Kamis, 20 September 2012

Posisi Akal Dan Nafsu Dalam Islam Serta Kedudukannya Dalam Pendidikan


Posisi Akal Dan Nafsu Dalam Islam Serta Kedudukannya Dalam Pendidikan
Surat Ali Imron ayat 190-191
(190) إِنَّفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاخْتِلاَفِاللَّيْلِوَالنَّهَارِلآيَاتٍلِّأُوْلِيالألْبَابِ
الَّذِينَيَذْكُرُونَاللّهَقِيَامًاوَقُعُودًاوَعَلَىَجُنُوبِهِمْوَيَتَفَكَّرُونَفِي خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِرَبَّنَامَاخَلَقْتَهَذا (191)بَاطِلاًسُبْحَانَكَفَقِنَاعَذَابَالنَّارِ

SURAH SHAAD Ayat : 26


TERJEMAHAN

Surat Ali Imron ayat 190-191
  Yang Artinya:
Ayat 190 : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Ayat 191 :  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Surat Shaad ayat 26
Yang Artinya : Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.

ASBABUN NUZUL
 QS. ALI IMRAN AYAT 190-191
Menurut riwayat Abu Ishak al-muqariy, Abdullah bin Hamid, Ahmad bin Muhammad bin Yahya Al-Abidiy dan seterusnya, bahwa orang Quraisy Yahudi berkata; apakah ayat-ayat yang telah dibawa oleh Musa? Mereka menjawab: tongkat dan tangannya putih bagi orang yang melihatnya. Selanjutnya mereka datang kepada orang-orang Nasrani dan berkata: bagaimanakah dengan yang dibawa oleh Isa terhadapmu? Mereka menjawab: menyembuhkan orang yang lepra dan penyakit kulit serta menghidupkan orang mati. Kemudian mereka datang kepada Nabi dan berkata: Coba engkau ubah bukit Shafa ini menjadi emas untuk kami, maka turunlah ayat 190-191 dalam surat Ali Imran tersebut.

PENAFSIRAN
Kata akal (العقل) yang berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda, tidak akan kita temukan dalam Al-Qur’an. Namun, ketika Al-Qur’an akan mengungkap kata akal maka akan didapatkan bentuk kata kerjanya yaitu : عقلوه, نعقل, يعقلها,يعقلون   kata-kata itu dapat diartikan dengan paham dan mengerti.
Selain itu kata akal juga diidentikan dengan kata LubI jamaknya al-Albab, sehingga ulul Albal diartikan orang-orang yang berakal. Dalam Q.S. Ali Imran/3:190-191 dinyatakan :
ان في خلق السموات والارض واختلاف الليل والنهار لايات لاولي الالبا ب.الذين يذ كرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا با طلا سبحانك فقنا عذاب النار 
Pada ayat tersebut di atas terlihat bahwa orang yang berakal (Ulul Albab)  adalah orang yang melakukan dan memadukan antara tadzakkur dan Tafakkur yakni mengingat Allah dan memikirkan ciptaannya. Dengan melakukan kedua hal  tersebut akan sampai kepada hikmah yaitu mengetahui, memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena Alam dan segala sesuatu yang ada didalamnya menunjukan adanya Sang Pencipta Allah SWT.Muhammad Abduh menyatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam akan membawa manusia menyaksikan ke-Esaan Allah yaitu adanya aturan yang dibuat-Nya serta karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di dalamnya. Hal itu menunjukan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat, berfikir dan merenung.
Lebih lanjut Al-Maraghy mengatakan bahwa keberuntungan dan kemenangan akan tercipta dengan mengingat keagaungan Allah dan memikirkan terhadap segala ciptaan-Nya (makhluk-Nya). Kebahagiaan tersebut dapat dilhat dari munculnya bebagai temuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada hakikatnya merupakan generalisasi atau teorisasi terhadap gejala-gejala  dan hukum yang terdapat di alam jagat raya ini. Keadaan tersebut dapat mengantarkan pula manusia untuk mensyukuri dan meyakini bahwa segala cipataan Allah ternyata amat bermanfaat  dan tidak ada sia-sia.
Sementara itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan Al-Qur’an dengan kata al-Hawa’ (الهوى) yang diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya  yatiu enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79;40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak manusia  kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.
Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman :
يا داود انا جعلناك خليفة فى الارض فاحكم بين الناس بالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحسا ب (ص: 26)
Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan nabi Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan berbagai perkara dengan seadil-adilnya, yaitu sikap yang tidak membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa nafsu, karena dapat menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya, masyarakat sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka jelaslah bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan kebenaran yang diputuskan akalnya, bukan yang gemar memperturutkan hawa nafsunya dalam setiap perbuatan dan tindakannya.
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah merupakan tempat dimana syetan memasukan peranan, dan pengaruhnya. Pengaruh itu dapat tampil dalam berbagai bentuknya dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau pria, pemuda maupun orangtua dan seterusnya. Padahal jika keadaan manusia dalam berbagai lapisan tersebut telah terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya maka akan hancurlah segala tatanan kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan dan sebagainya.   

HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN
Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap uraian di atas adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dalam mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya dengan segala isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenung dan menangkap pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Dengan akal yang dibina dan diarahkan seperti itu, maka ia diharapkan dapat terampil dan kokoh dalam menghalangi berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Seiring dengan itu pula pendidikan harus mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian mini, membuka aurat atau ketat akan mengundang dorongan birahi seksual bagi orang yang melihatnya sehingga terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba dapat menyebabkan manusia lupa diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan pelanggaran tanpa rasa malu. Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang seseorang melakukan perzinahan. Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak puas, ingin terus menang jika ia menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam judinya sampai ia sengsara.
Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah terkendalikan bawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan problema yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas cepat kehilangan keseimbangan, karena dengan akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat di balik ujian dan kesulitan yang dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari darinya, melainkan dihadapinya dengan tenang, dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan kemenangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam Islam.



RINCIAN BAHASAN
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:190-191)
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta. Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi. Langit yang melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Langit adalah yang di atas yang menaungi kita. Hanya Allah yang tahu berapa lapisnya, yang dikatakan kepada kita hanya tujuh. Menakjubkan pada siang hari dengan berbagai awan germawan, mengharukan malam harinya dengan berbagai bintang gemintang. Bumi adalah tempat kita berdiam, penuh dengan aneka keganjilan. Makin diselidiki makin mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi dijadikan oleh Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib. Bukan hanya semata dijadikan, tetapi setiap saat nampak hidup. Semua bergerak menurut aturan.
Silih bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala yang bernyawa. Kadang-kadang malam terasa panjang dan sebaliknya. Musim pun silih berganti. Musim dingin, panas,gugur, dan semi. Demikian juga hujan dan panas. Semua ini menjadi tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang berpikir. Bahwa tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan yaitu Allah SWT. Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan meninjau menurut bakat pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli ilmu alam, ahli ilmu bintang, ahli ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan, seorang filosofis, ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan terpesona oleh susunan tabir alam yang luar biasa. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran alam, terasa kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, Yang Maha Pencipta. Di akhir ayat 190, manusia yang mampu melihat alam sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan-Nya, Allah sebut sebagai Ulil Albab (orang-orang yang berpikir).
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat dilkukan dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan Allah.
Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT. Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk ilahiyah yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-sunnah sebagai minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi). Sebab jika hanya melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan tenggelam dalam kesesatan. Jika hanya melakukan aktivitas dzikir, manusia akan terjerumus dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah, dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
Bagi Ulil Albab, kedua aktivitas itu akan berakhir pada beberapa kesimpulan:
· Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya adalah pencipta alam semesta termasuk manusia.
· Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam.Semua mengandung nilai-nilai dan manfaat.
· Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.
· Menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan hari Akhir.

REFERENSI
·
Al-Qur’an dan tafsirnya,Universitas Islam Indonesia

·
Al-Qur’an dan Terjemahannya,Departemen Agama RI

·
Prof. Dr.Hamka,Tafsir al-Azhar Juz IV, Pustaka Panjimas

·
Majalah Nurul Fikri,Ulil Albab, Sosok Cendekiawan Versi al-Qur’an, No.4/II/Ramadhan 1411-Maret 1991




018
"Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri), dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka." – (QS.18:18)
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
Watahsabuhum aiqaazhan wahum ruquudun wanuqallibuhum dzaatal yamiini wadzaatasy-syimaali wakalbuhum baasithun dziraa'aihi bil washiidi lawiith-thala'ta 'alaihim lawallaita minhum firaaran walamuli-ata minhum ru'ban
019
"Dan demikianlah Kami bangunkan mereka, agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: 'Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)'. Mereka menjawab: 'Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari'. Berkata (yang lain lagi): 'Rabb-kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu, (untuk) pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun." – (QS.18:19)
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Wakadzalika ba'atsnaahum liyatasaa-aluu bainahum qaala qaa-ilun minhum kam labitstum qaaluuu labitsnaa yauman au ba'dha yaumin qaaluuu rabbukum a'lamu bimaa labitstum faab'atsuu ahadakum biwariqikum hadzihi ilal madiinati falyanzhur ai-yuhaa azka tha'aaman falya'tikum birizqin minhu walyatalath-thaf walaa yusy'iranna bikum ahadan
020
"Sesungguhnya, jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya'." – (QS.18:20)
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
Innahum in yazhharuu 'alaikum yarjumuukum au yu'iiduukum fii millatihim walan tuflihuu idzan abadan
021
"Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: 'Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb-mereka lebih mengetahui tentang mereka'. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: 'Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadahan di atasnya'." – (QS.18:21)
وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
Wakadzalika a' tsarnaa 'alaihim liya'lamuu anna wa'dallahi haqqun wa-annassaa'ata laa raiba fiihaa idz yatanaaza'uuna bainahum amrahum faqaaluuuubnuu 'alaihim bunyaanan rabbuhum a'lamu bihim qaalal-ladziina ghalabuu 'ala amrihim lanattakhidzanna 'alaihim masjidan
022
"Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang ke empat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: '(jumlah mereka) adalah lima orang yang ke enam adalah anjingnya', sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: '(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya'. Katakanlah: 'Rabb-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka, kecuali sedikit'. Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja, dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka." – (QS.18:22)
سَيَقُولُونَ ثَلاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
Sayaquuluuna tsalaatsatun raabi'uhum kalbuhum wayaquuluuna khamsatun saadisuhum kalbuhum rajman bil ghaibi wayaquuluuna sab'atun watsaaminuhum kalbuhum qul rabbii a'lamu bi'iddatihim maa ya'lamuhum ilaa qaliilun falaa tumaari fiihim ilaa miraa-an zhaahiran walaa tastafti fiihim minhum ahadan
023
"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: 'Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi'," – (QS.18:23)
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا
Walaa taquulanna lisyai-in innii faa'ilun dzalika ghadan
024
"kecuali (dengan menyebut): 'Insya Allah'. Dan ingatlah kepada Rabb-mu, jika kamu lupa, dan katakanlah: 'Mudah-mudahan Rabb-ku akan memberiku petunjuk, kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini'." – (QS.18:24)
إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Ilaa an yasyaa-allahu waadzkur rabbaka idzaa nasiita waqul 'asa an yahdiyani rabbii aqraba min hadzaa rasyadan
025
"Dan mereka tinggal dalam gua mereka (selama) tiga ratus tahun, dan ditambah sembilan tahun (lagi)." – (QS.18:25)
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
Walabitsuu fii kahfihim tsalaatsa mii-atin siniina waazdaaduu tis'an
026
"Katakanlah: 'Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya, dalam menetapkan keputusan'." – (QS.18:26)
قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
Qulillahu a'lamu bimaa labitsuu lahu ghaibus-samaawaati wal ardhi abshir bihi wa-asmi' maa lahum min duunihi min walii-yin walaa yusyriku fii hukmihi ahadan
027
"Dan bacakanlah apa yang (telah) diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (Al-Qur'an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya." – (QS.18:27)
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
Waatlu maa uuhiya ilaika min kitaabi rabbika laa mubaddila likalimaatihi walan tajida min duunihi multahadan
028
"Dan bersabarlah kamu, bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari, dengan mengharap keredhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka, (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang, yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." – (QS.18:28)
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Waashbir nafsaka ma'al-ladziina yad'uuna rabbahum bil ghadaati wal 'asyii-yi yuriiduuna wajhahu walaa ta'du 'ainaaka 'anhum turiidu ziinatal hayaatiddunyaa walaa tuthi' man aghfalnaa qalbahu 'an dzikrinaa waattaba'a hawaahu wakaana amruhu furuthan









PENUTUP
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat Allah, dan tafakkur, yaitu memikirkan ciptaan Allah.
Seluruh pengertian tentang akal adalah menunjukkan bahwa adanya potensi yang dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah, manusia selain akan menemukan berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa dirinya dekat dengan Allah. Dan melalui proses menahan, mengikat dan mengendalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada di jalan yang benar, jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu juga termasuk salah satu potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan, dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya. Atas dasar itu, maka manusia diperingatkan agar berhati-hati.
Implikasi tentang posisi akal dan nafsu terhadap bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan.

SARAN
Setelah mempelajari makalah ini, hendaknya mahasiswa bias mengendalikan akal dan nafsu. Sehingga terciptanya mahasiswa yang baik dan berkualitas.


Daftar pustaka



Dr. H. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar