Kamis, 20 September 2012

Ushul Fiqh


BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP USHUL FIQH
A.Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh terdiri atas dua suku kata, yang masing-masing mempunyai pengertian luas, yaitu Ushul dan Fiqh. Ushul berupa jama’ dari ashl yang menurut bahasa mengandung arti “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi maupun non materi”. Ada juga memberikan pengertian (Ma yubna ‘alaihi ghoiruhu”) artinya landasan tempat membangun sesuatu”.
Sedangkan menurut Abu Hamid al-Ghazali, [1]bahwa Ushul secara terminology mengandung beberapa pengertian: 1) bermakna dalil seperti dalam contoh:”(Al-‘ashlu fi wujubil sholat al-kitab wa sunnah) artinya dalil wajibnya sholat adalah al-Qur’an dan hadist. 2) bermakna kaidah umum yaitu suatu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya (Buniyal Islam ala khomsati ushulin”) artinya Islam dibangun diatas lima kaidah umum, 3) bermakna al-rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh (“Al-Ashlu fi al-kalam al-hakekat) artinya pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakekatnya, sebagai contoh (“al-Qur’an ashlu al-qiyas) artinya al-Qur’an adalah itu lebih kuat dari qiyas. Bisa diartikan bahwa Al-Qur’an adalah merupakan dasar daripada Qiyas.  4) bermakna Al-‘Ashlu atau tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar  adalah asal (tempat mengqiyaskan narkotika, 5) Al-Mustahab ( bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam suatu masalah. Misalnya seseorang yang menyakini bahwa ia telah berwudlu, kemudian ia ragu apakah wudhunya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fiqih mengatakan bahwa “Al-Ashlu al-thoharoh yang diyakini adalah keadaan ia dalam keadaan berwudlu, artinya dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu.      
            Kata Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam, yang membutuhkan pengerahan potensi akal. (Man yuridil lahi bihi khoiron yuwaffiqhu fi al-din) artinya Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, maka ia akan memberikan pemahaman agama yang mendalam.
            Sedangkan secara terminology Fiqh adalah Al-ilmu bi-al-Ahkam al-syariyah al-amaliyah al-muktasabu min adilatiha al-tafsiliyati (mengetahui hokum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci). Dari definisi diatas dapat ditekankan bahwa Ushul Fiqh adalah bagaimana  menggunakan kaidah-kaidah umum ushul fiqh. [2] Contohnya:
  1. Al-Qur’an dan Al-Sunnnah adalah dalil yang dapat dijadikan hujjah.
  2. Dalil yang berstatus nash  didahulukan daripada zhahir,
  3. Hadist Mutawatir lebih didahulukan dari hadist ahad,
  4. Kaidah umum (‘Al-Ashlu lil wujub), (‘Al-Nahyu lil tahrim)
Dari kaidah-kaidah umum ini terkandung hokum-hukum rinci yang tidak terhitung jumlahnya. Ahli ushul fiqh, tidak mempersoalkan dalil dan kandungannya secara rinci, melainkan membahas dalil-dalil kulli (Umum) dan kandungannya sehingga dapat ditetapkan kaidah-kaidah kulli. Dalam rangka menetapkan kaidah-kaidah kulli, sudah masuk dalam definisi tersebut, tanpa harus mengungkapkannya dengan tegas.
B. Objek Kajian Ushul Fiqh
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, bahwa yang menjadi obyek kajian ushul fiqh yang membedakannya dari kajian fiqh, antara lain:
1. Sumber hokum Islam/ dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hokum Syara’, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan.
2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara dhohir, dianggap bertentangan baik melalui Al-Jam’u wa taufiqi (kompromi), tarjih, nasakh, dan Tasaqut dalaili.
  1. Pembahasan tentang Ijtihad.
  2. Pembahasan tentang hokum syara’, yang meliputi syarat-syarat, macam-macam, baik tuntutan untuk meninggalkan -----------  sebab, syarat, mani’, sah, batal/fasad, azimah, rukhsoh, hakim, mahkum fih, dan mahkum alaihi.    
  3. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistimbathkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa ataupun melalui pemahaman terhadap tujuan nash (Maqasid al-Syari’ah). [3]
C.    Kegunaan Ushul Fiqh
Para ulama’ Ushul Fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah mengetahui dalil syara’, yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah, muamalah, uqubah dan ahlak. Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan sesuai dengan kehendak syari’ (Allah dan Rasul-nya). Oleh sebab itu para ulama’ Ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukanlah merupakan “tujuan” , melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hokum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan dapat diamalkan dengan sebaik-baiknya.
Secara sistematis, para ulama’ ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu antara lain Untuk:
1.      Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan para mujtahid dalam memperoleh hokum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2.      Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hokum syara’ dari Nash. Disamping itu bagi orang awam, dapat mengetahui bagaimana para mujtahid menetapkan hokum, sehingga mereka dapat mempedomani dan mengamalkan.
3.      Menentukan hokum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada nash, dan belum ada ketetapan hukumnya dapat ditentukan hukumnya.
4.      Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Dalam pembahasan ushul fiqh, sekalipun suatu hokum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap mendapatkan pengakuan syara’. Melalui ushul fiqh juga para peminat hokum Islam dapat mengetahui mana sumber hokum Islam yang asli dan harus dipedomani dan mana sumber hokum Islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam.
5.      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hokum dari berbagai persoalan social yang terus berkembang.
6.      Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga para peminat hokum Islam dapat melakukan Tarjih (penguatan) salah satu dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.[4]
D.    Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqih
Pertumbuhan Ushul Fiqih tidak bisa terlepas dari perkembangan hokum Islam sejak zaman Rasullullah SAW, sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriyah. Sumber hokum islam hanya ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Apabila muncul suatu kasus, rasullullah menunggu turunnya wahyu untuk menjelaskan kasus hokum tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka beliau menetapkan hokum kasus tersebut melalui sabdanya, yang dikenal dengan hadist atau sunnah.
Dalam beberapa kasus, Rasullulah SAW, juga menggunakan Qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas, ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khattab tentang batal/tidaknya puasa seorang yang mencium istrinya. Rasullullah SAW ketika itu bersabda:
   (‘Araita lau tamadhmatta wa anta shoimun? Qultu; la ba’tsa bihi. Qola; fasumhu (H.R.Buchori).
Menurut para ulama’ Ushul Fiqh, meng-qiyaskan hokum mencium dalam keadaan membatalkan puasa, maka mencium pun juga tidak membatalkan.
            Cara-cara Rasullullah SAW, dalam menetapkan hokum inilah yang menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Karenanya, para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh ada bersamaan dengan hadirnya fiqih.sejak zaman Rasullullah. Bibit semacam ini semakin jelas ketika setelah wafatnya Rasul, karena wahyu dan tidak turun lagi, sementara persoalan yang mereka hadapi semakin kompleks. Para tokoh mujtahid yang termasyhur di zaman shahabat tersebut diantaranya, Umar bin Khottob, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah ibnu Mas’ud. Dalam berijtihad, Umar seringkali mempertimbangkan aspek kemaslahatan umat, dibandingkan sekedar menerapkan nash secara Zhahir, sementara tujuan hokum tidak tercapai. Misalnya, demi kemaslahatan rakyat, daerah yang ditaklukan pasukan Islam di suatu daerah, Umar menetapkan bahwa tanah daerah tersebut tidak diambil oleh pasukan Islam, melainkan dibiarkan untuk digarap oleh penduduk setempat, dengan syarat setiap panen diserahkan sekian persen hasil panen untuk pemerintahan Islam. Sikap yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ini, didasarkan atas pemikiran bahwa apabila tanah pertanian di daerah itu diambil oleh pemerintahan Islam, maka rakyat di daerah tersebut tidak memiliki mata pencaharian, yang akibatnya bisa memberatkan beban Negara. Para ulama’ ushul fiqh ini berpendapat bahwa landasan pemikiran ‘Umar ibnu Khottob dalam kasus ini adalah demi kemaslahatan (Maslahat).[5]
            Selain bertebarnya para shahabat di berbagai daerah yang saling berbeda budaya, hal ini mempengaruhi para shahabat dalam menetapkan hokum. Akibatnya, dalam kasus yang sama, hokum di suatu daerah dapat berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan hokum ini berawal dari perbedaan cara pandang dalam menetapkan hokum pada kasus tersebut.
            Di zaman tabi’in, permasalahan hokum yang muncul pun semakin kompleks. Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah muncul berbagai fatwa yang berkaitan dengan berbagai persoalan baru, sebagaimana yang dikemukakan Said ibn al-Musayyab. Di Irak muncul Alqomah ibn Waqqas, al-laits dan Ibrahim An-Nakho’i. di Basrah muncul pula mujtahid di kalangan tabi’in, seperti Hasan al-Bashri.
            Titik tolak para ulama’ tersebut dalam menetapkan hokum bisa berbeda, yang satu melihat dari sudut maslahat, sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui qiyas. Ulama’ ushul fiqh Irak dikenal dengan penggunaan ra’yu dalam setiap kasus yang dapat menyamakan hokum yang dihadapi dengan hokum yang ada pada nashnya, meskipun meninggalkan hadist, karena sedikitnya jumlah hadist yang mereka terima. Sedangkan para ulama’ Madinah lebih banyak mengambil hadist atau sunnah, karena mudahnya akses mereka dekat keberadaan Nabi di Madinah. Disinilah awal mula pertama kali munculnya perbedaan dalam mengistimbathkan hokum di kalangan ulama’ fiqih. Akibatnya muncullah beberapa kelompok ulama’, yaitu Madrasah al-Iraq, Madrasah Kufah dan Madrasah Madinah. [6] Penamaan ini juga menunjukkan perbedaan cara dan metode yang digunakan dalam menggali hokum. Pada perkembangan selanjutnya, Madrasah Iraq dan Madrasah Kufah terkenal dengan Ahlul Ro’yi, sedangkan Madrasah Madinah dikenal dengan Ahlul Hadist.
            Setelah itu muncul para imam mujtahid, khususnya imam mazhab empat, yaitu:
1. Nu’man Ibnu Tsabit yang lebih dikenal dengan Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767M).
2. Malik bin Anas, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik (93-179 H/712-795 M)
3. Muhammad Ibn Idris al-Syafi’I, yang lebih popular dengan sebutan Imam Syafi’I (150-204 H/767-820 M)
4. Imam Ahmad bin Hambal yang terkenal dengan sebutan Imam Hambali (164-241 H/780-855 M)                                                                                                                                  Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh sendiri, sehingga terlihat jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang lainnya dalam mengistimbathkan hokum dari al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistimbathkan hokum sebagai berikut: Al-Qur’an, Hadist, fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat, fatwa para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka, qiyas dan istihsan. Sedangkan Imam Malik, berpegang kepada Al-Qur’an, Sunnah, juga banyak mengistimbathkan hokum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahlul Madinah).
            Selanjutnya Imam Syafi’I dengan metode-metode ijtihad dan sekaligus buat pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Imam Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi antara ahlul hadist yang bermarkas di Madinah dengan ahlul Ro’yi di Irak. Dalam kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi’I berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat dijadikan patokan umum dalam mengistimbathkan hokum, mulai dari generasinya sampai generasi selanjutnya.
            Para Imam Mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat dengan dalil yang masing-masing Mazhab menambahkan metode istimbat hokum lainnya. Misalnya, ulama’ ushul fiqh dari kalangan Hanafiah mengakui teori-teori ushul fiqh imam syafi’I, tetapi mereka menambah metode atau teori lainnya, yaitu istihsan dan ‘Uruf dalam mengistimbathkan hokum. Ulama’ ushul fiqh Malikiyah juga melakukan hal yang sama yaitu dengan menambahkan Ijma’ ahlul Madinah karena status ijma’ ahlul Madinah merupakan sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasullullah SAW sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama’ Malikiyah menambahkan metode Maslahatul Mursalah dan Sadd al-Zari’ah.
            Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam Mazhab empat tersebut, tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi sesudahnya cenderung hanya memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing.[7]

E.     Aliran-aliran Ushul Fiqh
Dalam sejarah ushul fiqh dikenal dua aliran ushul fiqh yang berbeda. Perbedaan ini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh masing-masing yang digunakan dalam menggali hukum Islam. Aliran pertama disebut dengan aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakalimin (ahli Kalam). Aliran ini membangun ushul fiqh mereka secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok). Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik naqli (al-Qur’an atau Sunnah) maupun ‘Aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’  mazhab maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang ditetapkan imam mazhab atau tidak. 
Dalam kenyataannya, ada ulama’ mazhab Syafi’iyah yang berupaya menyusun teori tersendiri, sehingga terdapat pertentangan dengan teori yang telah dibangun. Misalnya, Imam al-Amidi (ahli ushul fiqh Syafi’i), [8] menyatakan bahwa ijma’ al-Sukuti dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum Islam. Imam Syafi’I sendiri tidak mengakui keabsahan ijma’ al-sukuti dapat dijadikan hujjah, karena ijma’ yang dia terima hanyalah ijma’ para shahabat. Al-Amidi dan Al-Qarafi (ahli ushul fiqh dari kalangan Malikiyah), berupaya menggabungkan teori aliran Syafi’iyah/Mutakalimin dengan aliran fuqoha’. Hal ini mereka lakukan untuk mencari jalan yang terbaik dalam masalah ushul fiqh. Oleh sebab itu, ada beberapa teori ushul fiqh mereka yang bertentangan dengan pendapat mazhab mereka sendiri, seperti yang dikemukan al-Amidi.
Akibat dari perhatian yang hanya tertuju kepada masalah-masalah teoritis, teori yang dibangun aliran Syafi’iyah/Mutakalimin sering tidak membawa pengaruh kepada keperluan praktis. Sesuai dengan namanya, aliran Mutakalimin (ahli kalam), maka aspek-aspek bahasa sangat dominant dalam pembahasan ushul fiqh mereka. Misalnya, masalah tahsin dan taqbih (menggangap sesuatu perbuatan baik dan buruk dapat dicapai oleh akal atau tidak).  Pembahasan seperti, biasanya dikemukakan para ahli ushul fiqh berkaitan dengan pembahasan hakim (pembuat hokum). Kedua konsep ini berkaitan erat dengan masalah ilmu kalam yang berpengaruh dalam penentuan teori ushul fiqh. Akibat lain dari teori aliran ini adalah terjebak dengan masalah-masalah yang terkadang mustahil terjadi, seperti persoalan taklif al-ma’dum (pembebanan hokum atas sesuatu yang tidak ada), atau terjebak dalam permasalahan ‘aqidah, seperti ke-ma’shuman Rasullullah.
Aliran kedua dalam ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqoha’, yang dianut ulama’-ulama’ mazhab Hanafi. Dinamakan aliran ulama’ fuqoha’, karena aliran ini dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada daklam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan anatara kaidah yang ada dengan furu’,  maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hokum furu’ tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesui dengan hokum-hukum furu’yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak ada satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan. berbeda dengan aliran Syafi’iyah/Mutakalimin yang sama sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang terdapat dalam mazhabnya, sehingga sering terdapat pertentangan antara kaidah dan masalah  furu’  yang mereka hadapi. misalnya, mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu Qoth’I”(pasti). akibatnya, apabila terjadi pertentangan antara dalil umum dengan hadist Ahad yang bersifat zhanny (bersifat dugaan), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadist ahad hanya bersifat Zhanny (relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat Qoth’I, yang tidak qoth’I bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanny.
dikalangan aliran fuqoha’ sendiri ada ahli ushul fiqh yang berupaya untuk mengkompromikan kedua aliran tersebut, diantaranya adalah Imam Kamal ibnu Humam dalam kitab Ushul Fiqhnya, Al-Tahrir. dari sekian banyak kitab Ushul Fiqh, yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh standar dalam aliran ini adalah kitab al-Ushul yangdisusun Imam Abu Al-Hasan al-Kharkhi, Kitab al-Ushul, disusun Abu Bakar al-Jasshash, Ushul al-Sarakhsi, disusun Imam Al-Sarakhsi, Ta’sis al-Nazhar, disusun Imam Abu Zaid Al-Dabusi (W.430 H), dan kitab Kasfal-Asrar, disusun Imam Al-Bazdhawi.
Adapun kitab-kitab ushul fiqh yang menggabuungkan teori Syafi’iyah/Jumhur Mutakalimin dengan teori Fuqoha’, diantaranya adalah:
  1. Tanqih Al-Ushul, yang disusun oleh Shadr al-Syari’ah (w.747 H), yang merupakan rangkuman tiga buku ushul fiqh, yaitu Kasf al-Asrar karya Imam al-Bazdhawi al-Hanafi, Al-Mahsul karya Fahrudin al-Razy al-Syafi’I, dan Mukhtasar Ibnu al-Hajib karya Ibnu al-Hajib al-Maliki.
  2. Al-Tahrir, disusun Kamal al-Din Ibnu Humam al-Hanafi (w.861 H).
  3. Jam’ul Jawami’, disusun Taj al-Din ‘Abd Wahab al-Shubki al-Syafi’I (w.771 H).
  4. Musallam al-Tsubut, disusun Muhibullah ibnu ‘Abd al-Syakur (w.1119 H). [9]
pada abad ke-8 Hjrah muncul Imam al-Syatibi (w.790 H), dengan buukunya al-Muwafaqat fi al-Ushul Syari’ah. Pembahasan ushul fiqh yang dikemukakan oleh Imam al-Syatibi ini, pada dasarnya berisikan pembahasan tentang kaidah ushul secara kebahasaan juga mengemukakan Maqasid al-Syari’ah (tujuan-tujuan syara’ menetapkan hukum), yang selama ini kurang diperhatikan oleh ulama’ ushul fiqh. Disamping itu juga Al-Syatibi juga memberikan warna baru dalam kitab fiqhnya, yang oleh para ahli ushul fiqh yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang.

BAB II
SUMBER DAN DALIL DALAM HUKUM ISLAM
A.    Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan sumber adalah (masdar), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. dalam ushul fiqh kata Masadir al-ahkam al-syari’yyah berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
sedangkan “dalil” (al-dalil) secara bahasa adalah: (al-hadi ila ayyi syai’in hissiyin aw maknawiyin) yaitu: “petunjuk  kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:(Ma yatawassalu bi shohihin nadhori fiihi ila hukmin syar’iyyin ‘amaliyyin”) artinya: suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya Qoth’I (pasti), maupun yang Dhonny (relatif).[10]
menuurut Abdul Wahab al-Khallaf, bahwa pengertian dalil al-ahkam itu identik dengan Ushulul ahkam (dasar-dasar hukum) dan Mashadirul ahkam (sumber-sumber hukum).karenanya, para ulama’ sering menunjuk adakalanya menggunakan Ushulul Ahkam ataupun sebaliknya.
Masadirul Ahkam, dalam Islam pada dasarnya adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah. para ulama’ Ushul Fiqh pun sebenarnya menyatakan bahwa hukum Islam itu seleuruhnya berasal dari Allah. Rasul hanya berfungsi sebagai penegas dan penjelas (al-Mu’akkid wa al-Mubayyin) [11] hukum-hukum yang disampaikan Allah melalui Sunnahnya, ketika wahyu itu tidak turun dari Allah.  akan tetapi ketentuan Rasul ini tidak lepas dari tuntunan wahyu. oleh karenanya Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu juga bisa disebut dengan dalil hukum, artinya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad SAW sebagai alasan dalam penetapan hukum Islam disamping juga bisa disebut dengan sumber hukum.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa adillatul ahkam adalah identik dengan Masadirul ahkam. Akan tetapi dalil lain seperti Ijma’, ‘Uruf, Maslahatul Mursalah bukanlah termasuk Mashodirul Ahkam akan tetapi hanyalah dalil yang bersifat al-Kasfu wa al-Izdhar lil hukmi (menyingkap dan memunculkan hukum) yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah tidaklah dapat dikatakan sebagai sumber, karena yang dinamakan sumber adalah dalil yang berdiri sendiri. disamping itu sebagai dalil Ijma’, Qiyas, Maslahatul mursalah dan lain sebagainya tidak boleh bertentangan dengan yang ada dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Oleh sebab itu, para Ulama’ Ushul Fiqh juga sering menyebut adillatul ahkam seperti Ijma’, Qiyas dan lain sebagainya sebagai Thuruqul Istimbath Ahkam (metode dalam menetapkan hukum).
Dalam literatur kitab-kitab Ushul Fiqh, baik klasik maupun kontemporer mengkategorikan dan mengelompokkan bahwa sumber atau dalil syara’ itu ada dua. Yang pertama adillatul ahkam al-Mutafaq ‘alaihi (dalil-dalil hukum yang disepakati), dan yang kedua adillatul ahkam al-Mukhtalaf ‘alaihi (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan).[12]
yang termasuk adillatul ahkam al-mutafaq ‘alaihi adalah Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas. Sedangkan Al-maslahatul mursalah, Istihsan, Istishab, Syar’u man qablana, ‘uruf, sadd al-zari’ah, dan Mazhab Shahabi termasuk dalam adillatul ahkam al-mukhtalaf ‘alaihi.
penetapan adillatul ahkam al-mukhtalaf ‘alaihi  berdasarkan firman Allah surat Al-Nisa’ ayat 59. menurut Wahab Khalaf, bahwa mengikuti perintah Allah dan Rasul adalah mengikuti al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan perintah mentaati Ulil Amri diantara umat Islam mengandung pengertian mengikuti hukum yang telah disepakati para mujtahid, karena mereka adalah Ulil Amri dibidang hukum syara’. Lebih lanjut, menurut Wahab Khalaf, bahwa perintah mengembalikan segala persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti qiyas ketika hukum dari kasus yang diperselisihkan itu tidak dijumpai dalam nash dan Ijma’.[13]
Menurut para Ulama’ Dhohiriyah, mereka menolak ijma’ dan Qiyas sebagai dalil hukum yang disepakati oleh para ulama’. karena terhadap pengertian ijma’  itu sendiri para ulama’ tidak sepakat. Imam Al-Syafi’I sendiri hanya bisa menerima ijma’ sebagai dalil apabila ijma’ itu menjadi konsensus para shahabat Rasullulah. Kemudian Qiyas juga ditolak oleh ulama’ ushu fiqh yang lain, seperti Syi’ah Imamiyah dan Zaidiyah termasuk Al-Auza’I dari kalangan Sunni. [14]
Menurut Ali Hasabalah, bahwa adillatul ahkam itu ada yang bersifat naqli dan Aqli. yang bersifat naqli adalah Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan yang bersifat aqli adalah ijtihad, baik itu ijtihad fardi (sendirian) maupun ijtihad yang jama’I (kolektif). disamping itu menurut Ali Hasabalah, bahwa adilatul ahkam itu ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad. hal itu sejalan dengan hadist Muazd bin Jabbal. [15] Dalam pandangan Ali Hasabalah, bahwa Ijma’, Qiyas, uruf, Maslahatul Mursalah, Istishab, Istihsan, Mazdhab Shahabi, Sadd al-Zari’ah, Syar’u manqablana dikategorikan dalam adillatul ahkam al-Syar’iyat al-Ijtihadiyah (dalil-dalil hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad).[16]
Agaknya, penetapan qiyas dan Ijma’ sebagai dalil yang disepakati kehujjahannya oleh ulama’  Sunni, lebih karena didasarkan statusnya sebagai dalil. Disamping itu ulama’ Sunni juga sepakat, bahwa ijma’ dan Qiyas, sekalipun keberadaannya sebagai dalil tidak bisa berdiri sendiri seperti halnya Al-Qur’an dan As-Sunnah.


B.   Sumber dan Dalil Hukum Islam
  1. Al-Qur’an (Sumber hukum Islam pertama)
a.      Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan”, yaitu bentuk masdar dari kata (                                                                                      ) hal itu sesuai dengan firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya kami yang akan menggumpulkannya (didadamu) dan membacakannya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.(QS. Al-Qiyamah: 17-18)
      Adapun al-Qur’an menurut istilah, antara lain ialah:


Artinya: Al-Qur’an adalah firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung nilai mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad SAW) yang ditulis (dalam mushaf) denggan jalan mutawatir dan membacanya dinilai sebagai  ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nash. [17]
Dari pengertian tersebut, dapatlah dinyatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk dijadikan pedoman hidup, sumber hokum, dan petunjuk bagi umatnya guna mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
      Banyak firman Allah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi oaring-orang yang bertakwa kepada-Nya, antara lain adalah:
Firman Allah SWT:

Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 2)
Definisi di atas mengisyaratkan pada kita, bahwa:
a)      Apa-apa yang diwahyukan Allah dalam maknanya kemudian difahami dalam bahasa Rasulllullah, tidaklah dinamai dengan Al-Qur’an.
b)      Alih bahasa (terjemahan) Al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab dengan maksud memudahkan pemahaman atau maksud lainnya tidaklah disebut Al-Qur’an.
c)      Wahyu Allah yang diturunkan kepada selain Muhammad SAW bukanlah Al-Qur’an.[18]
b.      Pokok-pokok isi Al-Qur’an
Pokok isi kandungan Al-Qur’an ada beberapa hal diantaranya:
 Tauhid. Yaitu kepercayaan terhadap ke-Esa-an Allah SWT, dan semua kepercayaan yang berhubungan dengan-Nya.
Ibadah. Yaitu semua bentuk perbuatan atau amaliyah sebagai manifestasi dari kepercayaan ajaran tauhid.
Janji dan ancaman (al wa’du dan al wa’id) yaitu janji pahala bagi orang yang percaya dan mau menjalankan dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an dan ancaman siksa bagi orang yang tidak mau menjalankan dan mengingkarinya. Banyak contoh ayat yang menerangkan tentang itu, sebagaimana firman Allah:




Artinya: “(hokum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’: 13-14)
Kisah umat terdahulu, seperti para Nabi dan Rasul dalam menyiarkan risalah Allah maupun orang-orang yang shaleh serta kisah-kisah orang yang menentang kebenaran Al-Qur’an agar dapat dijadikan suri tauladan. [19]

c.       Dasar Kehujahan Al-Qur’an dan kedudukannya sebagai sumber hokum
      Perlu diketahui al-Qur’an menempati kedudukan pertama atau tertinggi dari sumber-sumber hokum yang lain. Oleh karena itu, sumber hukum dan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui Malaikat Jibril untuk disampaikan kepada umat manusia agar diamalkan segala yang diperintahkan-Nya dengan imbalan bagi yang mengerjakan dan ditinggalkan  segala yang dilarang-Nya. Disamping itu Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia untuk diamalkan isinya. Firman Allah SWT:


Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang karena membela oaring-orang yang berkhianat”. (QS. An-Nisa’: 105)


Artinya: “Dan ini adalah Kitab (Al-Qur’an) yang kami turunkan denggan penuh berkah, ikutilah, dan bertakwalah agar kamu mendpat rahmat.” (QS. Al-An’am: 155)

d.      Al-Qur’an sebagai pedoman dalam menetapkan hokum
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai pedoman hidup manusia dalam rangka peningkatan iman dan memperbanyak amal shaleh. Upaya peningkatan kehidupan manusia melalui tahap-tahapan sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.
      Pedoman Al-Qur’an dalam menetapkan hukumn sesuai dengan perkembangan  jasmani dan rohani manusia, karena manusia berawal dari kelemahan dan ketidakmampuan. Oleh karena itu, al-Qur’an berpedoman kepada tiga hal, yaitu:
     1). Tidak memberatkan dan menyulitkan (                           )
      Perintah yang ada dalam Al-Qur’an pada dasarnya sanggup dikerjakan oleh setiap manusia. Allah tidak akan membebani kepada manusia atas sesuatu di luar jangkauan atau kemampuan manusia. Jika manusia sulit mengerjakan, kemungkinan karena kondisi manusia itu sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Allah tidak kan memmbebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan-nya…”(QS. Al-BAqarah: 286).
Allah juga berfirman:

Artinya: “…..Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah: 185).
Dari kedua ayat tersebut, menjelaskan bahwa betapa Allah menyayangi manusia sebagai khalifah di bumi, sehingga dalam melaksanakan hokum tidak dituntut pelaksanaan di luar kesanggupan manusia.
2)  Menyedikitkan beban  (                                 )
      beban perintah yang Allah turunkan kepada umat Muhammad sebenarnya sangat minim dan ringan jika jika dibandingkan dengan umat-umat terdahulu.dalam pelaksanaanya banyak rukhsah (keringanan) dan pilihan yang fleksibel. Seperti keringanan menjamak dan menqashar shalat, boleh tidak berpuasa karena sakit dan dalam perjalanan, bertayamum sebgaipengganti wudlu, memakan makanan yang haram pada situasi darurat dan lain-lain.
3)   Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum (                                          ).
Al-Qur’an turun secara bertahap. Demikian pula dalam menetapkan hokum. Sebagai contoh larangan minuman keras. Sebagaimana firman Allah:

 Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi, “Katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”(QS. Al-Baqarah: 219)


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk”.(QS. An-Nisa’:43)


 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS.al-Maidah:90).    
      Dari ayat diatas menjelaskan, bahwa pada tahap awal minuman keras itu tidak dilarang karena masih ada sedikit manfaat walaupun dosanya lebih besar. Tahap berikutnya, Allah melarang minuman keras tanpa terkecuali. Hal ini dilakukan setelah dipandang orang-orang sudah banyak yang meninggalkan kebiasaan minum khamar dan dipandang sudah cukup dengan kedua peringatan pada dua ayat di atas.
5. Sifat hukum yang ditunjukkan Al-Qur’an 
Pada dasarnya sifat hokum yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah kulli (umum) yaitu ayat-ayat yang memerlukan penjelasan dan juz’i (terperinci). Salah satu contoh ayat dalam al-Qur’an yang memerlukan penjelasan adalah tentang shalat dan zakat. Allah tidak memberikan perincian bagaimana caranya shalat dan berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan. Allah SWT berfirman:


Artinya: “Dan laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Maidah: 43)
Pada ayat di atas tidak ada penjelasan secara terperinci bagaimana tata cara mengerjakan dan berapa kadar zakat yang wajib dikeluarkan karena ayat tersebut hanya memberikan penjelasan sifatnya secara kulli dan untuk penjelasannya melalui hadist atau ijtihad.     

  1. Sunnah (Sumber Hukum Islam Kedua)
  1. Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti                 (tata cara, kebiasaan) atau                    (jalan atau dijalani).

Artinya: “Kebiasaan atau jalan yang dipandang baik atau jelek”.
Arti sunnah secara bahasa adalah:
1.                  Jalan yang ditempuh
2.                  Cara atau jalan yang sudah terbiasa
3.                  Sebagai lawan dari kata bid’ah
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ’Ajjaj al-Khatib (guru Besar Hadist Universitas Damaskus), sunnah berarti ”Segala perilaku Rasulluallahyang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qauliyah),perbuatan (Sunnah fi’liyah), maupun pengakuan (Sunnah taqririyah).[20]
Dengan pengertian seperti ini, maka yang dimaksud dengan As-Sunnah ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasullullah SAW baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li) maupun ketetapannya (taqriry).
Para ulama’ sepakat bahwa as-Sunnah dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hokum. Kekuatan hokum yang berasal dari Al-Qur’an dan menjadi sumber hokum yang wajib ditaati dan dijalankan. Karena sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat al-Qur’an yang kurang jelas atau sebagai penentu beberapa hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dasar kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hokum adalah firman Allah SWT:

Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasul….(QS. An-Nisa’: 59)
Dari dua ayat di atas dapat dipahami bahwa umat Islam wajib mempercayai Allah dan Rasulluallah, kemudian wajib mentaati semua yang bersumber dari rasul baik yang diperintahkan maupun yang dilarangnya.    
  1. Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam
1)      Al-Qur’an adalah sumber hokum pertama bagi syari’at Islam, sedangkan as-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua. Ayat-ayat al-Qur’an adalah qath’i dari Allah baik secara mujmal maupun tafsili. Seseorang harus kembali pada as-Sunnah dalam mencari ketetapan hukum jika tidak mendapatkan hokum yang dimaksud di dalam Al-Qur’an.
2)      Maksud as-Sunnah pada hakekatnya sudah terkandung dalam al-Qur’an. As-Sunnah adakalanya menjelaskan apa-apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an, membatasi hukum yang dating secara mutlak, serta memberikan ketentuan khusus terhadap hokum yang dating secara umum. Dengan demikian pula as-Sunnah menetapkan dan menguatkan hokum yang telah ada dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan yang dijelaskan lebih tinggi dan harus didahulukan daripada yang menjelaskan.
3)      Hadist muadz bin Jabal yang menerangkan urutan dalam menetapkan hokum, menunjukkan kedudukan antara sunnah Rasul terhadap al-Qur’an.[21]
  1. Pembagian As-Sunnah
Macam-macam as-Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut:
1)      Sunnah Qauliyah yaitu semua perkataan Rasullullah, yaitu ucapan Nabi SAW, yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa shahabat kepada orang lain. Misalnya, sabda Rasullullah yang diriwayatkan Abu Hurairah:

Artinya: “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatekhah (H.R.Buchori dan Muslim).  
2)      Sunnah Fi’liyyah yaitu semua perbuatan Rasullullah.Tidak semua perbuatan Nabi menjadi sumber hokum yang wajib ditaati. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pribadi atau khusus untuk nabi tidak wajib ditaati maupun diteladani kecuali ada penjelasan berupa hadist yang menganjurkan pengikutnya. Perbuatan nabi yang yang wajib dipatuhi dan dijadikan sebagai sumber hukum adalah perbuatan yang bersifat menjelaskan hokum yang bersifat mujmal, seperti tata shalat dan haji.
3)      Sunnah Taqririyah yaitu penetapan dan pengakuan Nabi terhadap pernyataan atau perbuatan orang lain. Penetapan dan pengakuan Nabi adalah diamnya Nabi ketika melihat satu perbuatan para sahabat baik dikerjakan  di depan beliau. Diamnya Nabi berarti sama dengan Nabi sendiri yang berbuat dan menjadikan hujjah bagi seluruh umat.
4)      Sunnah Hammiyah. Yaitu sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan tetapi tidak samapai dikerjakan, seperti ketika beliau akan mengerjakan puasa tanggal 9 Muharram. Walaupun keinginan itu belum terlaksana, namun sebagian besar ulama’ memandang Sunnah berpuasa pada tanggal tersebut.
C. Dalil dan Metodologi Penggalian Hukum Islam
  1. Ijma’
a.      Pengertian Ijma’
Secara bahasa ijma’ (             ) berarti “kesepakatan” atau consensus atau (                          ) yang berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
      Ijma’ menurut istilah para ulama’ ushul fiqh, diantaranya adalah Abdul Karim Zaidan yang diintrodusir oleh Satria Efendi M.Zain, bahwa Ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa setelah Rasullullah wafat”.[22]

Sedangkan menurut Imam Ghazali,  bahwa ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Pendapat al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa ijma’  harus dilakukan umat Muhammad SAW, yaitu umat Islam, tetapi harus dilakukan oleh seluruh umat Islam termasuk orang awam. Alghazali pun tidak memasukkan dalam definisinya bahwa ijma’ harus dilakukan setelah wafatnya Rasullullah SAW. Alasannya, karena pada masa Rasullullah SAW sebagai syari’ (penentu atau pembuat hokum) tidak memerlukan ijma’.[23]
Menurut al-Amidi tokoh ushul fiqh Syafi’iyyah, menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat Islam, karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh seluruh umat yaitu melalui kesepakatan ahlul halli wal aqdi. Oleh karenaya lanjut al-Amidi, orang awam tidak diperhitungkan dalam proses ijma’.[24]             
Menurut Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khallaf bahwa, ijma’ adalah “kesapakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW, setelah wafatnya  beliau, terhadap suatu hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa ijma’  tersebut hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu’ (amaliyah praktis).[25]
      Dari definisi di atas, jumhur ulama’ menyatakan bahwa ijma’ tersebut hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulllullah. Rumusan ini dianggap karena ketika Rasullullah SAW masih hidup semua persoalan umat langsung ditanyakan kepada beliau, sehingga tidak diperlukan lagi ijma’.
Sebagai contoh tentang ijma’ adalah, dikumpulkannya dan dibukukannya tulisan al-Qur’an dalam bentuk mushaf pada masa khalifah Abu Bakar as-Shidiq adalah bentuk kesepakatan dari para ulama’ zaman shahabat. Ide pengumpulan al-Qur’an ini berasal dari ide Umar bin Khattab, tapi kemudian Abu Bakar mengumpulkan para ulama’ saat itu, sehingga terjadi perdebatan, karena hal itu tidak diperintahkan oleh Rasullullah SAW. Tetapi akhirnya para ulama’ menyepakati untuk mengumpulkan dan membukukan al-Qur’an. 
b.      Rukun dan Syarat Ijma’
Jumhur ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, [26] yaitu:
1.      Yang terlibat dalam pembahasan hokum syara’melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara para mujtahid tidak setuju, sekalipun jumlahnya sedikit, maka hokum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
2.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hokum itu adalah seluruh mujtahid yang ada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
3.      Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.      Hokum yang disepakati itu adalah hokum syara’ yang bersifat actual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an.
5.      Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-Qur’an dan hadist.
      Di samping itu, jumhur ulama’ ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
                                                                        1.      Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
                                    2.      Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
                                    3.      Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

c.       kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama’ ushul fiqh berpendapat bahwa apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang  qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu, permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ulama’ ushul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama’ generasi berikutnya, karena hokum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hokum syara’ yang qath’i  dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan sunnah. [27]
      Alasan ulama’ ushul fiqh ini, adalah:
a)      berdasarkan firman Allah SWT:

artinya: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kamu……
Menurut ulama’ ushul fiqh ini, lafald ulil amri dalam ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpn di bidang agama (para mujtahid dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, Negara dan perangkatnya). Ibnu Abbas menafsirkan ulil amr dengan istilah para ulama’.      
b)      Alasan lain berdasarkan hadist Nabi:

Artinya: “Umatku tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-Tirmidhi)
Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa hadist di atas menunjukkkan bahwa suatu hokum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hokum umat Islam seluruhnya diperankan oleh para mujtahid. Oleh karena itu tidak mungkin para mujtahid melakukan kesalahan dalammenetapkan hokum.
d.      Tingkatan Ijma’
      Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan terhadap hokum syara’ itu, para ulama’ ushul fiqh membagi ijma’ kepada dua bentuk, yaitu ijma’ sharih/lafdhi dan ijma’ sukuti. [28]
a). Ijma’ sharih/lafdhi adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hokum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam sidang ijma’ setelah masing-masing mujtahid mengemukakkan pandangannya terhadap masalah yang dibahas. Ijma’ seperti ini, langka terjadi, apalagi dilakukan kesepakatan itu di dalam satu majelis atau pertemuan yang dihadiri seluruh mujtahid padamasa tertentu.
b)   Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hokum suatu masalah dan tersebar luas, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti [endapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.
      Para ulama’ ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ yang dapat dijadikan landasan hukum adalah ijma’ sharih, sedangkan ijma’ sukuti tidak karena menempati sebagai dalil zhanni. 
  1. Qiyas
  1. Pengertian Qiyas
Secara bahasa berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Sedangkan secara terminologi, menurut Sadr al-Syari’ah (Tokoh Ushul fiqh Hanafi. w.747 H/1346 M),  qiyas adalah:


Artinya: “Memberlakukan hokum asal kepada hokum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Maksudnya, illat yang ada pada suatu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan illat ini, maka hokum dari suatu kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hokum yang ditentukan oleh nash tersebut.
      Pengertian di atas oleh para ulama ushul fiqh, bahwa proses penetapan hokum melalaui metode qiyas bukanlah menetapkan hokum dari awal (istimbath al-hukm wa insya’uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hokum (al-kasyf wa al-izdhar li al-hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illat –nya sama dengan illat hokum yang disebutkan dalam nash, maka hokum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hokum yang telah ditentukan nash tersebut.
      Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hokum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara mendalam dan cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamar. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Maidah, 5:90-91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hokum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan khamar, karena illat keduanya adalah sama, yakni sama-sama memabukkan. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash –nya dengan hokum yang ada nash-nya baik dalm al-Qur’an maupun dalam al-Hadist, menyebabkan adanya kesatuan hokum. Inilah yang dimaksud oleh para ulama’ ushul fiqh , bahwa penentuan hokum melalui metode qiyas  bukan berarti menentukan hokum sejak semula, akan tetapi hanyalah menyingkapkan dan menjelaskan hokum untuk kasus yang sedang dihadapi dan mempersamakannya dengan hokum yang ada pada nash, disebabkan kesamaan illat antara keduanya.[29]
  1. Rukun Qiyas
Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, [30] yaitu:
a)      Ashl (              ), yaitu obyek hokum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’. Menurut para ulama’ ushul fiqh, ashl merupakan obyek yang telah ditentukan hukumnya oleh ayat al-Qur’an, hadist Nabi atau ijma’. Misalnya, pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya kepada khamar, maka yang ashl itu adalah khamar yang telah ditetapkan hukumnya melalui nash.
b)      Far’u (           ), adalah obyek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash  atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky dalam kasus di atas.
c)      ‘Illat (               ), adalah sifat yang menjadi motivasi dalam menentukan hokum, dalam kasus khamar di atas ‘illat –nya adalah memabukkan.
d)     Hokum al-Ashl (                       ), adalah hokum syara’ yang ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti keharaman meminum khamar. Adapun hokum yang ditetapkan pada far’u  pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.     
  1. Dasar hokum Qiyas
Menurut para ulama ushul fqh bahwa qiyas itu merupakan hujjah syar’iyyah terhadap hukum akal. Qiyas ini menjadi sumber hukum Islam, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwalain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan dalam nash. Alasan jumhur ulama’ ini berdasarkan hadist Rasullullah SAW ketika beliau mengajak dialog dengan Mu’az bin Jabal ke Yaman untuk menjadi qadhi (hakim) disana.









Artinya: “Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?, “Muaz bin Jabal menjawab, “saya akan cari hukumnya dalam kitabullah (al-Qur’an).”Kemudian Rasullullah melanjutkan pertanyaannya, jika engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitabullah?. Jawab Mu’az, “saya akan caridalam sunnah Rasulllullah. “selanjutnya Rasullullah bertanya,jika dalam sunnah Rasullullah SAW tidak engkau temukan hukumnya?. Jawab Mua’z, “saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat saya.”lalu Rasullullah SAW, mengusap dada Mua’z, seraya berkata, “Alhamdulillah tindakan utusan Rasullullah telah sesuaidengan kehendak Rasullullah.”(H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Thabrani, al-daraini, dan al-Baihaqi).
Dalam hadist di atas, jumhur ulama’ ushul fiqh, Rasullullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.[31]
d.      Sebab-sebab dilaksanakannya qiyas
Diantara sebab-sebab dilaksanakan qiyas adalah:
    1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash al-Qur’an dan hadist tidak diketemukannya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
    2. Karena nash, baik berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah telah berahir dan tidak turun lagi.
    3. Karena adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh .
  1. Istihsan
a.      Pengertian Istihsan
            Secara bahasa, istihsan berarti “menyatakan dan menyakini baiknya sesuatu”. Tidak terdapat perbedaan pendapat ulama’ ushul fiqh dalam mempergunakan lafald istihsan dalam pengertian etimologi, karena lafald yang sama dengan istihsan banyak dijumpai dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah SAW. Misalnya, dalam surat al-Zumar, ayat 18. Allah berfirman:

Artinya: “Orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya….    
Kemudian dalam sebuah riwayat dari Abdullah ibnu Mas’ud, Rasullullah SAW bersabda:

Artinya: “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah itu juga baik “. (H.R. Ahmad ibnu Hambal)
            Sedang menurut istilah ahli ushul fiqh, bahwa istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hokum yang dikehendaki oleh qiyas khafi (samara-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hokum yang bersifat khusus dan istisna’i (pengecualian), karena ada dalil-dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu. Misalnya, menurut kesimpulan Qiyas jali, hak pengairan yang berada di atas tanah pertanian yang diwakafkan, tidak dianggap ikut diwakafkan kecuali jika ditegaskan dalam ikrar wakaf, disamakan (diqiyaskan) dengan praktek jual beli karena sama-sama menghilangkan milik. Dalam jual beli, hak pengairan yang berada diatas sebidang tanah yang dijual tidak dianggap termasuk kkepada yang dijual kecuali ditegaskan dalam akad jual beli. namun berdasarkan istihsan yang berorientasi kepada kemaslahatan, hak untuk mengairi itu termasuk ke dalam tanah wakaf meskipun tidak ditegaskan pada waktu berikrar wakaf, karena diqiyaskan kepada sewa menyewa dengan persamaan illat sama-sama diambil manfaatnya. dilihat dari segi manfaatnya, qiyas  yang disebutkan terahir ini lebih kuat pengaruh hukumnya karena sejalan dengan tujuan disyari’atkannya wakaf, yaitu untuk diambil manfaatnya.[32]       
b.      Macam-macam Istihsan
            Ulama’ hanafiah membagi istihsan kepada 6 macam, yaitu:
a.  Istihsan bi al-Nash (istihsan berdasarkan ayat atau hadist). Maksudnya, ada ayat atau hadist tentang hokum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum. Misalnya dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum atau qiyas wasiat itu tidak boleh, karena ifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat dilakukan ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umumini dikecualikan melalui firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11.

      Artinya: “……setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang….
      Berdasarkan ayat ini, kaidah umum itu tidak berlaku untuk masalah wasiat. Misal istihsan dengan sunnah Rasul adalah dalam kasus orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum (qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkkan sesuatu kedalm kerongkongannya dan tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi, hokum  ini dikecualikan oleh hadist Rasullullah SAW, yang mengatakan:


      Artinya: “Siapa yang makan atau minum karena lupa tidak batal puasanya, karena hal itu merupakan rezeki yang diturunkan Allah kepadanya”. (H.R.Tirmidhi)
b.  Istihsan bi al-Ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma’). Misalnya adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama’ sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai. 
c. Istihsan bi al-qiyas al-khafy (Istihsan berdasarkan qiyas tersembunyi). Misalnya, dalam masalah wakaf lahan pertanian. Menurut ketentuan qiyas jaliy (qiyas yang nyata), wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh sebab itu, hak orang lain untuk melewati tanah tersebut atau hak orang lain untuk mengalirkan air ke lahan pertaniannya melalui tanah tersebut, tidak termasuk dalam akad wakaf itu, kecuali jika dinyatakan dalam akad. Menurut qiyas al-khafy (qiyas yang tersembunyi) wakaf itu sama dengan sewa menyewa, karena maksud dari wakaf itu adalah memanfaatkan lahan pertanian yang diwakafkan. Dengan sifat ini, maka seluruh hak orang lain yang telah ada di lahan pertanian itu atau hak mengalirkan air di atas lahan pertanian tersebut, termasuk kedalam akad wakaf, sekalipun tidak dijelaskan dalam akad. Apabila seorang mujtahid mengambil hukum kedua (qiyas khafy), maka ia disebut berdalil dengan istihsan.
a.      Istihsan bi al-Maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya, ketentuan umum mnetapkan bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil komoditi yang diproduk pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggungjawab para buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan produk, maka ulama’ Hanafiah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik disengaja maupun ataupun tidak.
b.      Istihsan bi al-‘Urfi (istihsan yang berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Misalnya adalah dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas yaitu berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang ia pakai. Akan tetapi, apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang banyak. Oleh sebab itu, para ulama’ sepakat menyatakan bahwa boleh mempergunakan jasa pemandian umum, sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang terpakai.
c.       Istihsan bi al-dharurah (istihsan yang berdasarkan keadaan darurat). Artinya, ada keadaan-keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid tidak memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut  kaidah umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air, sulit untuk dikeringkan. Akan tetapi, ulama’ Hanafiyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis tersebut cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur itu, karena keadaan darurat menghendaki agar orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan hidupnya.[33]
c.       Kehujahan Istihsan
            Terdapat perbedaan pendapat ulama’ ushul fiqh dalam menetapkan istihsan sebagai salah satu metode/dalil dalam menetapkan hokum syara’.
            Menurut ulama’ Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian ulama’ Hanabilah, istihsan  merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hokum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.       Ayat-ayat yang mengacu kepada mengangkatkan kesulitan dan kesempitan dari umat manusia, yaitu firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185

      Artinya: …..Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…
b.      Rasullullah dalam riwayat Abdullah ibnu Mas’ud mengatakan:

      Artinya: Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam, maka ia juga  dihadapan Allah adalah baik. (H.R.Ahmad ibnu Hambal).
c.   Hasil penelitian dari berbagai ayat dan hadist terhadap berbagai permasalahan yang terperinci menunjukkan bahwa memberlakukan hokum sesuai dengan kaidah umum dan qiyas adakalanya membawa kesulitan bagi umat manusia, sedangkan syari’at Islam ditujukan untuk menghasilkan dan mencapai kemaslahatan manusia. Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid dalam menetapkan hokum memandang bahwa kaidah umum atau qiyas tidak tepat diberlakukan, maka ia boleh berpaling kepada kaidah lain yang akan dapat memberikan hokum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. [34]
            Sedangkan menurut ulama’ Syafi’yyah, Zhahiriyyah, Syi’ah dan Muktazilah tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hokum syara’.[35] Alasan mereka, sebagaimana yang dikemukakan Imam Syafi’i,adalah:
1)      Hokum-hukum syara’ ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an dan al-Hadist) dan pemahaman terhadap nash melalui kaidah qiyas. Istihsan bukanlah nash dan bukan pula qiyas, maka hal itu berarti ada hokum-hukum yang belum ditetapkan Allah yang tidak dicakup olah nash dan tidak bisa dipahami dengan kaidah qiyas. Hal itu tidak sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah:36.

Artinya: ”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (pertanggungjawaban).
2)      istihsan adalah upaya penetapan hokum dengan akal dan hawa nafsu saja. Jika boleh meninggalkan nash dan qiyas dan mengambil dalil lain, maka hal ini berarti membolehkan seseorang yang tidak bisa memahami nash atau qiyas menetapkan hokum berdasarkan istihsan, karena juga memiliki akal. Akibatnya, akan bermunculan fatwa-fatwa hokum yang didasarkan pada pendapat akal semata, sekaligus merupakan upaya pengabaian terhadap nash. 
3)      Istihsan tidak mempunyai criteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, tidak bisa pula dipertanggungjawabkan secara syar’i sehingga tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hokum.
4)      Rasullullah SAW tidak pernah mengeluarkan fatwanya berdasarkan istihsan. Ketika seorang bertanya kepada Rasul tentang hukuman suami yang mengucapkan kata-kata “engkau bagi saya seperti punggung ibuku (suatu ungkapan yang dinyatakan para ulama’ fiqh sebagai zhihar )”, Rasul tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu berdasarkan istihsan (sangkaan baiknya), tetapi ia diam saja sambil menunggu turunnya ayat zhihar(Q.S.al-Mujadilah: 2-4). Menurut Imam Syafi’I, jika Rasullullah saja tidak mau menetapkan hokum berdasarkan istihsan, maka sewajarnya, bahkan wajib bagi umat Islam untuk tidak menetapkan hokum atas dasar landasan istihsan. [36]  

  1. Istishab
a.Pengertian Istishab
            Menurut bahasa, istishab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatnya”.
      Sedang menurut istilah ulama’ ushul fiqh diantaranya Imam al-Ghazali, [37] istishab adalah berpegang pada dalil atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hokum yang telah ada. Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hokum tersebut, maka hokum yang telah ada di masa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya. Selama tidak ada dalil lain yang mengubah hokum itu.
      Menurut Ibnu Hazm (384-456 H/994-1064 M) [38] tokoh ushul fiqh Zahiriyah mendefinisikan istishab dengan: ”Berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (al-Qur’an atau hadist) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut”.
            Contohnya, seseorang membeli seekor kuda pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut telah terlatih untuk berpacu dan telah sering ikut pacuan. Akan tetapi, setelah dibeli, ternyata kuda tersebut belum terlatih untuk berpacu dan belum pernah ikut pacuan. Dalam kasus seperti ini, hokum  yang ditetapkan hakim adalah bahwa kuda tersebut memang belum terlatih untuk berpacu, karena pada dasarnya seekor kuda belum terlatih berpacu, kecuali ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kuda itu telah sering ikut dalam pacuan.
b.Macam-macam Istishab
             Para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa istishab itu ada lima macam,  yang sebagiannya disepakati dan sebagian lain diperselisihkan.[39] Kelima tersebut adalah:
a.  Istishab hukm al-ibahah al-asliyah. Maksudnya, menetapkan hokum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkkan bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang. Dalam kaitan ini, alas an yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berdasarkan firman Allah:

      Artinya: Dia- lah yang telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi ini….(Q.S. al-Baqarah: 29)
      Menurut ayat diatas, bahwa mencari rizki adalah hak setiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hokum boleh dan halal itu telah berubah. Misalnya, apabila hutan yang tadinya bisa dimanfaatkan setiap orang, berdasarkan keputusan pemerintah telah ditetapkan menjadi hak bagi orang tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah ini, maka hokum kebolehan memanfaatkan hokum tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ulama’ ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum.[40]
b. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus. Misalnya hokum wudlu seseorang yang telah berwudlu dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudlunya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan istishab, wudlunya itu dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudlu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudlu.
c. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang menghususkannya dan istishab  dengan nash selama tidak ada dalil yang membatalkannya (nasakh). Contohnya istishab dengan nash selama tidak ada yang me –naskh-kannya adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 183:

      Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi umat sebelum kamu….
      Kewajiban berpuasa di bulan ramadhan, yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash  lain yang membatalkannya.
d.   Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i.
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hokum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hokum dan akibat hokumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’yang menentukan hokum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang lain (tergugat) bahwa ia berhutang kepada penggugat sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk mengemukakan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada penggugat.
e.  Istishab hokum yang ditetapkan berdasarkan ijma’. Misalnya, para ulama’ fiqh menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan shalat.apabila shalatnya selesai ia kerjakan, maka shalatnya dinyatakan sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah shalatnya harus dibatalkan untuk kemudian berwudlu atau shalat itu diteruskan. Menerut ijma’ para ulama’ bahwa shalat itu sah dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menggangap hokum ijma’ itu tetap berlaku sampai adanya  dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan menggulang kembali shalatnya. [41]           
c.  Dasar Hukum Istishab
            Para ulama’ berbeda pendapat tentang kehujahan istishab:[42]
a.  Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menentukan hokum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya baik dalam al-Qur’an, As-Sunnah, maupun ijma’. Ulama’ yamg masuk golongan ini adalah Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama’ Hanafiyah serta ulama’ syi’ah.[43]  Dalil yang dijadikan mereka sebagai alasan, antara lain firma Allah SWT:

      Artinya:”Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna melawan kebenaran. Sunguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Q.S. Yunus: 36)
      Berdasarkan pada prinsip di atas, ulama’ ushul fiqh menetapkan kaidah-kaidah fiqh sebagai berikut:

 Artinya:”pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya.

Artinya: Apa yang diyakini adanya tidak hilang karena adanya keraguan.

Artinya:  Asal hokum sesuatu itu adalah boleh.
 
b.  Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hokum. Ulama’ golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama’ Mutalakilimin (ahli kalam). Menurutnya, istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena hokum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hokum yang sama pada masa sekarang dan yang akan dating, harus pula berdasarkan dalil. Alas an mereka, mendasarkan hokum pada istishab, merupakan penetapan hokum tanpa dalil, namun untuk memberlakukan hokum itu untuk masa yang akan dating diperlukan dalil lain. Istishab menurut mereka bukan merupakan dalil.karenanya menetapkan hokum yang ada di masa lampau berlangsung terus menerus untuk masa yang akan dating, berarti menetapkan suatu hokum tanpa dalil. Hal ini tidak diperbolehkan oleh syara’.[44]


5.      Al-Mashalih Al-Mursalah
a.Pengertian Maslahatul Mursalah
            Menurut bahasa, maslahatul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Sedangkan menurut istilah ulama’ ushul fiqh bahwa penetapan hokum berdasarkan pada kemaslahatan yaitu manfaat bagi kehidupan manusia dan menolak kemadharatan darinya, yang tidak ada ketentuannya dalam nash baik yang membolehkan atau melarangnya.[45]
            Contohnya adalah seseorang mengadakan transaksi jual beli untuk dinyatakan dengan tidak dicatat, tidak dapat dipakai dasar untuk dinyatakan bahwa jual beli itu tidak sah berdasarkan kepada maslahah.
b.Kehujjahan Maslahatul mursalah
            Jumhur ulama’ sepakat bahwa maslahatul mursalah dapat dijadikan sebagai sumber hokum. Ulama’ Syafi’iyah membolehkan maslahatul mursalah sebagai dalil syar’I, apabila sesuai dengan dalil kully atau juz’iy dari syara’. Sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah, menetapkan bahwa maslahah mursalah itu sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hokum.[46] Alasan yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
1                                                                                                                                      a. Kemaslahatan manusia itu terus berkembang dan bertambah mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan –kemaslahatan yang sedang berkembang itu tidak diperhatikan, sedang yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nashnya saja, niscaya banyaknya kemaslahatan-kemaslahatan manusia yang terdapat di beberapa daerah dan masa yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hokum dan syari’at sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Pada hal tujuan syari’at itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan masa.
b.      Menurut penyelidikan bahwa hokum-hukum, putusan-putusan dan peraturan-peraturan yang diciptakan oleh para shahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahidin adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Misalnya kebijaksanaan yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam mengumpulkan al-Qur’an dan menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran, memerangi orang-orang yang membangkang membayar zakat dan menunjuk Umar bin Khattab untuk menjadi khalifah sesudah beliau.
c.  Syarat-syarat Maslahatul Mursalah
            Untuk menjadikan maslahatul mursalah sebagai hujjah harus memenuhi 3 syarat.[47] Yaitui:
a.       Maslahat tersebut haruslah maslahat yang hakiki, bukan yang hanya berdasarkan wahm (perkiraan) saja. Artinya bahwa membina hokum berdasarkan kemaslahatan itu haruslah benar-benar dapat membawa manfaat  dan menolak kemadharatan
b.      Kemaslahatan itu hendaklah kemaslahatan yang umum, bukan kemaslahatan yang khusus untuk perseorangan. Karena itu harus dapat dimanfaatkan banyak orang atau dapat menolak kemadharatan yang menimpa kepada orang banyak.
c.       Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemaslahatan mempersamakan anak laki-laki dan perempuan dalam menerima warisan.

6.  Al-‘Urf
a.Pengertian ‘Uruf
            Secara bahasa, ‘uruf  berarti “yang baik”. Sedang menurut istilah syara’ adalah segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan turun temurun dan sudah menjadi adat-istiadat, baik berupa perkataan (qauly) maupun perbuatan (amaly).[48] Sebagai contoh adat kebiasaan yang berupa perkataan (‘uruf qauli) misalnya perkataan “walad” (anak) menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki saja, sedang anak perempuan tidak termasuk dalam perkataan itu. Sedang contoh adat kebiasaan yang berupa perbuatan (‘amali) seperti jual beli (ba’i) mu’athah yalni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab qabul, karena harga barang tersebut sudah dimaklumi bersama.
            Para ulama’ ushul fiqh membedakan antara ‘adat dan ‘uruf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hokum syara’.[49] Adat didefinisikan dengan:

Artinya: ”Sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa ada hubungan rasional.
                  Definisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara berulang-ulang menurut hokum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga mencakup persoalan yang amat luas, tidak hanya pribadi, seperti kebiasaan makan, minum dan yang lain, yaitu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan buruk.  Sedang menurut pengertian ulama’ ushul fiqh, ‘uruf adalah:
  
Artinya: ”kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan ataupun perbuatan.
              Sedangkan menurut Mustofa Abu Zarqa’ (guru besar fiqih Islam di Universitas ’Amman Yordania), [50] bahwa ‘uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘uruf. Menurutnya suatu ‘uruf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘uruf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan masyarakat tertentu yang menerapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari mas kawin yang diberikan suami dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan.
      b. Macam-macam ‘Uruf
            Secara garis besarnya para ulama’ ushul fiqh membagi ‘uruf  kepada dua macam: 
a.       ‘Uruf Shahih, adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadist), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa kemadharatan kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. Atas dasar itulah para ulama’ ushul fiqh membuat qaidah ‘al-‘adatul muhakkamah (Adat kebiasaan itu merupakan syari’at yang ditetapkan sebagai hukum).
b.      Al-‘Uruf Fasidah, adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’, misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar 10 juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak 11 juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunga sebesar 10 %.dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih dari 10 juta rupiah tersebutmungkin melebihi bungannya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan. Karena praktek seperti ini adalah praktek peminjaman yang berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang).[51]
c.       Syarat-syarat ‘Uruf:
a.       ‘Uruf  itu (baik yang bersifat khusus dan umum maupun yang bersifat perbuatan  dan ucapan), berlaku secara umum. Artinya, ‘uruf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
b.      ‘Uruf  itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul. Artinya ‘uruf yang akan dijadikan sandaran hokum itu lebh dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.dalam kaitan ini terdapat kaidah ushulliyah yang menyatakan:

Artinya: ‘uruf  yang datang kemudian tidak dapat dijadikan sandaran hokum terhadap kasus yang lama. 
c.       uruf  itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, seperti dalam membeli lemari es, disepakati oleh pembeli dan penjual, secara jelas, bahwa lemari es itu dibawa sendiri oleh pembeli ke rumahnya. Sekalipun ‘uruf  menentukan bahwa lemari es yang dibeli akan diantarkan pedagang ke rumah pembeli, tetapi karena dalam akad secara jelas mereka telah sepakat bahwa pembeli aan membawa barang tersebut sendiri ke rumahnya, maka ‘uruf  itu tidak berlaku lagi.
d.      uruf  itu tidak bertentangan dengan nash, sehingga menyebabkan hokum yang dikandung nash  itu tidak diterapkan. ‘uruf  seperti ini tidak dapat dijadikan dalil syara’, Karena kehujjahan ‘uruf  bisa diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hokum permasalahan yang dihadapi.  [52] 
d.      Kehujjahan ‘Uruf
            Para ulama’ ushul fiqh sepakat bahwa ‘uruf shahih, yaitu ‘uruf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘uruf ‘am dan ‘uruf khash, maupun yang berkaitan dengan ‘uruf al-lafdhi dan ‘uruf al-‘amali ,dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara’.
            Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-Qarafi (ahli fiqh Maliki),[53] harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat, sehingga hokum yang ditetapkan itutidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Sedangkan Menurut Imam al-Syatibi (ahli ushul fiqh Maliki) dan Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah (ahli ushul fiqh Hambali), [54] menerima dan menjadikan ‘uruf  sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hokum suatu masalahyang dihadapi. Misalnya, seorang yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan umum syari’at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah masyarakat, sehingga seluruh ulama’ madzhab mengangap sah akad ini. Alas an mereka adalah ‘uruf al- ‘amali yang berlaku.
            Para ulama’ juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-ur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada dalam Islam. Dari berbagai contoh diatas, para ulama’ ushul fiqh merumuskan kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘uruf, yaitu al-‘adat al-muhakkamah (adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum).   [55]                             
    
  1. Syar’u Man Qablana
a)      Pengertian Syar’u man Qablana
            Syar’u man Qablana (                             ) berarti syari’at sebelum agama Islam. Maksudnya, ajaran agama yang datangnya sebelum ajaran Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa, Nabi Isa,  Nabi Ibrahim dan lain-lain. [56]
            Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh syari’at Islam. Mereka juga sepakat bahwa pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hokum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishas dan hukuman bagi tindak pidana pencurian dan pelaksanaan khitan bagi orang laki-laki.
            Secara garis besarnya syari’at sebelum Muhammad (umat Islam) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a.       Apa yang disyari’atkan kepada mereka  juga ditetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad SAW, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa seprti firman Allah SWT:


      Artinya: “Wahai orang-orang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atasorang-orang yang (umat)sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. al-Baqarah: 183).
b.      Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari’atkan kepada kita. Misalnya yang disyari’atkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat ini tidak akan terhapus selain mmebunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidakakan suci kecuali harus dipotong bagian  yang terkena najis tersebut. Terhadap syari’at jenis kedua ini para ulama’ sepakat untuk ditinggalkan, karena syari’at kita telah menghapuskannya.
c.       Apa yang disyari’atkan terdahulu itu dikisahkan dalam al-Qur’an, akan tetapi tidak dinyatakan secara jelas oleh syari’at Nabi Muhammad SAW bahwa syari’at terdahulu itu wajib diikuti umat Islam atau tidak. Para ulama terjadi perbedaan pendapat.
            Menurut Jumhur ulama’ baik ulama’ Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah,[57] menetapkan bahwa hokum tersebut harus dipakai, sebab hokum tersebut telah diberikan kepada umat sekarang dengan kisahnya. Sementara sebagian yang lain tidak mewajibkan mengamalkannya. Sebab jika wajib, maka tentunya perintah tersebut akan dicantumkan secara jelas. Contohnya adalah qishas penyiksan semisal memotong jari orang harus dibalas dengan memotong jari pemotong. Begitulah dalam syari’at kitab Taurat sebagaimana yang digambarkan dalam QS al-Maidah ayat 45.     

  1. Syaddu Dzari’ah
a.Pengertian Saddu Al-Dzari’ah
            Menurut bahasa, dzari’ah (                         ) berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu”. Imam al-Syatibi mendefinisikan saddu al-Dzari’ah dengan: [58]

Artinya: “ Melaksanakan suatu pekerjaan ang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan.
Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan dicapai berahir pada suatu kemafsadatan.
      Contohnya, adalah dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakatnya) datang, seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian hartanya kepada anaknya, sehingga berkurang nishab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat. Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syara’, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah yang dilakukan itu adalah untuk menghindari kewajiban yaitu membayar zakat, maka perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunnat menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.
     b.Macam-macam Sadd al-Dzari’ah
            Ada dua pembagian Sadd al-Dzari’ah yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh. Saddu al-Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya dan sadd al-Dzari’ah dilihat dari segi jenis kemafsadatannya.
a.       Sadd al-Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya. Imam al-Syatibi mengeukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya, sadd al-dzari’ah terbagi kepada empat macam:[59]
1.      Perbuatan yang dilakukan itu membawa kemafsadatan secara pasti (qath’i). misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumah orang lain pada malam hari dan pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatan perbuatan ini dapat dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah tidak mengetahuinya. Bentuk kemafsadatan perbuatan ini dapat dipastikan, yaitu terjatuhnya pemilik rumah tidak mengetahuinya adanya sumur di depan pintu rumahnya. Perbuatan seperti ini dilarang dan jika ternyata pemilik rumah jatuh ke sumur tersebut, maka penggali lubang dikenakan hukuman, karena perbuatan itu dilakukan dengan sengaja untuk mencelakakan orang lain.
2.      perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual sejenis makanan yang biasanya tidak memberi madarat kepada orang yang memakannya. perbuatan seperti hukumnya mubah, karena yang dilarang itu adalah apabila diduga keras bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan.
3.      perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa kepada kemafsadatan. Misalnya, menjual anggur kepada produsen minuman keras. Penjualan seperti ini dilarang, karena dugaan keras (dzann al-ghalib) bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan, sehingga dapat dijadikan patokan dalam menetapkan larangan terhadap perbuatan itu.
4.      perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemaslahatan. Misalnya, kasus jual beli yang disebut bay’u al-‘ajal.  Jual beli seperti cenderung berimplikasi pada riba.
b. Dzari’ah dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah,[60]  dzari’ah dari segi ini terbagi kepada:
a.       Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk itu suatu kemafsadatan. 
b.      Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja, misalnya, seseorang yang menikahi seorang wanita yang dithalak tiga suaminya dengan tujuan agar suami pertama wanita itu bisa menikahinya kembali (nikah al-tahlil).
c.  Kehujjahan Sadd al-Dzari’ah
            Terdapat perbedaan pendapat ulama’ terhadap keberadaan saddu al-dzari’ah ini sebagai sumber hukum:
  1.  Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah [61] menyatakan bahwa saddu al-dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan adalah firman Allah:
 
      Artinya: Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan….
                  Al-Qurthubi, seorang ulama’ madzhab Maliki menyatakan: “Sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong kepada perkara yang dilarang (maksiat) ada kalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan”. Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk saddu al-dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk saddu al-dzari’ah.
                  Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Syi’ah [62] bahwa saddu al-dzariah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hokum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah.  Dalam sebuah hadist, Nabi SAW mengatakan:

Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan.”(HR. Bukhori Muslim)

  1. Madzhab Shahabi
       a.Pengertian Mazhab Shahabi
            Yang dimaksud MazhabShahabi (                              ) berarti “pendapat para shahabat Rasullullah SAW, yang berupa pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama’, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum (ijtihad), baik ijtihad yang disepakati (ijma’) maupun ijtihad yang  tidak disepakati.
            Masalah mazhab shahabat ini muncul, karena para tabi’in dan tabi’ut tabi’in banyak yang membukukan dan meriwayatkan fatwa shahabat secara teratur, sehingga menyamai pembukuan hadist-hadist. Sebagai contoh adalah perkataan Aisyah RA:

Artinya: “kandungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih dari dua tahun”.
Menurut keterangan Aisyah ini bahwa waktu mengandung maksimal ialah dua tahun tidak lebih sedikitpun. Pendapat ini tidaklah semata-mata hasil ijtihad atau penyelidikian yang dilakukan oleh Aisyah ra. Dengan demikian keterangan ini adalah bersumber dari apa yang telah didengarnya dari Rasullullah SAW., meskipun secara lahiriyah pendapat ini diungkapkan oleh Aisyah ra. Lalu muncul pertanyaan, “Siapa yang disebut Shahabat” ? Menurut ulama’ para ulama’ ushul fiqh, adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasullullah SAW, dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasullullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai shahabat”. [63]
     b.Kehujjahan Mazhab Shahabi
            Para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa pendapat shahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hokum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para shahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian para ulama’ ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ shahabat secara jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya, dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan.
            Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah bisa menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
            Menurut Ulama’ Hanafiah, Imam Malik, Qaul Qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hambal, menyatakan bahwa pendapat shahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW:

Artinya: Hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudah saya……(H.R. Abu Daud dan Ahmad ibnu Hambal).
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hambal, sabda Rasullullah SAW. , itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah para shahabat.
            Sedangkan sebagian ulama’ Syafi’iyah, jumhur al-Asy’ariah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hokum, karena ijtihad mereka sama dengan ijtihad ulama’ lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. [64]        


BAB III

Metode Istimbath
Kata istimbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyuni (w.770 H) ahli bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.
                  Ayat-ayat al-Qur’an dalam menunjukkan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud hukumnya. Disamping itu terdapat satu pula perbenturan antara satu dalil dengan dalil lainnya yang memerlukan penyelesaian. Ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasullullah.
                 Secara garis besar, metode Istimbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasan, segi maqasid Syari’ah, (tujuan penetapan hukum), dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan. (ta’arud al-dalilah).         
A.    Amr (                                )
            Seorang mujtahid dituntut harus benar-benar memahami nash (Al-Qur’an dan Hadist). Berbagai bentuk ungkapan hokum dari ayat Al-Qur’an dan hadist harus dikuasainya. Bentuk paling umum dari hokum adalah perintah dan larangan. Adakalanya juga berbentuk kebolehan, dalam arti tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang.
            Dalam ilmu ushul fiqh, perintah disebut amr, sementara larangan disebut nahi. Bermacam cara yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan suatu amr (perintah). Demikian juga tidak sedikit ungkapan yang dipakai Al-Qur’an untuk menunjukkan nahi (larangan). Misalnya, untuk menunjukkkan amr, Al-Qur’an kadang hanya memberi janji kepada pelaku suatu perbuatan. Untuk menunjukkan suatu nahi, Al-Qur’an juga mencukupkan diri dengan menunjukkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu perbuatan.
            Pada dasarnya, suatu perintah menunjukkan hokum wajib dan suatu larangan menunjukkan hukum haram. Namun demikian, dalam banyak kasus kaidah ini tidak berlaku. Sebabnya adalah keberadaan konteks yang menyertai teks. Hasilnya, suatu perintah kadang kala hanya menunjukkan pengharaman.
            Untuk menentukan makna hokum dari suatu teks, seorang mujtahid tidak hanya dituntut menguasai gramatika bahasa Al-Qur’an. Ia mestinya juga menguasai kerangka tujuan-tujuan Syari’ah (maqasid al-Syari’ah). Nah, untuk mengetahui beberapa hal terkait dengan perintah dan larangan dalam hokum Islam, baiklah kalian menyimak uraian berikut.   
1. Pengertian Amr
            Menurut bahasa amr berarti suruhan, perintah. Sedang menurut istilah ialah:


Artinya: Suatu lafald yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak.[65]
2.Bentuk-bentuk Amr
Lafald yang menunjukkan kepada perintah sebagaimana dimaksudkan dalam pengertian di atas dinyatakan dalam beberapa bentuk, yaitu:
a.       Fi’il Amr, seperti:

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan….”.(al-Nisa’: 4) .
b. Fi’il Mudhori’, yang diawali                    seperti:

Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat ……(Al-Imron: 104)
c. Isim Fi’il Amr, seperti:

“……Jagalah dirimu……(al-Maidah:105)
d.  Masdar pengganti Fi’il, seperti:
“dan berbuat baiklah kepada ibu bapak”. (al-baqarah: 83)
e.  Jumlah Khabariyah/kalimat berita, seperti:

“Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan diri ( menunggu) tiga kali quru’(al-Baqarah: 83)
f.Kata-kata yang mengandung makna perintah, seperti (                                            ) dan sebagai jawab syarat, dan sebagainya. Di bawah ini akan dikemukakan contoh-contohnya:
Menggunakan kata faradha:

“Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka”. (al-Ahyab: 50)
Menggunakan kata kutiba:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa…”(al-Baqarah:183)
Menggunakan kata amara:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah…..”.
Sebagai jawab syarat:

Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat….(al-Baqarah: 196).
3)Kaidah-kaidah Amr
      Yang dimaksud dengan kaida-kaidah amr ini ialah ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mujtahid dalam mengistimbatkan hokum. Ulama’ Ushul merumuskan kaidah-kaidah amr dalam lima bentuk, yaitu:
Kaidah pertama:

Artinya: Pada dasarnya amr (perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah, antara lain seperti berikut ini.
            Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan suatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat atau dilaksanakan. Akan tetapi dalam perkembangannya, amr itu bisa dimaksudkan bukan wajib,antara lain seperti berikut ini:  
a. Nadb (             ) anjuran (sunnat), seperti:

“Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”. (al-Nur:33)
b. Irsyad (               ), membimbing atau memberi petunjuk, seperti:

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli…..(al-Baqarah:282).
            Amr dalam bentuk irsyad ini berbeda dengan yang berbentuk nadb. Dengan nadb diharapkan mendapat pahala, sedang irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berkaitan dengan adat istiadat dan sopan santun.
c. Ibahah (              ), boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti:

“Makan dan minumlah….(al-Baqarah: 60).
d. Tahdid (                 ) mengancam, atau menghardik, seperti:

“Perbuatlah apa yang kamu kehendaki….(al-Fusilat: 40).
e. Taskhir (                   ), menghina atau merendahkan derajat, seperti:

“Jadilah kamu kera yang hina”.(al-Baqarah:65).
f. Ta’jiz (                   ), menunjukkan kelemahan lawan bicara, seperti:

“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an…(al-Baqarah:23).
g. Taswiyah (                       ), sama antara dikerjakan dan tidak, seperti:

“Masuklah kamu kedalamnya (rasakanlah panas apinya), maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu”.(al-Thur:16)
h. Takzib (                     ), mendustakan, seperti:

“Katakanlah:“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”.(al-Baqarah: 111)
i. Talhif (                  ), membuat sedih atau merana, seperti:

“Matilah kamu karena kemarahanmu itu….(al-Imron:119).
j. Do’a (                 ), permohonan, seperti:

“Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu…..(al-Kahfi:10)
Kaidah Kedua :

Artinya: Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan.
Maksud dari kaidah ini adalah apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, kemudian datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan, seperti firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:

Artinya: “Apabila shalat (jum’at) telah dilaksanakan, maka bertebaranlah di muka Bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah”.(al-Jumu’ah:10)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setelah selesai melaksanakan shalat Jum’at diperbolehkan melakukan suatu pekerjaan, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat lain Allah menyuruh meningggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila panggilan shalat telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9 sebagai berikut:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kepada menggingat Allah dan tinggalkan jual beli” (al-Jumu’ah:9).
Dengan demikian, perintah bertebaran di muka Bumi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 10 tidak bersifat wajib, tetapi hanya dibolehkan.
Kaidah Ketiga:

Artinya: “Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”.
Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam surat Al-Hajj 27:

Artinya: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.(al-Hajj:27) Dalam hadist Nabi SAW dinyatakan:

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan ) haji, maka berhajilah kamu”.
            Namun demikian, para Ulama’ sepakat bahwa perintah melaksanakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dikerjakan di luar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya berdosa.
Kaidah Keempat:

Artinya: ”Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki penggulangan (berkali-kali mengerjakan perintah)”.
            Misalnya perintah menunaikan ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup. Namun bila perintah itu dimaksudkan penggulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada penggulangan. Menurut Ulama’ qarinah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
a.       Perintah itu dihubungkan dengan syarat, seperti wajib mandi setiap junub.

      Artinya: “Jika kamu berjunub, maka mandilah”.(QS. Al-Maidah:6)
b.                                                                                                                  Perintah itu dihubungkan dengan illat, dengan kaidah:

Artinya: “Hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya illat”.
      Seperti hokum rajam sebab melakukan zina. Lihat surat An-Nur ayat 2:

Artinya:”Wanita dan laki-laki yang berzina maka deralah masing-masing seratus kali”.
c.       Perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat, seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu:

Artinya: “Kerjakanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelapnya malam”.(al-Isra’:78)
            Dengan demikian jelas, bahwa berulangnya kewajibannya itu dihubungkan dengan berulangnya sebab. Dalam kaitannya dengan masalah ini Ulama’ menetapkan kaidah.
Kaidah Kelima:

Artinya: Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya”.
            Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Seperti kewajiban mengerjakan shalat. Shalat ini tidak dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah shalat berarti juga perintah bersuci. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Ulama’ menetapkan kaidah:

Artinya: “Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula”.
B.     Nahi (                           )
Menurut bahasa (                 ) berarti larangan. Sedang menurut istilah :

Artinya: “Larangan ialah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.
1.      Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada “nahi” (larangan) itu ada beberapa bentuk:
a)      Fi’il Mudhori’ (                          ) yang disertai dengan la nahiyah (                    ), seperti:
 Artinya: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.(al-Baqarah:11)
b)      Lafald –lafald yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(al-Baqarah:285)
2.      Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah Pertama
Menurut Jumhur:

Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”
Seperti : 
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina”.(al-Isra’:32)
Alasan yang dipakai oleh jumhur:
1.      Akal dapat memahami bahwa sighat (bentuk) nahi itu menunjukkan arti yang sebenarnya, yaitu melarang.
2.      Ulama’ salaf memahami sighat nahi yang bebas dari qarinah menunjukkan larangan.
Sebagian Ulama’ berpendapat:

Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh”.
           Menurut mereka bahwa nahi menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik. Karena itu, ia tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang pasti.
           Sighat nahi selain menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan beberapa arti, antara lain sebagai berikut:
1. Karohah, (                     ) seperti:

Artinya: “Jangan shalat di tempat (berlututnya) unta”.
2.  Do’a (                         ) seperti:

Artinya: “Wahai Tuhanku: “Janganlah menyiksa kami ketika kami dalam keadaan    lupa…..(al-Baqarah: 286)
3.  Irsyad (                     ) memberi petunjuk, mengarahkan seperti:

Artinya: “Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu.
4. Tahqir (                       ), menghina, seperti:

Artinya: “Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada ”.(al-Hajr: 88)
5. Bayan al-Aqibah (                         ), seperti:

Artinya: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati.(al-Imron: 169)
6. Ta’yis (                         ), menunjukkan putus asa, seperti:

Artinya: “Janganlah kamu mengemukakan udzur pada hari ini”.(al-Tahrim: 7)
7.  Tahdid (                       ), seperti :


Kaidah Kedua:

Artinya: “Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.
Seperti: (                            ) artinya: “Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Larangan mempersekutukan Allah berarti perintah mentauhidkannya.
Kaidah Ketiga:

Artinya: “Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”.
           Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti:

Artinya: “Janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Larangan itu mempersekutukan Allah berarti perintah mentauhidkan-Nya.
Kaidah Ketiga:

Artinya: “Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”.
           Jadi larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti:

Artinya: “Janganlah engkau shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”.(al-Nisa’: 43)
Kaidah Keempat:

Artinya: “Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad(kerusakan) secara mutlak”.
Rasullullah SAW bersabda:

Artinya: “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.
           Dengan demikian, tetapi perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diperintahkan tertolak, dan tertolak berarti batal (tidak sah, fasad) hukumnya.

C.    ‘Am dan Khas (                                )    
1.      ‘Am dan Kaidahnya
Secara bahasa, ‘am berarti yang umum, merata dan menyeluruh. Sedangkan menurut istilah, ‘am sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Hamid Hakim adalah:


Artinya: “ Amm adalah lafald yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafald itu tanpa pembatasan jumlah tertentu.
      Contoh ‘amm adalah kata (                        ) yang artinya manusia. Di sini, arti manusia mencakup segala jenis manusia tanpa memperdulikan usia, jenis kelamin, kedudukan, dan segala embel-embel yang melekat pada manusia. Anak-anak dan orang tua, laki-laki dan perempuan, majikan dan buruh, guru dan siswa, semuanya masuk dalam kategori manusia.
2. Macam-macam Lafald ‘Amm
a.lafald-lafald yang mengandung arti umum seperti lafald: (                                            ). Contoh:





b. Lafald yang berbentuk isim syarat yakni yang bersifat ada balasan, antara lain seperti lafald : man, ma dan aina. (                                                   ). Contoh:





c. Lafald yang berbentuk isim istifham, artinya suatu kata Tanya, baik dengan lafald man, ma atau aina(                                          ). Contoh:



d. lafald yang nakirah (bersifat umum) yang didahului oleh nafi.
Contoh:




e. lafald yang berbentuk isim mausul, artinya isim yang digunakan untuk kalimat sambung. Antara lain lafald alladzi, alladzina, allati, atau allaati (                                   ). Contoh:


f. lafald ayyu  artinya “Kapan saja” (             ). Contoh:

g. lafald yang berbentuk ta’rif idhafah, artinya isim yang ma’rifah dengan jalan idhafah. Contoh:

Sedangkan secara bahasa, Khass  adalah(                                                                              ), lafald yang menunjukkan satu makna tertentu, makna satu tertentu tersebut biasa menunjukkan perorangan seperti Muhammad atau menunjukkan satu jenis seperti laki-laki atau menunjukkan bilangan seperti dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan sebagainya.
E. Khash dan Mukhosish (                                               )
1. Pengertian Khash dan Mukhosish
Kata Khash adalah isim fa’il yang mengandung arti khusus atau mengkhususkan atau menentukan.
            Dalam istilah ilmu ushul fiqh yang dimaksud dengan khash adalah:

Artinya: “Sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas”. [66]
Contoh: Lafald (                ) artinya seorang laki-laki. Dalam  hal ini terbatas pada seorang saja. (                    ) artinya orang laki-laki. Dalam hal ini terbatas pada dua orang saja. Demikian seterusnya.
            Adapun yang dimaksud dengan takhsish dalam ilmu ushul fiqh adalah:


Artinya: “Mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhosish”.
Maka lebih jelasnya mukhosish adalah dalil yang mengkhususkan suatu dalil umum.   
2. Pembagian Mukhossish (Dalil yang Mengkhususkan)
a.   Mukhassish Muttasil  (mukhassish yang bersambung) yaitu apabila makna suatu dalil berhubungan erat atau bergantung pada kalimat umum sebelumnya. Sebagai contoh misalnya orang berkata: “dia sendiri tidak menjaga kebersihan”. Perkataan tersebut tidak mungkin ada, bila tidak didahului oleh kalimat sebelumnya. Yakni erat hubungannya dengan kalimat yang sebelumnya.
                  Mukhassish muttasil dibagi menjadi lima, yaitu:
1) Pengecualian (istisna’). Contoh firman Allah SWT:

Yang dikhususkan dalam ayat di atas adalah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh. 
2) Syarat. Contoh firman Allah:

Di dalam ayat tersebut dikatakan lebih berhak kembali pada istrinya. Maksudnya adalah dalam masa iddah, tapi dengan syarat bila kembalinya itu dengan maksud islah (memperbaiki hubungan).
3) Sifat. Contoh firman Allah:

Sifat yang menghususkan dalam ayat tersebut  adalah sifat mukmin, yakni yang dimerdekakan itu harus atau dikhususkan pada hamba yang mukmin.
4)      Kesudahan. Contoh firman Allah:

Lafald “hatta” dalam ayat di atas menghususkan bahwa bolehnya didekati apabila telah suci.
5)  Sebagian ganti keseluruhan. Contoh firman Allah SWT:


Lafald “(         )” dan sesudahnya pada ayat tersebut di atas menghususkan keumuman sebelumnya, artinya sebagian orang yang mampu mengganti keumuman wajibnya manusia untuk haji.
b.   Mukhassish Munfasil (mukhassish yang terputus), yaitu dalil yang umm atau makna dalil yang umum dengan dalil atau makna dalil yang menghususkannya. Masing-masing berdiri sendiri, yang tidak berkumpul tapi terpisah.
            Ada beberapa macam muhosish munfasil, yaitu:
1) Kitab ditahsis dengan kitab. Yaitu dalil umum dan yang menghususkannya sama-sama dalam Al-Qur’an. Contoh firman Allah:
     
Ayat di atas masih umum, termasuk wanita hamil. Maka datang ayat lain yang menghususkannya, yaitu:

2) Kitab ditahsish dengan sunnah. Contoh:

Ayat tersebut bersifat umum, yakni mencakup anak yang kafir. Kemudian datang hadist yang menghususkannya, yaitu:

Artinya: “Tidak boleh mewarisi seorang muslim pada seorang kafir, an tidak boleh( juga) orang kafir pada orang muslim”. (Muttafaq Alaihi)
3)  Sunnah ditakhsish dengan kitab. Contoh:

Artinya: “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu bila masih berhadas hingga berwudlu”. (HR. Bukhori Muslim)
Hadist di atas bersifat umum, yaitu termasuk dalam keadaan tak dapat memperoleh air. Kemudian dikhususkan oleh ayat sebagai berikut:



4) Sunnah ditakhsish dengan sunnah. Contoh:

Artinya: “Tanaman yang dengan siraman hujan (zakatnya) adalah sepersepuluh”. (HR. Bukhori Muslim).
Hadist di atas ditakhsish oleh hadist berikut:

Artinya: “Tidak wajib zakat (tanaman) yangkurang lima wasaq”. (HR. Bukhori Muslim)
5) Mentakhsish dengan qiyas. Contoh:

Artinya: “menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu halal dilanggar kehormatanya dan boleh dihukum”. (HR.Ahmad)
Hadist di atas masih bersifat umum, yakni siapa saja yang menunda-nunda pembayaran/utang padahal ia mampu boleh dilanggar kehormatannya (dipaksa). Hadist tersebut ditakhsish, yakni tidak termasuk orang tua (ibu/ayah), dengan jalan mengqiyaskan kepada ayat yang tidak boleh berkata “ (       )” pada orang tua.      
F. Mutlaq dan Muqoyyad (                                    )
            Suatu ketika, ayah , ibu, atau kakak kalian mungkin pernah meminta kalian membelikan sesuatu. Misalnya, ayah kalian berkata, “Tolong belikan buah-buahan. Jika kalian lantas pergi ke Pasar atau Toko dan membeli belimbing, jeruk, dan apel, dan sebagainya yang termasuk buah, tanpa jelas buah apa yang ia kehendaki.
            Lain halnya jika ayah kalian berkata, “Tolong belikan buah anggur”, sementara kalian membeli buah nanas dan apel. Jika hal ini terjadi, kalian telah melakukan kesalahan, karena jelas-jelas ayah kalian berkata buah anggur.
            Contoh di atas adalah persoalan ketidakjelasan dan kejelasan makna kata. Dalam kehidupan sehari-hari, kalian bisa jadi sering menjumpai kasus seperti di atas. Kata-kta terlalu umum, maknanya dalam terminologi Ushul Fiqh dapat digolongkan ke dalam lafald ‘amm dan mutlaq.  Di sisi lain, kalian pun sering menjumpai kata-kata yang artinya sudah jelas dan spesifik. Kata-kata seperti ini dapat digolongkan ke dalam khass dan muqoyyad.
            Pernyataan yang terlalu umum tentu akan menyulitkan pendengar atau pembaca mencari maksud sesungguhnya. Karena itu, dibutuhkan kata lain yang bisa mengkhususkannya. Nah, supaya lebih jelas, perhatikan uraian berikut:
1.   Pengertian Mutlaq dan Muqoyyad
            Menurut bahasa Mutlak berarti tidak terkait. Menurut istilah Ulama’  ushul fiqh, mutlak ialah:

Artinya: “Suatu lafald tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafald yang menggurangi keumumannya”.
Contohnya: lafald roqobah dalam ayat (                                  ) Jadi lafald “raqabah” adalah mutlak. Sedangkan Muqoyyad menurut bahasa berarti terikat. Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan, Muqoyyad ialah “Suatu lafald tertentu yang dibatasi oleh batasan, lafald lain yang menggurangi keumumannya”. [67]
Contohnya: lafald “raqabah” dalam ayat (Fatahriru roqobah) Jadi lafald raqabah dalam ayat ini adalah muqayyad sebab dibatasi oleh lafald mukminah (raqabah mukminah).
2.      Hukum Lafald Mutlak dan Muqoyyad
            Nash  yang mutlak hendaknya tetap dipegang sesuai dengan sifat mutlaknya itu, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Demikian juga nash yang muqoyyad harus dipegang sesuai dengan sifat muqoyyadnya itu.
            Apabila dalam suatu nash khitab datang bersifat mutlak tetapi dalam nash lain bersifat muqoyyad, maka ada beberapa kemungkinan menurut para ulama’:
a.       jika persoalan dan hokum dalam nash itu sama rata keadaan mutlak dan muqoyyad terdapat pada hokum, maka harus berpegang kepada yang muqoyyad. Seperti ada seorang sahabat yang bersetubuh dengan istrinya siang hari pada bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada Nabi. Ia berkata: (                                       ) mendengar kata-kata itu (dalam suatu riwayat), Nabi bersabda:

      artinya: “Merdekakanlah budak sahaya, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau berilah makan enam puluh orang fakir miskin”.
      Namun dalam riwayat lain Nabi bersabda:

      Artinya: “Apakah engkau sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut”.
      Dalam hadist pertama tidak disebutkan lafald : (                         ) berturut-turut, berarti muqoyyad sedang dalam hadist kedua disebutkan, berarti mutlak. Maka yang dijadikan pegangan adalah hadist kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut.
b.      Jika persoalan hokum kedua nash itu sama serta dalam keadaan mutlak dan muqoyyad terdapat pada sebab hokum, maka harus berpegang kepada muqoyyad. Seperti dalam suatu hadist:

Artinya: “Pada lima ekor wajib zakat”.
Sedang pada riwayat lain dikatakan :

Artinya: “Pada lima ekor unta yang diternakan wajib zakat”.
Maka yang dijadikan pegangan adalah hadist yang kedua (muqoyyad), yaitu lima ekor unta yang diternakan wajib zakat.
c.       Jika persoalannya berbeda dan hukumnya sama, maka menurut jumhur Ulama’ Syafi’iyah wajib berpegang yang muqoyyad. Seperti mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zihar. Mengenai kifarat pembunuhan tersalah, Allah berfirman:

Artinya: “Bagi siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) dia memerdekakan hamba sahaya yang beriman…..”.(An-Nisa’:92)
Sedang mengenai kifarat zihar, Allah berfirman:

Artinya: “Maka hendaklah dia memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur…….”.(Al-Mujadalah: 3)
            Masalah yang ada dalam dua ayat tersebut berbeda, yaitu pada ayat pertama mengenai pembunuhan tersalah sedang pada ayat kedua tentang zihar. Hokum terhadap kedua sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Namun yang pertama disebutkan hamba sahaya. Karenanya, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zihar.
d.      Jika persoalan sama dan hokum berbeda, maka menurut Jumhur Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah harus berpegang kepada yang muqoyyad. Sedang menurut Malikiyyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada yang muqoyyad kepada masing-masing. Yaitu yang mutlak harus mutlak dan yang muqoyyad harus miqayyad. Misalnya mengenai bersuci (dengan tayammum dan wudlu).

Artinya: “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…” (Al-Maidah:6).

Artinya: “Usaplah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu….”. (Al-Maidah: 6).
Batas membasuh atau mengusap dalam dua ayat di atas berbeda. Untuk wudlu sampai siku-siku (muqoyyad) sedang untuk tayammum tidak ada batasan (mutlak). Karena itu, menurut jumhur Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah yang harus dipegang adalah sampai batas siku-siku (muqoyyad) dan untuk tayammum cukup mengusap sampai pergelangan tangan (mutlak).
e.       Jika persoalan berbeda dan hukumnya berbeda, maka yang harus dijadikan pegangan adalah masing-masing, yang mutlak sesuai dengan mutlaknya dan yang muqoyyad sesuai dengan muqoyyadnya. Misalnya kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat sumpah. Dalam kifarat pembunuhan tersalah dinyatakan:

Artinya: “Bagi siapa yang tidak memperoleh (hamaba sahaya), maka hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut”. (Al-Nisa’: 92).

Artinya: “Bagi siapa yang tidak memperoleh hamba sahaya maka hendaklah dia berpuasa tiga hari.”(Al-Maidah: 89).
Persoalan dan hokum dalam dua ayat di atas berbeda. Karena itu, hendaknya dijalankan sesuai dengan persoalan dan hokum masing-masing.  
G. Mantuq dan Mafhum (                                )  
1. Pengertian Mantuq dan Mafhum (                                     )
            Menurut bahasa Mantuq berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafald ketika diucapkan. Secara  istilah dilalah manthuq ialah:

Dilalah Manthuq adalah . Contohnya:

Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (al-Baqarah: 275).
            Lafald ayat ini secara jelas menunjukkan, bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram.
Sedangkan mafhum menurut bahasa berarti “pengertian”, dan menurut istilah:

Artinya: “Pengertian suatu lafald, bukan arti harfiah dari yang diucapkan”. Contohnya:

Artinya: “Janganlah engkau katakana kepada keduanya (ibu dan bapakmu) perkataan “us”….(Al-Isra’: 23).
Secara mantuq ayat ini mengharamkan mengucapkan “ah” kepada orang tua, namun mafhumnya haram menunjukkan haram memukul mereka. Haramnya memukul orang tua tidak ditunjukkan oleh lafald ayat ini, tetapi ditunjukkan oleh mafhum ayat.
 Dengan demikian, mantuq berarti arti yang tersurat sedang mafhum adalah tersirat.
a)      Macam-macam Mantuq
Mantuq dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Mantuq Nash, yaitu lafald yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti selain arti harfiyahnya.
Seperti : (                                      ) (maka hendaklah berpuasa tiga hari).
b. Mantuq Zihar yaitu suatu lafald yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiahnya. Seperti:(                                                              ) (Tangan Allah di atas tangan manusia)
Menurutnya zahirnya kata “  (            )” berati tangan, tetapi mustahil Allah bertangan, maka ditakwilkan kepada arti “kekuasaan” .
b)     Macam-macam Mafhum
Mafhum dapat dibagi menjadi:
  1. Mafhum  Muwafaqat, yaitu sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) hukumnya sama dengan apa yang diucapkan. Contohnya: Minum-minuman keras itu memabukkan. Khamar (arak) itu memabukkan dan dia diharamkan.karena itu hokum minuman keras itu sama dengan hokum khamr, yaitu haram. Mafhum muwafaqat ada dua macam, yaitu:
a)      Fahwal Khitab (                                          ), yaitu yang tidak diucapkan (mafhum)lebih utama hukumnya dari pada yang diucapkan. Seperti memukul ibu bapak itu hokumnya haram, sebab mengucapkan “ah/us” saja (lebih ringan dari memukul) juga haram apalagi memukul.
b)      Lahnul Khitab (                                      ), yaitu yang tdak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim ituharam, sebab memakannya juga haram. Keduanya sama-sama merusak harta mereka.
2. Mafhum Mukhalafah (                                 ), yaitu yang tidak diucapkan itu berlainan hukumnya maupun meniadakannya. Mafhum mukhalafah , terdiri:
a)      Mafhum sifat (                        ), yaitu berlakunya kebalikan, hokum sesuatu yang disertai dengan sifat apabila sifatnya itu tidak menyertainya. Seperti firman Allah surat An-Nisa’:25.


Artinya:” Bagi siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perjalannanya untuk menikahi wanita merdeka, suci lagi beriman, maka dia boleh menikahi wanita yang beriman dari hamba-hamba sahaya yang kamu miliki.
Mafhum dari boleh menikahi wanita hamba sahaya yang “beriman”  adalah tidak boleh menikahi wanita hamba sahaya yang kafir.
b)      Mafhum Syarat (                                     ), yaitu berlakunya hokum sesuatu yang dikaitkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya. Seperti firman Allah dalam surat An-Nisa’:4

Artinya: “Jika mereka dengan senang hati menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
      Persyaratan halalnya bagi suami memakan sebagian dari maskawin istrinya dengan penyerahan secara senang hati, mafhumnya jika istri itu tidak menyerahkannya dengan senang hati, maka haram atas suami memakannya.
c)      Mafhum Ghayah (                               ), yaitu berlakunya hokum yang disebut sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan hokum nilai tersebut terlampaui. Seperti firman Allah surat Al-Baqarah:187


Artinya:”Dan makan minumlah hingga terang abgimu benang putih dari benag hitam, yaitu fajar….
      Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Mafhumnya haram makan dan minum setelah terbut fajar.
d)     Mafhum Hasr (                                         ), yaitu hokum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Yang di luar batas berarti berlaku hokum kebalikannya. Seperti sabda Nabi:

Artinya:  “Riba itu hanya pada nasi’ah”
Dengan demikian, selain pada nasi’ah tidak ada riba.
e)      Mafhum Laqab (                                ), yaitu dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ali, Amin, berbentuk nama jenis, seperti emas, padi dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku hokum kebalikannya. Seperti hadist Nabi yang menerangkan tentang barang-barang yang mengandung riba:

Artinya: “(Menukar) emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah) yang serupa (sifatnya)sama (jumlahnya) suka sama suka.”

Bila penukaran barang yang sejenis, seperti dalam hadist tersebut dengan tidak sama jumlah hukumnya riba, maka mafhumnya selain enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.
c)      Berhujjah dengan Mafhum
            Para Ulama’ sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah. Sedang berhujjah dengan mafhum mukhalafah, para Ulama’ berbeda pendapat. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab. Sedang Ulama’ Hanafiah, Ibnu Hazm dan golongan Zahiriyah berpendapat bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah.
Jumhur membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah dengan syarat:
a)      Mafhum mukhlafah itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqat.
b)      Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam hubungan menguatkan suatu keadaan. Seperti firman Allah dalam surat An-Nahl: 14

Artinya: “Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan dari padanya daging yang segar”.
Mafhum mukholafahnya yang disebutkan itu tidak menjadi hujjah. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 187

Artinya: “(Tetapi janganlah kamu campuri mereka isteri-isteri, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Mafhumnya boleh mencampuri istri bila tidak beri’tikaf di  masjid tidakmenjadi hujjah.
c)      Sesuatu yang disebutkan itu bukan sesuatu yang biasa terjadi, seperti firman Allah dalam surat An-Nisa’: 23

d)     Sesuatu yang disebutkan itu bukan dalam rangkaian dengan sesuatu yang lain, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187. Ayat ini tidak mengandung mafhum mukholafah bahwa bagi orang yang beri’tikaf  bukan di masjid boleh bersetubuh dengan istrinya.
      H. Mujmal dan Mubayan  (                                      )
      1. Pengertian Mujmal dan Mubayan
      Yang dimaksud dengan pengertian mujmal ialah:

      Artinya : “Lafald yang sighatnya tidak ( jelas) menunjukkan apa yang dimaksud”.
      Sedang mubayan ialah:

Artinya: “Lafald yang sighatnya (jelas) menunjukkan apa yang dimaksud”. Lafald mujmal dapat terjadi pada :
a)      Lafald mufrad, baik yang berbentuk isim, fi’il maupun huruf. Yang berbentuk isim, seperti lafald (           ) bisa berarti suci dan haid. Yang berbentuk fi’il, seperti lafald  (                ) bisa berarti datang dan pergi. Yang berbentuk huruf, seperti (            ) bisa untuk ‘ataf  dan awal kalimat.
b)      Susunan kalimat, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 237

Artinya: “Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah ….”
Yang dimaksud dengan (                                                              ) dalam ayat tersebut belum jelas, apakah wali atau suami.
            Dengan demikian, lafald mujmal itu masih memerlukan penjelasan (bayan), sehingga dapat diketahui maksudnya secara jelas. Selama dalam keadaan mujmal, maka hukumnya ditangguhkan sampai ada bayan (penjelasan).
  1. Tingkat Bayan
            Yang dimaksud dengan bayan ialah menjelaskan status yang samar sehingga menjadi jelas.
a)      Bayan dengan kata-kata (                                    ) disebut juga sebagai bayan penguat. Misalnya dalam firman Allah, surat Al-Baqarah: 196

Artinya: “Maka wajib (puasa) tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna”.
Kata-kata (                                           ) menguatkan kata (                                        ) dan (                                         ) yang ditegaskan sebelumnya.
b)      Bayan dengan perbuatan (                                         ), seperti sabda Nabi (                                                                                ) menguatkan pelaksanaan shalat yang dilakukan Nabi.
c)      Bayan dengan Syarat (                                     ), seperti penjelasan Nabi tentang keharaman emas dan perak bagi laki-laki. Beliau bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya dua (barang) ini haram atas umatku yang laki-laki”.
d)   Bayan dengan meninggalkan  (                                         ), seperti hadist riwayat Ibnu Hibban berikut ini.

Artinya: “Yang terakhir dari dua perkara dari Nabi SAW.  Adalah tidak mengambil wudlu karena memakan sesuatu yang dimasak”.
e)  Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan (                                              ) seperti kisah ‘Uwaimir al-jailany tatkala bertanya kepada rasul tentang istrinya yang kelihatannya berbuat serong, maka rasul diam tidak memberi jawaban. Hal ini menunjukkan tidak ada hokum li’an. Setelah turun ayat li’an  Nabi bersabda kepada ‘Uwaimir:

Artinya: “Sesungguhnya telah diturunkan (ayat) Al-Qur’an mengenai kamu dan istrimu, dan Nabi menjalankan li’an antara keduanya.”
3.   Penangguhan Bayan
Setiap lafald “Am, Mutlak, Mujmal, Majas, dan Musytarak memerlukan penjelasan. Namun penjelasan tidak mesti segera datang atau ditangguhkan. Penangguhan itu ada dua, yaitu:      
a.       Penangguhan penjelasan dari waktu dibutuhkan (                                           ), mengenai masalah ini, para Ulama’ sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat dari waktu diperlukan. Karena penangguhan berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang masih mujmal. Seperti hadist riwayat Siti ‘Aisyah  mengenai kedatangan Fatimah binti Abu Hubais kepada Nabi seraya bertanya, “Hai Rasullullah, saya perempuan yang berpenyakit istihadhah. Sebab itu saya tidak pernah suci, apakah saya boleh meninggalkan sholat? Nabi menjawab:


Artinya: “Tidak, itu hanya semacam cairan dan bukan haid, maka apabila datang haid tinggalkan shalat dan apabila (haid)telah berlalu, maka basuhlah darah itu dari dirimu dan laksanakanlah shalat.
Hadist ini menjelaskan tentang tidak wajibnya bersuci bagi wanita niscaya rasul memberikan penjelasan di waktu itu juga, karena pada waktu itulah penjelasan diperlukan.
b.   Penangguhan penjelasan dari waktu khitab (                                               ), artinya bahwa pada turunnya perintah belum ada penjelasan pelaksanaannya datang kemudian dengan dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi dan selanjutnya oleh Nabi kepada umatnya. Penangguhan penjelasan seperti ini menurut Jumhur Ulama’ fiqh dan Mutakallimin hukumnya boleh.
I.   Muradif dan Mustarak (                               )
1.  Pengertian Muradif dan Mustarak
            Yang dimaksud dengan muradif (sinonim) ialah (                                                 ) artinya: “Beberapa lafald menunjukkan satu arti” , seperti lafald (                  ) dan (                        ) , artinya singa.
            Sedang mustarak ialah: (                                                                    ) artinya: “satu lafald yang menunjukkan dua makna atau lebih”. Seperti lafald (          ) bisa berarti bersuci dan haid, dan al-maula juga mem hitam.
2.  Hukum Muradif
            Para Ulama’ berbeda pendapat, apakah dua lafald atau lebih yang mempunyai arti sama dapat dipertukarkan dalam pemakaiannya atau tidak.
            Mengenai masalah ini para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Namun pendapat yang kuat membolehkan selama tidak ada halangan syara’. Kebolehan ini pun terbataskepada selain lafald-lafald al-Qur’an. Sebab al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang tidak boleh ditukar ataupun diganti.
  1. Hukum Musytarak
            Para Ulama’, termasuk Imam Syafi’I, Qadhi Abu Bakar dan Al-Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafald musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh. Alasan mereka adalah firman Allah:




Artinya: “Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak diantara manusia? (QS. Al Hajj: 18)
            Lafald sujud dalam ayat di atas mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki, yaitu tunduk dan meletakkan dahi dibumi. Bagi mahluk yang tidak berakal, seperti bulan, matahari, bintang, arti sujud adalah tunduk. Sedang bagi manusia adalah meletakkan dahi di atas bumi. Bila arti sujud bagi manusia adalah tunduk, maka Allah tidak mengakhiri firman-Nya dengan (                                        ) sebab arti tunduk mencakup semua manusia seperti halnya mencakup semua mahluk tidak berakal.
            Karena itu pula Imam Syafi’i mengartikan kata mulamasah dalam firman Allah (                                                                 ) dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama. 

J. Zahir dan Takwil (                       )
1. Pengertian Zihar dan Takwil
            Yang dimaksud dengan dhahir ialah suatu lafald yang jelas dalalahnya menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan factor lain di luar lafald itu. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 275.

Artinya: “……..Allah telah menghalalkan jual belidan mengharamkan riba..”.
Ayat ini secara zahir menunjukkan halalnya jual beli dan haramnya riba.
            Sedang takwil ialah mengalihkan lafald dari makna zahirnya kepada makna yang mungkin baginya berdasarkan dalil, baik berupa nash, qiyas, ijma’ maupun prinsip-prinsip umum bagi pembinaan hokum, sehingga menjadi jelas. Seperti kata “(           )” yaitu tangan “disamping mempunyai makna asal, yaitu “tangan”  juga ada kemungkinan makna yang lain, yaitu “kekuasaan”.
2. Syarat-syarat Ta’wil
a. Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Al-Qur’an dan Hadist), qiyas maupun jiwa syari’ah dan dasar-dasarnya yang umum.
b.  bila dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qiyas jail) dan bukan khafi.
c.  Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syari’at.
3. Hal-hal yang dapat Menerima Ta’wil
            Jumhur Ulama’ sepakat bahwa masalah-masalah furu’ dapat menerima ta’wil. Sedang masalah-masalah Ushul atau aqidah, seperti soal sifat Tuhan, kepercayaan dan pokok-pokok agama, mereka berbeda pendapat.
a. Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut tidak perlu dita’wilkan, karena maknanya sudah jelas dan berlaku menurut zhahir.
b. Golongan Ulama’ Salaf menyatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah menerima ta’wil, tetapi ta’wilnya diserahkan kepada Allah.
c.  Golongan Ulama’ Khalaf berpendapat bahwa masalah-masalah tersebut menerima ta’wil.
Diantara contoh masalah aqidah yang diperselisihkan para ulama’ adalah firman Allah:

Artinya: “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. (QS. Al-Fath: 10)
            Menurut golongan pertama (musyabbihah), bahwa Allah mempunyai tangan seperti tangan kita. Mereka menggangap Allah mempunyai tubuh. Pendapat ini jelas salah sebab mereka mempersamakan Allah dengan mahluknya.   
            Menurut golongan kedua (ulama’ salaf), bahwa apa yang dimaksud dengan kata (     ) yaitu tangan, dalam ayat tersebut terserah kepada Allah sebab manusia tidak mungkin mampu menjangkau zat Allah. Dalam hadist dinyatakan, “Berfikirlah kalian tentang mahluk Allahdan jangan berfikir mengenai zat-Nya, sebab kalian tidak mungkin mampu menjangkaunya”.
            Menurut golongan ketiga (ulama’ khalaf), bahwa yang dimaksud dengan tangan dalam ayat di atas adalah kekuasaan Allah, sebab mustahil Allah mempunyai tangan atau bertubuh. Oleh karena itu, dalam mengartikan kata (         ) dengan kekuasaan. Dan ini paling sesuai dengan ke –Maha sucian Allah dari sifat –sifat penyeruapaan dengan makhluk-Nya. Sebaliknya, bila (            ) diartikan dengan tangan berarti menyerupakan Allah dengan mahluk. 
BAB IV
HUKUM SYARA’
            Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beerapa obyek kajian ushul fiqh. bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena itu, begitu penting kedudukan hukum syara’ dalam kajian ini, maka lebih dahulu dijelaskan hakekat hukum syara’ itu sendiri serta berbagai macamnya.
            istilah hukum syara’ bermakna hukum yang digali dari syari’at Islam. berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang Hakim (pembuat hukum), al-Mahkum fih (perbuatan manusia), dan mahkum ‘alaihi (mukalaf).   
     A.Hukum Syara’
            Menurut pengertian para ulama’ ushul fiqh bahwa hukum secara bahasa adalah al-man’u yakni “mencegah” atau “memutuskan”. Sedangkan menurut istilah, hokum ialah:




Artinya:“ Khitab (perintah) Allah atau sabda Nabi mengenai segala pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal) baik perintah itu mengandung tuntutan, suruhan, larangan ataupun semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu sebab, atau syarat, atau penghalang terhadap sesuatu hokum.”
            Kitab Allah yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam nafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. kalam Allah seperti itulah yang dimaksud dengan hakekat hukum syara’. kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafdzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur’an populer dikenal dengan dalil-dalil hukum karena merupakan petunjuk kepada hukum yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. oleh karena yang dapat dijangkau oleh kalam lafdhi Allah dalam bentuk ayat-ayat al-Qur’an, maka populer dikalangan ahli ushul fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah teks-teks ayat hukum itu sendiri yang mengatur amal perbuatan manusia.          
            Mayoritas ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa kalimat “tuntutan Allah Ta’ala” tersebut maksudnya adalah Al-Qur’an.Dalam Al-Qur’an itu telah mencakup Sunnah dan ijma’. Dengan demikian, apa yang dimaksud Al-Amidi, telah tercakup pada kalimat “tuntutan Allah Ta’ala” dalam definisi jumhur ulama’ ushul fiqh di atas. Para ulama’ ushul fiqh menetapkan bahwa sumber hukum tersebut adalah Al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan Qiyas. namun demikian, para ulama’ kontemporer seperti Abdul Wahab Khallaf, dan Ali Hasballah [68] menyatakan bahwa sumber hukum yang sebenarnya hanyalah Al-Qur’an dan Hadist, sedangkan Ijma’ dan Qiyas hanyalah dihasilkan dari bentukan Ijma’ dan Hadist yang sumber hukumnya berasal dari Al-Qur’an dan hadist.
            Dari kalimat “perbuatan mukallaf”, para ahli ushul fiqh selanjutnya mengatakan bahwa yang dibebani hukum adalah orang yang telah baligh dan berakal sehat. Sikap dan tingkah laku orang-orang yang seperti inilah yang dibebani hukum. Oleh karena itu orang yang gila, anak kecil, orang yang berbuat karena keadaan terpaksa dan orang yang lupa, hal ini tidak dikenai dengan pembebanan hukum. “Orang mukallaf” dalam definisi tersebut termasuk dalam kategori ithlaq al-amm  wa iradah al khusus artinya pemakaian lafald itu adalah untuk orang banyak, tetapi yang dituju sebenarnya adalah setiap orang yang telah baligh dan berakal.
            Selanjutnya, terdapat pendapat ulama’ ushul fiqh dan ulama’ fiqhdalam mengartikan hukum. menurut ulama’ fiqh, hukum adalah “akibat yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) Syari’ berupa wujub, mandhub, hurmah, karahah dan ibahah.  Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Akan tetapi, ulama’ ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syari’ itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya firman Allah SWT:

Dirikanlah Sholat dan tunaikan zakat.
Teks ayat ini, menurut ahli ushul fiqh, disebut dengan ijab, akibat yang ditimbulkan dalil disebut dengan wujub, dan perbuatan yang dituntut disebut dengan wajib.Akan tetapi, ulama’ ushul fiqh tidak membedakan dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil, karena itu keduanya mereka sebut dengan wujub, dan perbuatan itu sendiri mereka sebut dengan wajib. 
           Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para Ulama ushul fiqh di atas bahwa hukum itu tidak hanya satu jenis saja atau penetapan terkadang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Oleh karenanya, para ulama’ ushul fiqh membagi hukum kepada dua bagian, yaitu taklifi dan wadhi.[69]
      B.Pembagian Hukum Syara’
1.      Hukum Taklifi
a.   Pengertian hokum Taklifi
            Menurut Jumhur ulama’ Ushul Fiqh, pengertian hukum taklifi adalah:

Artinya:Ketentuan-ketentuan Syari’ (Allah dan Nabi) yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih antara melakukan atau meninggalkan.”[70]
Oleh para Ulama’ Ushul fiqh pengertian”hukum taklifi”sering dikenal dengan hukum yang berhubungan dengan pemberian beban. Misalnya:
a.       Khitab  yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para mukallaf:

Artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka…….(QS.At-Taubah:103)

Artinya:“Dan (diantara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah…..(QS.Ali Imran:97)
b)  Misalnya juga khitab yang mengandung tuntutan untuk ditinggalkan ialah:


Artinya:”Diharamkan  bagimu bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih dengan nama selain Allah.......(al-Maidah:3)
c)   Juga khitab yang mengandung pilihan antara dikerjakan dengan ditinggalkan ialah:

Artinya:”Apabila telah selesai sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.......(al-Jum’ah:10)

   B.Macam-Macam hokum taklifi
            Para Ulama’ Ushul Fiqh telah menyelidiki dengan seksama, mereka telah sepakat bahwa hokum-hukum agama atau hukum taklifi dibagi menjadi lima macam,[71]  yaitu:
a)      Ijab. Yang disebut ijab ialah khitab Syari’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan denagn tuntutan yang pasti. Dampak dari khitab ini disebut wajib, yaitu hokum yang mengandung suruhan untuk dikerjakan. Seperti firman Allah SWT:  

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu semuanya berpuasa seperti halnya  umat-umat sebelum kamu supaya kamu semuanya menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Baqarah: 184)
      Adapun dampak dari ijab tersebut dinamakan wujub, sedangkan pekerjaan yang dikenai hukum dinamai wajib artinya tuntutan Tuhan yang harus dilaksanakan orang mukallaf, di mana orang yang melaksanakannya mendapat pahala dan orang yang meninggalkannya mendapat siksa.
b)      Nadab. Ialah khitab Syari’ yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. Umpamanya, firman Allah SWT:


Artinya: “Apabila kamu berhutang untuk hutang pada waktu ketika yang telah ditentukan, maka tulislah”.(QS.al-Baqarah: 282)
Adapun dampak dari nadab tersebut ialah perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan secara sukarela itu disebut sunnat atau mandub.  sedangkan pekerjaan yang dikenai hokum dinamai nadab artinya tuntutan Tuhan yang bersifat hanya suruhan artinya tidak ada unsur paksaan bagi orang mukallaf, dimana orang yang melaksanakan perbuatan mendapatkan pahala dan orang yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa.
c)      Tahrim Ialah khitab Syari’ yang menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas. Dampak dari khitab tersebut dinamai hurmah  dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau mahzhur. Contohnya firman Allah:

Artinya: “Janganlah kamu mengucapkan kepada kedua orang tuamu dengan kata “ufh”(QS.Al-Isra’:23)
Ulama’ Hanafiah berpendapat, jika larangan itu berdasarkan dengan dalil qath’i, disebut tahrim sedangkan jika berdasarkan dalil zhanni disebut karahah tahrim. Misalnya larangan sembahyang dalam keadaan mabuk (hilang ingatan) adalah haram hukumnya jika dikerjakan, karena tuntutan untuk meninggalkan sembahyang tersebut berdasarkan dalil qath’i, yakni firman Allah:

Artinya: “hai orang-orang yang, jangan kamu bersembahyang, sedang kamu dalam keadaan mabuk.. beriman.........(al-Nisa’:43).
d)     Karahah Ialah khitab Syari’ yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. Dampak dari khitab ini disebut karahah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkannya disebut makruh. Karahah ini oleh ulama’ Hanafiah dinamakan karahah tanzih.. Contohnya:

Artinya: “Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS. Al-Maidah: 9).
Hukum serupa diatas dinamai karahah, dan pekerjaan yang dikenai hokum dinamakan makruh artinya suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah untuk ditinggalkan oleh orang mukallaf. Jadi tidak merupakan suatu keharusan untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan makruh akan mendapat pahala, sedangkan yang melakukannya tidak akan mendapatkan siksa.
e)      Ibahah (membolehkan), yaitu khitab  Syari’ yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya, atau hokum yang mengandung kebolehan untuk memilih antara melakukan atau meninggalkan. Contohnya firman Allah:


Artinya: “apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebarlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah: 10)
2.Hukum Wadh’i
a.   Pengertian hukum Wadh’i
            Para ulama’ ushul fiqh memberikan definisi hukum wadh’I ialah:

Hukum wadh’i ialah ketentuan-ketentuan  syari’ yang mengatur tentang sebab, syarat atau penghalang (mani’) sesuatu, atau hokum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang (mani’) (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi).
Contohnya adanya sebab sesuatu, ialah firman Allah:



Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, bila kamu hendak shalat, maka cucilah mukamu dan tangan-tanganmu sampai siku........... (al-Maidah: 6)
Dari pengertian ayat di atas adalah kemauan menjalankan shalat adalah menjadi sebab kewajiban wudhu’.
b.    Macam-macam hukum wadh’i
            Para Ulama’ Ushul Fiqh menyatakan bahwa hukum wadh’i itu dibagi menjadi enam macam, [72] yaitu:
1.Sebab (              ) yaitu sifat yang nyata dan dapat diukur yang dijelaskan oleh nash (al-Qur’an dan Sunnah) bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hokum syara’. Artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hokum, dan hilangnya sebab menyebabkan hilangnya hokum. Misalnya, perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat zhuhur, dan terbenamnya matahari menjadi sebab shalat magrib.   Dengan demikian terllihat keterkaitan antara hokum wadh’idalam hal ini adalah sebab, dengan hokum taklifi, sekalipun keberadaan hokum  wadh’i iu tidak menyentuh esensi hokum  taklifi. Akan tetapi, para ulama’ ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
2. Syarat (               ) yaitu sesuatu yang berada di luar hokum syara’, tetapi keberadaan hokum syara’ tergantung kepadanya, apabila syarat tidak ada, maka hokum pun tidak ada. Tetapi adanya tidak mengharuskan adanya hokum syara’. Oleh sebab itu, suatu hokum taklifi tidak dapat ditetapkan syara’. Misalnya, wudhu adalah salah satu syarat sah sholat. Sholat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu. Akan tetapi, apabila seorang berwudhu, maka tidak mesti ia harus melaksanakan shalat.
3.Penghalang/Mani’ (                  ) yaitu sifat yang nyata keberadaannya menyebabkan tidak ada hokum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebakan terciptanya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat, maka istri dan anak mendapatkan pemabagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang tersebut.
4.Sah (              ) yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dhuhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah berwudhu (syarat), dan tidak halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas dan sebagainya).dalam contoh di atasitu, apabila sebab tidak ada dan syarat tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun mani’-nya tidak ada.
5.Batal (              ) yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hokum yang ditimbulkannya. Misalnya, memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’. Jumhur ulama’ ushul fiqih/ mutakalimin berpendirian bahwa antara batal dan fasid adalah dua istilah denganpengertian yang sama, yaitu sama-sama tidak sah.
6)  ’Azimah (hukum asli) dan ruhshah/kemurahan  (                                          ). Azimah adalah hokum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hokum sebelum hokum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkannya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam al-Baidhawi (ahli Ushul Fiqh Syafi’iyah), mengatakan bahwa ‘azimah itu adalah hokum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan karena ada uzur. Misalnya jumlah rakaat shalat dhuhur adalah empat rakaat. Jumlah ini telah ditetapkan Allah sejak semula, dimana sebelumnya tidak ada hokum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dhuhur. Apabilaada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat dhuhur dua rakaat, seperti orang musafir, maka hokum itu disebut dengan ruhshah. Dengan demikian, para ulama’ ushul fiqh mendefinisikan ruhshah dengan hokum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena ada uzur.

2.Unsur-unsur Hukum Islam
A. Hakim
Pengertian Hakim
B. Mahkum Fih (                                   )
1.                                                                                          Pengertian Mahkum fih
            Para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa mahkum fih adalah obyek hokum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah Syari’ (Allah dan Rasul), yaitu bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan, atau memilih suatu pekerjaan, yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhshah, sah dan serta batal.
            Seluruh perintah Syari’ ada obyeknya. Obyeknya itu adalah perbuatan orang mukallaf. Terhadap perbuatan mukallaf ini ditetapkan suatu hokum. Misalnya firman Allah:

Artinya: “Dirikanlah olehmu shalat…..(QS. Al-Baqarah: 43.
2.  Syarat-syarat Mahkum fih
             Para Ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu mahkum fih, yaitu:
a.   Mukallaf mengetahui secara sempurna perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dandapat ia lakukan. Seorang mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, melainkan setelah mengetahui secara baik hokum Allah yang terkait dengan perbuatan tersebut. Karenanya mukallaf tidak mendapat pahala dan siksa. Pengetahuan mukallaf terhadap hokum perbuatan itu harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakan peruatan tersebut. Oleh sebab itu, menurut para ahli ushul fiqh, nash (ayat atau hadist) yang bersifat mujmal (global) tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya. Misalnya perintah shalat dalam ayat diatas,  bagi seorang mukallaf baru dapat melaksanakan tuntutan untuk melaksanakan shalat itu apabila rukun, syarat dan tata cara mengerjakannya telah dia ketahui.
b.   Mukallaf mengetahui dengan baik sumber taklif hukum suatu perbuatan yang ia laksanakan, sehingga pelaksanaanya merupakan ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Tujuan mukallaf daam melaksanakan perintah itu sejalan dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. Dalam hal ini kemungkinan untuk mengetahuinya, yaitu melalui kemampuan akalnya.oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, orang yang baru masuk Islam tidak dituntut melakukan taklif yang belum diketahuinya, karena mereka belum atau tidak mampu membahas dan meneliti hokum itu dengan baik. Disamping itu para ulama’ ushul fiqh tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hokum beserta dalilnya, karena hal ini akan menyulitkan orang mukallaf tersebut dengan alas an karena keberatan untuk melaksanakan hokum tersebut.
b.      Perbuatan itu mungkin akan ditinggalkan ataupun dikerjakan oleh mukallaf. Sebagai contoh menggantikan puasa orang lain.Sebagian ulama’ Syafi’iyyah dan Imam Ahmad bn Hambal membolehkan seseorang menggantikan puasa orang lain. Alasan mereka adalah sebuah hadist yang mengatakan :

Artinya: “ Siapa yang wafat dan ia berhutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa itu. (H.R.al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad bin Hambal).     
C.  Mahkum ‘Alaih (                                   )
1.      Pengertian Mahkum ‘Alaih.
            Menurut para ulama’ ushul fiqh bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya berhubungan dengan hokum syara’. Dan orang yang dikenai (khitab) Allah tersebut disebut dengan mukallaf.
            Secara bahasa mukallaf berarti yang dibebani hokum. Dalam istilah ushul fiqh mukallaf disebut juga mahkum alaihi (subyek hokum).  Orang mukallaf adalah orang yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh tindakan hokum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Maka, apabila ia mengerjakan perintah Allah maka ia mendapatkan pahala, dan apabila ia meninggalkan perintah Allah, maka ia mendapatkan resiko berupa dosa.
2.      Dasar Taklif
            Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hokum) sebelum ia cakap untuk bertindak hokum. Para ulama’ ushul fiqh, mengemukakan dasar pembebanan hokum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hokum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak tahu dan belum berakal, seperti orang gila, anak kecil maka tidak dapat dikenakan taklif. Hal ini sejalan dengan hadist Nabi SAW:


Artinya: “ Diangkatkan pembebanan hokum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil samapai ia baligh (dewasa), dan orang gila samapai ia sembuh. (H.R.. al-Bukhori)
3.   Syarat-syarat Taklif.
            Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa perbuatan seseorang baru bisa dikenai taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat:
e.       orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) baik yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadist, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu melalui orang lain, karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan, disuruh atau dilarang tergantung pada pemahamannya terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab syari’. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan taklif.
  1. Seseorang harus cakap bertindak hokum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyyah (              ). Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hokum, maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, orang gila yang belum sembuh, anak kecil yang belum dewasa, maka tidak dapat dibebani hokum karena kecakapan hukumnya hilang.

BAB V
KEDUDUKAN IJTIHAD, ITTIBA’, TALFIQ, DAN TAQLID
1. Kedudukan Ijtihad Dalam Hukum Islam
a. Pengertian Ijtihad
            Ijtihad berasal dari (                                                             ) yang berarti upaya atau usaha. Menurut pengertian Ulama’ Ushul Fiqh ijtihad adalah:


Artinya: “mencurahkan daya yang spesifik dari dalil-dalil syari’.
 Sedangkan menurut al-Syairozi adalah  :

Artinya: “Menghabiskan kekuatan kemampuan dan mencurahkan daya upaya untuk memperoleh/menemukan hokum syari’.
            Dari definisi yang diberikan al-Syairozi di atas bahwa hukum Islam hanya bisa diperoleh atau ditemukan dari dalil-dalil syari’. Lebih lanjut al-Syairozi menjelaskan bahwa yang dimaksud dalil-dalil syari’ adalah hukum Islam yang menjadi sumber hokum utama selain nash (al-Qur’an dan  al-Hadist), akan tetapi hokum Islam yang lain seperti Ijma’, Qiyas dan yang lain termasuk kategori hasil ijtihad.
            Lain halnya menurut Muhammad al-Syawkani bahwa ijtihad adalah:

Artinya: “Pembicaraan mengenai pengerahan dalam mengerahan dalam mengerjakan pekerjaan apa saja”.
            Dari definisi Muhammad al-Syawkani di atas bahwa pengertian ijtihad masih bersifat umum. Ia mengatakan bahwa pengerahan kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan disebut ijtihad, tanpa mempertimbangkan kualitas (berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan atau persoalan yang diselesaikan.
            Kemudian di kalangan para ulama’ yang lain, muncul perkataan bahwa ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hokum (fuqoha’) untuk mengetahui hokum syari’at. Jadi dengan demikian, ijtihad adalah perbuatan menggali hokum syar’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci dalam syari’at. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.             
b.  Jenis-jenis Hukum Ijtihad
a.   Wajib ‘ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, sedangkan masalah tersebut akan hilang sebelum diketahui hukumnya.
B.     Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain.
C.     Sunnah, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik yang dinyatakan atau tidak.
 
c. Syarat-syarat Ijtihad
            Menurut pendapat Abu Zahrah, bahwa ada beberapa kriteria seseorang untuk bisa menjadi seorang mujtahid, yaitu:
1.      Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab karena al-Qur’an dan al-Sunnah berbahasa Arab.
2.      Mengetahui ulumul al-Qur’an termasuk tafsir asbab nuzul al ayat meskipun menurut sebagian ulama’ tidak harus hafal al-Qur’an tetapi cukup mengetahui yang bersangkutan dengan permasalahan yang akan dipecahkan.
3.      Mengetahui al-Sunnah dan ulumul hadist.
4.      Mengetahui masalah-masalah yang telah terdapat ijma’ padanya.
5.      Mengetahui masalah qiyas termasuk cara-cara mencari illat.
6.      Mengetahui maksud-maksud atau tujuan-tujuan hokum Islam.
7.      Pemahaman yang baik, bisa memilih alas an-alasan yang lebih kuat dari pada yang kurang kuat, pola pikirnya baik dan istimewa.
8.      Mempunyai niat yang ihlas.

d.Tingkatan-tingkatan Mujtahid
a.      Mujtahid mutlak ( mustaqil/mujtahid fi al-syari’ ialah mujtahid yang mengeluarkan hokum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam melakukan istimbath al-ahkam (pengerahan segenap kemampuan untuk menghasilkan suatu hukum) para mujtahid mutlak mempunyai cara-cara tersendiri yang berbeda dengan mujtahid lainnya.
b.       Mujtahid Muntasib yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat pendiri mazhabnya  dalam ashal tapi berbeda dalam furu’, seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan di dalam madzhab Hanafi, Al-Muzani di dalam madzhab Syafi’i.
c.       Mujtahid fi al-madzhab adalah seorang mujtahid baik dalam ushul  maupun furu’ mengikuti imam madzhab hanya di dalam penerapannya mereka berbeda dengan imam madzhab, jadi pekerjaan mereka adalah tahqiq al-manath yaitu menerapkan illat-illat hokum yang telah ditentukan oleh ulama’-ulama’ mazdhab sebelumnya. Jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada dalam mazdhab.
d.      Mujtahid al-Tarjih, mereka tidak mengadakan istimbath al-ahkam, tetapi hanya mentarjih di antara pendapat-pendapat yang ada.  
  
e.   Fungsi Ijtihad
            Pada dasarnya ijtihad berfungsi sebagai dinamisator di dalam sistem hokum Islam. Oleh karena itu, apabila ijtihad tidak berjalan sebagaimana mestinya maka akan terasa adanya sesuatu kekakuan dalam system hokum Islam. Maka fungsi ijtihad adalah:
a.       Bahwa perjalanan hidup dan kehidupan ini terus berkembang, masyarakat terus berubah, dan kebutuhan manusia pun terus bertambah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi membawa tantangan-tantangan yang baru dan berbeda dengan tantangan-tantangan yang dihadapkan kepada umat yang telah lalu padahal masyarakat harus tetap terpelihara kemaslahatannya. Apabila tidak terbuka pintu ijtihad maka Syari’ah Islamiyah akan kaku dan sempit serta tidak mampu memberikan respon dan tidak reseptif terhadap perubahan tempat, waktu, lingkungan dan keadaan.
b.      Ijtihad juga berfungsi sebagai penyalur dari kreatifitas individual atau kelompok di dalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka sendiri, dan membuat tafsiran kembali atas perundang-undangan yang sifatnya insidentil sesuai dengan syarat-syarat hidup yang berlaku pada masanya dengan tidak perlu melanggar prinsip-prinsip umum, dalil-dalil kully dan maqasid al-syari’ah yang merupakan aturan-aturan pengarah di dalam hidup dan kehidupan manusia.
c.       Interpreteur, bahwa seorang mujtahid berhak untuk memberikan tafsiran yang tepat terhadap dalil-dalil yang dhani. Sebagai contoh hadist Nabi tentang perintah shalat yaitu (shollu kama raitumuni usholli). Oleh karenanya seorang mujtahid dalam menafsirkan hadist di atas hendaknya yang sesuai dengan semangat moral ajaran Islam yaitu berdasarkan nash yang kulli dan selaras dengan maqashid al-syari’ah atau dengan kata lain adalah tafsir yang paling dekat kepada nilai-nilai samawi, nilai-nilai uluhiyyah tentang perintah menjalankan kewajiban shalat.                               
Ijtihad berfungsi sebagai syahid yaitu untuk membuktikan bahwa Islam Islam ya’lu wala yu’la alaihi dalam kehidupan praktis manusia di dunia ini, karena dengan ijtihad akan terasa maslahatnya dan rahmatnya ajaran Islam bagi seluruh umat manusia, yaitu hanya dengan ijtihad kita bisa membuktikan bahwa Islam sebagai rahmatan lil alamin.
            
2.   Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam
a.   Pengertian Fatwa
            Fatwa adalah jawaban berdasarkan ijtihad terhadap pertanyaan mengenai hokum suatu peristiwa yang belum jelas hukumnya. Sebagai contoh, ketika seorang mujtahid ditanya tentang bagaimana hukumnya meminum minuman yang mengandung alkhohol tinggi. Kemudian mujtahid itu mencarikan jawaban hukumnya dengan menggunakan dalil-dalil syari’ baik dengan  nash ataupun menggunakan ra’yu, kemudian diambil kesimpulan bahwa meminum minuman yang mengandung alkohol tinggi dan memabukkan sama halnya dengan khamar. Oleh karenanya jawaban mujtahid berdasarkan kesimpulan tersebut dinamakan fatwa dan seorang mujtahid yang berfatwa disebut dengan mufti.
b.  Syarat-syarat Seorang Mufti (           )
            Sebagai seorang mufti (orang yang memberikan fatwa), karenanya, disamping menguasai hokum hokum-hukum dalam al-Qur’an dan hadist ia juga harus memenuhi beberapa syarat diantaranya: 
a)      Kuat niatnya, semata-mata hanya karena Allah, bukan karena imbalan harta atau kedudukan (jabatan) dari penguasa.
b)      Berpengetahuan luas, sabar, penuh hormat, dan tenang.
c)      Berkecukupan, sehingga dalam memberikan fatwa tidak terpengaruh oleh pemberian dari yang meminta fatwa.
d)     Mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena suatu ketetapan hokum yang diambil harus mencerminkan kemaslahatan umat dan tidak mengakibatkan kepada kemafsadatan umat.
c.  Sebab-sebab dilakukannya fatwa
            Beberapa hal yang menyebabkan munculnya fatwa, antara lain:
a)      Setiap masalah yang muncul wajib ada ketentuan hukumnya.
b)      Setiap muslim wajib mengetahui dasar-dasar hokum syari’at sebagai dasar beramal
c)      Setiap orang awam terbebani hokum sementara mereka tidak mungkin untuk berijtihad dan menggali hokum sendiri.
d)     Masalah yang muncul belum ada dasar hukumnya atau belum jelas ketentuan hukumnya dalam nash al-Qur’an atau sunnah.
dKedudukan Fatwa dalam Hukum Islam
            Dalam sejarah hokum Islam, fatwa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam, mulai zaman klasik, pertengahan sampai zaman modern. Pada mulanya fatwa-fatwa yang diberikan mufti tidak terdokumentasikan dengan baik, karena tradisi membukukan fatwa belum ada di kalangan umat Islam. Baru pada abad ke-12 H atas usaha beberapa ulama’ fiqih, fatwa-fatwa yang ada sebelumnya mulai dibukukan sesuai dengan mazdhab fiqh masing-masing.
            Kitab-kitab yang mengumpulkan berbagai fatwa ulama’ fiqh antara lain sebagai berikut:
a)      Zahir al-Riwayah, merupakan kitab kumpulan fatwa imam Abu Hanifah yang disusun oleh murid dan sahabatnya Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
b)      Al-Mudawwamah Al-Kubro, merupakan kumpulan fatwa Imam Malik yang disusun oleh Abdus-Salam bin Sa’id at-Tanukhi.
c)      Al-Mi’yar al-Murib Wal-Jami’ Al-Mughrim ‘An Fatwa Ulama’ Ifriqiyyah Al-Maghrib,disusun oleh Abu Al-Abbas Ahmad bin Yahya bin Al-Winsarisi (Ahli fiqh Madzhab Maliki, wafat 914 H/1508 M).
d)     Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah,disusun oleh Muhammad bin Abdur Rahman bin Qasim (anak Ibnu Taimiyah/Tokoh Mazdhab Hambali)
e)      Al-Fatawa karya Mahmud Syaltut (Ulama’ Mesir, mantan Rektor Universitas Al-Azhar Cairo).
f)       Al-Fatawa karya Yusuf Qardhawi (Ulama’ Mesir)
g)      Kumpulan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia, karya MUI.
            Dibeberapa Negara Islam saat ini, fatwa ulama’ adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan umat Islam, bahkan para mufti menduduki posisi yang sangat penting, ia merupakan salah satu lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat Islam. Misalnya di Mesir, Saudi Arabia, Suriah dan Maroko dll, mufti sebagai salah satu mazdhab, tetapi bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai mazdhab, sesuai dengan situasi  dan kondisi masyarakat. Disamping itu mufti juga terikat oleh Undang-undang oleh negaranya.
      3.Kedudukan Ittiba’ dan Taqlid Dalam Hukum Islam
      a.Pengertian Ittiba’ dan taqlid
            Menurut bahasa ittiba’ berarti mengikuti atau menurut, sedangkan menurut istilah ialah

Artinya: “Menerima (mengikuti) pendapat orang yang berkata, sedangkan engkau mengerti darimana Ia berkata itu.”
            Misalnya seseorang mengikuti pendapat Abu Dawud tentang hukum aqiqah buat anak, yaitu wajib. Dia mengetahui bahwa Abu Dawud mendasarkan pendapatnya itu kepada hadist Nabi. Maka dalam ittiba’ bahwa orang yang mengikuti mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh orang yang diikuti dalam mengemukakan pendapatnya. 
            Sedang taqlid  menurut bahasa berarti meniru. Sedang menurut istilah ialah:

Artinya:“Menerima pendapat seseorang dan kamu tidak mengetahui darimana (sumber atau alas an) pendapat itu.”
Contohnya adalah: seperti seseorang yang mengikuti pendapat Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak tahu alasan yang dijadikan dasar hukumnya dengan benar. Maka dalam taqlid orang yang mengikuti tidak mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh orang yang diikuti dalam mengemukakan pendapatnya.
 
      b.Dasar Hukum Ittiba’ dan Taqlid
            Sebagaimana diketahui bahwa hukum amaliyah yang menjadi obyek pembahasan Ilmu Fiqh ditinjau dari segi wajib atau tidaknya diadakan penelitian terbagi kepada dua macam:
a.       Hukum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ijtihad. Yakni hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera, tanpa penelitian yang mendalam sebagai ketentuan syari’at yang sudah positif. Seperti rukun Islam yang lima macam itu dan keharaman dosa besar.
b.      Hukum amaliyah yang masih memerlukan penelitian dan ijtihad, amaliyah yang denikian ini banyak sekali jumlahnya dan menjadi tempat perselisihan dan perbedaan pendapat diantara para ulama’.
            Orang yang berusaha dengan susah payah mengadakan penelitian ini adalah para mujtahid yang telah memiliki segala sarana dan kemampuan untuk berijtihad. Adapun orang-orang awam yang tidak memiliki sarana penelitian untuk mencari dalil-dalil dan mengistimbatkan hukum dari padanya, yaitu para muqallid, diharuskan mengambil pendapat para mujtahid. Sebab setiap orang yang tidak mengetahui suatu hukum perbuatan dan tidak mampu berijtihad wajib menanyakan kepada mereka yang ahli (para mujtahid atau cendekiawan). Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahuinya. (al-Nahal: 43)
            Disamping itu para ulama’ sepakat bahwa hukum ittiba’ dan taqlid kepada Allah dan Rasul serta para ulama’ hukumnya adalah wajib. Hal ini mendasarkan pada firman Allah SWT:

Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. (Q.S.Al-A’raf: 3)
            Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ittiba’ itu ada dua bentuk, yaitu ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya dan ittiba’ kepada selain Allah  dan Rasul-Nya atau kepada orang lain.
      c.Hukum Ittba’ dan Taqlid
Para ulama’ membagi hukum ittiba’ dan taqlid menjadi tiga, yaitu:
D.    Haram, yaitu ittiba’ dan taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.
E.     Boleh, yaitu ittiba’ dan taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
F.     Wajib, yaitu taqlid dan ittiba’ kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan hujjah, yaitu Rasullullah SAW.   
4.Kedudukan Tarjih dan Talfiq Dalam Hukum Islam
a.Pengertian Tarjih dan Talfiq
            Tarjih menurut bahasa berarti “memandang lebih kuat” sesuatu. Sedangkan menurut istilah ialah menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya, yakni memilih dalil yang kuat diantara dalail-dalil yang tampak berlawanan atau tidak sama terhadap satu obyek hokum yang sama. Dalil yang lebih kuat disebut rajah dan yang lemah disebut marjuh(           ).Tarjih ini digunakan setelah jalan yang ditempuh melalui jama’ (mengkompromikan) tidak bisa.
            Contoh tarjih antara lain ialah hadist yang diriwayatkan oleh istri-istri Rasullullah SAW: “Sesungguhnya Nabi SAW dalam keadaan junub di waktu subuh”(hadist riwayat Bukhori Muslim). Dalam hadist yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dikatakan, Rasullullah SAW, bersabda: “Barangsiapa di waktu shubuh dalam keadaan junub, maka tidak sah puasa baginya.”(Hadist riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban).
            Para shahabat mentarjihkan hadist yang diriwayatkan dari para istri Nabi dan Abu Hurairah, karena mereka menyaksikan sendiri apa yang diriwayatkan itu. Kesimpulannya: sekiranya seseorang baru sempat mandi di waktu shubuh karena malamnya junub, maka tidaklah membatalkan puasanya. Karena dianggap rajih adalah hadist riwayat Abu Hurairah dan dipandang marjuh hadist yang diriwayatkan para istri Nabi.
      Sedangkan talfiq menurut bahasa berarti menyambungkan dua tepi yang berbeda, seperti (                     ) yang artinya “mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya”. Menurut istilah ialah mengikuti hokum tentang satu peristiwa dengan mengambil pendapat dari berbagai mazhab dengan maksud untuk memperingan dirinya. Seperti seorang laki-laki menikah dengan seorang erempuan tanpa wali dan saksi, tapi cukup dengan i’lan saja. Dasar yang dijadikan pegangan adalah madzhab Hanafi dan Maliki. Dalam madzhab Hanafi pernikahan tanpa wali adalah sah. Sedang dalam madzhab Maliki pernikahan tanpa saksi tetapi dengan I’lan hukumnya sah. Bila demikian halnya, dapat disimpulkan bahwa nikah tanpa wali dan saksi dinyatakan sah asal ada i‘lan.
     b.Hukum Talfiq
            Pada dasarnya talfiq tidak dilarang oleh agama selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling kuat, dalam arti setelah meneliti dasar hokum beberapa pendapat ulama’ dalam suatu masalah kemudian mengambil sebagian pendapat dari satu ulama’ dan sebagian yang lain dari ulama’ lainnya yang dianggap paling kuat dasarnya. Namun bila tujuan melaksanakan talfiq itu mencari yang ringan, terutama dalam masalah ibadah, maka sikap seperti ini tidak baik. Karena itulah, diantara para ulama’ ada yang membolehkannya dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab yang ditalfiqkan itu, dan ada pula diantara mereka yang menolak talfiq tanpa syarat.
      Contoh adalah seseorang yang berwudlu menurut madzhab Syafi’i (yang salah penyebab batalnya wudlu adalah persentuhan dengan lawan jenis), sementara ketika melakukan persentuhan kulit dengan lawan jenis, ia langsung melaksanakan shalat, dan beranggapan persentuhannya itu tidak membatalkan wudlunya (dengan berpegang pada pendapat Imam Abu Hanifah). Sikap ini menurut Imam Syafi’i  tidak dibenarkan dan shalatnya tidak sah, sementara menurut Imam Abu Hanifah shalatnya sah, dengan alasan karena pada dasarnya manusia diperintahkan  untuk mengambil amalan dengan memudahkan dirinya.
            Bebrbeda dengan ibadah, talfiq dalam perundangan sangat diperlukan, karena banyak berhubungan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Misalnya Mesir melakukan talfiq dalam undang-undang Perwakafan, dan Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan.
     b.Perbandingan antara Tarjih dan Talfiq
  1. Persamaan antara tarjih dan talfiq
1.      Masalah yang hukumnya akan ditetapkan mencakup masalah-masalah yang masih dalam perbedaan pendapat ulama’, baik dikarenakan terdapatnya nash lebih dari satu maupun perselisihan pendapat ulama’.
2.      Tarjih dan talfiq termasuk lapangan ijtihad.
  1. Perbedaan antara tarjih dan talfiq
2.      Tujuan diadakan tarjih untuk menetapkan salah satu dalil yang paling kuat diantara dalil-dalil yang ada dalam satu masalah. Sedangkan pada talfiq menggabungkan beberapa pendapat madzhab dalam satu masalah dengan jalan mengambil sebagian pendapat suatu madzhab dan meninggalkan sebagian yang lain.
3.      Dalam tarjih tidak ada kemungkinan mencari yang lebih ringan dari dalil-dali yang ada, sedang dalam talfiq ada kecenderungan mencari yang lebih ringan dari beberapa pendapat madzhab.

   

                 

                      




[1] Abu Hamid al-Ghazali,Al-Mustasfa fi ‘Ulumil al-‘Ushul,Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Jilid I, 1983, hal.5
[2] Al-‘Alamah al-Banani,Hassiyah al-Banani ‘ala Syarh al-Mahali ‘ala Matn Jami’ al jawami,Beirut: Dar al-Fikr, Jilid I, 1402 H/1992,hal.25
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-fikr, jilid I, 1986, hal.30-31.
[4] Ibid,hal.32.
[5] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, I’lamul Muwafiqin ‘an Rabbu al-‘alamin, Beirut: Dar al-Jail, Jilid, 1973, hal.91
[6] Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi,Al-Madkhal ila ‘Ulumul Ushul Fiqh, Damaskus: Universitas Damaskus, Cet.II, 1378 H/1959 M, hal.93. dan lihat juga Muhammad Adib al-Shalih, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami,Damaskus: al-Matba’ah al-Ta’awuniyah, Cet.I,1967, hal.30   
[7] Fakhrudin al-Razi, Manaqib al-Syafi’I, Mesir: al-Matba’ah al-‘Alamiyah, ttt, hal.1-9. lihat juga,Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising House, 1996.hal.9-11.
[8] Al-Imam al-Syaifudin al-Amidi, Al-Ahkam fi Ushul ahkam,Beirut: Darr  al-ihya’, jilid III, hal.54.
[9] Muhammad Amin Suwaid al-Dimasqi, Tashilul ‘Hushul’ala al-Qawa’id al-Ushul, Tahqiq Musthafa Sa’id al-Khin,Damskus dar al-Qalam, 1412 H/1991 M, hal. 42-43, dan lihat juga Muhammad al-Zuhaili, Op.Cit,  hal.62. lihat juga, Nasrun Harun, Op.Cit,..hal.14.
[10] Lihat Wahbah  al-Zuhaili,Op.Cit.,hal.417.lihat juga Wahab al-Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Kuwat: Dar al-Qalam, hal.20. Menurut Wahab al-Khalaf, untuk yang bersifat Zhanni menurut sebagaian ulama’ Ushul Fiqh tidak dinamakan dalil, melainkan disebut dengan Imarah (indikasi). akan tetapimayoritas ulama’ Jumhur Ushul Fiqh menyatakan bahwa petunjuk untuk mendapatkkan hukum Islam yang bersifat prakktis itu, baik yang bersifat Zhanni maupun yang Qoth’I , disebut dengan dalil.
[11] Lihat Ali Hasabalah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, Mesir: Dar al-Ma’rif, 1976.hal.16
[12] Lihat Zakiyudin Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islamiyu, Mesir: Dar al-ta’lif, 1965, hal.30.
[13] Wahab al-Khallaf, Op.Cit, hal.21
[14] Ulama’ Zahiriyah termasuk mazhab yang menolak kehujjahan Ijma’  dan Qiyas,  karena sekalipun mereka menerima ijma’ sebagai hujjah, maka ijma’ yang mereka terima adalah ijma’ Shahabi. Mereka sepakat dengan Imam Syafi’I dalam hal ini, yang hanya juga menerima ijma’ Shahabat. lihat Ibnu Hazm al-Andalusy, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam,Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t. Jilid II, hal.976. Mereka dan Ulama’ Ushul Fiqh Syi’ah juga menolak kehujahan Qiyas. Hal ini sesuai dengan prinsip Zhahiriyah dalam memahami nash yag bersifat literal. Penolakan ulama’ Syi’ah terhadap kehujahan Ijma’ dan Qiyas , karena ketika suatu hukum tidak ada ketentuannya dalam  nash, menurut mereka, yang berhak menentukan hukum adalah Imam mereka. 
[15] Menurut Ibnu Hazm bahwa Hadist ini statusnya hadistnya Dhoif (lemah). Lihat Ibnu Hazm, Op.Cit., . Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili,  bahwa hadist ini adalah Hadist Mursal (hadist yang snadnya terputus di tingkat shahabat). Lihat Wahbal Al-Zuhaili, Op.Cit.,hal.418.  
[16] Ali Hasabalah, Op.Cit,.hal.15.
[17] Lihat Saifudin al-Amidi, Op.Cit,hal.82. Ibnu ‘Amr al-Haj,Al-Taqrir wa Tahbir,Jilid II  Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal. 213. Lihat juga, Al-Banani, Syarh al-Mahalli ‘ala al-Jami’ al-Jawami’,Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.159. lihat juga, Sa’ad al-Din Mas’ud ibnu Umar al-Taftazani, Syarh al-Talwih ‘ala Tawdih, Makkah Al-Mukaromah: Dar al-Bazz, Jilid I,tt.hal.29.
[18] Wahab al-Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (terj.) Semarang: Dina Utama Semarang, 1994. hal.18-19.
[19] Wahab al-Khallaf, Ibid,.hal. 34. Lihat juga, Satria Efendi M.Zain, Ushul Fiqh,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal.92.
[20] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadist: ‘Ulumuhu wa mustholahuhu, Beirut: Dar al-fikr, 1981, hal.17.       
[21] Satria Effendi M.Zain,Op.Cit.,hal.115-116.
[22] Satria Efendi M.Zain,Ibid,.hal.125.
[23] Abu Hamid al-Ghazali, Op.Cit, .hal.110.
[24] Saifudin Al-Amidi,Op.Cit., hal.102.
[25] Lihat Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit.,Jilid I, hal.490. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,Mesir: Dar al-Fikr, 1958, hal.111-112
[26] Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit,.hal.491-497.
[27] Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit, hal.113-114. lihat juga Ali Hasbullah,Op.Cit., hal.112-113. lihat juga Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hal.43.
[28] Zakiyudin Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islami, Mesir:Dar al-Ta’lif, hal. 45. lihat juga Abdul Qadir ibn Badran al-Dimasqy, Al-Madkhal ila Mazhabal-Imam Muhammad bin Hambal,Beirut: Muassasah Risalah, hal.133.
[29] Nasrun Harun, Op.Cit., hal.64-65.
[30] Abu Hamid al-Ghazali, Op.Cit, Jilid II,. hal.54. Saifudin al-Amidi, Op.Cit., jilid III. hal. 6. Muhibullah ibnu Abdul Syukur al-Hanafi, Musallam al-Tsubut, Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah.1983. hal.124. lihat juga al-Banani, Op.Cit., hal.56. lihat juga Abdul Qadir ibn Badran al-imasqy, Op.Cit.,hal.141.
[31] Satria Efendi M.Zain, Op.Cit,. hal. 132.
[32] Satria Efendi M.Zain,Ibid., hal.144.
[33] Satria Efendi M.Zain, Ibid.,hal.144-145. lihat juga Nasrun Harun,Op.Cit., hal.106-108.
[34] Nasrun Harun, Ibid,hal.108-109.
[35] Lihat Muhammad bin Idris al-Syafi’I, al-Risalah, Beirut: Dar al-fikr, 1309 H. lihat juga Ibnu Hazm al-Andalusi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-fikr, Jilid VI hal.759. lihat juga bukunya Mulakhas ibtal al-qiyas wa al-ra’yu wal istihsan, Damaskus:Al-Maktab al-Islami,tt.hal.50. lihat juga Muhammad Ibnu Ali ibn al-Syaukani, Irsyad al-Fukhul,Beirut: Dar al-Fikr.tt. hal.212.
[36] Nasrun Harun, Op.Cit,hal.111.
[37] Abu Hamid al-Ghazali, Op.Cit., Jilid I.hal.128.
[38] Ibnu Hazm al-Andalusi, Op.Cit. Jilid V. hal. 590 dan lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Ibnu Hazm al-Andalusi, Mesir: Dar al-fikr al-Arabia,tt.hal.373.
[39] Al-Banani,Syarh al-Mahali ‘ala Jam’I al-jawami’, Jilid II, hal.284. lihat juga Al-Syaukani,Op.Cit.,hal.209. lihat juga Abu Hamid al-Ghazali,Op.Cit.,hal.129. lihat juga Ibnu Qayim al-Jauziyah, Op.Cit.,hal.339.
[40] Nasrun Harun,Op.Cit.hal.129-130.
[41] Ibid, hal.131-133.
[42] Syaifudin Al-Amidi,Op.Cit.,hal.127.
[43] Al-Syarakshi,Op.Cit.hal.225. lihat juga Muhammad Abu Zahrah,Op.Cit.,287.
[44] Saifudin Al-Amidi,Op.cit.,hal. 128.
[45] Abdul Wahab Khallaf,Op.Cit.(terj.). hal.116.
[46] Satria Efendi M.Zain,Op.Cit.,hal.151-152.
[47] Abdul Wahab Khallaf,Op.Cit.hal.119-120
[48] Ibid, hal.123.
[49] Ahmad Fahmi Abu Sunnah,Al-‘Uruf  wa al-‘Adat fi Ro’yi al-Fuqoha’, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi,.tt.hal.8
[50] Mustofa Ahmad al-Zarqo’,Al-Madkhal ‘ala al-fiqh al-‘amm, Beirut: Dar al-fikr al-Arabi,.Jilid II,. 1968.hal.840.
[51] Ibid, hal.37-38.
[52] Ibid, hal.52-57.
[53] Syihabudin Ahmad ibn Idris al-Qarafi,Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Mesir: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1344 H, Jilid III, hal.49.
[54] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,Ibid, Jilid II., hal.293.
[55] Nasrun Harun, Op.Cit.,hal.142.
[56] Ibid, hal.149-150.
[57] Satria Efendi M.Zain,Op.Cit.,hal.164-165.
[58] Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid IV. Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hal.198.
[59] Abu Ishaq al-Syatibi, Ibid., hal.358-361.
[60] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, Op.Cit., hal.171.
[61] Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, Op.Cit.,Jilid III,hal.305. lihat juga Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah,OP.Cit.,Jilid III. hal. 171. lihat juga Abdul Qadir Badran al-Dimasqi, Op.Cit.,hal.138.
[62] Muhammad Taqiyudin Al-Hakim, al-Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Mesir: Dar al-Ma’rif, 1971, hal.414.
[63] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,hal. 134-135.
[64] Nasrun Harun, Op.Cit., hal.156-157.
[65] Satria Efendi M.Zain, Op.Cit, hal.178-179.
[66] Muhammad Adib Sholeh,Tafsir al-Nusus fi al-fiqh al-Islamy, Damaskus: Al-Maktab al-Islamy. 1984.Cet.II.hal.65.
[67] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, Bagdad: Dar-Al-‘Arabiyyah littiba’ah, 1971, Cet.6.
[68] Abdul Wahab Khallaf,Op.Cit., hal. 101. Lihat juga Ali Hasballah , Op.Cit., hal.5.
[69] Saifudin Al-Amidi dalam kitabnya, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid I, hal.91. dan seterusnya mengemukakan pembagian lain dari hukum. menurutnya, hukum itu terdiri atas: (a) al-hukmu al-iqtidha’I, ialah sesuatu yang dituuntut untuk dilaksanakan atau dituntut untuk ditinggalkan, yang terdiri atas al-ijab atau al-hurmah, (b) al-hukmu al-tahyiri, ialah perbuatan yang boleh dipilih oleh mukallaf untuk melakukan atau  tidak melakukannya, yaitu al-ibahah dan (c) al-hukmu al-wudh’I, ialah tuntutan yang ditetapkan al-Syari’ sebagai penyebab, penghalang, syarat, sah, fasid/batil,ruhsoh atau ‘azimah. dengan pembagian ini, al-Amidi tidak memasukkan hukum al-ibahah dalam al-hukmu al-taklifi, karena taklif, menurutnya, menuntut adanya suatu pembebanan (kulfah) dan kesulitan (masyaqoh) dari mukallaf.         
[70] Satria Efendi MZain,Op.Cit, hal.41.
[71] Ibid, hal. 42-43.Lihat juga Nasrun Harun, Op.Cit.,hal.211-214.
[72] Nasrun Harun, Ibid, hal. 218-219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar