hanya untuk Allah semata.
E. Doktrin-Doktrin Mahabbah
1. Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih
dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta
kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan
kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik
dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian
dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah
suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila
kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan
sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang
menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat,
maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap
sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai.
Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan
tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi
al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati
seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
2. Cinta Sejati adalah Cinta
kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang
tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah
sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada
Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan
demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai
Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang
kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta
yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya
Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut.
Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat
metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah
Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun.
Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu
cinta terhadap Allah.
3. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf
ada istilahmaqam (tingkatan) dan hal (keadaan,
kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk
kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia
ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah,
dan keterputusan (inqitha’)kepada Allah.
Sedangkan hal adalah apa yang terdapat
di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut
al-Junaid,hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan
tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan
tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam
tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya
sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan
sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun
sebelum mahabbahselain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar
menuju ke arahmahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan
lain-lain. Cinta sebagaimaqam ini juga diamini oleh Ibn
Arabi. Menurutnya, cinta merupakanmaqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbahmerupakan
termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah)merupakan
suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya
tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian,
Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun
disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4. Tingkatan
Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada
Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
Pertama, cinta orang-orang awam. Cina
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka.
Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan(zikir) yang
terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat
dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta
mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan,
keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini
adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri
lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan
keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta
macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an
Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun
al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh
sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam
hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah.
Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju
kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam
ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai
pengganti sifat-sifatnya.
F. Pengaruh
Doktrin Mahabbah
Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi,
prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai
menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi
begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan
lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu
menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang
membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti
al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi
dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya
Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan
lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga
sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin
Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga
sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan
puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik
Debu yang kini ada di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahabbah artinya cinta,
hal ini mengandung maksud cinta kepada Tuhan lebih luas lagi Quran memiliki 8
pengertian, yaitu: (1) Mahabbah mawaddah, (2) Mahabbah Rahmah, (3) Mahabbah
Mail, (4) Mahabbah Syaghaf, (5) Mahabbah Ra’fah, (6) Mahabbah Shobwah, (7)
Mahabbah Syauq, (8) Mahabbah Kulfah.
Aliran sufi mahabbah
dipelopori dan dikembangkan oleh seorang seorang sufi wanita bernama rabiah
al-adawiyah ia lahir di basrah pada tahun 714 M . rabiah meninggal pada tahun
801 M di barsrah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003).
Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl
at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969).
Barnawi
umari “ material akhlak” 1967; ramadhani semarang
Hamka, Prof, Dr, tasawuf perkembangan dan
pemurniannya” 1980. nurul islam. Jakarta
Mustofa,
Drs”akhlak tasawuf” 1997; pustaka setia . bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar