BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pergantian generasi merupakan
sunnatullah yang pasti akan terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Apakah
pergantian itu lebih baik atau lebih buruk dari generasi sebelumnya tergantung
pada kesungguhan dalam mempersiapkan pengkaderan generasi yang akan datang.
Jika dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh insya Allah akan menghasilkan
suatu generasi yang lebih baik. Begitu pula sebaliknya jika asal-asalan akan
menghasilkan suatu generasi yang lebih buruk dari generasi pendahulunya.
Jika
diperhatikan kondisi pada akhir-akhir ini, jelas terlihat adanya gejala demoralisasi
di masyarakat. Kejahatan dan kekerasan hampir menjadi konsumsi setiap hari di
surat kabar dan televisi. Perzinahan, aborsi dan kasus kecanduan narkoba
menduduki peringkat tertinggi yang terjadi pada generasi muda. Selain itu arus
informasi yang masuk hampir tanpa batas, seperti mode/gaya hidup orang barat,
telah diadopsi tanpa filter (saringan) dan dijadikan sebagai suatu kebiasaan
dan kebanggaan.
Fenomena
ini hendaknya dijadikan sebagai bahan renungan bagi semua kalangan. Apakah
selama ini orang-orang sudah menjaga diri mereka sendiri, keluarga dan
masyarakat di sekitar agar tidak terkena dampak demoralisasi. Ataukah selama
ini semua orang sudah lupa dan melalaikannya. Padahal Allah dengan jelas
memberikan perintah dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu dan keluargamu dari api Neraka”. (At-Tahrim: 6).
Gejala
ini harus diwaspadai, sebab jika tidak, akan menimbulkan preseden buruk bagi generasi
yang akan datang. Bisa dibayangkan seperti apa jadinya generasi yang akan
datang jika generasi sekarang seperti ini. Dan inilah yang Allah gambarkan
sebagai generasi yang buruk, suatu generasi yang akan membawa pada kehancuran
dan kesesatan. Allah berfirman, “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan”. (Maryam: 56).
B.
Identifikasi Masalah
1.
Pengertian generasi rabbani.
2. Prinsip-prinsip
pendidikan islam.
3. Pembinaan kepribadian
yang baik bagi anak-anak.
4. Metode pembinaan
kpribadian islami pada anak-anak.
5. Metode
pendidikan remaja dan mengatasi problematikanya.
C.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan generasi rabbani?
2. Apa saja prinsip-prinsip pendidikan dalam
islam?
3. Hal apa saja yang
berpengaruh dalam membina kpribadian yang baik bagi anak-anak?
4. Bagaimana cara membina
kepribadian islami pada anak-anak?
5. Bagaimana cara islam
mendidik remaja dan mengatasi problematikanya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Generasi Rabbani
Generasi
Rabbani adalah generasi yang baik, penuh dengan keridhaan dan kasih sayang
Allah serta hidupnya selalu dihiasi dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam surat
Al-Furqan, Allah menyebutkan mereka sebagai ‘ibaddurrahman’, yakni hamba yang
disayangi dan dikasihi Allah. Generasi Rabbani sebagai seorang muslim adalah
tumpuan dan harapan yang akan membawa kemajuan Islam dan tegaknya kalimatullah
di bumi ini.
Dalam
surat Al-Maidah ayat 54 Allah berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mu’min dan
bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikannya kepada siapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Luas
(pemberianNya) lagi Maha Mengetahui”.
Dari
ayat ini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa karakteristik dari generasi
rabbani adalah:
1. Yuhibbu-hum wa yuhibbuunahu,
mereka mencintai Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya,
tidak mau terlibat dalam kebobrokan-kebobrokan mental generasinya, mempunyai
hati yang bersih, dan Allah pun mencintai mereka.
2. Adzillatin
‘alal mu’minin a’izzatin ‘alal kafirin,
rendah hati terhadap orang mu’min dan keras terhadap orang kafir. Dan karakter
yang ketiga adalah mereka bergerak dan berjuang di jalan Allah dan mereka tidak
khawatir atau takut terhadap celaan orang-orang yang suka mencela, karena
mereka menyadari bahwa itu merupakan suatu resiko dalam perjuangan.
B.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
Ada
empat prinsip dalam pendidikan islam, yaitu:
1.
Prinsip Pendidikan Moral
Para
pendidik sependapat bahwa pendidikan akhlak merupakan aspek pendidikan paling
sulit dalam bidang pendidikan secara umum. Hal itu dikarenakan pendidikan
akhlak tertumpu pada pendidikan jiwa, sedangkan mendidik jiwa lebih sulit dari
pada mendidik raga atau tubuh. Pengetahuan dan ilmu tentang raga telah
mengalami kemajuan dan perkembangan yang pesat. Tetapi, pengetauhan dan ilmu tentang
kejiwaan masih menjdi misteri dan tersembunyi.
Para pendidik juga sependapat bahwa
pendidikan akhlak adalah pendidikan paling penting dalm kehidupan manusia.
Kesuksesan dan kebahagian dalam kehidupan kelompok (masyarakat) berkaitan erat
dengan akhlak.
Ada
beberapa dasar dalam pendidikan akhlak yang perlu diterapkan, diantaranya
adalah:
1. Menanamkan kepercayaan
pada jiwa anak, yang mencakup percaya pada diri sendiri, percaya pada orang
lain terutama dengan pendidikannya, dan percaya bahwa manusia bertanggung jawab
atas perbuatan dan perilakunya. Ia juga mempunyai cita-cita dan semangat.
2. Menanamkan rasa cinta
kasih sesama anak, anggota keluarga, dan orang lain.
3. Menyadarkan anak bahwa
nilai-nilai akhlak muncul dari dalam diri manusia, dan bukan berasal dari
peraturan dan undang-undang.
4. Menanamkan
“perasaan peka” pada anak-anak.
5. Membudayakan akhlak pada
anak-anak sehingga akan menjadi kebiasaan dan watak pada diri mereka.
2. Prinsip Pendidikan
Intelektual
Pendidikan
akal termasuk sisi penting dunia pendidikan, karena hal itu sangat menentukan
kemajuan ilmu pemgetahuan dan kebudayaan. Pendidikan akal pada umumnya
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan akal yang berbeda-beda sesuai dengan
bakat dan potensi yang ada pada setiap orang. Perlu disadari bahwa bakat dan
potensi pada setiap orang itu berbeda-beda. Para pendidik sependapat bahwa
bakat dan potensi dapat ditumbuhkan dan dikembangkan.
Pendidikan
akal diberikan dengan cara membekali berbagai pengetahuan sesuai dengan
teori-teori pengajaran. Berikut adalah berbagai cara dalam mendidik akal:
1. Pemberian pengetahuan
sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak.
2. Berikanlah pengetahuan
hingga kita yakin bahwa anak benar-benar dapat memahami dan menguasainya.
3. Pengetauan disampaikan
dengan menunjukkan kelebihan dan kekurangan, keuntungan dan kerugian, dan
memotivasi dalam hal yang menguntungkan dan menyempurnakan dalam hal yang
merugikan.
4.
Pengetahuan yang akan diberikan harus benar dan meyakinkan.
5.
Mengajarkan cara berfikir untuk sampai pada kenyataan.
3.
Prinsip Pendidikan sosial
Pentingnya
pendidikan sosial pada anak di rumah didasarkan kepada dua hal: Pertama,
saat usia anak masih kecil, pendidikan sosial yang diajarkan akan lebih
membekas dan lebih berpengaruh bagi si anak. Kedua, pengenalan awal
kehidupan sosial pada diri anak memiliki peranan yang besar dalam membentuk
psikis dan kpribadian sosial si anak di kemudian hari. Bila langkah awal
kehidupan sosial pada diri anak terbentuk secara negative, hasilnya akan
mengarah kepada negative. Bila sejak awal terbentuk positif, juga akan mengarah
pada yang positif.
Tujuan terpenting dari pendidikan
sosial adalah menjadikan manusia sama dalam strata sosial yang berbeda.
Masing-masing memiliki peranan penting sesuai dengan kapasitas dan
kedudukannya. Indikasinya adalah menghargai etika yang berlaku di masyarakat,
menghargai perasaan kemanusiaan, dan memerhatikan kepentingan umum.
Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam pendidikan sosial adalah:
1. Sejak mengenal kehidupan
sosial, seorang anak harus merasakan kehidupan yang tenag, aman dan tentram di
rumah, karena hal ini merupakan kebutuhan pokok.
2. Tidak kasar dalam
memperlakukan anak saat masih kecil, karena perlakuan kasar akan menciptakan
rasa dendam dalam dirinya.
3. Tidak memanjakan anak.
Seorang anak yang dimanja, ketika bergaul di masyarakat akan menjadi manja
pula.
4.
Prinsip Pendidikan Emosional
Perasaan adalah bentuk kejiwaan
seseoarang yang memiliki kekuatan yang dapat mendorong seseorang melakukan
reaksi positif ataupun negative terhadap hal-hal yang bersifat materi ataupun
spiritual. Setiap orang memiliki kadar perasaan yang berbeda dari segi objek,
kuantitas, jenis, serta kuat dan lemahnya, yang kemungkinana dapat diubah
dengan bentuk perasaan yang baru melalui cara-cara pendidikan.
Perasaan mempunyai dua segi:
kesengan dan kebencian. Senang dan benci tidak akan muncul tanpa sebab dan
dalam waktu yang singkat. Keduanya terbebtuk pada seseorang setelah mengalami
beberapa pengalaman beruntun baik yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan,
atau muncul karena dorongan fitraj yang terdapat dalam watak manusia.
Perasaan senang seseorang terhadap
orng lain tidak akan terbebtuk kecuali dia melihat kesenangan orang lain
beberapa kali, atau melihat dari orang lain itu beberapa manfaat yang
berulang-ulang. Perasaan kekeluargaan dan kekerabatan hanya erbentuk dengan
cara lain. Biasanya, seseorang mencintai kerabatnya karena dia melihat dalam
diri mereka ada sesuatu yang menyenangkan, seperti kasih saying, perhatian dan
saling membantu dalam waktu yang lama.
Perasaan senang terkadang muncul
karena kejadian fitrah, seperti perasaan kebapakan atau keibuan terhadap
anak-anaknya. Terkadang juga muncul karena pendidikan, seperti orangtua yang
mengajarkan anak-anaknya tentang hal-hal yang baik, bernilai, dan berguna serta
memberitahu beberapa hal tang buruk dan merugikan.
Agar kehidupan seimbang, perasaan
harus dapat dikendalikan oleh akal. Perasaan merupakan spirit kehidupan karwena
pekerjaan atau perbuatan tanpa perasaan
berarti hambar, hampa, membosankan dan melelahkan. Sementara perasaan merupakan
spirit pekerjaan dan aktivitas yang menambah gairah kehidupan manusia.
Pekerjaan yang dilakukan dengan penuh spirit dan gairah akan membuat seseorang
menjadi enjoy dan nikmat. Lelah dan capek terkadang tidak terasakan. Di sisi
lain dia pun sulit meninggalkan atau melupakan pekerjaan tersebut. Oleh karena
itu, orang tua harus mmemerhatikan pembentukan perasaan pada putra-putrinya.
Yakni perasaan cinta terhadap keluarga, masyarakat, sesame manusia, agama,
akhlak, kepada segi-segi kehidupan yang berguna dan mulia, serta yang lainnya.
Juga membentuk perasaan benci dan antisipasi terhadap perbuatan buruk,
sifat-sifat buruk, dan hal-hal yang tidak terpuji.
C.
Pembinaan Kepribadian yang Baik bagi Anak-Anak
Permasalahan penting yang akan
dibahas dalam pembinaan ini adalh kerja sama, suka kerja, memupuk kemampuan
sopan santun, memanfaatkan waktu, dan langkah-langkah yang sesuai dengan
keadaan kehidupan.
1.
Kerja Sama
Kerja
sama ini dibina untuk membina perasaan suka membri, kebaikan, dan mencintai
orang lain. Dengan jerja sama anak dibina menyukai kebaikan dlam dirinya dan
memotivasi anak untuk bekerja sama dalam kehidupan masyareakat. Dengan kerja
sama itu anak menjadi siap terhdap setiap perubahan, suka member, dan suka
berkorban. Dia suka memuliakan orang lain sehingga mampu melaksanakan
aturan-aturan bermasyarakat dan kerja sama dengan anak-anak lingkungannya.
2.
Menunbuhkan sikap suka bekerja
Dengan
bekerja seorang anak bisa merasakan kemampuan dirinya. Sesungguhnya dia
memiliki kemempuan melakukan pekerjaan apa pun. Anak belajar bahwa pemalas akan
selamanya terhalang dari rezeki sehingga belajar semangat yang tinggi dan
mencapai keluhuran. Agama Islam sangat menganjurkan untuk bekerja.
Rasulullah SAW menggembala kambing
sebelum beliau diutus menjadi rasul. Kemudian beliau bekerja sebagai pedagang
ke Syam. Nabi Daud AS hanya mau makan dari hasil tangannya. Nabi Musa AS juga
menggembala kambing selama beberapa tahun sebagai maharnya. Menjauhkan anak dari
kebiasaan malas dan suka bangun pagi agar rajin bekerja adalah masalh yang
sangat penting. Pada masa-masaa sekarang ini kita lihat bahwa budaya yang
datang kepada kita kebanyakan membuat orang menjadi suka berhura-hura dan
malas.
3. Menyiapkan
anak-anak suka berkumpul, menumbuhkan kecakapan bersopan santun, dan menghargai waktu
Jika kita melihat anak bermain
sendirian, kita berusaha agar anak itu dapat bermain bersama teman-temannya,
dan menakut-nakutinya agar tidak suka menyandiri. Jika kita ingin meringankan
beban keluarganya, kita harus menolong anak itu untuk menghilangkan
kebiasaannya bersikap lambat, karena itu sangat tidak disukai. Kadang-kadang
dia mengerjakan poekerjaan harian, tetapi itu hanya sebatas pada
pekerjaan-pekerjaan yang dia sukai.
Seorang anak diinginkan bermain
dengan anak-anak lain, walaupun hanya beberapa permainan. Untuk itu, sejak
kecil anak harus diperhatikan. Mereka harus ditunjukkan kepada suri teladan
yang baik dan pandai memanfaatkan waktu untuk misalnya mempelajari islam dan nilai-nilai
yang luhur.
Kita sampaikan itu semua dengan
lemah lembut. Misalnya dengan mengatakan dalam seperempat jam kita mengerjakan
ini, bermain ini, kamu masih punya waktu untuk bersenang-senang, melakukan apa
yang disukai.
Jika anak-anak sejak kecil diajari
berhela-hela dan menia-nyiakan waktu, itu akan menjadi masalah yang berbahaya.
Apalagi jika pengasuhnya suka menyia-nyiakn waktu, maka sifat jelkek ini akan
tertanam pada anak asuhnya.
Pengasuh anak haruslah orang yang
bertakwa kepada Allah. Pengasuh anak juga harus bisa menjadikan rumah sebaik
mungkin sehingga bermanfaat bagi masyarakat dengan banyak melahirkan generasi
yang suka member dan berakhlak mulia.
4.
Meminta izin
Meminta izinn adalh akhlak luhur
yang menunujukkan kelembutan rasa dan kebersihan hati. Anak-ank seharnya
dibiasakan untuk tidak melihat-lihat rumah orang lain tanpa izin pemilik rumah,
tidak seperti yang dilakukan wanita jahiliyah yang menyurh anak-anaknya
bertanya mengenai apa yang dilakukan para tetengga. Hal ini tadak diperbolehkan
agama karena di dalamnya ada unsur memata-matai dan mencari-cari rahasia orang
lain.
5.
Membiasakan anak-anak menyimpan rahasia
Generasi pertama umat islam
membiasakan ank-anak mereka menyimpan rahasia. Oleh karena itu, anak-anak juga
harus dibiasakan seperti itu.
D.
Metode Pembinaan Kepribadian Islami pada Anak-Anak
Pada
ayat ini Allah menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang
buruk yaitu adla’ush-shalah (menyia-nyiakan shalat) dan ‘wattaba’usy-syahwat (memperturutkan
hawa nafsu).
Karakter
pertama
dari generasi yang buruk adalah menyia-nyiakan shalat. Shalat merupakan tiang
agama dan amalan yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat yang memiliki
fungsi langsung berkaitan dengan komunikasi seorang hamba dengan Rabb-nya.
Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amalan yang pertama kali
dihisab pada hari Kiamat adalah shalat. Jika ia (shalatnya itu) baik, maka baik
pula seluruh amalnya. Sebaliknya jika jelek maka jelek pulalah seluruh amalnya”.
(HR. Muslim).
Dari
hadits ini menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan utama yang akan
mempengaruhi perbuatan yang lain. Dan secara psikologis orang yang selalu
melaksanakan shalat dengan baik akan mempunyai benteng pertahanan dari
perbuatan-perbuatan yang keji dan munkar, hal ini akibat adanya ikatan batin
yang kuat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. “Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. (Al-Ankabut: 45). Maka jelaslah suatu
kaum atau generasi yang menyia-nyiakan shalat tidak akan mempunyai benteng yang
kuat dari perbuatan yang keji dan munkar, sehingga akan cenderung melakukan
kemaksiatan.
Karakter
kedua dari generasi yang
buruk adalah memper-turutkan hawa nafsu. Ke mana hawa nafsunya condong, ke
situlah ia berjalan. Generasi seperti ini tidak memperdulikan apakah sesuatu
yang ia lakukan halal atau haram, dosa atau berpahala, yang terpenting bagi
mereka tercapai semua yang diinginkannya. Dalam hal berpakaianpun yang penting
mode atau sedang trend, tidak peduli apakah pakaian tersebut menutupi aurat
atau malah mempertontonkan aurat. Generasi seperti ini hanya akan membawa
kesesatan hidup di dunia dan di akhirat. (fana’udzu billah)
Oleh
karena itu, persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak suatu
keharusan yang tidak bisa dibantah lagi. Sehingga perlu dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya, baik yang berkaitan dengan akidahnya, pendidikannya,
muamalahnya, juga yang berkaitan dengan akhlaknya, sehingga pergantian generasi
yang berlangsung menghasilkan generasi baru yang lebih baik daripada
pendahulunya
Banyak
teladan yang bisa kita ikuti dari para nabi dalam mempersiapkan generasi yang
akan datang. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an diungkapkan bahwa para nabi pun
mempersiapkan masalah peralihan generasi ini dengan sebaik-baiknya. Kita bisa
lihat pada surat Al-Baqarah ayat 132 dan 133, Allah berfirman:
“Dan
Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
(Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam’. Adakah
kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata
kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab:
‘Kami akan menyembah Tuhan-mu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya’.”
Kita
lihat di sini, bahwa akhlak dan akidah generasi pengganti para nabi itu sama.
Ada persamaan ideologi dan idealisme antara generasi pendahulu dengan generasi
berikutnya. Kata ‘wawashsha’ dalam ayat 132 di atas berarti berwasiat, mendidik
atau mengajarkan. Ini menunjukkan bahwa upaya mempersiapkan gene-rasi pengganti
supaya lebih baik daripada generasi pendahulunya dilakukan melalui proses
pendidikan dan pembinaan. Dan, nilai-nilai atau ideologi yang diwasiatkan atau
diwariskan oleh generasi pendahulu itu tidak lain adalah nilai-nilai dan
ideologi Islam. Kata ‘bi ha’ dalam ayat ini menunjukkan pengertian pada kalimat
sebelum-nya (pada ayat 131), yaitu keislaman.
Kemudian,
dalam ayat 132 ini digunakan kata ‘isthafa’ yang mengandung arti ada kesadaran
untuk memberikan alternatif terbaik. ‘isthafa’ ini bukan sekadar memberikan
pilihan, atau disuruh memilih, tetapi mengajarkan, memilih, dan memberikan
alternatif terbaik. ‘Innallaha isthafa lakum ad-diina’ (sesungguhnya Allah
telah memilihkan agama ini buat kalian). Jika kata-kata ‘diin’ (agama) disertai
alif-lam (ini disebut alif-lam ma’rifat), maka kalimat ini menunjukkan
kekhususan terhadap agama yang dimaksud, yaitu Islam. Ini berbeda dengan kata
‘diin’ (tanpa alif-lam), yang berarti agama dalam arti luas. Jadi, yang
dimaksud ‘ad-diin’ dalam ucapan Ibrahim ini adalah jelas diinul Islam. Sehingga
pada akhir ayat ini dinyatakan: “fa la tamutunna illa wa antum muslimuun” (maka
janganlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam). Ini menunjukkan,
bahwa bukan kematiannya yang perlu kita takuti, tetapi yang harus ditakuti
adalah mati tidak dalam keadaan Islam. Jika mati pun dilarang kecuali dalam
keadaan Islam, maka apalagi pada waktu hidup. Inilah yang berkaitan dengan
islamiyyatul hayah atau Islamisasi kehidupan, baik ekonomi kita, pendidikan,
politik, ataupun teknologi dan lain-lainnya.
Ayat
selanjutnya, Al-Baqarah ayat 133, mengungkapkan tentang bagaimana perhatian
(kekhawatiran) Nabi Ya’qub terhadap anak-anaknya (generasi pengganti) dalam hal
akidah dan ideologi mereka. Dalam ayat ini Allah menggambarkan, “Adakah kamu
hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia ber-kata kepada
anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggal-ku?”
Inilah
yang dikatakan pewarisan keyakinan, akidah dan ideologi serta prinsip hidup
(manhajul hayah) yang harus kita persiapkan bagi generasi penerus kita. Dan
jawaban mereka (generasi putra-putra Nabi Ya’qub) sesuai dengan akhlak dan
akidah generasi pendahulunya. Seperti kelanjutan ayat tadi, “Mereka menjawab:
‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan
Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya’.”
Inilah
contoh proses regenerasi yang dipersiapkan, yang tidak semata-mata berkaitan
dengan masalah materi, tetapi juga berkaitan dengan manhajul hayahnya, prinsip
hidupnya.
Dari
teladan di atas jelas terlihat bahwa dalam mempersiap-kan generasi diawali dari
keluarga. Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan seorang anak
menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi watak dan perkembangan
psikologisnya. Keluarga yang penuh barakah, sakinah, dan diliputi oleh mawaddah
wa rahmah (ketulusan cinta dan kasih sayang) merupakan lingkungan yang baik
dalam membentuk generasi rabbani. Dan, inilah sebetulnya tujuan utama dari
pernikahan sebagaimana yang Allah firmankan, “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar-Ruum: 21).
Inilah
generasi rabbani yang merupakan sosok muslim yang ideal. Mudah-mudahan kita
bisa membimbing dan mendidik keturunan dan keluarga kita agar menjadi
generasi-generasi rabbani yang akan meneruskan perjuangan dan tegaknya diinul
Islam. Sebab jika tidak maka tunggulah kehancurannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar