Posisi Akal Dan Nafsu Dalam Islam Serta
Kedudukannya Dalam Pendidikan
Surat Ali Imron ayat 190-191
(190) إِنَّفِي
خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِوَاخْتِلاَفِاللَّيْلِوَالنَّهَارِلآيَاتٍلِّأُوْلِيالألْبَابِ
الَّذِينَيَذْكُرُونَاللّهَقِيَامًاوَقُعُودًاوَعَلَىَجُنُوبِهِمْوَيَتَفَكَّرُونَفِي
خَلْقِالسَّمَاوَاتِوَالأَرْضِرَبَّنَامَاخَلَقْتَهَذا (191)بَاطِلاًسُبْحَانَكَفَقِنَاعَذَابَالنَّارِ
SURAH
SHAAD Ayat : 26
TERJEMAHAN
Surat Ali Imron ayat 190-191
Yang Artinya:
Ayat 190 : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal.
Ayat 191 : (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka.
Surat Shaad ayat 26
Yang Artinya : Hai Daud,
Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.
ASBABUN NUZUL
QS.
ALI IMRAN AYAT 190-191
Menurut
riwayat Abu Ishak al-muqariy, Abdullah bin Hamid, Ahmad bin Muhammad bin Yahya
Al-Abidiy dan seterusnya, bahwa orang Quraisy Yahudi berkata; apakah ayat-ayat
yang telah dibawa oleh Musa? Mereka menjawab: tongkat dan tangannya putih bagi
orang yang melihatnya. Selanjutnya mereka datang kepada orang-orang Nasrani dan
berkata: bagaimanakah dengan yang dibawa oleh Isa terhadapmu? Mereka menjawab:
menyembuhkan orang yang lepra dan penyakit kulit serta menghidupkan orang mati.
Kemudian mereka datang kepada Nabi dan berkata: Coba engkau ubah bukit Shafa
ini menjadi emas untuk kami, maka turunlah ayat 190-191 dalam surat Ali Imran
tersebut.
PENAFSIRAN
Kata akal (العقل) yang
berasal dari bahasa Arab dalam bentuk kata benda, tidak akan kita temukan dalam
Al-Qur’an. Namun, ketika Al-Qur’an akan mengungkap kata akal maka akan
didapatkan bentuk kata kerjanya yaitu : عقلوه, نعقل, يعقلها,يعقلون kata-kata itu dapat diartikan dengan paham dan
mengerti.
Selain itu kata akal juga diidentikan dengan kata LubI
jamaknya al-Albab, sehingga ulul Albal diartikan orang-orang yang
berakal. Dalam Q.S. Ali Imran/3:190-191 dinyatakan :
ان في خلق السموات
والارض واختلاف الليل والنهار لايات لاولي الالبا ب.الذين يذ كرون الله قياما
وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض ربنا ما خلقت هذا با طلا
سبحانك فقنا عذاب النار
Pada ayat tersebut di atas terlihat bahwa orang yang
berakal (Ulul Albab) adalah orang yang melakukan dan memadukan antara tadzakkur
dan Tafakkur yakni mengingat Allah dan memikirkan ciptaannya. Dengan
melakukan kedua hal tersebut akan sampai kepada hikmah yaitu mengetahui,
memahami dan menghayati bahwa di balik fenomena Alam dan segala sesuatu yang
ada didalamnya menunjukan adanya Sang Pencipta Allah SWT.Muhammad Abduh
menyatakan bahwa dengan merenungkan penciptaan langit dan bumi, pergantian
siang dan malam akan membawa manusia menyaksikan ke-Esaan Allah yaitu adanya
aturan yang dibuat-Nya serta karunia dan berbagai manfaat yang terdapat di
dalamnya. Hal itu menunjukan kepada fungsi akal sebagai alat untuk mengingat,
berfikir dan merenung.
Lebih lanjut Al-Maraghy mengatakan bahwa
keberuntungan dan kemenangan akan tercipta dengan mengingat keagaungan Allah
dan memikirkan terhadap segala ciptaan-Nya (makhluk-Nya). Kebahagiaan tersebut
dapat dilhat dari munculnya bebagai temuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pada hakikatnya merupakan generalisasi atau teorisasi terhadap
gejala-gejala dan hukum yang terdapat di alam jagat raya ini. Keadaan
tersebut dapat mengantarkan pula manusia untuk mensyukuri dan meyakini bahwa
segala cipataan Allah ternyata amat bermanfaat dan tidak ada sia-sia.
Sementara itu pula kata hawa nafsu yang diungkapkan
Al-Qur’an dengan kata al-Hawa’ (الهوى) yang
diulang 37 kali, mencakup berbagai aspeknya. Pertama, menyangkut
pengertiannya kebinasaan. Kedua, berkenaan dengan sifatnya yatiu
enggan menerima kebenaran. Ketiga, berkenaan dengan sasarannya yang
menyesatkan manusia (Q.S.an-Nisa/4:135). Keempat, berkenaan dengan
lawannya yaitu al-haqq (kebenaran). Kelima, berkenaan dengan
pahala bagi orang yang tak terpedaya dengan hawa nafsu dan mematuhi perintah
Allah SWT (Q.S. An-Nazia’at/79;40-41). Dengan begitu, dapatlah diketahui bahwa
hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung untuk mengajak
manusia kepada hal-hal yang bersifat merusak, menyesatkan, menyengsarakan
dan menghinakan bagi orang yang mengikutinya.
Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman :
يا داود انا جعلناك
خليفة فى الارض فاحكم بين الناس بالحق ولاتتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله لهم عذاب
شديد بما نسوا يوم الحسا ب (ص: 26)
Pada ayat tersebut dengan tegas Allah mengingatkan
nabi Daud sebagai penguasa (raja) agar memimpin rakyatnya dan memutuskan
berbagai perkara dengan seadil-adilnya, yaitu sikap yang tidak
membeda-membedakan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Selanjutnya Daud diingatkan pula agar tidak memperturutkan hawa nafsu, karena dapat
menyebabkan manusia melakukan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak
Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan tersebut akan merugikan dirinya, masyarakat
sekitarnya bahkan pelakunya akan menerima azab dari Allah SWT. Maka jelaslah
bahwa seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mendahulukan kebenaran yang
diputuskan akalnya, bukan yang gemar memperturutkan hawa nafsunya dalam setiap
perbuatan dan tindakannya.
Hawa nafsu yang ada dalam diri manusia adalah
merupakan tempat dimana syetan memasukan peranan, dan pengaruhnya. Pengaruh itu
dapat tampil dalam berbagai bentuknya dan menyentuh berbagai lapisan masyarakat
baik kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pedagang atau pegawai, wanita atau
pria, pemuda maupun orangtua dan seterusnya. Padahal jika keadaan manusia dalam
berbagai lapisan tersebut telah terpedaya dan diperbudak oleh hawa nafsunya
maka akan hancurlah segala tatanan kehidupan baik ekonomi, politik, sosial,
ilmu pengetahuan dan sebagainya.
HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN
Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap
uraian di atas adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dalam
mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan
berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar.
Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata
pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan
pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya
dengan segala isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenung dan
menangkap pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Dengan akal yang dibina dan
diarahkan seperti itu, maka ia diharapkan dapat terampil dan kokoh dalam
menghalangi berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.
Seiring dengan itu pula pendidikan harus
mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan
yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka
aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya.
Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian
mini, membuka aurat atau ketat akan mengundang dorongan birahi seksual bagi
orang yang melihatnya sehingga terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba dapat
menyebabkan manusia lupa diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan
pelanggaran tanpa rasa malu. Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang
seseorang melakukan perzinahan. Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak
puas, ingin terus menang jika ia menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam
judinya sampai ia sengsara.
Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa
nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi
pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah
terkendalikan bawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas,
maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak
mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan
problema yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya
dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas cepat kehilangan keseimbangan, karena
dengan akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat
di balik ujian dan kesulitan yang dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan
bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari darinya, melainkan
dihadapinya dengan tenang, dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan
kemenangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan
jelas bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan
benar merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan
dalam Islam.
RINCIAN BAHASAN
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:190-191)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.3:190-191)
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri
kepada Allah adalah dengan membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang
terbentang di alam semesta. Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk
merenungkan alam, langit dan bumi. Langit yang melindungi dan bumi yang
terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan pergantian siang dan malam.
Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Langit
adalah yang di atas yang menaungi kita. Hanya Allah yang tahu berapa lapisnya,
yang dikatakan kepada kita hanya tujuh. Menakjubkan pada siang hari dengan
berbagai awan germawan, mengharukan malam harinya dengan berbagai bintang gemintang.
Bumi adalah tempat kita berdiam, penuh dengan aneka keganjilan. Makin
diselidiki makin mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi
dijadikan oleh Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib. Bukan hanya semata
dijadikan, tetapi setiap saat nampak hidup. Semua bergerak menurut aturan.
Silih
bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala yang
bernyawa. Kadang-kadang malam terasa panjang dan sebaliknya. Musim pun silih
berganti. Musim dingin, panas,gugur, dan semi. Demikian juga hujan dan panas.
Semua ini menjadi tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang
berpikir. Bahwa tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang
menciptakan yaitu Allah SWT. Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan
meninjau menurut bakat pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli ilmu
alam, ahli ilmu bintang, ahli ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan, seorang
filosofis, ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan terpesona oleh susunan
tabir alam yang luar biasa. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran alam, terasa
kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya tak ada arti diri, tak
ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, Yang Maha Pencipta. Di akhir ayat 190,
manusia yang mampu melihat alam sebagai tanda-tanda kebesaran dan
keagungan-Nya, Allah sebut sebagai Ulil Albab (orang-orang yang berpikir).
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara
bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga,
mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah
dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun
berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir
merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat
dilkukan dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu
manusia harus selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut,
dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh
keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti
menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan
hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub
mengucapkan tasbih. Dzikir dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh
anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan Allah.
Fikir, secara
bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan,
teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam
semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat
daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam,
Allah SWT. Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk ilahiyah
yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-sunnah sebagai
minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai
potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan
fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan
dan mengisi). Sebab jika hanya melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan
tenggelam dalam kesesatan. Jika hanya melakukan aktivitas dzikir, manusia akan
terjerumus dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika
melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah,
dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
Bagi Ulil Albab, kedua aktivitas itu akan berakhir pada beberapa
kesimpulan:
· Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya adalah pencipta alam semesta termasuk manusia.
· Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam.Semua mengandung nilai-nilai dan manfaat.
· Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.
· Menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan hari Akhir.
· Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya adalah pencipta alam semesta termasuk manusia.
· Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam.Semua mengandung nilai-nilai dan manfaat.
· Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.
· Menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan hari Akhir.
REFERENSI
·
|
Al-Qur’an dan tafsirnya,Universitas
Islam Indonesia
|
·
|
Al-Qur’an dan
Terjemahannya,Departemen Agama RI
|
·
|
Prof. Dr.Hamka,Tafsir al-Azhar Juz
IV, Pustaka Panjimas
|
·
|
Majalah Nurul Fikri,Ulil Albab, Sosok
Cendekiawan Versi al-Qur’an, No.4/II/Ramadhan 1411-Maret 1991
|
018
"Dan kamu mengira
mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami bolak-balikkan mereka ke
kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka
pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari
mereka dengan melarikan (diri), dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan
ketakutan terhadap mereka." – (QS.18:18)
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ
وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ
ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ
فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
Watahsabuhum aiqaazhan
wahum ruquudun wanuqallibuhum dzaatal yamiini wadzaatasy-syimaali wakalbuhum
baasithun dziraa'aihi bil washiidi lawiith-thala'ta 'alaihim lawallaita minhum
firaaran walamuli-ata minhum ru'ban
"Dan demikianlah Kami
bangunkan mereka, agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
Berkatalah salah seorang di antara mereka: 'Sudah berapa lamakah kamu berada
(di sini)'. Mereka menjawab: 'Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari'.
Berkata (yang lain lagi): 'Rabb-kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada
(di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu, (untuk) pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang
lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun." – (QS.18:19)
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا
بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا
أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا
أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى
طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ
أَحَدًا
Wakadzalika ba'atsnaahum
liyatasaa-aluu bainahum qaala qaa-ilun minhum kam labitstum qaaluuu labitsnaa
yauman au ba'dha yaumin qaaluuu rabbukum a'lamu bimaa labitstum faab'atsuu
ahadakum biwariqikum hadzihi ilal madiinati falyanzhur ai-yuhaa azka tha'aaman
falya'tikum birizqin minhu walyatalath-thaf walaa yusy'iranna bikum ahadan
"Sesungguhnya, jika
mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan
batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya
kamu tidak akan beruntung selama-lamanya'." – (QS.18:20)
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ
يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
Innahum in yazhharuu
'alaikum yarjumuukum au yu'iiduukum fii millatihim walan tuflihuu idzan abadan
"Dan demikian (pula)
Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa
janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan
padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang
itu berkata: 'Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb-mereka
lebih mengetahui tentang mereka'. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka
berkata: 'Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadahan di
atasnya'." – (QS.18:21)
وَكَذَلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا
أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لا رَيْبَ فِيهَا إِذْ
يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا
رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ
لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
Wakadzalika a' tsarnaa
'alaihim liya'lamuu anna wa'dallahi haqqun wa-annassaa'ata laa raiba fiihaa idz
yatanaaza'uuna bainahum amrahum faqaaluuuubnuu 'alaihim bunyaanan rabbuhum
a'lamu bihim qaalal-ladziina ghalabuu 'ala amrihim lanattakhidzanna 'alaihim masjidan
"Nanti (ada orang yang
akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang ke empat adalah
anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: '(jumlah mereka) adalah lima orang yang
ke enam adalah anjingnya', sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang
lain lagi) mengatakan: '(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah
anjingnya'. Katakanlah: 'Rabb-ku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada
orang yang mengetahui (bilangan) mereka, kecuali sedikit'. Karena itu janganlah
kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja,
dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun
di antara mereka." – (QS.18:22)
سَيَقُولُونَ ثَلاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ
وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ وَيَقُولُونَ
سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا
يَعْلَمُهُمْ إِلا قَلِيلٌ فَلا تُمَارِ فِيهِمْ إِلا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلا
تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
Sayaquuluuna tsalaatsatun
raabi'uhum kalbuhum wayaquuluuna khamsatun saadisuhum kalbuhum rajman bil
ghaibi wayaquuluuna sab'atun watsaaminuhum kalbuhum qul rabbii a'lamu
bi'iddatihim maa ya'lamuhum ilaa qaliilun falaa tumaari fiihim ilaa miraa-an
zhaahiran walaa tastafti fiihim minhum ahadan
"Dan jangan
sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: 'Sesungguhnya aku akan
mengerjakan itu besok pagi'," – (QS.18:23)
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ
ذَلِكَ غَدًا
Walaa taquulanna lisyai-in
innii faa'ilun dzalika ghadan
"kecuali (dengan
menyebut): 'Insya Allah'. Dan ingatlah kepada Rabb-mu, jika kamu lupa, dan
katakanlah: 'Mudah-mudahan Rabb-ku akan memberiku petunjuk, kepada yang lebih
dekat kebenarannya daripada ini'." – (QS.18:24)
إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَاذْكُرْ رَبَّكَ
إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَنْ يَهْدِيَنِ رَبِّي لأقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Ilaa an yasyaa-allahu
waadzkur rabbaka idzaa nasiita waqul 'asa an yahdiyani rabbii aqraba min hadzaa
rasyadan
"Dan mereka tinggal
dalam gua mereka (selama) tiga ratus tahun, dan ditambah sembilan tahun
(lagi)." – (QS.18:25)
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ
سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
Walabitsuu fii kahfihim
tsalaatsa mii-atin siniina waazdaaduu tis'an
"Katakanlah: 'Allah
lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah
semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya
dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka
selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya,
dalam menetapkan keputusan'." – (QS.18:26)
قُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثُوا لَهُ
غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَبْصِرْ بِهِ وَأَسْمِعْ مَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ
مِنْ وَلِيٍّ وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
Qulillahu a'lamu bimaa
labitsuu lahu ghaibus-samaawaati wal ardhi abshir bihi wa-asmi' maa lahum min
duunihi min walii-yin walaa yusyriku fii hukmihi ahadan
"Dan bacakanlah apa
yang (telah) diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (Al-Qur'an). Tidak ada
(seorangpun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat
menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya." – (QS.18:27)
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ
رَبِّكَ لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
Waatlu maa uuhiya ilaika
min kitaabi rabbika laa mubaddila likalimaatihi walan tajida min duunihi
multahadan
"Dan bersabarlah kamu,
bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari, dengan
mengharap keredhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka,
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang, yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta
menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." –
(QS.18:28)
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ
رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ
عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا
قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Waashbir nafsaka
ma'al-ladziina yad'uuna rabbahum bil ghadaati wal 'asyii-yi yuriiduuna wajhahu
walaa ta'du 'ainaaka 'anhum turiidu ziinatal hayaatiddunyaa walaa tuthi' man
aghfalnaa qalbahu 'an dzikrinaa waattaba'a hawaahu wakaana amruhu furuthan
PENUTUP
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan orang yang berakal adalah
orang yang melakukan dua hal yaitu tazakkur yakni mengingat Allah, dan tafakkur,
yaitu memikirkan ciptaan Allah.
Seluruh pengertian tentang akal adalah menunjukkan
bahwa adanya potensi yang dimiliki oleh akal itu sendiri, yaitu selain
berfungsi sebagai alat untuk mengingat, memahami, mengerti, juga menahan,
mengikat dan mengendalikan hawa nafsu. Melalui proses memahami dan mengerti
secara mendalam terhadap segala ciptaan Allah, manusia selain akan menemukan
berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, juga akan membawa
dirinya dekat dengan Allah. Dan melalui proses menahan, mengikat dan
mengendalikan hawa nafsunya membawa manusia selalu berada di jalan yang benar,
jauh dari kesesatan dan kebinasaan.
Nafsu juga termasuk salah satu potensi rohaniah
yang terdapat dalam diri manusia yang cenderung kepada hal-hal yang bersifat
merusak, menyesatkan, menyengsarakan, dan menghinakan bagi orang yang
mengikutinya. Atas dasar itu, maka manusia diperingatkan agar berhati-hati.
Implikasi tentang posisi akal dan nafsu terhadap
bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan
mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan
berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar.
Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata
pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan
pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan.
SARAN
Setelah mempelajari makalah ini, hendaknya
mahasiswa bias mengendalikan akal dan nafsu. Sehingga terciptanya mahasiswa
yang baik dan berkualitas.
Daftar
pustaka
Dr. H. Abuddin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta, Rajawali Pers, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar