BAB I
PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQH
A.Pengertian Ushul Fiqh
Ushul
Fiqh terdiri atas dua suku kata, yang masing-masing mempunyai pengertian luas,
yaitu Ushul dan Fiqh. Ushul berupa jama’ dari ashl
yang menurut bahasa mengandung arti “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi
maupun non materi”. Ada
juga memberikan pengertian (Ma yubna
‘alaihi ghoiruhu”) artinya landasan tempat membangun sesuatu”.
Sedangkan
menurut Abu Hamid al-Ghazali, [1]bahwa
Ushul secara terminology mengandung
beberapa pengertian: 1) bermakna dalil seperti dalam contoh:”(Al-‘ashlu fi wujubil sholat al-kitab wa
sunnah) artinya dalil wajibnya sholat adalah al-Qur’an dan hadist. 2)
bermakna kaidah umum yaitu suatu
ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya (Buniyal Islam ala khomsati ushulin”)
artinya Islam dibangun diatas lima kaidah umum, 3) bermakna al-rajih
(yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh (“Al-Ashlu fi al-kalam al-hakekat)
artinya pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian
hakekatnya, sebagai contoh (“al-Qur’an
ashlu al-qiyas) artinya al-Qur’an adalah itu lebih kuat dari qiyas. Bisa
diartikan bahwa Al-Qur’an adalah merupakan dasar daripada Qiyas. 4) bermakna Al-‘Ashlu atau tempat menganalogikan sesuatu yang
merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar adalah asal (tempat mengqiyaskan narkotika, 5) Al-Mustahab
( bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam suatu masalah.
Misalnya seseorang yang menyakini bahwa ia telah berwudlu, kemudian ia ragu
apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fiqih mengatakan
bahwa “Al-Ashlu al-thoharoh yang
diyakini adalah keadaan ia dalam keadaan berwudlu, artinya dalam hal tersebut
yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.
Kata Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam, yang
membutuhkan pengerahan potensi akal. (Man
yuridil lahi bihi khoiron yuwaffiqhu fi al-din) artinya Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka ia akan memberikan pemahaman agama
yang mendalam.
Sedangkan secara terminology Fiqh adalah Al-ilmu bi-al-Ahkam al-syariyah al-amaliyah al-muktasabu min adilatiha
al-tafsiliyati (mengetahui hokum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci). Dari definisi diatas dapat
ditekankan bahwa Ushul Fiqh adalah bagaimana
menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqh. [2] Contohnya:
- Al-Qur’an dan Al-Sunnnah adalah dalil yang dapat dijadikan hujjah.
- Dalil
yang berstatus nash didahulukan daripada zhahir,
- Hadist
Mutawatir lebih didahulukan dari hadist ahad,
- Kaidah
umum (‘Al-Ashlu lil wujub), (‘Al-Nahyu lil tahrim)
Dari
kaidah-kaidah umum ini terkandung hokum-hukum rinci yang tidak terhitung
jumlahnya. Ahli ushul fiqh, tidak mempersoalkan dalil dan kandungannya secara
rinci, melainkan membahas dalil-dalil kulli
(Umum) dan kandungannya sehingga dapat ditetapkan kaidah-kaidah kulli. Dalam rangka menetapkan
kaidah-kaidah kulli, sudah masuk dalam definisi tersebut, tanpa harus
mengungkapkannya dengan tegas.
B. Objek Kajian Ushul Fiqh
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, bahwa yang menjadi obyek kajian ushul fiqh
yang membedakannya dari kajian fiqh, antara lain:
1. Sumber hokum Islam/ dalil-dalil yang digunakan dalam
menggali hokum Syara’, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara dhohir,
dianggap bertentangan baik melalui Al-Jam’u wa taufiqi (kompromi),
tarjih, nasakh, dan Tasaqut dalaili.
- Pembahasan tentang Ijtihad.
- Pembahasan tentang hokum syara’, yang meliputi syarat-syarat,
macam-macam, baik tuntutan untuk meninggalkan ----------- sebab, syarat, mani’, sah, batal/fasad,
azimah, rukhsoh, hakim, mahkum fih, dan mahkum alaihi.
- Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistimbathkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa ataupun melalui pemahaman terhadap tujuan nash (Maqasid al-Syari’ah). [3]
C. Kegunaan Ushul Fiqh
Secara
sistematis, para ulama’ ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu
antara lain Untuk:
1.
Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan
para mujtahid dalam memperoleh hokum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2.
Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus
dimiliki seorang mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hokum syara’
dari Nash. Disamping itu bagi orang
awam, dapat mengetahui bagaimana para mujtahid menetapkan hokum, sehingga
mereka dapat mempedomani dan mengamalkan.
3.
Menentukan hokum melalui berbagai metode yang
dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir
belum ada nash, dan belum ada
ketetapan hukumnya dapat ditentukan hukumnya.
4.
Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin
terjadi. Dalam pembahasan ushul fiqh, sekalipun
suatu hokum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap mendapatkan
pengakuan syara’. Melalui ushul fiqh
juga para peminat hokum Islam dapat mengetahui mana sumber hokum Islam yang
asli dan harus dipedomani dan mana sumber hokum Islam yang bersifat sekunder
yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Islam.
5.
Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna
menetapkan hokum dari berbagai persoalan social yang terus berkembang.
6.
Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat
sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat
hokum Islam dapat melakukan Tarjih
(penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan
alasannya.[4]
D. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqih
Pertumbuhan Ushul Fiqih tidak bisa terlepas dari
perkembangan hokum Islam sejak zaman Rasullullah SAW, sampai pada masa
tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah.
Sumber hokum islam hanya ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Apabila muncul
suatu kasus, rasullullah menunggu turunnya wahyu untuk menjelaskan kasus hokum
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hokum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang dikenal dengan hadist atau sunnah.
Dalam beberapa kasus, Rasullulah SAW, juga menggunakan
Qiyas ketika menjawab pertanyaan para
sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas,
ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khattab tentang batal/tidaknya puasa
seorang yang mencium istrinya. Rasullullah SAW ketika itu bersabda:
(‘Araita
lau tamadhmatta wa anta shoimun? Qultu; la ba’tsa bihi. Qola; fasumhu (H.R.Buchori).
Menurut para
ulama’ Ushul Fiqh, meng-qiyaskan
hokum mencium dalam keadaan membatalkan puasa, maka mencium pun juga tidak
membatalkan.
Cara-cara Rasullullah SAW, dalam
menetapkan hokum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh.
Karenanya, para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh ada bersamaan
dengan hadirnya fiqih.sejak zaman Rasullullah. Bibit semacam ini semakin jelas
ketika setelah wafatnya Rasul, karena wahyu dan tidak turun lagi, sementara
persoalan yang mereka hadapi semakin kompleks. Para
tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman shahabat tersebut diantaranya, Umar bin
Khottob, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah ibnu Mas’ud. Dalam berijtihad, Umar
seringkali mempertimbangkan aspek kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar
menerapkan nash secara Zhahir, sementara tujuan hokum tidak
tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat, daerah yang ditaklukan pasukan
Islam di suatu daerah, Umar menetapkan bahwa tanah daerah tersebut tidak
diambil oleh pasukan Islam, melainkan dibiarkan untuk digarap oleh penduduk
setempat, dengan syarat setiap panen diserahkan sekian persen hasil panen untuk
pemerintahan Islam. Sikap yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ini, didasarkan
atas pemikiran bahwa apabila tanah pertanian di daerah itu diambil oleh
pemerintahan Islam, maka rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata
pencaharian, yang akibatnya bisa memberatkan beban Negara. Para
ulama’ ushul fiqh ini berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘Umar ibnu Khottob
dalam kasus ini adalah demi kemaslahatan (Maslahat).[5]
Selain bertebarnya para shahabat di
berbagai daerah yang saling berbeda budaya, hal ini mempengaruhi para shahabat
dalam menetapkan hokum. Akibatnya, dalam kasus yang sama, hokum di suatu daerah
dapat berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan hokum ini berawal dari perbedaan
cara pandang dalam menetapkan hokum pada kasus tersebut.
Di zaman tabi’in, permasalahan hokum
yang muncul pun semakin kompleks. Para tabi’in
melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah muncul berbagai fatwa
yang berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana yang dikemukakan
Said ibn al-Musayyab. Di Irak muncul Alqomah ibn Waqqas, al-laits dan Ibrahim
An-Nakho’i. di Basrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi’in, seperti Hasan
al-Bashri.
Titik tolak para ulama’ tersebut
dalam menetapkan hokum bisa berbeda, yang satu melihat dari sudut maslahat,
sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama’ ushul fiqh Irak
dikenal dengan penggunaan ra’yu dalam
setiap kasus yang dapat menyamakan hokum yang dihadapi dengan hokum yang ada
pada nashnya, meskipun meninggalkan hadist, karena sedikitnya jumlah hadist
yang mereka terima. Sedangkan para ulama’ Madinah lebih banyak mengambil hadist
atau sunnah, karena mudahnya akses mereka dekat keberadaan Nabi di Madinah.
Disinilah awal mula pertama kali munculnya perbedaan dalam mengistimbathkan
hokum di kalangan ulama’ fiqih. Akibatnya muncullah beberapa kelompok ulama’,
yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Kufah dan
Madrasah Madinah. [6] Penamaan
ini juga menunjukkan perbedaan cara dan metode yang digunakan dalam menggali
hokum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah
Iraq dan Madrasah Kufah terkenal
dengan Ahlul Ro’yi, sedangkan Madrasah Madinah dikenal dengan Ahlul Hadist.
Setelah itu muncul para imam
mujtahid, khususnya imam mazhab empat, yaitu:
1. Nu’man Ibnu
Tsabit yang lebih dikenal dengan Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767M).
2. Malik bin
Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795 M)
3. Muhammad Ibn
Idris al-Syafi’I, yang lebih popular dengan sebutan Imam Syafi’I (150-204
H/767-820 M)
4. Imam Ahmad
bin Hambal yang terkenal dengan sebutan Imam Hambali (164-241 H/780-855 M) Masing-masing
imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat jelas perbedaan
antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam mengistimbathkan hokum dari
al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam
mengistimbathkan hokum sebagai berikut: Al-Qur’an, Hadist, fatwa yang
didasarkan atas kesepakatan para sahabat, fatwa para tabi’in yang sejalan
dengan pemikiran mereka, qiyas dan istihsan. Sedangkan Imam Malik, berpegang
kepada Al-Qur’an, Sunnah, juga banyak mengistimbathkan hokum berdasarkan amalan
penduduk Madinah (‘amal ahlul Madinah).
Selanjutnya Imam Syafi’I dengan
metode-metode ijtihad dan sekaligus buat pertama kali membukukan ilmu ushul
fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah
Al-Risalah. Imam Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang
terjadi antara ahlul hadist yang
bermarkas di Madinah dengan ahlul Ro’yi
di Irak. Dalam kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi’I berusaha memperlihatkan
pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis
dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah
dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum
dalam mengistimbathkan hokum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.
Para Imam Mazhab dari keempat mazhab
tersebut sepakat dengan dalil yang masing-masing Mazhab menambahkan metode
istimbat hokum lainnya. Misalnya, ulama’ ushul fiqh dari kalangan Hanafiah
mengakui teori-teori ushul fiqh imam syafi’I, tetapi mereka menambah metode
atau teori lainnya, yaitu istihsan dan ‘Uruf dalam mengistimbathkan hokum.
Ulama’ ushul fiqh Malikiyah juga melakukan hal yang sama yaitu dengan
menambahkan Ijma’ ahlul Madinah
karena status ijma’ ahlul Madinah merupakan
sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasullullah SAW
sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama’ Malikiyah menambahkan metode Maslahatul Mursalah dan Sadd al-Zari’ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat
antara para Imam Mazhab empat tersebut, tentang berbagai metode ijtihad yang
ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat mazhab
tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi
sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus
yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing.[7]
E. Aliran-aliran Ushul Fiqh
Dalam
sejarah ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini
muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing yang
digunakan dalam menggali hukum Islam. Aliran pertama disebut dengan aliran
Syafi’iyah dan Jumhur Mutakalimin (ahli Kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh
mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam membangun teori,
aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik naqli (al-Qur’an atau Sunnah) maupun ‘Aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi
oleh masalah-masalah furu’ dari
berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. Setiap
permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab maupun tidak, sejalan dengan kaidah
yang ditetapkan imam mazhab atau tidak.
Dalam
kenyataannya, ada ulama’ mazhab Syafi’iyah yang berupaya menyusun teori
tersendiri, sehingga terdapat pertentangan dengan teori yang telah dibangun.
Misalnya, Imam al-Amidi (ahli ushul fiqh Syafi’i), [8] menyatakan
bahwa ijma’ al-Sukuti dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hokum Islam. Imam Syafi’I sendiri tidak mengakui
keabsahan ijma’ al-sukuti dapat
dijadikan hujjah, karena ijma’ yang
dia terima hanyalah ijma’ para
shahabat. Al-Amidi dan Al-Qarafi (ahli ushul fiqh dari kalangan Malikiyah),
berupaya menggabungkan teori aliran Syafi’iyah/Mutakalimin dengan aliran
fuqoha’. Hal ini mereka lakukan untuk mencari jalan yang terbaik dalam masalah
ushul fiqh. Oleh sebab itu, ada beberapa teori ushul fiqh mereka yang
bertentangan dengan pendapat mazhab mereka sendiri, seperti yang dikemukan
al-Amidi.
Akibat
dari perhatian yang hanya tertuju kepada masalah-masalah teoritis, teori yang
dibangun aliran Syafi’iyah/Mutakalimin sering tidak membawa pengaruh kepada
keperluan praktis. Sesuai dengan namanya, aliran Mutakalimin (ahli kalam), maka
aspek-aspek bahasa sangat dominant dalam pembahasan ushul fiqh mereka.
Misalnya, masalah tahsin dan taqbih (menggangap sesuatu perbuatan
baik dan buruk dapat dicapai oleh akal atau tidak). Pembahasan seperti, biasanya dikemukakan para
ahli ushul fiqh berkaitan dengan pembahasan hakim
(pembuat hokum). Kedua konsep ini berkaitan erat dengan masalah ilmu kalam
yang berpengaruh dalam penentuan teori ushul fiqh. Akibat lain dari teori
aliran ini adalah terjebak dengan masalah-masalah yang terkadang mustahil
terjadi, seperti persoalan taklif
al-ma’dum (pembebanan hokum atas sesuatu yang tidak ada), atau terjebak
dalam permasalahan ‘aqidah, seperti ke-ma’shuman
Rasullullah.
Aliran
kedua dalam ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqoha’, yang dianut ulama’-ulama’ mazhab
Hanafi. Dinamakan aliran ulama’ fuqoha’, karena aliran ini dalam membangun
teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu
teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang
ada daklam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat
pertentangan anatara kaidah yang ada dengan furu’,
maka kaidah tersebut diubah dan
disesuaikan dengan hokum furu’
tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun
sesui dengan hokum-hukum furu’yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak ada
satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan. berbeda dengan aliran
Syafi’iyah/Mutakalimin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang terdapat dalam mazhabnya,
sehingga sering terdapat pertentangan antara kaidah dan masalah furu’ yang mereka hadapi. misalnya, mereka
menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu Qoth’I”(pasti).
akibatnya, apabila terjadi pertentangan antara dalil umum dengan hadist Ahad yang bersifat zhanny (bersifat dugaan), maka dalil
yang umum itu yang diterapkan, karena hadist ahad hanya bersifat Zhanny (relatif), sedangkan dalil umum
tersebut bersifat Qoth’I, yang tidak qoth’I bisa dikalahkan dan dikhususkan
oleh yang zhanny.
dikalangan
aliran fuqoha’ sendiri ada ahli ushul fiqh yang berupaya untuk mengkompromikan
kedua aliran tersebut, diantaranya adalah Imam Kamal ibnu Humam dalam kitab
Ushul Fiqhnya, Al-Tahrir. dari sekian
banyak kitab Ushul Fiqh, yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh standar dalam
aliran ini adalah kitab al-Ushul
yangdisusun Imam Abu Al-Hasan al-Kharkhi, Kitab
al-Ushul, disusun Abu Bakar al-Jasshash, Ushul al-Sarakhsi, disusun Imam Al-Sarakhsi, Ta’sis al-Nazhar, disusun Imam Abu Zaid Al-Dabusi (W.430 H), dan
kitab Kasfal-Asrar, disusun Imam
Al-Bazdhawi.
Adapun
kitab-kitab ushul fiqh yang menggabuungkan teori Syafi’iyah/Jumhur Mutakalimin
dengan teori Fuqoha’, diantaranya adalah:
- Tanqih Al-Ushul, yang disusun oleh Shadr al-Syari’ah (w.747 H), yang merupakan rangkuman tiga buku ushul fiqh, yaitu Kasf al-Asrar karya Imam al-Bazdhawi al-Hanafi, Al-Mahsul karya Fahrudin al-Razy al-Syafi’I, dan Mukhtasar Ibnu al-Hajib karya Ibnu al-Hajib al-Maliki.
- Al-Tahrir, disusun Kamal al-Din Ibnu Humam al-Hanafi (w.861 H).
- Jam’ul Jawami’, disusun Taj al-Din ‘Abd Wahab al-Shubki al-Syafi’I (w.771 H).
- Musallam al-Tsubut, disusun Muhibullah ibnu ‘Abd al-Syakur (w.1119 H). [9]
pada abad ke-8
Hjrah muncul Imam al-Syatibi (w.790 H), dengan buukunya al-Muwafaqat fi al-Ushul Syari’ah. Pembahasan
ushul fiqh yang dikemukakan oleh Imam al-Syatibi ini, pada dasarnya berisikan
pembahasan tentang kaidah ushul secara kebahasaan juga mengemukakan Maqasid al-Syari’ah (tujuan-tujuan
syara’ menetapkan hukum), yang selama ini kurang diperhatikan oleh ulama’ ushul
fiqh. Disamping itu juga Al-Syatibi juga memberikan warna baru dalam kitab
fiqhnya, yang oleh para ahli ushul fiqh yang komprehensif dan akomodatif untuk
zaman sekarang.
BAB II
SUMBER DAN DALIL DALAM HUKUM ISLAM
A.
Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam
bahasa Arab yang dimaksud dengan sumber adalah (masdar), yaitu asal dari segala
sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. dalam ushul fiqh kata Masadir al-ahkam al-syari’yyah berarti
rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
sedangkan
“dalil” (al-dalil) secara bahasa
adalah: (al-hadi ila ayyi syai’in
hissiyin aw maknawiyin) yaitu: “petunjuk
kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material
(maknawi).
Secara
terminologi, dalil mengandung pengertian:(Ma
yatawassalu bi shohihin nadhori fiihi ila hukmin syar’iyyin ‘amaliyyin”)
artinya: suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya Qoth’I (pasti), maupun yang Dhonny (relatif).[10]
menuurut
Abdul Wahab al-Khallaf, bahwa pengertian dalil
al-ahkam itu identik dengan Ushulul ahkam
(dasar-dasar hukum) dan Mashadirul ahkam
(sumber-sumber hukum).karenanya, para ulama’ sering menunjuk adakalanya
menggunakan Ushulul Ahkam ataupun
sebaliknya.
Masadirul Ahkam, dalam Islam pada
dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah. para ulama’ Ushul Fiqh pun sebenarnya
menyatakan bahwa hukum Islam itu seleuruhnya berasal dari Allah. Rasul hanya
berfungsi sebagai penegas dan penjelas (al-Mu’akkid
wa al-Mubayyin) [11] hukum-hukum
yang disampaikan Allah melalui Sunnahnya, ketika wahyu itu tidak turun dari
Allah. akan tetapi ketentuan Rasul ini
tidak lepas dari tuntunan wahyu. oleh karenanya Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu
juga bisa disebut dengan dalil hukum, artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist
Nabi Muhammad SAW sebagai alasan dalam penetapan hukum Islam disamping juga
bisa disebut dengan sumber hukum.
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, bahwa adillatul
ahkam adalah identik dengan Masadirul
ahkam. Akan tetapi dalil lain seperti Ijma’,
‘Uruf, Maslahatul Mursalah bukanlah termasuk Mashodirul Ahkam akan tetapi hanyalah dalil yang bersifat al-Kasfu wa al-Izdhar lil hukmi
(menyingkap dan memunculkan hukum) yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. suatu
dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah tidaklah dapat
dikatakan sebagai sumber, karena yang dinamakan sumber adalah dalil yang
berdiri sendiri. disamping itu sebagai dalil Ijma’, Qiyas, Maslahatul mursalah dan lain sebagainya tidak boleh
bertentangan dengan yang ada dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Oleh sebab itu,
para Ulama’ Ushul Fiqh juga sering menyebut adillatul
ahkam seperti Ijma’, Qiyas dan
lain sebagainya sebagai Thuruqul
Istimbath Ahkam (metode dalam menetapkan hukum).
Dalam
literatur kitab-kitab Ushul Fiqh, baik klasik maupun kontemporer
mengkategorikan dan mengelompokkan bahwa sumber atau dalil syara’ itu ada dua. Yang
pertama adillatul ahkam al-Mutafaq
‘alaihi (dalil-dalil hukum yang disepakati), dan yang kedua adillatul ahkam al-Mukhtalaf ‘alaihi
(dalil-dalil hukum yang diperselisihkan).[12]
yang
termasuk adillatul ahkam al-mutafaq
‘alaihi adalah Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas. Sedangkan Al-maslahatul
mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man qablana, ‘uruf, sadd al-zari’ah, dan
Mazhab Shahabi termasuk dalam adillatul
ahkam al-mukhtalaf ‘alaihi.
penetapan
adillatul ahkam al-mukhtalaf ‘alaihi berdasarkan firman Allah surat Al-Nisa’ ayat 59. menurut Wahab Khalaf,
bahwa mengikuti perintah Allah dan Rasul adalah mengikuti al-Qur’an dan
As-Sunnah, sedangkan perintah mentaati Ulil Amri diantara umat Islam mengandung
pengertian mengikuti hukum yang telah disepakati para mujtahid, karena mereka
adalah Ulil Amri dibidang hukum syara’. Lebih lanjut, menurut Wahab Khalaf,
bahwa perintah mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Allah
dan Rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti qiyas ketika hukum dari kasus yang diperselisihkan itu tidak
dijumpai dalam nash dan Ijma’.[13]
Menurut
para Ulama’ Dhohiriyah, mereka menolak ijma’
dan Qiyas sebagai dalil hukum
yang disepakati oleh para ulama’. karena terhadap pengertian ijma’ itu sendiri para ulama’ tidak sepakat. Imam
Al-Syafi’I sendiri hanya bisa menerima ijma’
sebagai dalil apabila ijma’ itu
menjadi konsensus para shahabat Rasullulah. Kemudian Qiyas juga ditolak oleh ulama’ ushu fiqh yang lain, seperti Syi’ah
Imamiyah dan Zaidiyah termasuk Al-Auza’I dari kalangan Sunni. [14]
Menurut
Ali Hasabalah, bahwa adillatul ahkam itu
ada yang bersifat naqli dan Aqli. yang bersifat naqli adalah Al-Qur’an dan
Sunnah, sedangkan yang bersifat aqli adalah ijtihad, baik itu ijtihad fardi (sendirian) maupun ijtihad yang jama’I (kolektif). disamping itu menurut
Ali Hasabalah, bahwa adilatul ahkam itu
ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad. hal itu sejalan dengan hadist Muazd
bin Jabbal. [15] Dalam
pandangan Ali Hasabalah, bahwa Ijma’,
Qiyas, ‘uruf, Maslahatul Mursalah,
Istishab, Istihsan, Mazdhab Shahabi,
Sadd al-Zari’ah, Syar’u manqablana dikategorikan dalam adillatul ahkam al-Syar’iyat al-Ijtihadiyah (dalil-dalil hukum syara’
yang diperoleh melalui ijtihad).[16]
Agaknya,
penetapan qiyas dan Ijma’ sebagai dalil yang disepakati kehujjahannya oleh
ulama’ Sunni, lebih karena didasarkan
statusnya sebagai dalil. Disamping itu ulama’ Sunni juga sepakat, bahwa ijma’
dan Qiyas, sekalipun keberadaannya sebagai dalil tidak bisa berdiri sendiri
seperti halnya Al-Qur’an dan As-Sunnah.
B.
Sumber dan Dalil Hukum Islam
- Al-Qur’an (Sumber hukum Islam pertama)
a.
Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan”,
yaitu bentuk masdar dari kata (
) hal itu
sesuai dengan firman Allah:
Artinya: “Sesungguhnya kami yang
akan menggumpulkannya (didadamu) dan membacakannya. Apabila kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.(QS. Al-Qiyamah: 17-18)
Adapun al-Qur’an menurut istilah, antara lain ialah:
Artinya: Al-Qur’an adalah firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang mengandung nilai mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian
Muhammad SAW) yang ditulis (dalam mushaf) denggan jalan mutawatir dan membacanya
dinilai sebagai ibadah, terdapat dalam
mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nash. [17]
Dari pengertian tersebut,
dapatlah dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, untuk dijadikan pedoman hidup, sumber hokum, dan petunjuk
bagi umatnya guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Banyak firman Allah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi oaring-orang yang bertakwa kepada-Nya, antara lain
adalah:
Firman Allah SWT:
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini
tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS.
Al-Baqarah: 2)
Definisi di atas
mengisyaratkan pada kita, bahwa:
a) Apa-apa yang diwahyukan Allah dalam
maknanya kemudian difahami dalam bahasa Rasulllullah, tidaklah dinamai dengan
Al-Qur’an.
b) Alih bahasa (terjemahan) Al-Qur’an ke
dalam bahasa selain Arab dengan maksud memudahkan pemahaman atau maksud lainnya
tidaklah disebut Al-Qur’an.
c) Wahyu Allah yang diturunkan kepada selain
Muhammad SAW bukanlah Al-Qur’an.[18]
b. Pokok-pokok isi Al-Qur’an
Pokok isi kandungan Al-Qur’an ada beberapa hal diantaranya:
Tauhid.
Yaitu kepercayaan terhadap ke-Esa-an Allah SWT, dan semua kepercayaan yang
berhubungan dengan-Nya.
Ibadah.
Yaitu semua bentuk perbuatan atau amaliyah sebagai manifestasi dari
kepercayaan ajaran tauhid.
Janji
dan ancaman (al wa’du dan al wa’id) yaitu janji pahala bagi orang yang
percaya dan mau menjalankan dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an dan ancaman
siksa bagi orang yang tidak mau menjalankan dan mengingkarinya. Banyak contoh ayat yang menerangkan tentang itu,
sebagaimana firman Allah:
Artinya: “(hokum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan
Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan
baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’: 13-14)
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah
Allah maupun orang-orang yang shaleh serta kisah-kisah orang yang menentang
kebenaran Al-Qur’an agar dapat dijadikan suri tauladan. [19]
c. Dasar Kehujahan Al-Qur’an dan kedudukannya
sebagai sumber hokum
Perlu
diketahui al-Qur’an menempati kedudukan pertama atau tertinggi dari
sumber-sumber hokum yang lain. Oleh
karena itu, sumber hukum dan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan
Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui Malaikat
Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia agar diamalkan segala yang
diperintahkan-Nya dengan imbalan bagi yang mengerjakan dan ditinggalkan segala yang dilarang-Nya. Disamping itu
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat
manusia untuk diamalkan isinya. Firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang
karena membela oaring-orang yang berkhianat”. (QS. An-Nisa’: 105)
Artinya: “Dan ini adalah Kitab (Al-Qur’an) yang kami
turunkan denggan penuh berkah, ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendpat
rahmat.” (QS. Al-An’am: 155)
d.
Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menetapkan hokum
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai pedoman hidup
manusia dalam rangka peningkatan iman dan memperbanyak amal shaleh. Upaya
peningkatan kehidupan manusia melalui tahap-tahapan sebagaimana yang terdapat
dalam Al-Qur’an.
Pedoman
Al-Qur’an dalam menetapkan hukumn sesuai dengan perkembangan jasmani
dan rohani manusia, karena manusia berawal dari kelemahan dan ketidakmampuan.
Oleh karena itu, al-Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
1). Tidak memberatkan dan menyulitkan
( )
Perintah yang
ada dalam Al-Qur’an pada dasarnya sanggup dikerjakan oleh setiap manusia. Allah
tidak akan membebani kepada manusia atas sesuatu di luar jangkauan atau
kemampuan manusia. Jika manusia
sulit mengerjakan, kemungkinan karena kondisi manusia itu sendiri. Sebagaimana
firman Allah SWT:
Artinya: “Allah tidak kan memmbebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya…”(QS. Al-BAqarah: 286).
Allah juga
berfirman:
Artinya: “…..Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah: 185).
Dari kedua
ayat tersebut, menjelaskan bahwa betapa Allah menyayangi manusia sebagai
khalifah di bumi, sehingga dalam melaksanakan hokum tidak dituntut pelaksanaan
di luar kesanggupan manusia.
2) Menyedikitkan beban ( )
beban perintah yang Allah turunkan kepada
umat Muhammad sebenarnya sangat minim dan ringan jika jika dibandingkan dengan
umat-umat terdahulu.dalam pelaksanaanya banyak rukhsah (keringanan) dan pilihan yang fleksibel. Seperti
keringanan menjamak dan menqashar shalat,
boleh tidak berpuasa karena sakit dan dalam perjalanan, bertayamum
sebgaipengganti wudlu, memakan makanan yang haram pada situasi darurat dan
lain-lain.
3) Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
( ).
Al-Qur’an
turun secara bertahap. Demikian
pula dalam menetapkan hokum. Sebagai contoh larangan minuman keras. Sebagaimana
firman Allah:
Artinya: “Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, “Katakanlah pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari pada manfaatnya.”(QS. Al-Baqarah: 219)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk”.(QS. An-Nisa’:43)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum)khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS.al-Maidah:90).
Dari ayat diatas menjelaskan, bahwa pada
tahap awal minuman keras itu tidak dilarang karena masih ada sedikit manfaat
walaupun dosanya lebih besar. Tahap berikutnya, Allah melarang minuman keras
tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan setelah dipandang orang-orang sudah banyak
yang meninggalkan kebiasaan minum khamar dan dipandang sudah cukup dengan kedua
peringatan pada dua ayat di atas.
5. Sifat hukum yang ditunjukkan Al-Qur’an
Pada dasarnya sifat hokum yang terdapat dalam Al-Qur’an
adalah kulli (umum) yaitu ayat-ayat
yang memerlukan penjelasan dan juz’i
(terperinci). Salah satu contoh ayat dalam al-Qur’an yang memerlukan penjelasan
adalah tentang shalat dan zakat. Allah
tidak memberikan perincian bagaimana caranya shalat dan berapa kadar zakat yang
wajib dikeluarkan. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah
zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Maidah: 43)
Pada ayat di
atas tidak ada penjelasan secara terperinci bagaimana tata cara mengerjakan dan
berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan karena ayat tersebut hanya memberikan
penjelasan sifatnya secara kulli dan
untuk penjelasannya melalui hadist atau ijtihad.
- Sunnah (Sumber
Hukum Islam Kedua)
- Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut
bahasa berarti (tata
cara, kebiasaan) atau
(jalan atau dijalani).
Artinya: “Kebiasaan
atau jalan yang dipandang baik atau jelek”.
Arti sunnah secara bahasa adalah:
1.
Jalan yang ditempuh
2.
Cara
atau jalan yang sudah terbiasa
3.
Sebagai lawan dari kata bid’ah
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh
seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ’Ajjaj al-Khatib (guru Besar Hadist
Universitas Damaskus), sunnah berarti ”Segala perilaku Rasulluallahyang
berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qauliyah),perbuatan
(Sunnah fi’liyah), maupun pengakuan (Sunnah taqririyah).”[20]
Dengan
pengertian seperti ini, maka yang dimaksud dengan As-Sunnah ialah segala
sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasullullah SAW baik
berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li) maupun ketetapannya (taqriry).
Dasar kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hokum adalah
firman Allah SWT:
Artinya: Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya maka
tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada
Allah dan Rasul….(QS. An-Nisa’: 59)
Dari dua ayat
di atas dapat dipahami bahwa umat Islam wajib mempercayai Allah dan
Rasulluallah, kemudian wajib mentaati semua yang bersumber dari rasul baik yang
diperintahkan maupun yang dilarangnya.
- Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber
hukum Islam
1)
Al-Qur’an adalah sumber hokum pertama bagi syari’at
Islam, sedangkan as-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua. Ayat-ayat al-Qur’an
adalah qath’i dari Allah baik secara mujmal maupun tafsili. Seseorang harus
kembali pada as-Sunnah dalam mencari ketetapan hukum jika tidak mendapatkan
hokum yang dimaksud di dalam Al-Qur’an.
2) Maksud as-Sunnah pada hakekatnya sudah
terkandung dalam al-Qur’an. As-Sunnah adakalanya menjelaskan apa-apa yang belum
jelas dalam Al-Qur’an, membatasi hukum yang dating secara mutlak, serta
memberikan ketentuan khusus terhadap hokum yang dating secara umum. Dengan
demikian pula as-Sunnah menetapkan dan menguatkan hokum yang telah ada dalam
al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan yang dijelaskan lebih tinggi dan harus
didahulukan daripada yang menjelaskan.
3)
Hadist muadz bin Jabal yang menerangkan urutan dalam
menetapkan hokum, menunjukkan kedudukan antara sunnah Rasul terhadap al-Qur’an.[21]
- Pembagian As-Sunnah
Macam-macam as-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut:
1)
Sunnah Qauliyah yaitu
semua perkataan Rasullullah, yaitu ucapan Nabi SAW, yang didengar oleh dan
disampaikan seorang atau beberapa shahabat kepada orang lain. Misalnya, sabda
Rasullullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:
Artinya: “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat
Al-Fatekhah (H.R.Buchori dan Muslim).
2)
Sunnah Fi’liyyah
yaitu semua perbuatan Rasullullah.Tidak semua perbuatan Nabi menjadi sumber
hokum yang wajib ditaati. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pribadi atau khusus
untuk nabi tidak wajib ditaati maupun diteladani kecuali ada penjelasan berupa
hadist yang menganjurkan pengikutnya. Perbuatan nabi yang yang wajib dipatuhi dan
dijadikan sebagai sumber hukum adalah perbuatan yang bersifat menjelaskan hokum
yang bersifat mujmal, seperti tata shalat dan haji.
3) Sunnah
Taqririyah yaitu penetapan dan
pengakuan Nabi terhadap pernyataan atau perbuatan orang lain. Penetapan dan
pengakuan Nabi adalah diamnya Nabi ketika melihat satu perbuatan para sahabat
baik dikerjakan di depan beliau. Diamnya Nabi berarti sama dengan Nabi
sendiri yang berbuat dan menjadikan hujjah bagi seluruh umat.
4) Sunnah Hammiyah.
Yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tetapi tidak samapai
dikerjakan, seperti ketika beliau akan mengerjakan puasa tanggal 9 Muharram.
Walaupun keinginan itu belum terlaksana, namun sebagian besar ulama’ memandang
Sunnah berpuasa pada tanggal tersebut.
C. Dalil dan Metodologi Penggalian Hukum Islam
- Ijma’
a.
Pengertian
Ijma’
Secara bahasa ijma’ ( ) berarti “kesepakatan” atau
consensus atau (
) yang berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
Ijma’ menurut istilah para ulama’ ushul
fiqh, diantaranya adalah Abdul Karim Zaidan yang diintrodusir oleh Satria
Efendi M.Zain, bahwa Ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat
Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasullullah wafat”.[22]
Sedangkan menurut Imam Ghazali, bahwa ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad
secara khusus tentang suatu masalah agama. Pendapat al-Ghazali ini memberikan
batasan bahwa ijma’ harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu umat
Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat Islam termasuk orang awam.
Alghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasullullah SAW. Alasannya,
karena pada masa Rasullullah SAW sebagai syari’
(penentu atau pembuat hokum) tidak memerlukan ijma’.[23]
Menurut al-Amidi tokoh ushul fiqh Syafi’iyyah,
menyatakan bahwa ijma’ harus
dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang
dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh
umat yaitu melalui kesepakatan ahlul
halli wal aqdi. Oleh karenaya
lanjut al-Amidi, orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’.[24]
Menurut
Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khallaf
bahwa, ijma’ adalah “kesapakatan para mujtahid dari umat Nabi
Muhammad SAW, setelah wafatnya beliau,
terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Hal tersebut mengandung
pengertian bahwa ijma’ tersebut hanya berkaitan dengan
persoalan-persoalan furu’ (amaliyah
praktis).[25]
Dari definisi di atas, jumhur ulama’ menyatakan bahwa ijma’ tersebut hanya dilakukan dan
disepakati oleh para mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya
Rasulllullah. Rumusan ini dianggap karena ketika Rasullullah SAW masih hidup
semua persoalan umat langsung ditanyakan kepada beliau, sehingga tidak
diperlukan lagi ijma’.
Sebagai
contoh tentang ijma’ adalah,
dikumpulkannya dan dibukukannya tulisan al-Qur’an dalam bentuk mushaf pada masa khalifah Abu Bakar
as-Shidiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama’ zaman shahabat. Ide
pengumpulan al-Qur’an ini berasal dari ide Umar bin Khattab, tapi kemudian Abu
Bakar mengumpulkan para ulama’ saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karena
hal itu tidak diperintahkan oleh Rasullullah SAW. Tetapi akhirnya para
ulama’ menyepakati untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an.
b. Rukun dan Syarat Ijma’
Jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima ,
[26]
yaitu:
1. Yang
terlibat dalam pembahasan hokum syara’melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara para mujtahid tidak setuju, sekalipun
jumlahnya sedikit, maka hokum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
2. Mujtahid
yang terlibat dalam pembahasan hokum itu adalah seluruh mujtahid yang ada masa
tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.
Kesepakatan
itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.
Hokum
yang disepakati itu adalah hokum syara’ yang bersifat actual dan tidak ada
hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
5.
Sandaran
hukum ijma’ tersebut haruslah
al-Qur’an dan hadist.
Di
samping itu, jumhur ulama’ ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
1.
Yang
melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
2.
Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya).
3.
Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
c. kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama’ ushul fiqh berpendapat bahwa apabila
rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi,
maka ijma’ tersebut menjadi hujjah
yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak
boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di
samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ulama’ ushul fiqh,
tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama’ generasi berikutnya, karena hokum
yang ditetapkan melalui ijma’
merupakan hokum syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga sebagai dalil
syara’ setelah al-Qur’an dan sunnah. [27]
Alasan ulama’
ushul fiqh ini, adalah:
a)
berdasarkan firman Allah SWT:
artinya: “Wahai orang-orang
yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu……
Menurut ulama’ ushul fiqh ini, lafald ulil amri dalam ayat itu bersifat umum,
mencakup para pemimpn di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan
dunia (pemimpin masyarakat, Negara dan perangkatnya). Ibnu Abbas menafsirkan ulil amr dengan istilah para
ulama’.
b) Alasan lain berdasarkan hadist Nabi:
Artinya: “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan
terhadap yang salah. (H.R. al-Tirmidhi)
Menurut Abdul
Wahab Khallaf, bahwa hadist di atas menunjukkkan bahwa suatu hokum yang
disepakati seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hokum umat Islam seluruhnya
diperankan oleh para mujtahid. Oleh karena itu tidak mungkin para mujtahid
melakukan kesalahan dalammenetapkan hokum.
d. Tingkatan Ijma’
Dilihat dari
segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hokum syara’ itu, para ulama’ ushul
fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk,
yaitu ijma’ sharih/lafdhi dan ijma’ sukuti. [28]
a). Ijma’ sharih/lafdhi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui
pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hokum masalah tertentu. Kesepakatan
itu dikemukakan dalam sidang ijma’
setelah masing-masing mujtahid mengemukakkan pandangannya terhadap masalah yang
dibahas. Ijma’ seperti ini, langka
terjadi, apalagi dilakukan kesepakatan itu di dalam satu majelis atau pertemuan
yang dihadiri seluruh mujtahid padamasa tertentu.
b)
Ijma’ sukuti adalah pendapat
sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hokum suatu masalah dan tersebar
luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti
[endapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat
tersebut.
- Qiyas
- Pengertian Qiyas
Secara
bahasa berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau
menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Sedangkan secara terminologi, menurut Sadr
al-Syari’ah (Tokoh Ushul fiqh Hanafi. w.747 H/1346 M), qiyas
adalah:
Artinya: “Memberlakukan hokum asal kepada hokum furu’ disebabkan kesatuan illat
yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Maksudnya, illat yang ada pada suatu nash sama dengan illat
yang ada pada kasus yang sedang
dihadapi seorang mujtahid. Karena
kesatuan illat ini, maka hokum dari
suatu kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hokum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Pengertian di atas oleh para ulama ushul fiqh, bahwa proses
penetapan hokum melalaui metode qiyas
bukanlah menetapkan hokum dari awal (istimbath
al-hukm wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hokum (al-kasyf wa al-izdhar li al-hukm) yang
ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini
dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illat –nya sama dengan illat hokum yang disebutkan dalam nash,
maka hokum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hokum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hokum minuman bir
atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara mendalam dan cermat,
kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada
khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Maidah, 5:90-91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah
menemukan hokum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan khamar, karena illat keduanya adalah sama, yakni
sama-sama memabukkan. Kesamaan illat
antara kasus yang tidak ada nash –nya
dengan hokum yang ada nash-nya baik dalm al-Qur’an maupun dalam al-Hadist,
menyebabkan adanya kesatuan hokum. Inilah yang dimaksud oleh para ulama’ ushul
fiqh , bahwa penentuan hokum melalui metode qiyas bukan berarti menentukan hokum sejak semula,
akan tetapi hanyalah menyingkapkan dan menjelaskan hokum untuk kasus yang
sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hokum yang ada pada nash, disebabkan kesamaan illat antara keduanya.[29]
- Rukun
Qiyas
Para ulama ushul fiqh
menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada
empat, [30]
yaitu:
a)
Ashl ( ), yaitu obyek hokum yang
ditetapkan melalui nash atau ijma’. Menurut para ulama’ ushul fiqh, ashl merupakan obyek yang telah
ditentukan hukumnya oleh ayat al-Qur’an, hadist Nabi atau ijma’. Misalnya, pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya kepada
khamar, maka yang ashl itu adalah khamar yang telah
ditetapkan hukumnya melalui nash.
b)
Far’u (
), adalah obyek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma’ yang tegas dalam menentukan
hukumnya, seperti wisky dalam kasus di atas.
c) ‘Illat
(
), adalah sifat
yang menjadi motivasi dalam menentukan hokum, dalam kasus khamar di atas ‘illat –nya adalah memabukkan.
d) Hokum
al-Ashl ( ), adalah hokum syara’ yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan
kepada far’u, seperti keharaman
meminum khamar. Adapun hokum yang ditetapkan pada far’u pada dasarnya
merupakan buah (hasil) dari qiyas dan
karenanya tidak termasuk rukun.
- Dasar hokum Qiyas
Menurut para ulama ushul fqh bahwa qiyas itu merupakan hujjah syar’iyyah terhadap hukum akal.
Qiyas ini menjadi sumber hukum Islam, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak
terdapat hukumnya berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan
peristiwalain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan dalam nash. Alasan jumhur ulama’ ini
berdasarkan hadist Rasullullah SAW ketika beliau mengajak dialog dengan Mu’az
bin Jabal ke Yaman untuk menjadi qadhi (hakim)
disana.
Artinya: “Bagaimana cara kamu
memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?, “Muaz bin Jabal
menjawab, “saya akan cari hukumnya dalam kitabullah (al-Qur’an).”Kemudian
Rasullullah melanjutkan pertanyaannya, jika engkau tidak menemukan hukumnya
dalam kitabullah?. Jawab Mu’az, “saya akan caridalam sunnah Rasulllullah.
“selanjutnya Rasullullah bertanya,jika dalam sunnah Rasullullah SAW tidak
engkau temukan hukumnya?. Jawab Mua’z, “saya akan berijtihad sesuai dengan
pendapat saya.”lalu Rasullullah SAW, mengusap dada Mua’z, seraya berkata,
“Alhamdulillah tindakan utusan Rasullullah telah sesuaidengan kehendak
Rasullullah.”(H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Thabrani,
al-daraini, dan al-Baihaqi).
Dalam hadist di atas, jumhur ulama’ ushul fiqh,
Rasullullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.[31]
d. Sebab-sebab dilaksanakannya qiyas
Diantara sebab-sebab dilaksanakan qiyas adalah:
- Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash al-Qur’an dan hadist tidak diketemukannya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
- Karena nash, baik berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah telah berahir dan tidak turun lagi.
- Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum
ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh .
- Istihsan
a.
Pengertian
Istihsan
Secara
bahasa, istihsan berarti “menyatakan dan menyakini baiknya sesuatu”. Tidak
terdapat perbedaan pendapat ulama’ ushul fiqh dalam mempergunakan lafald istihsan dalam pengertian etimologi, karena
lafald yang sama dengan istihsan
banyak dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah SAW. Misalnya, dalam surat al-Zumar, ayat 18. Allah berfirman:
Artinya: “Orang yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik diantaranya….
Kemudian dalam sebuah riwayat
dari Abdullah ibnu Mas’ud, Rasullullah SAW bersabda:
Artinya: “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat
Islam, maka di sisi Allah itu juga baik “. (H.R. Ahmad ibnu Hambal)
Sedang menurut istilah ahli ushul
fiqh, bahwa istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang
dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada
hokum yang dikehendaki oleh qiyas khafi
(samara-samar), atau dari hukum kully
(umum) kepada hokum yang bersifat khusus dan istisna’i (pengecualian), karena ada dalil-dalil syara’ yang
menghendaki perpindahan itu. Misalnya, menurut kesimpulan Qiyas jali,
hak pengairan yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak
dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan
(diqiyaskan) dengan praktek jual beli karena sama-sama menghilangkan milik.
Dalam jual beli, hak pengairan yang berada diatas sebidang tanah yang dijual
tidak dianggap termasuk kkepada yang dijual kecuali ditegaskan dalam akad jual
beli. namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan,
hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan
pada waktu berikrar wakaf, karena diqiyaskan kepada sewa menyewa dengan
persamaan illat sama-sama diambil manfaatnya. dilihat dari segi manfaatnya,
qiyas yang disebutkan terahir ini
lebih kuat pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyari’atkannya
wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya.[32]
b.
Macam-macam
Istihsan
Ulama’
hanafiah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
a. Istihsan bi al-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadist). Maksudnya, ada
ayat atau hadist tentang hokum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah
umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena
ifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang
yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umumini
dikecualikan melalui firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11.
Artinya: “……setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang….
Berdasarkan
ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiat. Misal istihsan dengan sunnah Rasul adalah
dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa.
Menurut kaidah umum (qiyas), puasa
orang ini batal karena ia telah memasukkkan sesuatu kedalm kerongkongannya dan
tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hokum ini dikecualikan oleh hadist Rasullullah SAW,
yang mengatakan:
Artinya: “Siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena
hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya”. (H.R.Tirmidhi)
b. Istihsan bi al-Ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma’). Misalnya
adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian
umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air
yang ia pakai. Akan tetapi, apabila
hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para
ulama’ sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum,
sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
c. Istihsan bi al-qiyas al-khafy
(Istihsan berdasarkan qiyas tersembunyi). Misalnya, dalam masalah wakaf lahan
pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy
(qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah
menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab
itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk
mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk
dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-khafy (qiyas yang tersembunyi)
wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah
memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka
seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian itu atau hak
mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut, termasuk kedalam akad wakaf,
sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum
kedua (qiyas khafy), maka ia disebut
berdalil dengan istihsan.
a. Istihsan bi al-Maslahah (istihsan
berdasarkan kemaslahatan). Misalnya, ketentuan umum mnetapkan bahwa buruh di
suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk
pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka
hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam
memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh dan
sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk,
maka ulama’ Hanafiah menggunakan istihsan
dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap
produk pabrik itu, baik disengaja maupun ataupun tidak.
b.
Istihsan
bi al-‘Urfi (istihsan yang berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum).
Misalnya adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa
pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa
jumlah air yang ia pakai. Akan
tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh
sebab itu, para ulama’ sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa
pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang
terpakai.
c. Istihsan bi al-dharurah (istihsan yang
berdasarkan keadaan darurat). Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang
menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas.
Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah umum, sumur itu sulit untuk
dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur
yang sumbernya dari mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama’
Hanafiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis
tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur itu, karena
keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam
mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.[33]
c.
Kehujahan
Istihsan
Terdapat
perbedaan pendapat ulama’ ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hokum
syara’.
Menurut
ulama’ Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama’ Hanabilah, istihsan merupakan dalil
yang kuat dalam menetapkan hokum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.
Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan
dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185
Artinya: …..Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…
b. Rasullullah dalam riwayat Abdullah ibnu
Mas’ud mengatakan:
Artinya: Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga dihadapan Allah adalah baik. (H.R.Ahmad
ibnu Hambal).
c. Hasil penelitian dari berbagai
ayat dan hadist terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan
bahwa memberlakukan hokum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya
membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk
menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang
mujtahid dalam menetapkan hokum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak
tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat
memberikan hokum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. [34]
Sedangkan
menurut ulama’ Syafi’yyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Muktazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hokum syara’.[35]
Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi’i,adalah:
1) Hokum-hukum
syara’ ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an
dan al-Hadist) dan pemahaman terhadap nash
melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas, maka hal itu
berarti ada hokum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup olah nash dan tidak bisa dipahami dengan
kaidah qiyas. Hal itu tidak sejalan
dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah:36.
Artinya: ”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja (pertanggungjawaban).
2) istihsan
adalah upaya penetapan
hokum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh meninggalkan nash dan qiyas dan mengambil dalil lain, maka hal
ini berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas
menetapkan hokum berdasarkan istihsan,
karena juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan fatwa-fatwa hokum yang
didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian
terhadap nash.
3) Istihsan tidak mempunyai criteria dan
tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, tidak
bisa pula dipertanggungjawabkan secara syar’i
sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hokum.
4) Rasullullah SAW tidak pernah mengeluarkan
fatwanya berdasarkan istihsan. Ketika
seorang bertanya kepada Rasul tentang hukuman suami yang mengucapkan kata-kata
“engkau bagi saya seperti punggung ibuku (suatu ungkapan yang dinyatakan para
ulama’ fiqh sebagai zhihar )”, Rasul
tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu berdasarkan istihsan (sangkaan baiknya), tetapi ia diam saja sambil menunggu
turunnya ayat zhihar(Q.S.al-Mujadilah:
2-4). Menurut Imam Syafi’I, jika Rasullullah saja tidak mau menetapkan hokum
berdasarkan istihsan, maka
sewajarnya, bahkan wajib bagi umat Islam untuk tidak menetapkan hokum atas
dasar landasan istihsan. [36]
- Istishab
a.Pengertian Istishab
Menurut
bahasa, istishab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan
mendekatnya”.
Sedang menurut istilah ulama’ ushul fiqh diantaranya Imam
al-Ghazali, [37]
istishab adalah berpegang pada dalil atau syara’, bukan didasarkan karena tidak
mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian
cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hokum yang telah ada.
Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada
dalil lain yang mengubah hokum tersebut, maka hokum yang telah ada di masa
lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya. Selama tidak ada dalil lain yang
mengubah hokum itu.
Menurut Ibnu Hazm (384-456 H/994-1064 M) [38]
tokoh ushul fiqh Zahiriyah mendefinisikan istishab dengan: ”Berlakunya
hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau hadist)
sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut”.
Contohnya, seseorang membeli seekor
kuda pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut telah terlatih untuk berpacu
dan telah sering ikut pacuan. Akan tetapi, setelah dibeli, ternyata kuda
tersebut belum terlatih untuk berpacu dan belum pernah ikut pacuan. Dalam kasus
seperti ini, hokum yang ditetapkan hakim
adalah bahwa kuda tersebut memang belum terlatih untuk berpacu, karena pada
dasarnya seekor kuda belum terlatih berpacu, kecuali ada bukti-bukti yang menunjukkan
bahwa kuda itu telah sering ikut dalam pacuan.
b.Macam-macam Istishab
Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lain
diperselisihkan.[39] Kelima
tersebut adalah:
a. Istishab
hukm al-ibahah al-asliyah. Maksudnya, menetapkan hokum sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan
keharamannya. Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik
bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan
memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkkan bahwa hutan
itu telah menjadi milik seseorang. Dalam kaitan ini, alas an yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berdasarkan
firman Allah:
Artinya: Dia- lah yang telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi ini….(Q.S.
al-Baqarah: 29)
Menurut
ayat diatas, bahwa mencari rizki adalah hak setiap orang dan halal, selama
tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hokum boleh dan halal itu telah berubah.
Misalnya, apabila hutan yang tadinya bisa dimanfaatkan setiap orang,
berdasarkan keputusan pemerintah telah ditetapkan menjadi hak bagi orang
tertentu. Berdasarkan ketetapan
pemerintah ini, maka hokum kebolehan memanfaatkan hokum tersebut berubah menjadi
tidak boleh. Istishab seperti ini
menurut para ulama’ ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum.[40]
b. Istishab yang menurut akal dan syara’
hukumnya tetap dan berlangsung terus. Misalnya hokum wudlu seseorang yang telah
berwudlu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
Apabila seseorang merasa ragu apakah wudlunya masih ada atau telah batal, maka
berdasarkan istishab, wudlunya itu
dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya
wudlu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam
keadaan berwudlu.
c. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab
dengan nash selama tidak ada dalil yang membatalkannya (nasakh). Contohnya istishab dengan nash selama tidak ada yang me –naskh-kannya
adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183:
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelum kamu….
Kewajiban
berpuasa di bulan ramadhan, yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib
bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang
membatalkannya.
d. Istishab
hukum akal sampai datangnya hukum syar’i.
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan
hokum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan
hokum dan akibat hokumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil
syara’yang menentukan hokum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat)
orang lain (tergugat) bahwa ia berhutang kepada penggugat sejumlah uang, maka
penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya
tersebut. Apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia
dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat.
e. Istishab
hokum yang ditetapkan berdasarkan ijma’. Misalnya, para ulama’ fiqh menetapkan
berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk
mengerjakan shalat.apabila shalatnya selesai ia kerjakan, maka shalatnya
dinyatakan sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada
air, apakah shalatnya harus dibatalkan untuk kemudian berwudlu atau shalat itu
diteruskan. Menerut ijma’ para ulama’
bahwa shalat itu sah dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menggangap hokum
ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya
dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk
kemudian berwudlu dan menggulang kembali shalatnya. [41]
c. Dasar Hukum Istishab
a. Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam
menentukan hokum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya baik dalam
al-Qur’an, As-Sunnah, maupun ijma’. Ulama’ yamg masuk golongan ini adalah
Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama’
Hanafiyah serta ulama’ syi’ah.[43] Dalil
yang dijadikan mereka sebagai alasan, antara lain firma Allah SWT:
Artinya:”Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna melawan kebenaran. Sunguh, Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka kerjakan. (Q.S. Yunus: 36)
Berdasarkan pada prinsip di atas, ulama’ ushul fiqh menetapkan
kaidah-kaidah fiqh sebagai berikut:
Artinya:”pada
dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya.
Artinya: Apa yang diyakini adanya tidak hilang karena
adanya keraguan.
Artinya: Asal
hokum sesuatu itu adalah boleh.
b. Menolak istishab
sebagai pegangan dalam menetapkan hokum. Ulama’ golongan kedua ini kebanyakan
adalah ulama’ Mutalakilimin (ahli kalam). Menurutnya, istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hokum yang ditetapkan
pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hokum
yang sama pada masa sekarang dan yang akan dating, harus pula berdasarkan
dalil. Alas an mereka, mendasarkan hokum pada istishab, merupakan penetapan hokum tanpa dalil, namun untuk
memberlakukan hokum itu untuk masa yang akan dating diperlukan dalil lain.
Istishab menurut mereka bukan merupakan dalil.karenanya menetapkan hokum yang
ada di masa lampau berlangsung terus menerus untuk masa yang akan dating,
berarti menetapkan suatu hokum tanpa dalil. Hal ini tidak diperbolehkan
oleh syara’.[44]
5. Al-Mashalih Al-Mursalah
a.Pengertian Maslahatul Mursalah
Menurut
bahasa, maslahatul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Sedangkan
menurut istilah ulama’ ushul fiqh bahwa penetapan hokum berdasarkan pada
kemaslahatan yaitu manfaat bagi kehidupan manusia dan menolak kemadharatan
darinya, yang tidak ada ketentuannya dalam nash
baik yang membolehkan atau melarangnya.[45]
Contohnya
adalah seseorang mengadakan transaksi jual beli untuk dinyatakan dengan tidak
dicatat, tidak dapat dipakai dasar untuk dinyatakan bahwa jual beli itu tidak
sah berdasarkan kepada maslahah.
b.Kehujjahan
Maslahatul mursalah
Jumhur
ulama’ sepakat bahwa maslahatul mursalah dapat dijadikan sebagai sumber hokum.
Ulama’ Syafi’iyah membolehkan maslahatul mursalah sebagai dalil syar’I, apabila sesuai dengan dalil kully atau juz’iy dari
syara’. Sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah, menetapkan bahwa maslahah
mursalah itu sebagai dalil syara’
yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hokum.[46]
Alasan yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
1
a. Kemaslahatan manusia itu terus berkembang dan
bertambah mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan
–kemaslahatan yang sedang berkembang itu tidak diperhatikan, sedang yang
diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nashnya saja, niscaya banyaknya
kemaslahatan-kemaslahatan manusia yang terdapat di beberapa daerah dan masa
yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hokum dan syari’at sendiri tidak
dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Pada hal tujuan syari’at itu
adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan masa.
b.
Menurut penyelidikan bahwa hokum-hukum, putusan-putusan
dan peraturan-peraturan yang diciptakan oleh para shahabat, tabi’in dan
imam-imam mujtahidin adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Misalnya
kebijaksanaan yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan al-Qur’an dan
menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran, memerangi orang-orang
yang membangkang membayar zakat dan menunjuk Umar bin Khattab untuk menjadi
khalifah sesudah beliau.
c. Syarat-syarat Maslahatul Mursalah
Untuk
menjadikan maslahatul mursalah sebagai hujjah harus memenuhi 3 syarat.[47] Yaitui:
a.
Maslahat tersebut haruslah maslahat yang hakiki, bukan yang hanya berdasarkan
wahm (perkiraan) saja. Artinya bahwa membina hokum berdasarkan kemaslahatan itu
haruslah benar-benar dapat membawa manfaat
dan menolak kemadharatan
b. Kemaslahatan
itu hendaklah kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus untuk
perseorangan. Karena itu harus dapat
dimanfaatkan banyak orang atau dapat menolak kemadharatan yang menimpa kepada
orang banyak.
c. Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan
dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu tidak
dianggap suatu kemaslahatan mempersamakan anak laki-laki dan perempuan dalam
menerima warisan.
6. Al-‘Urf
a.Pengertian ‘Uruf
Secara bahasa, ‘uruf berarti “yang baik”. Sedang menurut istilah
syara’ adalah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan turun temurun
dan sudah menjadi adat-istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (amaly).[48]
Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan (‘uruf qauli) misalnya perkataan “walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak
laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak termasuk dalam perkataan itu.
Sedang contoh adat kebiasaan yang berupa perbuatan (‘amali) seperti jual beli (ba’i)
mu’athah yalni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran
atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab qabul, karena harga
barang tersebut sudah dimaklumi bersama.
Artinya: ”Sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa
ada hubungan rasional.
Definisi ini menunjukkan bahwa
apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hokum akal,
tidak dinamakan adat. Definisi ini juga mencakup persoalan yang amat luas,
tidak hanya pribadi, seperti kebiasaan makan, minum dan yang lain, yaitu yang
berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk. Sedang menurut pengertian ulama’ ushul fiqh,
‘uruf adalah:
Artinya: ”kebiasaan mayoritas kaum baik dalam
perkataan ataupun perbuatan.
Sedangkan menurut Mustofa Abu Zarqa’ (guru besar fiqih Islam di
Universitas ’Amman Yordania), [50]
bahwa ‘uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘uruf. Menurutnya
suatu ‘uruf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada
pribadi atau kelompok tertentu dan ‘uruf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana
yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman, seperti kebiasaan masyarakat tertentu yang menerapkan bahwa untuk
memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari mas
kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan
makanan.
b. Macam-macam ‘Uruf
Secara garis besarnya para ulama’ ushul fiqh membagi ‘uruf kepada dua macam:
a. ‘Uruf
Shahih, adalah kebiasaan
yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa kemadharatan kepada mereka.
Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. Atas dasar itulah para
ulama’ ushul fiqh membuat qaidah ‘al-‘adatul
muhakkamah (Adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai
hukum).
b. Al-‘Uruf
Fasidah, adalah kebiasaan
yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’, misalnya, kebiasaan yang berlaku
di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara
sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar 10 juta rupiah dalam tempo satu
bulan, harus dibayar sebanyak 11 juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan
perhitungan bunga sebesar 10 %.dilihat dari segi keuntungan yang diraih
peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan
yang diraih dari 10 juta rupiah tersebutmungkin melebihi bungannya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah
kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena
pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan. Karena
praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah,
yang dikenal dengan sebutan riba
al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang).[51]
c. Syarat-syarat ‘Uruf:
a.
‘Uruf itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun
yang bersifat perbuatan dan ucapan),
berlaku secara umum. Artinya, ‘uruf itu
berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
b.
‘Uruf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang
akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya ‘uruf yang akan dijadikan sandaran hokum itu lebh dahulu ada sebelum
kasus yang akan ditetapkan hukumnya.dalam kaitan ini terdapat kaidah ushulliyah
yang menyatakan:
Artinya: ‘uruf yang datang kemudian
tidak dapat dijadikan sandaran hokum terhadap kasus yang lama.
c. ‘uruf
itu tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi
apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus
dilakukan, seperti dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan
penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli ke
rumahnya. Sekalipun ‘uruf menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan
diantarkan pedagang ke rumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas
mereka telah sepakat bahwa pembeli aan membawa barang tersebut sendiri ke
rumahnya, maka ‘uruf itu tidak berlaku lagi.
d. ‘uruf
itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hokum yang
dikandung nash itu tidak diterapkan. ‘uruf seperti ini tidak dapat
dijadikan dalil syara’, Karena kehujjahan ‘uruf
bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hokum permasalahan
yang dihadapi. [52]
d. Kehujjahan ‘Uruf
Para
ulama’ ushul fiqh sepakat bahwa ‘uruf
shahih, yaitu ‘uruf yang tidak
bertentangan dengan syara’, baik yang
menyangkut ‘uruf ‘am dan ‘uruf khash, maupun yang berkaitan
dengan ‘uruf al-lafdhi dan ‘uruf al-‘amali ,dapat dijadikan hujjah
dalam menetapkan hokum syara’.
Seorang
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-Qarafi (ahli fiqh
Maliki),[53] harus
terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat,
sehingga hokum yang ditetapkan itutidak bertentangan atau menghilangkan
kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Sedangkan Menurut Imam
al-Syatibi (ahli ushul fiqh Maliki) dan Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah (ahli
ushul fiqh Hambali), [54] menerima
dan menjadikan ‘uruf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum,
apabila tidak ada nash yang
menjelaskan hokum suatu masalahyang dihadapi. Misalnya, seorang yang
menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam
kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum syari’at Islam dalam
suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah
berlaku luas di tengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama’ madzhab
mengangap sah akad ini. Alas an mereka adalah ‘uruf al- ‘amali yang berlaku.
Para ulama’ juga sepakat menyatakan
bahwa ketika ayat-ayat al-ur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang
mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya,
kebolehan jual beli yang sudah ada dalam Islam. Dari berbagai contoh diatas,
para ulama’ ushul fiqh merumuskan kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘uruf, yaitu al-‘adat al-muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi
hukum). [55]
- Syar’u
Man Qablana
a) Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man Qablana ( ) berarti syari’at
sebelum agama Islam. Maksudnya, ajaran agama yang datangnya sebelum ajaran
Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Ibrahim dan lain-lain. [56]
Para ulama’ ushul fiqh sepakat
menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui
para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Mereka juga
sepakat bahwa pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara
menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hokum-hukum syari’at sebelum Islam
yang masih berlaku dalam syari’at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman
bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishas
dan hukuman bagi tindak pidana pencurian dan pelaksanaan khitan bagi orang laki-laki.
Secara garis besarnya syari’at
sebelum Muhammad (umat Islam) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Apa yang disyari’atkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita umat Nabi
Muhammad SAW, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti
puasa seprti firman Allah SWT:
Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atasorang-orang yang (umat)sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S.
al-Baqarah: 183).
b. Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak
disyari’atkan kepada kita. Misalnya yang disyari’atkan kepada Nabi Musa,
seperti “Dosa orang jahat ini tidak akan terhapus selain mmebunuh dirinya
sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidakakan suci kecuali harus dipotong
bagian yang terkena najis tersebut.
Terhadap syari’at jenis kedua ini para ulama’ sepakat untuk ditinggalkan,
karena syari’at kita telah menghapuskannya.
c.
Apa yang
disyari’atkan terdahulu itu dikisahkan dalam al-Qur’an, akan tetapi tidak
dinyatakan secara jelas oleh syari’at Nabi Muhammad SAW bahwa syari’at
terdahulu itu wajib diikuti umat Islam atau tidak. Para
ulama terjadi perbedaan pendapat.
Menurut
Jumhur ulama’ baik ulama’ Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah,[57]
menetapkan bahwa hokum tersebut harus dipakai, sebab hokum tersebut telah
diberikan kepada umat sekarang dengan kisahnya. Sementara sebagian yang lain
tidak mewajibkan mengamalkannya. Sebab jika wajib, maka tentunya perintah
tersebut akan dicantumkan secara jelas. Contohnya adalah qishas penyiksan
semisal memotong jari orang harus dibalas dengan memotong jari pemotong.
Begitulah dalam syari’at kitab Taurat sebagaimana yang digambarkan dalam QS
al-Maidah ayat 45.
- Syaddu
Dzari’ah
a.Pengertian Saddu Al-Dzari’ah
Menurut
bahasa, dzari’ah ( ) berarti “jalan yang
menuju kepada sesuatu”. Imam al-Syatibi mendefinisikan saddu al-Dzari’ah dengan: [58]
Artinya: “
Melaksanakan suatu pekerjaan ang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju
kepada suatu kemafsadatan.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya
dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan
dicapai berahir pada suatu kemafsadatan.
Contohnya, adalah dalam masalah zakat. Sebelum
waktu haul (batas waktu perhitungan
zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang, seseorang yang memiliki
sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian hartanya kepada
anaknya, sehingga berkurang nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban
zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan
oleh syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong.
Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari
kewajiban yaitu membayar zakat, maka perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini
didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnat menggugurkan zakat yang
hukumnya wajib.
b.Macam-macam Sadd al-Dzari’ah
a. Sadd al-Dzari’ah dilihat dari segi
kualitas kemafsadatannya. Imam al-Syatibi mengeukakan bahwa dari segi kualitas
kemafsadatannya, sadd al-dzari’ah terbagi kepada empat macam:[59]
1. Perbuatan yang dilakukan itu membawa
kemafsadatan secara pasti (qath’i). misalnya,
seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan
pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatan perbuatan ini dapat
dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk
kemafsadatan perbuatan ini dapat dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah
tidak mengetahuinya adanya sumur di depan pintu rumahnya. Perbuatan seperti ini
dilarang dan jika ternyata pemilik rumah jatuh ke sumur tersebut, maka penggali
lubang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk
mencelakakan orang lain.
2. perbuatan yang dilakukan itu boleh
dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual sejenis
makanan yang biasanya tidak memberi madarat kepada orang yang memakannya.
perbuatan seperti hukumnya mubah, karena yang dilarang itu adalah apabila
diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan.
3. perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau
besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual anggur kepada
produsen minuman keras. Penjualan seperti ini dilarang, karena dugaan keras (dzann al-ghalib) bahwa perbuatan itu
membawa kepada kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan
larangan terhadap perbuatan itu.
4.
perbuatan
itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi
memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemaslahatan. Misalnya,
kasus jual beli yang disebut bay’u al-‘ajal. Jual beli seperti cenderung berimplikasi pada
riba.
b. Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang
ditimbulkannya. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah,[60]
dzari’ah
dari segi ini terbagi kepada:
a. Perbuatan itu membawa kepada suatu
kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk
itu suatu kemafsadatan.
b. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang
dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu
perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja, misalnya, seseorang
yang menikahi seorang wanita yang dithalak tiga suaminya dengan tujuan agar
suami pertama wanita itu bisa menikahinya kembali (nikah al-tahlil).
c. Kehujjahan
Sadd al-Dzari’ah
Terdapat perbedaan pendapat ulama’ terhadap
keberadaan saddu al-dzari’ah ini
sebagai sumber hukum:
- Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah [61] menyatakan bahwa saddu al-dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah:
Artinya: Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan….
Al-Qurthubi, seorang ulama’ madzhab
Maliki menyatakan: “Sesungguhnya
apa-apa yang dapat mendorong kepada perkara yang dilarang (maksiat) ada kalanya
secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”. Yang pasti
menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk saddu al-dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat
wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang
termasuk saddu al-dzari’ah.
Guna
menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya
mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan
maksiat.
- Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Syi’ah [62] bahwa saddu al-dzariah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hokum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW mengatakan:
Artinya: “Tinggalkanlah
apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan.”(HR. Bukhori
Muslim)
- Madzhab
Shahabi
a.Pengertian Mazhab Shahabi
Yang
dimaksud MazhabShahabi ( ) berarti “pendapat para shahabat
Rasullullah SAW, yang berupa pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang
dinukil oleh para ulama’, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum (ijtihad), baik ijtihad yang disepakati
(ijma’) maupun ijtihad yang tidak
disepakati.
Masalah
mazhab shahabat ini muncul, karena
para tabi’in dan tabi’ut tabi’in banyak yang membukukan dan meriwayatkan fatwa
shahabat secara teratur, sehingga menyamai pembukuan hadist-hadist. Sebagai
contoh adalah perkataan Aisyah RA:
Artinya: “kandungan itu tidak berdiam diri dalam
perut ibunya lebih dari dua tahun”.
Menurut keterangan Aisyah ini bahwa waktu
mengandung maksimal ialah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini
tidaklah semata-mata hasil ijtihad atau penyelidikian yang dilakukan oleh
Aisyah ra. Dengan demikian keterangan ini adalah bersumber dari apa yang telah
didengarnya dari Rasullullah SAW., meskipun secara lahiriyah pendapat ini
diungkapkan oleh Aisyah ra. Lalu muncul pertanyaan, “Siapa yang disebut
Shahabat” ? Menurut ulama’ para
ulama’ ushul fiqh, adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasullullah SAW, dan
beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang
panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan
khusus dengan Rasullullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai
shahabat”. [63]
b.Kehujjahan Mazhab Shahabi
Persoalan
yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ adalah pendapat
para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah bisa menjadi hujjah
bagi generasi sesudahnya?
Menurut
Ulama’ Hanafiah, Imam Malik, Qaul Qadim
Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hambal, menyatakan bahwa
pendapat shahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat
bertentangan dengan qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan. Hal ini
didasarkan pada hadist Nabi SAW:
Artinya: Hendaklah kamu berpegang
teguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudah saya……(H.R.
Abu Daud dan Ahmad ibnu Hambal).
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hambal, sabda Rasullullah SAW. ,
itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah
para shahabat.
Sedangkan
sebagian ulama’ Syafi’iyah, jumhur al-Asy’ariah, Mu’tazilah dan Syi’ah
mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hokum, karena ijtihad mereka sama dengan ijtihad ulama’ lainnya yang
tidak wajib diikuti mujtahid lain. [64]
BAB III
Metode Istimbath
Kata istimbath bila dihubungkan
dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyuni (w.770 H)
ahli bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik hukum dari Al-Qur’an dan
Sunnah dengan jalan ijtihad.
Ayat-ayat al-Qur’an dalam menunjukkan
pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak
tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud
hukumnya. Disamping itu terdapat satu pula perbenturan antara satu dalil
dengan dalil lainnya yang memerlukan penyelesaian. Ushul fiqh menyajikan
berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah.
Secara garis besar, metode Istimbath
dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasan, segi maqasid
Syari’ah, (tujuan penetapan hukum), dan segi penyelesaian beberapa dalil
yang bertentangan. (ta’arud al-dalilah).
A. Amr ( )
Seorang mujtahid dituntut harus
benar-benar memahami nash (Al-Qur’an
dan Hadist). Berbagai bentuk ungkapan hokum dari ayat Al-Qur’an dan hadist
harus dikuasainya. Bentuk paling umum dari hokum adalah perintah dan larangan.
Adakalanya juga berbentuk kebolehan, dalam arti tidak diperintahkan dan tidak
pula dilarang.
Dalam ilmu ushul fiqh, perintah
disebut amr, sementara larangan
disebut nahi. Bermacam cara
yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan suatu amr (perintah). Demikian juga tidak sedikit ungkapan yang
dipakai Al-Qur’an untuk menunjukkan nahi (larangan). Misalnya, untuk
menunjukkkan amr, Al-Qur’an kadang hanya memberi janji kepada pelaku suatu
perbuatan. Untuk menunjukkan suatu nahi, Al-Qur’an juga mencukupkan diri dengan
menunjukkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu perbuatan.
Pada dasarnya, suatu perintah
menunjukkan hokum wajib dan suatu larangan menunjukkan hukum haram. Namun
demikian, dalam banyak kasus kaidah ini tidak berlaku. Sebabnya adalah
keberadaan konteks yang menyertai teks. Hasilnya, suatu perintah kadang kala
hanya menunjukkan pengharaman.
Untuk menentukan makna hokum dari
suatu teks, seorang mujtahid tidak hanya dituntut menguasai gramatika bahasa
Al-Qur’an. Ia mestinya juga menguasai kerangka tujuan-tujuan Syari’ah (maqasid
al-Syari’ah). Nah, untuk mengetahui beberapa hal terkait dengan perintah dan
larangan dalam hokum Islam, baiklah kalian menyimak uraian berikut.
1. Pengertian Amr
Menurut bahasa amr berarti suruhan, perintah. Sedang menurut istilah ialah:
Artinya: Suatu lafald yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya
kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu
pekerjaan yang tidak boleh ditolak.[65]
2.Bentuk-bentuk Amr
Lafald yang menunjukkan kepada
perintah sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian di atas dinyatakan dalam
beberapa bentuk, yaitu:
a.
Fi’il Amr, seperti:
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan….”.(al-Nisa’: 4) .
b.
Fi’il Mudhori’, yang diawali
seperti:
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan umat ……(Al-Imron: 104)
c. Isim Fi’il Amr, seperti:
“……Jagalah dirimu……(al-Maidah:105)
d. Masdar pengganti
Fi’il, seperti:
“dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”.
(al-baqarah: 83)
e. Jumlah Khabariyah/kalimat berita, seperti:
“Wanita-wanita yang dithalak hendaklah
menahan diri ( menunggu) tiga kali quru’(al-Baqarah: 83)
f.Kata-kata yang
mengandung makna perintah, seperti ( )
dan sebagai jawab syarat, dan sebagainya. Di bawah ini akan dikemukakan
contoh-contohnya:
Menggunakan kata faradha:
“Sesungguhnya kami telah
mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka”.
(al-Ahyab: 50)
Menggunakan kata kutiba:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa…”(al-Baqarah:183)
Menggunakan kata amara:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk
menyampaikan amanah…..”.
Sebagai jawab syarat:
Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau
karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat….(al-Baqarah: 196).
3)Kaidah-kaidah Amr
Yang dimaksud dengan kaida-kaidah amr ini ialah ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mujtahid dalam mengistimbatkan hokum. Ulama’ Ushul
merumuskan kaidah-kaidah amr dalam lima bentuk, yaitu:
Kaidah pertama:
Artinya:
Pada dasarnya amr (perintah) itu
menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali
dengan adanya qarinah, antara lain seperti berikut ini.
Maksud dari kaidah tersebut adalah
bahwa mengerjakan suatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah
wajib diperbuat atau dilaksanakan. Akan tetapi dalam perkembangannya, amr itu bisa dimaksudkan bukan
wajib,antara lain seperti berikut ini:
a. Nadb ( ) anjuran (sunnat), seperti:
“Hendaklah
kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada
mereka”. (al-Nur:33)
b.
Irsyad ( ), membimbing atau
memberi petunjuk, seperti:
“Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli…..(al-Baqarah:282).
Amr dalam bentuk irsyad ini berbeda dengan yang
berbentuk nadb. Dengan nadb diharapkan mendapat pahala, sedang irsyad untuk
kemaslahatan serta kebaikan yang berkaitan dengan adat istiadat dan sopan
santun.
c. Ibahah ( ), boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan, seperti:
“Makan
dan minumlah….(al-Baqarah: 60).
d. Tahdid ( ) mengancam, atau menghardik,
seperti:
“Perbuatlah
apa yang kamu kehendaki….(al-Fusilat: 40).
e. Taskhir ( ), menghina atau merendahkan
derajat, seperti:
“Jadilah
kamu kera yang hina”.(al-Baqarah:65).
f. Ta’jiz ( ), menunjukkan kelemahan
lawan bicara, seperti:
“Buatlah
satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an…(al-Baqarah:23).
g. Taswiyah ( ), sama antara
dikerjakan dan tidak, seperti:
“Masuklah
kamu kedalamnya (rasakanlah panas apinya), maka baik kamu bersabar atau tidak,
sama saja bagimu”.(al-Thur:16)
h. Takzib ( ), mendustakan, seperti:
“Katakanlah:“Tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.(al-Baqarah: 111)
i.
Talhif ( ), membuat
sedih atau merana, seperti:
“Matilah
kamu karena kemarahanmu itu….(al-Imron:119).
j.
Do’a ( ), permohonan,
seperti:
“Wahai
Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu…..(al-Kahfi:10)
Kaidah Kedua :
Artinya: Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan.
Maksud
dari kaidah ini adalah apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang,
kemudian datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah
wajib tetapi bersifat membolehkan, seperti firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:
Artinya:
“Apabila shalat (jum’at) telah dilaksanakan, maka bertebaranlah di muka Bumi
dan carilah karunia (rezeki) Allah”.(al-Jumu’ah:10)
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa setelah selesai melaksanakan shalat Jum’at
diperbolehkan melakukan suatu pekerjaan, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat
lain Allah menyuruh meningggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila panggilan
shalat telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9 sebagai berikut:
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil untuk melaksanakan shalat
pada hari jum’at, maka bersegeralah kepada menggingat Allah dan tinggalkan jual
beli” (al-Jumu’ah:9).
Dengan
demikian, perintah bertebaran di muka Bumi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat
10 tidak bersifat wajib, tetapi hanya dibolehkan.
Kaidah Ketiga:
Artinya:
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”.
Misalnya tentang haji, seperti firman
Allah dalam surat Al-Hajj 27:
Artinya:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.(al-Hajj:27) Dalam
hadist Nabi SAW dinyatakan:
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan ) haji, maka berhajilah kamu”.
Namun
demikian, para Ulama’ sepakat bahwa perintah melaksanakan sesuatu yang
berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dikerjakan di luar waktu, tanpa
sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya berdosa.
Kaidah Keempat:
Artinya: ”Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki
penggulangan (berkali-kali mengerjakan perintah)”.
Misalnya
perintah menunaikan ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup. Namun bila
perintah itu dimaksudkan penggulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah
atau kalimat yang menunjukkan kepada penggulangan. Menurut Ulama’
qarinah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
a. Perintah itu dihubungkan dengan syarat,
seperti wajib mandi setiap junub.
Artinya: “Jika kamu berjunub, maka mandilah”.(QS. Al-Maidah:6)
b.
Perintah
itu dihubungkan dengan illat, dengan
kaidah:
Artinya: “Hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak
adanya illat”.
Seperti hokum rajam sebab melakukan zina. Lihat
surat An-Nur
ayat 2:
Artinya:”Wanita dan laki-laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali”.
c. Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau
keadaan yang berlaku sebagai illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk
waktu:
Artinya: “Kerjakanlah shalat dari sesudah Matahari
tergelincir sampai gelapnya malam”.(al-Isra’:78)
Dengan
demikian jelas, bahwa berulangnya kewajibannya itu dihubungkan dengan
berulangnya sebab. Dalam kaitannya dengan masalah ini Ulama’ menetapkan kaidah.
Kaidah Kelima:
Artinya: Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala
wasilahnya”.
Maksud
kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud
tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan
yang diperintah itu. Seperti kewajiban mengerjakan shalat. Shalat ini tidak
dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat
berarti juga perintah bersuci. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Ulama’
menetapkan kaidah:
Artinya: “Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya,
maka perkara itu wajib pula”.
B. Nahi ( )
Menurut bahasa ( )
berarti larangan. Sedang menurut istilah :
Artinya: “Larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang
yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
1.
Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada “nahi”
(larangan) itu ada beberapa bentuk:
a)
Fi’il Mudhori’ ( ) yang disertai
dengan la nahiyah ( ), seperti:
Artinya: “Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi”.(al-Baqarah:11)
b) Lafald –lafald yang memberi pengertian
haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
Artinya: “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(al-Baqarah:285)
2.
Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah Pertama
Menurut
Jumhur:
Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”
Seperti :
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina”.(al-Isra’:32)
Alasan yang dipakai oleh jumhur:
1. Akal dapat memahami bahwa sighat (bentuk) nahi itu menunjukkan
arti yang sebenarnya, yaitu melarang.
2. Ulama’ salaf memahami sighat nahi yang bebas dari qarinah menunjukkan larangan.
Sebagian Ulama’ berpendapat:
Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh”.
Menurut mereka bahwa nahi menunjukkan bahwa sesuatu
yang dilarang itu adalah tidak baik. Karena itu, ia tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah
pengertian yang pasti.
Sighat nahi selain menunjukkan haram, sesuai dengan
qarinahnya, juga menunjukkan beberapa arti, antara lain sebagai berikut:
1. Karohah, (
) seperti:
Artinya: “Jangan shalat di tempat (berlututnya) unta”.
2. Do’a
( ) seperti:
Artinya: “Wahai Tuhanku: “Janganlah
menyiksa kami ketika kami dalam keadaan lupa…..(al-Baqarah: 286)
3. Irsyad ( ) memberi petunjuk,
mengarahkan seperti:
Artinya: “Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu.
4. Tahqir (
), menghina, seperti:
Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu
menunjukkan pandanganmu kepada ”.(al-Hajr: 88)
5. Bayan al-Aqibah ( ), seperti:
Artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati.(al-Imron: 169)
6. Ta’yis ( ), menunjukkan putus
asa, seperti:
Artinya: “Janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini”.(al-Tahrim: 7)
7. Tahdid
( ), seperti :
Kaidah Kedua:
Artinya: “Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.
Seperti: ( ) artinya: “Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Larangan mempersekutukan Allah
berarti perintah mentauhidkannya.
Kaidah Ketiga:
Artinya: “Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan
dalam setiap waktu”.
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti
waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang
dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu,
maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti:
Artinya: “Janganlah kamu
mempersekutukan Allah”.
Larangan
itu mempersekutukan Allah berarti perintah mentauhidkan-Nya.
Kaidah Ketiga:
Artinya: “Pada dasarnya larangan yang
mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”.
Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti
waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang
dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu,
maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti:
Artinya: “Janganlah engkau shalat
sedang kamu dalam keadaan mabuk”.(al-Nisa’: 43)
Kaidah Keempat:
Artinya: “Pada dasarnya larangan itu
menghendaki fasad(kerusakan) secara mutlak”.
Rasullullah SAW bersabda:
Artinya: “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.
Dengan demikian, tetapi perkara yang dilarang berarti
tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diperintahkan tertolak, dan tertolak
berarti batal (tidak sah, fasad) hukumnya.
C.
‘Am dan Khas ( )
1.
‘Am dan Kaidahnya
Secara bahasa, ‘am berarti yang umum, merata dan menyeluruh. Sedangkan
menurut istilah, ‘am sebagaimana dikemukakan
oleh Abdul Hamid Hakim adalah:
Artinya: “ Amm adalah lafald yang
menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam
lafald itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.
Contoh ‘amm adalah kata ( ) yang artinya manusia.
Di sini, arti manusia mencakup segala jenis manusia tanpa memperdulikan usia,
jenis kelamin, kedudukan, dan segala embel-embel yang melekat pada manusia.
Anak-anak dan orang tua, laki-laki dan perempuan, majikan dan buruh, guru dan
siswa, semuanya masuk dalam kategori manusia.
2. Macam-macam
Lafald ‘Amm
a.lafald-lafald
yang mengandung arti umum seperti lafald: ( ). Contoh:
b. Lafald yang berbentuk isim
syarat yakni yang bersifat ada balasan, antara lain seperti lafald : man, ma dan aina. (
). Contoh:
c. Lafald yang berbentuk isim istifham, artinya suatu kata Tanya,
baik dengan lafald man, ma atau aina( ). Contoh:
d. lafald yang nakirah (bersifat umum) yang didahului
oleh nafi.
Contoh:
e. lafald yang berbentuk isim mausul, artinya isim yang digunakan
untuk kalimat sambung. Antara lain lafald alladzi, alladzina, allati, atau allaati ( ).
Contoh:
f. lafald ayyu artinya “Kapan saja”
( ). Contoh:
g. lafald yang berbentuk ta’rif
idhafah, artinya isim yang ma’rifah dengan jalan idhafah. Contoh:
Sedangkan secara bahasa, Khass adalah(
), lafald
yang menunjukkan satu makna tertentu, makna satu tertentu tersebut biasa
menunjukkan perorangan seperti Muhammad atau menunjukkan satu jenis seperti
laki-laki atau menunjukkan bilangan seperti dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan,
sekelompok, dan sebagainya.
E. Khash dan Mukhosish (
)
1. Pengertian
Khash dan Mukhosish
Kata Khash adalah isim fa’il yang mengandung arti khusus atau mengkhususkan atau menentukan.
Dalam
istilah ilmu ushul fiqh yang dimaksud dengan khash adalah:
Artinya: “Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa
batas”. [66]
Contoh: Lafald ( ) artinya seorang laki-laki.
Dalam hal ini terbatas pada seorang
saja. ( ) artinya orang laki-laki. Dalam hal
ini terbatas pada dua orang saja. Demikian seterusnya.
Adapun yang dimaksud dengan takhsish dalam ilmu ushul fiqh adalah:
Artinya: “Mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut
ukuran ketika tidak terdapat mukhosish”.
Maka lebih jelasnya mukhosish adalah dalil yang
mengkhususkan suatu dalil umum.
2. Pembagian Mukhossish (Dalil yang Mengkhususkan)
a. Mukhassish
Muttasil (mukhassish yang bersambung) yaitu
apabila makna suatu dalil berhubungan erat atau bergantung pada kalimat umum
sebelumnya. Sebagai contoh misalnya orang berkata: “dia sendiri tidak menjaga kebersihan”. Perkataan tersebut tidak
mungkin ada, bila tidak didahului oleh kalimat sebelumnya. Yakni erat
hubungannya dengan kalimat yang sebelumnya.
Mukhassish
muttasil dibagi menjadi lima, yaitu:
1) Pengecualian (istisna’). Contoh firman Allah SWT:
Yang dikhususkan
dalam ayat di atas adalah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh.
2) Syarat. Contoh firman Allah:
Di dalam ayat
tersebut dikatakan lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam
masa iddah, tapi dengan syarat bila
kembalinya itu dengan maksud islah (memperbaiki
hubungan).
3) Sifat. Contoh firman Allah:
Sifat yang menghususkan dalam ayat tersebut adalah sifat mukmin, yakni yang dimerdekakan
itu harus atau dikhususkan pada hamba yang mukmin.
4)
Kesudahan. Contoh firman Allah:
Lafald “hatta” dalam ayat di atas menghususkan
bahwa bolehnya didekati apabila telah suci.
5) Sebagian ganti
keseluruhan. Contoh firman Allah SWT:
Lafald “( )” dan sesudahnya pada ayat tersebut di atas
menghususkan keumuman sebelumnya, artinya sebagian orang yang mampu mengganti
keumuman wajibnya manusia untuk haji.
b.
Mukhassish Munfasil (mukhassish yang terputus), yaitu dalil yang umm
atau makna dalil yang umum dengan dalil atau makna dalil yang menghususkannya.
Masing-masing berdiri sendiri, yang tidak berkumpul tapi terpisah.
1) Kitab ditahsis dengan kitab. Yaitu dalil umum dan yang
menghususkannya sama-sama dalam Al-Qur’an. Contoh firman Allah:
Ayat di atas masih umum, termasuk wanita hamil. Maka
datang ayat lain yang menghususkannya, yaitu:
2) Kitab ditahsish dengan sunnah. Contoh:
Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang
kafir. Kemudian datang hadist yang
menghususkannya, yaitu:
Artinya: “Tidak boleh mewarisi
seorang muslim pada seorang kafir, an tidak boleh( juga) orang kafir pada orang
muslim”. (Muttafaq Alaihi)
3) Sunnah ditakhsish dengan kitab. Contoh:
Artinya: “Allah tidak menerima shalat
salah seorang di antara kamu bila masih berhadas hingga berwudlu”. (HR. Bukhori
Muslim)
Hadist di atas
bersifat umum, yaitu termasuk dalam keadaan tak dapat memperoleh air. Kemudian
dikhususkan oleh ayat sebagai berikut:
4) Sunnah ditakhsish dengan sunnah. Contoh:
Artinya: “Tanaman yang dengan siraman
hujan (zakatnya) adalah sepersepuluh”. (HR. Bukhori Muslim).
Hadist di atas
ditakhsish oleh hadist berikut:
Artinya: “Tidak wajib zakat (tanaman)
yangkurang lima wasaq”. (HR. Bukhori Muslim)
5) Mentakhsish
dengan qiyas. Contoh:
Artinya: “menunda-nunda pembayaran
bagi orang yang mampu halal dilanggar kehormatanya dan boleh dihukum”. (HR.Ahmad)
Hadist di atas
masih bersifat umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran/utang
padahal ia mampu boleh dilanggar kehormatannya (dipaksa). Hadist tersebut
ditakhsish, yakni tidak termasuk orang tua (ibu/ayah), dengan jalan
mengqiyaskan kepada ayat yang tidak boleh berkata “ ( )” pada orang tua.
F. Mutlaq dan Muqoyyad ( )
Suatu ketika, ayah , ibu, atau kakak
kalian mungkin pernah meminta kalian membelikan sesuatu. Misalnya, ayah kalian
berkata, “Tolong belikan buah-buahan. Jika kalian lantas pergi ke Pasar atau
Toko dan membeli belimbing, jeruk, dan apel, dan sebagainya yang termasuk buah,
tanpa jelas buah apa yang ia kehendaki.
Lain halnya jika ayah kalian
berkata, “Tolong belikan buah anggur”, sementara kalian membeli buah nanas dan
apel. Jika hal ini terjadi, kalian telah melakukan kesalahan, karena
jelas-jelas ayah kalian berkata buah anggur.
Contoh di atas adalah persoalan
ketidakjelasan dan kejelasan makna kata. Dalam kehidupan sehari-hari, kalian
bisa jadi sering menjumpai kasus seperti di atas. Kata-kta terlalu umum,
maknanya dalam terminologi Ushul Fiqh dapat digolongkan ke dalam lafald ‘amm dan mutlaq. Di sisi lain, kalian
pun sering menjumpai kata-kata yang artinya sudah jelas dan spesifik. Kata-kata
seperti ini dapat digolongkan ke dalam khass
dan muqoyyad.
Pernyataan yang terlalu umum tentu
akan menyulitkan pendengar atau pembaca mencari maksud sesungguhnya. Karena
itu, dibutuhkan kata lain yang bisa mengkhususkannya. Nah, supaya lebih jelas,
perhatikan uraian berikut:
1. Pengertian
Mutlaq dan Muqoyyad
Menurut bahasa Mutlak berarti tidak
terkait. Menurut istilah Ulama’ ushul
fiqh, mutlak ialah:
Artinya: “Suatu lafald tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafald yang
menggurangi keumumannya”.
Contohnya: lafald roqobah dalam ayat ( ) Jadi lafald
“raqabah” adalah mutlak. Sedangkan Muqoyyad menurut bahasa berarti terikat.
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, Muqoyyad ialah “Suatu lafald tertentu yang dibatasi oleh batasan, lafald lain yang
menggurangi keumumannya”. [67]
Contohnya: lafald “raqabah”
dalam ayat (Fatahriru roqobah) Jadi lafald raqabah dalam ayat ini adalah
muqayyad sebab dibatasi oleh lafald mukminah (raqabah mukminah).
2. Hukum Lafald Mutlak dan Muqoyyad
Nash yang mutlak hendaknya tetap dipegang sesuai
dengan sifat mutlaknya itu, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqoyyad harus
dipegang sesuai dengan sifat muqoyyadnya itu.
Apabila dalam suatu nash khitab datang bersifat mutlak
tetapi dalam nash lain bersifat muqoyyad,
maka ada beberapa kemungkinan menurut para ulama’:
a. jika persoalan dan hokum dalam nash itu sama rata keadaan mutlak dan
muqoyyad terdapat pada hokum, maka harus berpegang kepada yang muqoyyad.
Seperti ada seorang sahabat yang bersetubuh dengan istrinya siang hari pada
bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada Nabi. Ia berkata:
( )
mendengar kata-kata itu (dalam suatu riwayat), Nabi bersabda:
artinya: “Merdekakanlah budak sahaya, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau
berilah makan enam puluh orang fakir miskin”.
Namun
dalam riwayat lain Nabi bersabda:
Artinya:
“Apakah engkau sanggup berpuasa selama
dua bulan berturut-turut”.
Dalam hadist pertama tidak disebutkan
lafald : ( ) berturut-turut, berarti muqoyyad
sedang dalam hadist kedua disebutkan, berarti mutlak. Maka yang dijadikan
pegangan adalah hadist kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut.
b.
Jika
persoalan hokum kedua nash itu sama
serta dalam keadaan mutlak dan muqoyyad terdapat pada sebab hokum, maka harus
berpegang kepada muqoyyad. Seperti dalam suatu hadist:
Artinya: “Pada lima ekor wajib zakat”.
Sedang pada riwayat
lain dikatakan :
Artinya: “Pada lima ekor unta yang diternakan wajib
zakat”.
Maka yang dijadikan pegangan adalah hadist yang kedua
(muqoyyad), yaitu lima
ekor unta yang diternakan wajib zakat.
c. Jika
persoalannya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut jumhur Ulama’ Syafi’iyah
wajib berpegang yang muqoyyad. Seperti
mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zihar. Mengenai kifarat
pembunuhan tersalah, Allah berfirman:
Artinya: “Bagi siapa yang membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) dia memerdekakan hamba sahaya yang beriman…..”.(An-Nisa’:92)
Sedang mengenai kifarat zihar, Allah
berfirman:
Artinya: “Maka
hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya
bercampur…….”.(Al-Mujadalah: 3)
Masalah yang ada dalam dua ayat
tersebut berbeda, yaitu pada ayat pertama mengenai pembunuhan tersalah sedang
pada ayat kedua tentang zihar. Hokum terhadap kedua sama yaitu memerdekakan
hamba sahaya. Namun yang pertama disebutkan hamba sahaya. Karenanya, yang
dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya beriman, baik atas
pembunuhan tersalah maupun zihar.
d.
Jika persoalan sama dan hokum berbeda, maka menurut
Jumhur Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah harus berpegang kepada yang muqoyyad.
Sedang menurut Malikiyyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada yang muqoyyad
kepada masing-masing. Yaitu yang mutlak harus mutlak dan yang muqoyyad harus
miqayyad. Misalnya mengenai bersuci (dengan tayammum dan wudlu).
Artinya: “Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku…” (Al-Maidah:6).
Artinya: “Usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah
itu….”. (Al-Maidah: 6).
Batas membasuh atau mengusap dalam dua ayat di atas berbeda.
Untuk wudlu sampai siku-siku (muqoyyad) sedang untuk tayammum tidak ada batasan
(mutlak). Karena itu, menurut jumhur Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah yang harus
dipegang adalah sampai batas siku-siku (muqoyyad) dan untuk tayammum cukup
mengusap sampai pergelangan tangan (mutlak).
e.
Jika persoalan berbeda dan hukumnya berbeda, maka yang
harus dijadikan pegangan adalah masing-masing, yang mutlak sesuai dengan
mutlaknya dan yang muqoyyad sesuai dengan muqoyyadnya. Misalnya kifarat
pembunuhan tersalah dan kifarat sumpah. Dalam kifarat pembunuhan tersalah
dinyatakan:
Artinya: “Bagi siapa yang tidak memperoleh (hamaba sahaya), maka hendaklah ia
berpuasa dua bulan berturut-turut”. (Al-Nisa’: 92).
Artinya: “Bagi siapa yang tidak memperoleh hamba sahaya maka hendaklah dia
berpuasa tiga hari.”(Al-Maidah: 89).
Persoalan dan hokum dalam dua ayat di atas
berbeda. Karena itu, hendaknya dijalankan sesuai dengan persoalan dan hokum
masing-masing.
G. Mantuq dan Mafhum (
)
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum ( )
Menurut bahasa Mantuq berarti sesuatu yang
ditunjukkan oleh lafald ketika diucapkan. Secara istilah dilalah manthuq ialah:
Dilalah Manthuq adalah . Contohnya:
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (al-Baqarah: 275).
Lafald ayat ini secara jelas
menunjukkan, bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram.
Sedangkan mafhum menurut bahasa berarti
“pengertian”, dan menurut istilah:
Artinya: “Pengertian suatu
lafald, bukan arti harfiah dari yang diucapkan”. Contohnya:
Artinya: “Janganlah engkau katakana kepada keduanya (ibu dan bapakmu) perkataan
“us”….(Al-Isra’: 23).
Secara mantuq ayat ini mengharamkan mengucapkan “ah” kepada orang tua,
namun mafhumnya haram menunjukkan haram memukul mereka. Haramnya memukul orang
tua tidak ditunjukkan oleh lafald ayat ini, tetapi ditunjukkan oleh mafhum
ayat.
Dengan demikian, mantuq berarti
arti yang tersurat sedang mafhum adalah tersirat.
a) Macam-macam Mantuq
Mantuq dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Mantuq
Nash, yaitu lafald yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti selain
arti harfiyahnya.
Seperti : ( ) (maka
hendaklah berpuasa tiga hari).
b. Mantuq Zihar yaitu suatu lafald yang
memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiahnya.
Seperti:(
) (Tangan Allah di atas tangan manusia)
Menurutnya zahirnya kata “ (
)” berati tangan, tetapi mustahil Allah bertangan, maka ditakwilkan
kepada arti “kekuasaan” .
b) Macam-macam Mafhum
Mafhum dapat dibagi menjadi:
- Mafhum Muwafaqat, yaitu sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) hukumnya sama dengan apa yang diucapkan. Contohnya: Minum-minuman keras itu memabukkan. Khamar (arak) itu memabukkan dan dia diharamkan.karena itu hokum minuman keras itu sama dengan hokum khamr, yaitu haram. Mafhum muwafaqat ada dua macam, yaitu:
a)
Fahwal Khitab
(
), yaitu yang tidak diucapkan (mafhum)lebih utama hukumnya dari pada
yang diucapkan. Seperti memukul ibu bapak itu hokumnya haram, sebab mengucapkan
“ah/us” saja (lebih ringan dari memukul) juga haram apalagi memukul.
b)
Lahnul Khitab
( ),
yaitu yang tdak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim
ituharam, sebab memakannya juga haram. Keduanya sama-sama merusak harta
mereka.
2. Mafhum Mukhalafah ( ), yaitu yang
tidak diucapkan itu berlainan hukumnya maupun meniadakannya. Mafhum mukhalafah
, terdiri:
a)
Mafhum sifat
( ), yaitu
berlakunya kebalikan, hokum sesuatu yang disertai dengan sifat apabila sifatnya
itu tidak menyertainya. Seperti firman Allah surat An-Nisa’:25.
Artinya:” Bagi siapa diantara kamu
(orang merdeka) yang tidak cukup perjalannanya untuk menikahi wanita merdeka,
suci lagi beriman, maka dia boleh menikahi wanita yang beriman dari hamba-hamba
sahaya yang kamu miliki.
Mafhum dari boleh menikahi wanita hamba sahaya yang “beriman” adalah tidak boleh menikahi wanita hamba
sahaya yang kafir.
b)
Mafhum Syarat
( ),
yaitu berlakunya hokum sesuatu yang dikaitkan dengan syarat, apabila syarat itu
tidak terdapat padanya. Seperti firman Allah dalam surat An-Nisa’:4
Artinya: “Jika mereka dengan senang
hati menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu, maka makanlah (ambilah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Persyaratan halalnya bagi
suami memakan sebagian dari maskawin istrinya dengan penyerahan secara senang
hati, mafhumnya jika istri itu tidak menyerahkannya dengan senang hati, maka
haram atas suami memakannya.
c)
Mafhum Ghayah
( ), yaitu
berlakunya hokum yang disebut sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan
hokum nilai tersebut terlampaui. Seperti firman Allah surat Al-Baqarah:187
Artinya:”Dan makan minumlah hingga
terang abgimu benang putih dari benag hitam, yaitu fajar….
Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan
sampai terbit fajar. Mafhumnya haram makan dan minum setelah terbut
fajar.
d) Mafhum Hasr ( ),
yaitu hokum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar
batas tersebut. Yang di luar batas
berarti berlaku hokum kebalikannya. Seperti sabda Nabi:
Artinya: “Riba itu hanya pada nasi’ah”
Dengan demikian, selain pada nasi’ah tidak ada riba.
e) Mafhum Laqab ( ), yaitu dari
nama yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ali, Amin, berbentuk nama
jenis, seperti emas, padi dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku hokum kebalikannya. Seperti hadist Nabi yang
menerangkan tentang barang-barang yang mengandung riba:
Artinya: “(Menukar) emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair
dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah) yang serupa
(sifatnya)sama (jumlahnya) suka sama suka.”
Bila penukaran barang yang
sejenis, seperti dalam hadist tersebut dengan tidak sama jumlah hukumnya riba,
maka mafhumnya selain enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.
c) Berhujjah dengan Mafhum
Para Ulama’ sepakat membolehkan
berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Sedang berhujjah dengan mafhum mukhalafah,
para Ulama’ berbeda pendapat. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah dengan
mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab. Sedang Ulama’ Hanafiah, Ibnu Hazm dan golongan Zahiriyah
berpendapat bahwa mafhum mukhalafah tidak
dapat dijadikan hujjah.
Jumhur
membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah dengan syarat:
a) Mafhum mukhlafah itu tidak bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqat.
b)
Sesuatu yang
disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan suatu keadaan. Seperti
firman Allah dalam surat
An-Nahl: 14
Artinya: “Dan Dialah Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang
segar”.
Mafhum mukholafahnya yang disebutkan itu
tidak menjadi hujjah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 187
Artinya: “(Tetapi janganlah kamu
campuri mereka isteri-isteri, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Mafhumnya boleh mencampuri istri bila
tidak beri’tikaf di masjid tidakmenjadi
hujjah.
c) Sesuatu yang disebutkan itu bukan sesuatu
yang biasa terjadi, seperti firman Allah dalam surat An-Nisa’: 23
d) Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam
rangkaian dengan sesuatu yang lain, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 187. Ayat ini tidak mengandung mafhum mukholafah bahwa bagi orang yang
beri’tikaf bukan di masjid boleh bersetubuh
dengan istrinya.
H. Mujmal dan Mubayan ( )
1. Pengertian Mujmal dan Mubayan
Yang dimaksud dengan pengertian mujmal ialah:
Artinya
: “Lafald yang sighatnya tidak ( jelas)
menunjukkan apa yang dimaksud”.
Sedang
mubayan ialah:
Artinya: “Lafald yang sighatnya (jelas) menunjukkan
apa yang dimaksud”. Lafald mujmal dapat terjadi pada :
a) Lafald
mufrad, baik yang berbentuk isim, fi’il maupun huruf. Yang berbentuk isim, seperti lafald ( ) bisa berarti suci dan haid. Yang
berbentuk fi’il, seperti lafald ( ) bisa berarti datang dan
pergi. Yang berbentuk huruf, seperti ( ) bisa untuk ‘ataf dan awal kalimat.
b) Susunan kalimat, seperti firman Allah
dalam surat Al-Baqarah: 237
Artinya: “Atau dimaafkan oleh orang yang memegang
ikatan nikah ….”
Yang dimaksud dengan (
) dalam ayat tersebut belum jelas, apakah wali atau suami.
Dengan
demikian, lafald mujmal itu masih memerlukan penjelasan (bayan), sehingga dapat
diketahui maksudnya secara jelas. Selama dalam keadaan mujmal, maka hukumnya
ditangguhkan sampai ada bayan (penjelasan).
- Tingkat Bayan
Yang dimaksud dengan bayan ialah menjelaskan status yang
samar sehingga menjadi jelas.
a)
Bayan dengan
kata-kata (
) disebut juga sebagai bayan penguat. Misalnya dalam firman
Allah, surat
Al-Baqarah: 196
Artinya: “Maka wajib (puasa) tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang
sempurna”.
Kata-kata
(
) menguatkan kata ( ) dan
(
) yang ditegaskan sebelumnya.
b) Bayan dengan perbuatan ( ), seperti sabda Nabi
(
) menguatkan pelaksanaan shalat yang dilakukan Nabi.
c) Bayan dengan Syarat ( ), seperti
penjelasan Nabi tentang keharaman emas dan perak bagi laki-laki. Beliau
bersabda:
Artinya: “Sesungguhnya dua (barang)
ini haram atas umatku yang laki-laki”.
d) Bayan dengan meninggalkan ( ),
seperti hadist riwayat Ibnu Hibban berikut ini.
Artinya: “Yang terakhir dari dua
perkara dari Nabi SAW. Adalah tidak
mengambil wudlu karena memakan sesuatu yang dimasak”.
e) Bayan dengan diam setelah ada
pertanyaan ( )
seperti kisah ‘Uwaimir al-jailany tatkala bertanya kepada rasul tentang
istrinya yang kelihatannya berbuat serong, maka rasul diam tidak memberi
jawaban. Hal ini menunjukkan tidak ada hokum li’an. Setelah turun ayat li’an Nabi bersabda kepada ‘Uwaimir:
Artinya: “Sesungguhnya telah
diturunkan (ayat) Al-Qur’an mengenai kamu dan istrimu, dan Nabi menjalankan
li’an antara keduanya.”
3. Penangguhan
Bayan
Setiap lafald “Am, Mutlak, Mujmal,
Majas, dan Musytarak memerlukan penjelasan. Namun penjelasan tidak mesti
segera datang atau ditangguhkan. Penangguhan itu ada dua, yaitu:
a.
Penangguhan penjelasan dari waktu dibutuhkan ( ),
mengenai masalah ini, para Ulama’ sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat
dari waktu diperlukan. Karena penangguhan berarti membolehkan mengamalkan
sesuatu yang masih mujmal. Seperti hadist riwayat Siti ‘Aisyah mengenai kedatangan Fatimah binti Abu Hubais
kepada Nabi seraya bertanya, “Hai Rasullullah, saya perempuan yang berpenyakit
istihadhah. Sebab itu saya tidak pernah suci, apakah saya boleh meninggalkan
sholat? Nabi menjawab:
Artinya: “Tidak, itu hanya semacam cairan dan bukan haid, maka apabila datang
haid tinggalkan shalat dan apabila (haid)telah berlalu, maka basuhlah darah itu
dari dirimu dan laksanakanlah shalat.
Hadist
ini menjelaskan tentang tidak wajibnya bersuci bagi wanita niscaya rasul
memberikan penjelasan di waktu itu juga, karena pada waktu itulah penjelasan
diperlukan.
b. Penangguhan
penjelasan dari waktu khitab ( ), artinya bahwa pada
turunnya perintah belum ada penjelasan pelaksanaannya datang kemudian dengan
dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi dan selanjutnya oleh Nabi kepada umatnya. Penangguhan penjelasan seperti ini menurut
Jumhur Ulama’ fiqh dan Mutakallimin hukumnya boleh.
I. Muradif dan Mustarak ( )
1. Pengertian Muradif dan Mustarak
Yang dimaksud dengan muradif (sinonim) ialah (
) artinya: “Beberapa lafald menunjukkan satu arti” , seperti lafald
( ) dan ( ) , artinya singa.
Sedang mustarak ialah: (
) artinya: “satu lafald yang menunjukkan dua makna atau lebih”. Seperti
lafald ( ) bisa berarti bersuci
dan haid, dan al-maula juga mem hitam.
2. Hukum Muradif
Para Ulama’ berbeda pendapat, apakah
dua lafald atau lebih yang mempunyai arti sama dapat dipertukarkan dalam
pemakaiannya atau tidak.
Mengenai masalah ini para ulama’
berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Namun pendapat yang
kuat membolehkan selama tidak ada halangan syara’. Kebolehan ini pun
terbataskepada selain lafald-lafald al-Qur’an. Sebab al-Qur’an adalah firman
Allah yang bersifat mukjizat yang tidak boleh ditukar ataupun diganti.
- Hukum
Musytarak
Para
Ulama’, termasuk Imam Syafi’I, Qadhi Abu Bakar dan Al-Juba’i berpendapat bahwa
pemakaian lafald musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh. Alasan
mereka adalah firman Allah:
Artinya: “Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada
di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung,
pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak diantara manusia? (QS. Al Hajj:
18)
Lafald
sujud dalam ayat di atas mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki, yaitu tunduk
dan meletakkan dahi dibumi. Bagi
mahluk yang tidak berakal, seperti bulan, matahari, bintang, arti sujud adalah
tunduk. Sedang bagi manusia adalah meletakkan dahi di atas bumi. Bila arti
sujud bagi manusia adalah tunduk, maka Allah tidak mengakhiri firman-Nya dengan
(
) sebab arti tunduk mencakup semua manusia seperti halnya mencakup semua
mahluk tidak berakal.
Karena itu pula Imam Syafi’i
mengartikan kata mulamasah dalam
firman Allah (
) dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh
secara bersama-sama.
J.
Zahir dan Takwil ( )
1. Pengertian
Zihar dan Takwil
Yang
dimaksud dengan dhahir ialah suatu lafald yang jelas dalalahnya menunjukkan
kepada suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain di luar lafald itu. Seperti firman Allah dalam surat
Al-Baqarah: 275.
Artinya: “……..Allah telah menghalalkan jual belidan
mengharamkan riba..”.
Ayat ini
secara zahir menunjukkan halalnya jual beli dan haramnya riba.
Sedang takwil ialah mengalihkan
lafald dari makna zahirnya kepada makna yang mungkin baginya berdasarkan dalil,
baik berupa nash, qiyas, ijma’ maupun prinsip-prinsip umum bagi pembinaan
hokum, sehingga menjadi jelas. Seperti kata “( )” yaitu tangan “disamping mempunyai
makna asal, yaitu “tangan” juga ada
kemungkinan makna yang lain, yaitu “kekuasaan”.
2. Syarat-syarat Ta’wil
a.
Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash
(Al-Qur’an dan Hadist), qiyas maupun jiwa syari’ah dan dasar-dasarnya yang
umum.
b. bila
dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qiyas jail) dan bukan khafi.
c.
Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syari’at.
3. Hal-hal yang dapat Menerima Ta’wil
Jumhur
Ulama’ sepakat bahwa masalah-masalah furu’ dapat menerima ta’wil. Sedang
masalah-masalah Ushul atau aqidah, seperti soal sifat Tuhan, kepercayaan dan
pokok-pokok agama, mereka berbeda pendapat.
a. Golongan Musyabbihah
berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut tidak perlu dita’wilkan, karena
maknanya sudah jelas dan berlaku menurut zhahir.
b. Golongan Ulama’ Salaf
menyatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah menerima ta’wil, tetapi
ta’wilnya diserahkan kepada Allah.
c. Golongan Ulama’ Khalaf berpendapat bahwa masalah-masalah
tersebut menerima ta’wil.
Diantara contoh masalah aqidah
yang diperselisihkan para ulama’ adalah firman Allah:
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. (QS. Al-Fath: 10)
Menurut golongan pertama (musyabbihah),
bahwa Allah mempunyai tangan seperti tangan kita. Mereka menggangap Allah
mempunyai tubuh. Pendapat ini jelas salah sebab mereka mempersamakan Allah
dengan mahluknya.
Menurut golongan kedua (ulama’
salaf), bahwa apa yang dimaksud dengan kata ( ) yaitu tangan, dalam ayat tersebut
terserah kepada Allah sebab manusia tidak mungkin mampu menjangkau zat Allah.
Dalam hadist dinyatakan, “Berfikirlah
kalian tentang mahluk Allahdan jangan berfikir mengenai zat-Nya, sebab kalian
tidak mungkin mampu menjangkaunya”.
Menurut golongan ketiga (ulama’ khalaf),
bahwa yang dimaksud dengan tangan dalam ayat di atas adalah kekuasaan Allah,
sebab mustahil Allah mempunyai tangan atau bertubuh. Oleh karena itu, dalam
mengartikan kata ( ) dengan
kekuasaan. Dan ini paling sesuai dengan ke –Maha sucian Allah dari sifat –sifat
penyeruapaan dengan makhluk-Nya. Sebaliknya, bila ( ) diartikan dengan tangan berarti
menyerupakan Allah dengan mahluk.
BAB IV
HUKUM SYARA’
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah
salah satu dari beerapa obyek kajian ushul fiqh. bahkan tujuan utama dari studi
ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari
sumber-sumbernya. Oleh karena itu, begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam
kajian ini, maka lebih dahulu dijelaskan hakekat hukum syara’ itu
sendiri serta berbagai macamnya.
istilah hukum syara’ bermakna hukum
yang digali dari syari’at Islam. berbicara tentang hukum syara’
melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya,
seperti pembicaraan tentang Hakim (pembuat hukum), al-Mahkum fih
(perbuatan manusia), dan mahkum ‘alaihi (mukalaf).
A.Hukum Syara’
Menurut pengertian para ulama’ ushul
fiqh bahwa hukum secara bahasa adalah al-man’u yakni “mencegah” atau
“memutuskan”. Sedangkan menurut
istilah, hokum ialah:
Artinya:“ Khitab (perintah) Allah atau sabda Nabi mengenai segala pekerjaan
mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal) baik perintah itu mengandung
tuntutan, suruhan, larangan ataupun semata-mata menerangkan kebolehan, atau
menjadikan sesuatu sebab, atau syarat, atau penghalang terhadap sesuatu hokum.”
Kitab Allah yang dimaksud
dalam definisi tersebut ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam
nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan
suara. kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakekat hukum syara’.
kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafdzi,
yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat
al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi
Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur’an populer dikenal dengan dalil-dalil
hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi
Allah. oleh karena yang dapat dijangkau oleh kalam lafdhi Allah
dalam bentuk ayat-ayat al-Qur’an, maka populer dikalangan ahli ushul fiqh bahwa
yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang
mengatur amal perbuatan manusia.
Mayoritas
ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa kalimat “tuntutan Allah Ta’ala” tersebut
maksudnya adalah Al-Qur’an.Dalam Al-Qur’an itu telah mencakup Sunnah dan ijma’.
Dengan demikian, apa yang dimaksud Al-Amidi, telah tercakup pada kalimat
“tuntutan Allah Ta’ala” dalam definisi jumhur ulama’ ushul fiqh di atas. Para
ulama’ ushul fiqh menetapkan bahwa sumber hukum tersebut adalah Al-Qur’an,
Sunnah, ijma’ dan Qiyas. namun demikian, para ulama’ kontemporer seperti Abdul
Wahab Khallaf, dan Ali Hasballah [68]
menyatakan bahwa sumber hukum yang sebenarnya hanyalah Al-Qur’an dan Hadist,
sedangkan Ijma’ dan Qiyas hanyalah dihasilkan dari bentukan Ijma’
dan Hadist yang sumber hukumnya berasal dari Al-Qur’an dan hadist.
Dari
kalimat “perbuatan mukallaf”, para ahli ushul fiqh selanjutnya mengatakan bahwa
yang dibebani hukum adalah orang yang telah baligh dan berakal sehat. Sikap dan
tingkah laku orang-orang yang seperti inilah yang dibebani hukum. Oleh karena
itu orang yang gila, anak kecil, orang yang berbuat karena keadaan terpaksa dan
orang yang lupa, hal ini tidak dikenai dengan pembebanan hukum. “Orang
mukallaf” dalam definisi tersebut termasuk dalam kategori ithlaq al-amm wa iradah al khusus artinya pemakaian
lafald itu adalah untuk orang banyak, tetapi yang dituju sebenarnya adalah
setiap orang yang telah baligh dan berakal.
Selanjutnya,
terdapat pendapat ulama’ ushul fiqh dan ulama’ fiqhdalam mengartikan hukum. menurut
ulama’ fiqh, hukum adalah “akibat yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan)
Syari’ berupa wujub, mandhub, hurmah, karahah dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka
disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Akan tetapi, ulama’ ushul fiqh
mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syari’ itu sendiri,
yaitu dalil al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya firman Allah SWT:
Dirikanlah Sholat dan tunaikan zakat.
Teks ayat ini, menurut ahli ushul fiqh, disebut dengan ijab,
akibat yang ditimbulkan dalil disebut dengan wujub, dan perbuatan yang
dituntut disebut dengan wajib.Akan tetapi, ulama’ ushul fiqh tidak
membedakan dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil, karena itu keduanya
mereka sebut dengan wujub, dan perbuatan itu sendiri mereka sebut dengan
wajib.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan
oleh para Ulama ushul fiqh di atas bahwa hukum itu tidak hanya satu jenis saja atau penetapan terkadang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf. Oleh karenanya, para ulama’ ushul fiqh membagi hukum kepada
dua bagian, yaitu taklifi dan wadhi.[69]
B.Pembagian Hukum Syara’
1. Hukum Taklifi
a. Pengertian
hokum Taklifi
Menurut Jumhur ulama’ Ushul Fiqh,
pengertian hukum taklifi
adalah:
Artinya:Ketentuan-ketentuan Syari’ (Allah dan Nabi) yang berhubungan
langsung dengan perbuatan orang mukallaf baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk
melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi
kebebasan memilih antara melakukan atau meninggalkan.”[70]
Oleh para Ulama’ Ushul fiqh pengertian”hukum
taklifi”sering dikenal dengan hukum yang berhubungan dengan pemberian
beban. Misalnya:
a. Khitab
yang mengandung tuntutan untuk
dikerjakan oleh para mukallaf:
Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka…….(QS.At-Taubah:103)
Artinya:“Dan (diantara) kewajiban
manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah…..(QS.Ali
Imran:97)
b) Misalnya juga khitab yang
mengandung tuntutan untuk ditinggalkan
ialah:
Artinya:”Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan
yang disembelih dengan nama selain Allah.......(al-Maidah:3)
c) Juga khitab yang mengandung pilihan antara dikerjakan dengan
ditinggalkan ialah:
Artinya:”Apabila telah selesai
sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.......(al-Jum’ah:10)
B.Macam-Macam
hokum taklifi
Para Ulama’ Ushul Fiqh telah
menyelidiki dengan seksama, mereka telah sepakat bahwa hokum-hukum agama atau
hukum taklifi dibagi menjadi lima
macam,[71] yaitu:
a) Ijab. Yang disebut ijab ialah khitab Syari’ yang menuntut agar
dilakukan suatu perbuatan denagn tuntutan yang pasti. Dampak dari khitab ini
disebut wajib, yaitu hokum yang mengandung suruhan untuk dikerjakan. Seperti
firman Allah SWT:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu semuanya berpuasa seperti
halnya umat-umat sebelum kamu supaya
kamu semuanya menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Baqarah: 184)
Adapun
dampak dari ijab tersebut dinamakan wujub,
sedangkan pekerjaan yang dikenai hukum dinamai wajib artinya tuntutan Tuhan yang harus dilaksanakan orang
mukallaf, di mana orang yang melaksanakannya mendapat pahala dan orang yang
meninggalkannya mendapat siksa.
b)
Nadab. Ialah khitab Syari’ yang menuntut agar
dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan.
Umpamanya, firman Allah SWT:
Artinya: “Apabila
kamu berhutang untuk hutang pada waktu ketika yang telah ditentukan, maka
tulislah”.(QS.al-Baqarah: 282)
Adapun dampak dari nadab
tersebut ialah perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan secara sukarela itu
disebut sunnat atau mandub. sedangkan pekerjaan yang dikenai hokum
dinamai nadab artinya tuntutan Tuhan
yang bersifat hanya suruhan artinya tidak ada unsur paksaan bagi orang
mukallaf, dimana orang yang melaksanakan perbuatan mendapatkan pahala dan orang
yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa.
c)
Tahrim Ialah khitab Syari’ yang menuntut untuk
ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Dampak dari khitab tersebut dinamai hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan
disebut haram atau mahzhur. Contohnya
firman Allah:
Artinya: “Janganlah
kamu mengucapkan kepada kedua orang tuamu dengan kata “ufh”(QS.Al-Isra’:23)
Ulama’ Hanafiah berpendapat, jika larangan itu
berdasarkan dengan dalil qath’i, disebut tahrim sedangkan jika berdasarkan
dalil zhanni disebut karahah tahrim.
Misalnya larangan sembahyang dalam keadaan mabuk (hilang ingatan) adalah haram
hukumnya jika dikerjakan, karena tuntutan untuk meninggalkan sembahyang
tersebut berdasarkan dalil qath’i, yakni firman Allah:
Artinya: “hai orang-orang yang, jangan kamu
bersembahyang, sedang kamu dalam keadaan mabuk.. beriman.........(al-Nisa’:43).
d) Karahah Ialah khitab
Syari’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tidak tegas agar ditinggalkan. Dampak dari khitab
ini disebut karahah dan perbuatan
yang dituntut untuk ditinggalkannya disebut makruh. Karahah ini oleh ulama’
Hanafiah dinamakan karahah tanzih.. Contohnya:
Artinya: “Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang
pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli. (QS. Al-Maidah: 9).
Hukum serupa
diatas dinamai karahah, dan pekerjaan
yang dikenai hokum dinamakan makruh
artinya suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah untuk ditinggalkan oleh
orang mukallaf. Jadi tidak merupakan suatu keharusan untuk meninggalkannya.
Orang yang meninggalkan makruh akan mendapat pahala, sedangkan yang
melakukannya tidak akan mendapatkan siksa.
e)
Ibahah (membolehkan), yaitu khitab Syari’
yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan dan
meninggalkannya, atau hokum yang mengandung kebolehan untuk memilih antara
melakukan atau meninggalkan. Contohnya firman Allah:
Artinya: “apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebarlah di muka bumi, dan carilah karunia
Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”. (QS.
Al-Jumu’ah: 10)
2.Hukum Wadh’i
a. Pengertian hukum Wadh’i
Para
ulama’ ushul fiqh memberikan definisi hukum wadh’I ialah:
Hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan
syari’ yang mengatur tentang sebab,
syarat atau penghalang (mani’)
sesuatu, atau hokum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang (mani’) (sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Contohnya adanya sebab
sesuatu, ialah firman Allah:
Artinya:”Hai
orang-orang yang beriman, bila kamu hendak shalat, maka cucilah mukamu dan
tangan-tanganmu sampai siku........... (al-Maidah: 6)
Dari pengertian ayat di atas adalah kemauan menjalankan
shalat adalah menjadi sebab kewajiban wudhu’.
b. Macam-macam hukum wadh’i
Para
Ulama’ Ushul Fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu dibagi menjadi enam macam, [72]
yaitu:
1.Sebab ( ) yaitu sifat yang nyata dan
dapat diukur yang dijelaskan oleh nash
(al-Qur’an dan Sunnah) bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hokum syara’.
Artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hokum, dan
hilangnya sebab menyebabkan hilangnya
hokum. Misalnya, perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100
kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, dan
terbenamnya matahari menjadi sebab shalat magrib. Dengan demikian terllihat keterkaitan antara
hokum wadh’idalam hal ini adalah
sebab, dengan hokum taklifi, sekalipun
keberadaan hokum wadh’i iu tidak menyentuh esensi hokum taklifi. Akan tetapi, para
ulama’ ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
2. Syarat ( ) yaitu sesuatu yang berada di
luar hokum syara’, tetapi keberadaan hokum syara’ tergantung kepadanya, apabila
syarat tidak ada, maka hokum pun tidak ada. Tetapi adanya tidak mengharuskan
adanya hokum syara’. Oleh sebab itu, suatu hokum taklifi tidak dapat ditetapkan syara’. Misalnya, wudhu adalah salah
satu syarat sah sholat. Sholat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu. Akan tetapi, apabila seorang berwudhu,
maka tidak mesti ia harus melaksanakan shalat.
3.Penghalang/Mani’ ( )
yaitu sifat yang nyata keberadaannya menyebabkan tidak ada hokum atau tidak ada
sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebakan
terciptanya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat, maka istri
dan anak mendapatkan pemabagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat,
sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi terhalang
apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang tersebut.
4.Sah ( ) yaitu suatu hokum yang sesuai
dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya
mengerjakan shalat dhuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah
berwudhu (syarat), dan tidak halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak
haid, nifas dan sebagainya).dalam contoh di atasitu, apabila sebab tidak ada
dan syarat tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’-nya tidak ada.
5.Batal
( ) yaitu terlepasnya hokum
syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hokum yang
ditimbulkannya. Misalnya,
memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras
tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. Jumhur ulama’ ushul fiqih/
mutakalimin berpendirian bahwa antara batal
dan fasid adalah dua istilah
denganpengertian yang sama, yaitu sama-sama tidak sah.
6) ’Azimah (hukum asli) dan ruhshah/kemurahan ( ). Azimah adalah hokum-hukum yang disyari’atkan
Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hokum sebelum
hokum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf
wajib mengikutinya. Imam al-Baidhawi (ahli Ushul Fiqh Syafi’iyah), mengatakan
bahwa ‘azimah itu adalah hokum yang
ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan karena ada uzur. Misalnya
jumlah rakaat shalat dhuhur adalah empat rakaat. Jumlah ini telah ditetapkan
Allah sejak semula, dimana sebelumnya tidak ada hokum lain yang menetapkan
jumlah rakaat shalat dhuhur. Apabilaada dalil lain yang menunjukkan bahwa
orang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat dhuhur dua rakaat, seperti orang
musafir, maka hokum itu disebut dengan ruhshah.
Dengan demikian, para ulama’ ushul fiqh mendefinisikan ruhshah dengan hokum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada
karena ada uzur.
2.Unsur-unsur Hukum Islam
A. Hakim
Pengertian Hakim
B. Mahkum Fih ( )
1.
Pengertian Mahkum fih
Para ulama’ ushul fiqh menyatakan
bahwa mahkum fih adalah obyek hokum,
yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah Syari’ (Allah dan Rasul), yaitu bersifat
tuntutan mengerjakan, meninggalkan, atau memilih suatu pekerjaan, yang bersifat
syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhshah, sah dan serta batal.
Seluruh perintah Syari’ ada obyeknya. Obyeknya itu adalah
perbuatan orang mukallaf. Terhadap perbuatan mukallaf ini ditetapkan suatu
hokum. Misalnya firman Allah:
Artinya: “Dirikanlah olehmu shalat…..(QS. Al-Baqarah:
43.
2.
Syarat-syarat Mahkum fih
Para Ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan
beberapa syarat sahnya suatu mahkum fih, yaitu:
a.
Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan,
sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dandapat ia lakukan. Seorang
mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, melainkan setelah mengetahui
secara baik hokum Allah yang terkait dengan perbuatan tersebut. Karenanya
mukallaf tidak mendapat pahala dan siksa. Pengetahuan mukallaf terhadap hokum
perbuatan itu harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan
tata cara melaksanakan peruatan tersebut. Oleh sebab itu, menurut para ahli
ushul fiqh, nash (ayat atau hadist)
yang bersifat mujmal (global) tidak
bisa menjadi dasar taklif sampai ada
penjelasannya. Misalnya perintah shalat dalam ayat diatas, bagi seorang mukallaf baru dapat melaksanakan tuntutan untuk melaksanakan shalat
itu apabila rukun, syarat dan tata cara mengerjakannya telah dia ketahui.
b.
Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif hukum suatu perbuatan yang ia laksanakan, sehingga
pelaksanaanya merupakan ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Tujuan mukallaf
daam melaksanakan perintah itu sejalan dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. Dalam hal ini
kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui kemampuan akalnya.oleh sebab
itu, anak kecil, orang gila, orang yang baru masuk Islam tidak dituntut
melakukan taklif yang belum
diketahuinya, karena mereka belum atau tidak mampu membahas dan meneliti hokum
itu dengan baik. Disamping itu para ulama’ ushul fiqh tidak mensyaratkan bahwa
setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hokum beserta
dalilnya, karena hal ini akan menyulitkan orang mukallaf tersebut dengan alas
an karena keberatan untuk melaksanakan hokum tersebut.
b.
Perbuatan
itu mungkin akan ditinggalkan ataupun dikerjakan oleh mukallaf. Sebagai contoh
menggantikan puasa orang lain.Sebagian ulama’ Syafi’iyyah dan Imam Ahmad bn
Hambal membolehkan seseorang menggantikan puasa orang lain. Alasan
mereka adalah sebuah hadist yang mengatakan :
Artinya: “ Siapa
yang wafat dan ia berhutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa
itu. (H.R.al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad bin Hambal).
C. Mahkum
‘Alaih (
)
1. Pengertian Mahkum ‘Alaih.
Menurut
para ulama’ ushul fiqh bahwa mahkum alaih
adalah seseorang yang perbuatannya berhubungan dengan hokum syara’. Dan orang yang dikenai (khitab) Allah tersebut disebut dengan mukallaf.
Secara bahasa mukallaf berarti yang dibebani hokum. Dalam istilah ushul fiqh
mukallaf disebut juga mahkum alaihi (subyek
hokum). Orang mukallaf adalah orang yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hokum
mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Maka, apabila ia mengerjakan perintah
Allah maka ia mendapatkan pahala, dan apabila ia meninggalkan perintah Allah,
maka ia mendapatkan resiko berupa dosa.
2. Dasar Taklif
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hokum) sebelum ia
cakap untuk bertindak hokum. Para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan dasar
pembebanan hokum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru
bisa dibebani hokum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan
demikian orang yang tidak tahu dan belum berakal, seperti orang gila, anak
kecil maka tidak dapat dikenakan taklif.
Hal ini sejalan dengan hadist Nabi SAW:
Artinya: “
Diangkatkan pembebanan hokum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia
bangun, anak kecil samapai ia baligh (dewasa), dan orang gila samapai ia
sembuh. (H.R.. al-Bukhori)
3. Syarat-syarat Taklif.
e. orang
itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan
syara’) baik yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadist, baik langsung
maupun tidak langsung, yaitu melalui orang lain, karena seseorang yang
melakukan suatu pekerjaan, disuruh atau dilarang tergantung pada pemahamannya
terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab
syari’. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk
memahami khitab syari’ tidak mungkin
untuk melaksanakan taklif.
- Seseorang harus cakap bertindak hokum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyyah ( ). Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hokum, maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, orang gila yang belum sembuh, anak kecil yang belum dewasa, maka tidak dapat dibebani hokum karena kecakapan hukumnya hilang.
BAB V
KEDUDUKAN IJTIHAD,
ITTIBA’, TALFIQ, DAN TAQLID
1. Kedudukan Ijtihad Dalam Hukum Islam
a. Pengertian Ijtihad
Ijtihad
berasal dari (
) yang berarti upaya atau usaha. Menurut pengertian Ulama’ Ushul Fiqh
ijtihad adalah:
Artinya:
“mencurahkan daya yang spesifik dari
dalil-dalil syari’.
Sedangkan menurut al-Syairozi adalah
:
Artinya: “Menghabiskan kekuatan
kemampuan dan mencurahkan daya upaya untuk memperoleh/menemukan hokum syari’.
Dari
definisi yang diberikan al-Syairozi di atas bahwa hukum Islam hanya bisa
diperoleh atau ditemukan dari dalil-dalil syari’. Lebih lanjut al-Syairozi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dalil-dalil syari’ adalah hukum Islam yang
menjadi sumber hokum utama selain nash
(al-Qur’an dan al-Hadist), akan tetapi
hokum Islam yang lain seperti Ijma’, Qiyas dan yang lain termasuk kategori
hasil ijtihad.
Lain
halnya menurut Muhammad al-Syawkani bahwa ijtihad adalah:
Artinya: “Pembicaraan mengenai pengerahan dalam mengerahan dalam mengerjakan
pekerjaan apa saja”.
Dari
definisi Muhammad al-Syawkani di atas bahwa pengertian ijtihad masih bersifat
umum. Ia mengatakan bahwa pengerahan
kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan disebut ijtihad,
tanpa mempertimbangkan kualitas (berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan
atau persoalan yang diselesaikan.
Kemudian
di kalangan para ulama’ yang lain, muncul perkataan bahwa ijtihad ini khusus
digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hokum
(fuqoha’) untuk mengetahui hokum syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad adalah
perbuatan menggali hokum syar’iyyah dari
dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad
disebut mujtahid.
b.
Jenis-jenis Hukum Ijtihad
a. Wajib ‘ain, yaitu bagi seseorang yang
ditanya tentang suatu masalah, sedangkan masalah tersebut akan hilang sebelum
diketahui hukumnya.
B.
Wajib kifayah, yaitu
bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu
masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut,
sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain.
C.
Sunnah, yaitu
ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik yang
dinyatakan atau tidak.
c. Syarat-syarat Ijtihad
Menurut pendapat Abu Zahrah, bahwa
ada beberapa kriteria seseorang untuk bisa menjadi seorang mujtahid, yaitu:
1. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab karena
al-Qur’an dan al-Sunnah berbahasa Arab.
2. Mengetahui ulumul al-Qur’an termasuk tafsir asbab nuzul al ayat meskipun menurut sebagian ulama’ tidak harus
hafal al-Qur’an tetapi cukup mengetahui yang bersangkutan dengan permasalahan
yang akan dipecahkan.
3. Mengetahui al-Sunnah dan ulumul hadist.
4. Mengetahui masalah-masalah yang telah
terdapat ijma’ padanya.
5. Mengetahui masalah qiyas termasuk cara-cara mencari illat.
6. Mengetahui maksud-maksud atau
tujuan-tujuan hokum Islam.
7. Pemahaman yang baik, bisa memilih alas
an-alasan yang lebih kuat dari pada yang kurang kuat, pola pikirnya baik dan
istimewa.
8.
Mempunyai niat yang ihlas.
d.Tingkatan-tingkatan Mujtahid
a. Mujtahid
mutlak ( mustaqil/mujtahid fi al-syari’ ialah
mujtahid yang mengeluarkan hokum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam melakukan istimbath al-ahkam (pengerahan segenap
kemampuan untuk menghasilkan suatu hukum) para mujtahid mutlak mempunyai
cara-cara tersendiri yang berbeda dengan mujtahid lainnya.
b. Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang
mengikuti pendapat pendiri mazhabnya dalam
ashal tapi berbeda dalam furu’, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin
Hasan di dalam madzhab Hanafi, Al-Muzani di dalam madzhab Syafi’i.
c.
Mujtahid fi al-madzhab adalah seorang mujtahid baik dalam ushul maupun furu’
mengikuti imam madzhab hanya di dalam penerapannya mereka berbeda dengan imam
madzhab, jadi pekerjaan mereka adalah tahqiq
al-manath yaitu menerapkan illat-illat hokum yang telah ditentukan oleh
ulama’-ulama’ mazdhab sebelumnya. Jadi, hanya memperluas atau mempersempit
penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazdhab.
d. Mujtahid al-Tarjih, mereka tidak
mengadakan istimbath al-ahkam, tetapi
hanya mentarjih di antara pendapat-pendapat yang ada.
e. Fungsi Ijtihad
Pada dasarnya ijtihad berfungsi sebagai
dinamisator di dalam sistem hokum Islam. Oleh karena itu, apabila ijtihad tidak
berjalan sebagaimana mestinya maka akan terasa adanya sesuatu kekakuan dalam
system hokum Islam. Maka fungsi ijtihad adalah:
a.
Bahwa perjalanan hidup dan kehidupan ini terus
berkembang, masyarakat terus berubah, dan kebutuhan manusia pun terus
bertambah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi membawa tantangan-tantangan
yang baru dan berbeda dengan tantangan-tantangan yang dihadapkan kepada umat
yang telah lalu padahal masyarakat harus tetap terpelihara kemaslahatannya.
Apabila tidak terbuka pintu ijtihad maka Syari’ah Islamiyah akan kaku dan sempit
serta tidak mampu memberikan respon dan tidak reseptif terhadap perubahan
tempat, waktu, lingkungan dan keadaan.
b.
Ijtihad juga berfungsi sebagai penyalur dari
kreatifitas individual atau kelompok di dalam menanggapi peristiwa-peristiwa
yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka sendiri, dan membuat tafsiran
kembali atas perundang-undangan yang sifatnya insidentil sesuai dengan
syarat-syarat hidup yang berlaku pada masanya dengan tidak perlu melanggar
prinsip-prinsip umum, dalil-dalil kully
dan maqasid al-syari’ah yang
merupakan aturan-aturan pengarah di dalam hidup dan kehidupan manusia.
c.
Interpreteur, bahwa
seorang mujtahid berhak untuk memberikan tafsiran yang tepat terhadap
dalil-dalil yang dhani. Sebagai
contoh hadist Nabi tentang perintah shalat yaitu (shollu kama raitumuni usholli).
Oleh karenanya seorang mujtahid dalam menafsirkan hadist di atas hendaknya yang
sesuai dengan semangat moral ajaran Islam yaitu berdasarkan nash yang kulli dan selaras dengan maqashid
al-syari’ah atau dengan kata lain adalah tafsir yang paling dekat kepada
nilai-nilai samawi, nilai-nilai uluhiyyah tentang perintah menjalankan
kewajiban shalat.
Ijtihad berfungsi sebagai syahid yaitu untuk membuktikan bahwa Islam Islam ya’lu wala yu’la alaihi dalam kehidupan praktis manusia di
dunia ini, karena dengan ijtihad akan terasa maslahatnya dan rahmatnya ajaran
Islam bagi seluruh umat manusia, yaitu hanya dengan ijtihad kita bisa
membuktikan bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin.
2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam
a. Pengertian
Fatwa
Fatwa adalah jawaban berdasarkan
ijtihad terhadap pertanyaan mengenai hokum suatu peristiwa yang belum jelas
hukumnya. Sebagai contoh, ketika seorang mujtahid ditanya tentang
bagaimana hukumnya meminum minuman yang mengandung alkhohol tinggi. Kemudian
mujtahid itu mencarikan jawaban hukumnya dengan menggunakan dalil-dalil syari’
baik dengan nash ataupun menggunakan ra’yu,
kemudian diambil kesimpulan bahwa meminum minuman yang mengandung alkohol
tinggi dan memabukkan sama halnya dengan khamar. Oleh karenanya jawaban
mujtahid berdasarkan kesimpulan tersebut dinamakan fatwa dan seorang mujtahid
yang berfatwa disebut dengan mufti.
b.
Syarat-syarat Seorang Mufti
( )
Sebagai seorang mufti (orang yang memberikan
fatwa), karenanya, disamping menguasai hokum hokum-hukum dalam al-Qur’an dan
hadist ia juga harus memenuhi beberapa syarat diantaranya:
a) Kuat niatnya, semata-mata hanya karena
Allah, bukan karena imbalan harta atau kedudukan (jabatan) dari penguasa.
b)
Berpengetahuan luas, sabar, penuh hormat, dan tenang.
c) Berkecukupan, sehingga dalam memberikan
fatwa tidak terpengaruh oleh pemberian dari yang meminta fatwa.
d) Mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena
suatu ketetapan hokum yang diambil harus mencerminkan kemaslahatan umat dan
tidak mengakibatkan kepada kemafsadatan umat.
c. Sebab-sebab dilakukannya fatwa
Beberapa hal yang menyebabkan
munculnya fatwa, antara lain:
a)
Setiap masalah yang muncul wajib ada ketentuan
hukumnya.
b)
Setiap muslim wajib mengetahui dasar-dasar hokum
syari’at sebagai dasar beramal
c) Setiap orang awam terbebani hokum
sementara mereka tidak mungkin untuk berijtihad dan menggali hokum sendiri.
d)
Masalah yang muncul belum ada dasar hukumnya atau belum
jelas ketentuan hukumnya dalam nash al-Qur’an atau sunnah.
d. Kedudukan Fatwa dalam Hukum Islam
Dalam
sejarah hokum Islam, fatwa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan
umat Islam, mulai zaman klasik, pertengahan sampai zaman modern. Pada mulanya fatwa-fatwa yang diberikan mufti
tidak terdokumentasikan dengan baik, karena tradisi membukukan fatwa belum ada
di kalangan umat Islam. Baru pada abad ke-12 H atas usaha beberapa ulama’
fiqih, fatwa-fatwa yang ada sebelumnya mulai dibukukan sesuai dengan mazdhab
fiqh masing-masing.
Kitab-kitab yang mengumpulkan
berbagai fatwa ulama’ fiqh antara lain sebagai berikut:
a) Zahir
al-Riwayah, merupakan
kitab kumpulan fatwa imam Abu Hanifah yang disusun oleh murid dan sahabatnya
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
b) Al-Mudawwamah
Al-Kubro, merupakan
kumpulan fatwa Imam Malik yang disusun oleh Abdus-Salam bin Sa’id at-Tanukhi.
c) Al-Mi’yar
al-Murib Wal-Jami’ Al-Mughrim ‘An Fatwa Ulama’ Ifriqiyyah Al-Maghrib,disusun
oleh Abu Al-Abbas Ahmad bin Yahya bin Al-Winsarisi (Ahli fiqh Madzhab Maliki,
wafat 914 H/1508 M).
d) Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah,disusun
oleh Muhammad bin Abdur Rahman bin Qasim (anak Ibnu Taimiyah/Tokoh Mazdhab
Hambali)
e)
Al-Fatawa karya
Mahmud Syaltut (Ulama’ Mesir, mantan Rektor Universitas Al-Azhar Cairo).
f) Al-Fatawa
karya Yusuf Qardhawi
(Ulama’ Mesir)
g)
Kumpulan Fatwa
Majelis Ulama’ Indonesia, karya MUI.
Dibeberapa
Negara Islam saat ini, fatwa ulama’ adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan
dalam kehidupan umat Islam, bahkan para mufti menduduki posisi yang sangat
penting, ia merupakan salah satu lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan
umat Islam. Misalnya di Mesir, Saudi Arabia, Suriah dan Maroko dll, mufti
sebagai salah satu mazdhab, tetapi bersifat komprehensif dengan
mempertimbangkan berbagai mazdhab, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Disamping itu mufti juga terikat oleh
Undang-undang oleh negaranya.
3.Kedudukan Ittiba’ dan Taqlid
Dalam Hukum Islam
a.Pengertian Ittiba’ dan taqlid
Menurut bahasa ittiba’ berarti mengikuti atau menurut, sedangkan menurut istilah
ialah
Artinya: “Menerima (mengikuti)
pendapat orang yang berkata, sedangkan engkau mengerti darimana Ia berkata
itu.”
Misalnya seseorang mengikuti
pendapat Abu Dawud tentang hukum aqiqah buat anak, yaitu wajib. Dia mengetahui
bahwa Abu Dawud mendasarkan pendapatnya itu kepada hadist Nabi. Maka dalam ittiba’ bahwa orang yang mengikuti
mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh orang yang diikuti dalam
mengemukakan pendapatnya.
Sedang taqlid menurut bahasa
berarti meniru. Sedang menurut istilah ialah:
Artinya:“Menerima pendapat seseorang
dan kamu tidak mengetahui darimana (sumber atau alas an) pendapat itu.”
Contohnya
adalah: seperti seseorang yang mengikuti pendapat Umar bin Khattab dalam
melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak tahu alasan yang dijadikan
dasar hukumnya dengan benar. Maka dalam taqlid
orang yang mengikuti tidak mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh
orang yang diikuti dalam mengemukakan pendapatnya.
b.Dasar
Hukum Ittiba’ dan Taqlid
Sebagaimana
diketahui bahwa hukum amaliyah yang menjadi obyek pembahasan Ilmu Fiqh ditinjau
dari segi wajib atau tidaknya diadakan penelitian terbagi kepada dua macam:
a. Hukum amaliyah yang tidak memerlukan
penelitian dan ijtihad. Yakni hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil
qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera, tanpa penelitian yang mendalam
sebagai ketentuan syari’at yang sudah positif. Seperti rukun Islam yang lima macam itu dan
keharaman dosa besar.
b. Hukum amaliyah yang masih memerlukan
penelitian dan ijtihad, amaliyah yang denikian ini banyak sekali jumlahnya dan
menjadi tempat perselisihan dan perbedaan pendapat diantara para ulama’.
Orang yang berusaha dengan susah
payah mengadakan penelitian ini adalah para mujtahid
yang telah memiliki segala sarana dan kemampuan untuk berijtihad. Adapun
orang-orang awam yang tidak memiliki sarana penelitian untuk mencari
dalil-dalil dan mengistimbatkan hukum dari padanya, yaitu para muqallid, diharuskan mengambil pendapat
para mujtahid. Sebab setiap orang yang tidak mengetahui suatu hukum perbuatan
dan tidak mampu berijtihad wajib menanyakan kepada mereka yang ahli (para
mujtahid atau cendekiawan). Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya. (al-Nahal: 43)
Disamping itu para ulama’ sepakat
bahwa hukum ittiba’ dan taqlid kepada Allah dan Rasul serta para
ulama’ hukumnya adalah wajib. Hal ini mendasarkan pada firman Allah SWT:
Artinya: “Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. (Q.S.Al-A’raf: 3)
Dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa ittiba’ itu ada dua bentuk, yaitu ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya dan
ittiba’ kepada selain Allah dan
Rasul-Nya atau kepada orang lain.
c.Hukum Ittba’ dan Taqlid
Para ulama’
membagi hukum ittiba’ dan taqlid menjadi tiga, yaitu:
D.
Haram, yaitu ittiba’
dan taqlid kepada adat istiadat yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, taqlid kepada seseorang yang tidak
diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui
kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa
pendapat orang itu salah.
E.
Boleh, yaitu ittiba’
dan taqlid kepada mujtahid, dengan
syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah
yang diikuti. Dengan kata
lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
F.
Wajib, yaitu taqlid
dan ittiba’ kepada orang yang
perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasullullah
SAW.
4.Kedudukan Tarjih dan Talfiq Dalam Hukum
Islam
a.Pengertian Tarjih dan Talfiq
Tarjih menurut bahasa berarti “memandang lebih
kuat” sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah menguatkan salah satu dalil atas
dalil lainnya, yakni memilih dalil yang kuat diantara dalail-dalil yang tampak
berlawanan atau tidak sama terhadap satu obyek hokum yang sama. Dalil yang
lebih kuat disebut rajah dan yang
lemah disebut marjuh( ).Tarjih ini digunakan setelah
jalan yang ditempuh melalui jama’
(mengkompromikan) tidak bisa.
Contoh tarjih antara lain ialah hadist
yang diriwayatkan oleh istri-istri Rasullullah SAW: “Sesungguhnya Nabi SAW dalam keadaan junub di waktu subuh”(hadist
riwayat Bukhori Muslim). Dalam hadist yang lain yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dikatakan, Rasullullah SAW, bersabda: “Barangsiapa di waktu shubuh dalam keadaan junub, maka tidak sah puasa
baginya.”(Hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban).
Para shahabat mentarjihkan hadist
yang diriwayatkan dari para istri Nabi dan Abu Hurairah, karena mereka
menyaksikan sendiri apa yang diriwayatkan itu. Kesimpulannya: sekiranya
seseorang baru sempat mandi di waktu shubuh karena malamnya junub, maka
tidaklah membatalkan puasanya. Karena dianggap rajih adalah hadist riwayat Abu Hurairah dan dipandang marjuh hadist yang diriwayatkan para istri
Nabi.
Sedangkan talfiq
menurut bahasa berarti menyambungkan dua tepi yang berbeda, seperti ( ) yang artinya
“mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya”. Menurut istilah ialah
mengikuti hokum tentang satu peristiwa dengan mengambil pendapat dari berbagai
mazhab dengan maksud untuk memperingan dirinya. Seperti seorang laki-laki
menikah dengan seorang erempuan tanpa wali dan saksi, tapi cukup dengan i’lan saja. Dasar yang dijadikan
pegangan adalah madzhab Hanafi dan Maliki. Dalam madzhab Hanafi pernikahan
tanpa wali adalah sah. Sedang dalam madzhab Maliki pernikahan tanpa saksi
tetapi dengan I’lan hukumnya sah.
Bila demikian halnya, dapat disimpulkan bahwa nikah tanpa wali dan saksi
dinyatakan sah asal ada i‘lan.
b.Hukum Talfiq
Pada
dasarnya talfiq tidak dilarang oleh agama selama tujuan melaksanakan talfiq itu
semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling kuat, dalam arti setelah
meneliti dasar hokum beberapa pendapat ulama’ dalam suatu masalah kemudian
mengambil sebagian pendapat dari satu ulama’ dan sebagian yang lain dari ulama’
lainnya yang dianggap paling kuat dasarnya. Namun bila tujuan melaksanakan talfiq itu mencari yang ringan, terutama
dalam masalah ibadah, maka sikap seperti ini tidak baik. Karena itulah, diantara
para ulama’ ada yang membolehkannya dengan syarat tidak akan menimbulkan
pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqkan itu, dan
ada pula diantara mereka yang menolak talfiq tanpa syarat.
Contoh adalah seseorang yang berwudlu menurut madzhab Syafi’i
(yang salah penyebab batalnya wudlu adalah persentuhan dengan lawan jenis),
sementara ketika melakukan persentuhan kulit dengan lawan jenis, ia langsung
melaksanakan shalat, dan beranggapan persentuhannya itu tidak membatalkan wudlunya
(dengan berpegang pada pendapat Imam Abu Hanifah). Sikap ini menurut Imam
Syafi’i tidak dibenarkan dan shalatnya
tidak sah, sementara menurut Imam Abu Hanifah shalatnya sah, dengan alasan
karena pada dasarnya manusia diperintahkan
untuk mengambil amalan dengan memudahkan dirinya.
Bebrbeda dengan ibadah, talfiq dalam
perundangan sangat diperlukan, karena banyak berhubungan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan. Misalnya Mesir melakukan talfiq dalam undang-undang Perwakafan,
dan Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan.
b.Perbandingan antara Tarjih dan Talfiq
- Persamaan antara tarjih dan talfiq
1.
Masalah yang hukumnya akan ditetapkan mencakup
masalah-masalah yang masih dalam perbedaan pendapat ulama’, baik dikarenakan
terdapatnya nash lebih dari satu maupun perselisihan pendapat ulama’.
2.
Tarjih dan talfiq termasuk lapangan ijtihad.
- Perbedaan antara tarjih dan talfiq
2.
Tujuan diadakan tarjih untuk menetapkan salah satu
dalil yang paling kuat diantara dalil-dalil yang ada dalam satu masalah.
Sedangkan pada talfiq menggabungkan beberapa pendapat madzhab dalam satu
masalah dengan jalan mengambil sebagian pendapat suatu madzhab dan meninggalkan
sebagian yang lain.
3.
Dalam tarjih tidak ada kemungkinan mencari yang lebih
ringan dari dalil-dali yang ada, sedang dalam talfiq ada kecenderungan mencari
yang lebih ringan dari beberapa pendapat madzhab.
[1] Abu
Hamid al-Ghazali,Al-Mustasfa fi ‘Ulumil al-‘Ushul,Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, Jilid I, 1983, hal.5
[2] Al-‘Alamah
al-Banani,Hassiyah al-Banani ‘ala Syarh al-Mahali ‘ala Matn Jami’ al jawami,Beirut:
Dar al-Fikr, Jilid I, 1402 H/1992,hal.25
[3] Wahbah
al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-fikr, jilid I, 1986,
hal.30-31.
[4] Ibid,hal.32.
[5] Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwafiqin ‘an Rabbu al-‘alamin, Beirut:
Dar al-Jail, Jilid, 1973, hal.91
[6] Muhammad
Ma’ruf al-Dawalibi,Al-Madkhal ila ‘Ulumul Ushul Fiqh, Damaskus:
Universitas Damaskus, Cet.II, 1378 H/1959 M, hal.93. dan lihat juga Muhammad
Adib al-Shalih, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami,Damaskus: al-Matba’ah
al-Ta’awuniyah, Cet.I,1967, hal.30
[7]
Fakhrudin al-Razi, Manaqib al-Syafi’I, Mesir: al-Matba’ah al-‘Alamiyah,
ttt, hal.1-9. lihat juga,Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos
Publising House, 1996.hal.9-11.
[8] Al-Imam
al-Syaifudin al-Amidi, Al-Ahkam fi Ushul ahkam,Beirut: Darr al-ihya’, jilid III, hal.54.
[9] Muhammad
Amin Suwaid al-Dimasqi, Tashilul ‘Hushul’ala al-Qawa’id al-Ushul, Tahqiq
Musthafa Sa’id al-Khin,Damskus dar al-Qalam, 1412 H/1991 M, hal. 42-43, dan
lihat juga Muhammad al-Zuhaili, Op.Cit, hal.62. lihat juga, Nasrun Harun, Op.Cit,..hal.14.
[10] Lihat
Wahbah al-Zuhaili,Op.Cit.,hal.417.lihat
juga Wahab al-Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kuwat: Dar al-Qalam, hal.20.
Menurut Wahab al-Khalaf, untuk yang bersifat Zhanni menurut sebagaian
ulama’ Ushul Fiqh tidak dinamakan dalil, melainkan disebut dengan Imarah
(indikasi). akan tetapimayoritas ulama’ Jumhur Ushul Fiqh menyatakan bahwa
petunjuk untuk mendapatkkan hukum Islam yang bersifat prakktis itu, baik yang
bersifat Zhanni maupun yang Qoth’I , disebut dengan dalil.
[11] Lihat
Ali Hasabalah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, Mesir: Dar al-Ma’rif,
1976.hal.16
[12] Lihat
Zakiyudin Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islamiyu, Mesir: Dar al-ta’lif, 1965,
hal.30.
[13] Wahab
al-Khallaf, Op.Cit, hal.21
[14] Ulama’
Zahiriyah termasuk mazhab yang menolak kehujjahan Ijma’ dan Qiyas, karena sekalipun mereka menerima ijma’ sebagai
hujjah, maka ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ Shahabi. Mereka
sepakat dengan Imam Syafi’I dalam hal ini, yang hanya juga menerima ijma’
Shahabat. lihat Ibnu Hazm al-Andalusy, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t. Jilid II, hal.976. Mereka dan Ulama’ Ushul Fiqh
Syi’ah juga menolak kehujahan Qiyas. Hal ini sesuai dengan prinsip
Zhahiriyah dalam memahami nash yag bersifat literal. Penolakan ulama’ Syi’ah
terhadap kehujahan Ijma’ dan Qiyas , karena ketika suatu hukum tidak ada
ketentuannya dalam nash, menurut mereka,
yang berhak menentukan hukum adalah Imam mereka.
[15] Menurut
Ibnu Hazm bahwa Hadist ini statusnya hadistnya Dhoif (lemah). Lihat Ibnu
Hazm, Op.Cit., . Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili, bahwa hadist ini adalah Hadist Mursal
(hadist yang snadnya terputus di tingkat shahabat). Lihat Wahbal Al-Zuhaili, Op.Cit.,hal.418.
[16] Ali
Hasabalah, Op.Cit,.hal.15.
[17] Lihat
Saifudin al-Amidi, Op.Cit,hal.82. Ibnu ‘Amr al-Haj,Al-Taqrir wa
Tahbir,Jilid II Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 213. Lihat juga, Al-Banani, Syarh al-Mahalli ‘ala
al-Jami’ al-Jawami’,Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.159. lihat juga,
Sa’ad al-Din Mas’ud ibnu Umar al-Taftazani, Syarh al-Talwih ‘ala Tawdih,
Makkah Al-Mukaromah: Dar al-Bazz, Jilid I,tt.hal.29.
[18] Wahab
al-Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (terj.) Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
hal.18-19.
[19] Wahab
al-Khallaf, Ibid,.hal. 34. Lihat juga, Satria Efendi M.Zain, Ushul
Fiqh,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal.92.
[20]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadist: ‘Ulumuhu wa mustholahuhu, Beirut:
Dar al-fikr, 1981, hal.17.
[21] Satria
Effendi M.Zain,Op.Cit.,hal.115-116.
[22] Satria
Efendi M.Zain,Ibid,.hal.125.
[23] Abu
Hamid al-Ghazali, Op.Cit, .hal.110.
[24]
Saifudin Al-Amidi,Op.Cit., hal.102.
[25] Lihat
Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit.,Jilid I, hal.490. Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh,Mesir: Dar al-Fikr, 1958, hal.111-112
[26] Wahbah
al-Zuhaili, Op.Cit,.hal.491-497.
[27]
Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, hal.113-114. lihat juga Ali Hasbullah,Op.Cit.,
hal.112-113. lihat juga Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hal.43.
[28]
Zakiyudin Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islami, Mesir:Dar al-Ta’lif, hal. 45.
lihat juga Abdul Qadir ibn Badran al-Dimasqy, Al-Madkhal ila Mazhabal-Imam
Muhammad bin Hambal,Beirut: Muassasah Risalah, hal.133.
[29] Nasrun
Harun, Op.Cit., hal.64-65.
[30] Abu
Hamid al-Ghazali, Op.Cit, Jilid II,. hal.54. Saifudin al-Amidi, Op.Cit.,
jilid III. hal. 6. Muhibullah ibnu Abdul Syukur al-Hanafi, Musallam
al-Tsubut, Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.1983. hal.124. lihat juga
al-Banani, Op.Cit., hal.56. lihat juga Abdul Qadir ibn Badran al-imasqy,
Op.Cit.,hal.141.
[31] Satria
Efendi M.Zain, Op.Cit,. hal. 132.
[32] Satria
Efendi M.Zain,Ibid., hal.144.
[33] Satria
Efendi M.Zain, Ibid.,hal.144-145. lihat juga Nasrun Harun,Op.Cit.,
hal.106-108.
[34] Nasrun
Harun, Ibid,hal.108-109.
[35] Lihat
Muhammad bin Idris al-Syafi’I, al-Risalah, Beirut: Dar al-fikr, 1309 H.
lihat juga Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut:
Dar al-fikr, Jilid VI hal.759. lihat juga bukunya Mulakhas ibtal al-qiyas wa
al-ra’yu wal istihsan, Damaskus:Al-Maktab al-Islami,tt.hal.50. lihat juga
Muhammad Ibnu Ali ibn al-Syaukani, Irsyad al-Fukhul,Beirut: Dar
al-Fikr.tt. hal.212.
[36] Nasrun
Harun, Op.Cit,hal.111.
[37] Abu
Hamid al-Ghazali, Op.Cit., Jilid I.hal.128.
[38] Ibnu
Hazm al-Andalusi, Op.Cit. Jilid V. hal. 590 dan lihat juga Muhammad Abu
Zahrah, Ibnu Hazm al-Andalusi, Mesir: Dar al-fikr al-Arabia,tt.hal.373.
[39]
Al-Banani,Syarh al-Mahali ‘ala Jam’I al-jawami’, Jilid II, hal.284.
lihat juga Al-Syaukani,Op.Cit.,hal.209. lihat juga Abu Hamid al-Ghazali,Op.Cit.,hal.129.
lihat juga Ibnu Qayim al-Jauziyah, Op.Cit.,hal.339.
[40] Nasrun
Harun,Op.Cit.hal.129-130.
[41] Ibid,
hal.131-133.
[42]
Syaifudin Al-Amidi,Op.Cit.,hal.127.
[43]
Al-Syarakshi,Op.Cit.hal.225. lihat juga Muhammad Abu Zahrah,Op.Cit.,287.
[44]
Saifudin Al-Amidi,Op.cit.,hal. 128.
[45] Abdul
Wahab Khallaf,Op.Cit.(terj.). hal.116.
[46] Satria
Efendi M.Zain,Op.Cit.,hal.151-152.
[47] Abdul
Wahab Khallaf,Op.Cit.hal.119-120
[48] Ibid,
hal.123.
[49] Ahmad
Fahmi Abu Sunnah,Al-‘Uruf wa al-‘Adat
fi Ro’yi al-Fuqoha’, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,.tt.hal.8
[50] Mustofa
Ahmad al-Zarqo’,Al-Madkhal ‘ala al-fiqh al-‘amm, Beirut: Dar al-fikr
al-Arabi,.Jilid II,. 1968.hal.840.
[51] Ibid,
hal.37-38.
[52] Ibid,
hal.52-57.
[53]
Syihabudin Ahmad ibn Idris al-Qarafi,Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Mesir:
Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1344 H, Jilid III, hal.49.
[54] Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah,Ibid, Jilid II., hal.293.
[55] Nasrun
Harun, Op.Cit.,hal.142.
[56] Ibid,
hal.149-150.
[57] Satria
Efendi M.Zain,Op.Cit.,hal.164-165.
[58] Abu
Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid IV.
Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.198.
[59] Abu
Ishaq al-Syatibi, Ibid., hal.358-361.
[60] Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah, Op.Cit., hal.171.
[61] Lihat
Abu Ishaq al-Syatibi, Op.Cit.,Jilid III,hal.305. lihat juga Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyah,OP.Cit.,Jilid III. hal. 171. lihat juga Abdul
Qadir Badran al-Dimasqi, Op.Cit.,hal.138.
[62]
Muhammad Taqiyudin Al-Hakim, al-Ushul al-Tasyri’ al-Islami,
Mesir: Dar al-Ma’rif, 1971, hal.414.
[63] Abdul
Wahab Khallaf, Op.Cit.,hal. 134-135.
[64] Nasrun
Harun, Op.Cit., hal.156-157.
[65] Satria
Efendi M.Zain, Op.Cit, hal.178-179.
[66]
Muhammad Adib Sholeh,Tafsir al-Nusus fi al-fiqh al-Islamy, Damaskus:
Al-Maktab al-Islamy. 1984.Cet.II.hal.65.
[67] Abdul
Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Bagdad: Dar-Al-‘Arabiyyah
littiba’ah, 1971, Cet.6.
[68] Abdul
Wahab Khallaf,Op.Cit., hal. 101. Lihat juga Ali Hasballah , Op.Cit.,
hal.5.
[69]
Saifudin Al-Amidi dalam kitabnya, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid I,
hal.91. dan seterusnya mengemukakan pembagian lain dari hukum. menurutnya,
hukum itu terdiri atas: (a) al-hukmu al-iqtidha’I, ialah sesuatu yang
dituuntut untuk dilaksanakan atau dituntut untuk ditinggalkan, yang terdiri
atas al-ijab atau al-hurmah, (b) al-hukmu al-tahyiri, ialah
perbuatan yang boleh dipilih oleh mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukannya, yaitu al-ibahah
dan (c) al-hukmu al-wudh’I, ialah tuntutan yang ditetapkan al-Syari’
sebagai penyebab, penghalang, syarat, sah, fasid/batil,ruhsoh atau ‘azimah.
dengan pembagian ini, al-Amidi tidak memasukkan hukum al-ibahah dalam al-hukmu
al-taklifi, karena taklif, menurutnya, menuntut adanya suatu pembebanan (kulfah)
dan kesulitan (masyaqoh) dari mukallaf.
[70] Satria
Efendi MZain,Op.Cit, hal.41.
[71] Ibid,
hal. 42-43.Lihat juga Nasrun Harun, Op.Cit.,hal.211-214.
[72] Nasrun
Harun, Ibid, hal. 218-219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar