BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri
dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan
sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang. Islam yang di
wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang semula
terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain,
menjadi bangsa yang maju.
Bahkan kemajuan Barat pada mulanya
bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui spanyol. Islam
memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan oleh
H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of
theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari
sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna).
Maju mundurnya peradaban islam
tergantung dari sejauh mana dinamika umat Islam itu sendiri. Maka dari itu kita
akan membahas sebuah peradaban besar yang sangat berpengaruh luas, yaitu masa
kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
B.
Maksud
dan Tujuan
1.
Mengetahui
sejarah peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah
2.
Memahami
proses berkembang dan terbentuknya Dinasti Abbasiyah
3.
Mengetahui
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh para khalifah pada masa Dinasti
Abbasiyah.
4.
Memahami
proses kemunduran dan keruntuhannya.
BAB II
DINASTI ABBASIYAH
A.
Asal-usul
Pertumbuhan dan Perkembangannya
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama
Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah
As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan
Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132 – 656 H /
750 – 1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki
singgasana Khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas
ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia
(Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala
wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada
khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap
Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali
Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama,
yaitu sekitar lima abad.
Bani Abbasiyah mempunyai kholifah
sebanyak 37 orang. Dari masa pemerintahan Abul Abbas As-Saffah sampai Kholifah
Al-Watsiq Billah agama Islam mencapai zaman keemasan (132 – 232 H / 749 – 879
M). Dan pada masa kholifah Al-Mutawakkil sampai dengan Al-Mu’tashim, Islam
mengalami masa kemunduran dan keruntuhan akibat serangan bangsa Mongol Tartar
pimpinan Hulakho Khan pada tahun 656 H / 1258 M.[1]
Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1. Periode
Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode
Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. Periode
Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia
kedua.
4. Periode
Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh
Turki kedua.
5. Periode
Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.[2]
B.
Perkembangan
Politik
Pemerintahan daulah Bani Abbasiyah
merupakan kelanjutan dari pemerintahan daulah Bani Umayyah yang telah hancur di
Damaskus. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara kekuasaan dinasti Bani
Abbasiyah dengan kekuasaan dinasti Bani Umayyah, diantaranya adalah :
a. Dinasti
Umayyah sangat bersifat Arab Oriented, artinya dalam segala hal para pejabatnya
berasal dari keturunan Arab murni, begitu pula corak peradaban yang dihasilkan
pada dinasti ini.
b. Dinasti
Abbasiyah, disamping bersifat Arab murni, juga sedikit banyak telah terpengaruh
dengan corak pemikiran dan peradaban Persia, Romawi Timur, Mesir dan
sebagainya.
C.
Perkembangan
Peradaban Islam
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
merupakan masa kejayaan Islam dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang
ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pada zaman ini, umat Islam telah banyak
melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan, yaitu melalui upaya penterjemahan
karya-karya terdahulu dan juga melakukan riset tersendiri yang dilakukan oleh
para ahli. Kebangkitan ilmiah pada zaman ini terbagi di dalam tiga lapangan,
yaitu : kegiatan menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu Islam dan
penerjemahan dari bahasa asing.[3]
Setelah mencapai kemenangan di medan
perang, tokoh-tokoh tentara membukakan jalan kepada anggota-anggota
pemerintahan, keuangan, undang-undang dan berbagai ilmu pengetahuan untuk
bergiat di lapangan masing-masing. Dengan demikian munculah pada zaman itu
sekelompok penyair-penyair handalan, filosof-filosof, ahli-ahli sejarah,
ahli-ahli ilmu hisab, tokoh-tokoh agama dan pujangga-pujangga yang memperkaya
perbendaharaan bahasa Arab.[4]
Banyak ahli dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan, seperti; filsafat. Filosuf terkenal saat itu antara lain adalah Al-Kindi (185-260 H/801-873 M). Abu Nasr al Faraby (258-339 H/870-950
M), yang menghasilkan karya dalam bentuk buku berjudul Fusus al-Hikam, Al-Mufarriqat, Ara’u ahl al-Madinah al-Fadhilah. Selain
mereka, juga ada Ibnu Sina(370-428
H/980-1037 M), Ibnu Bajjah (w. 533
H/1138 M), diantara karyanya adalah Risalatul
Wada’, akhlak, kitab al-Nabat, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bil Ihsan, Tadbir
al-Mutawahhid, kitab al-Nais, Risalah al-Ghayah al-Insaniyah, Al-Ghazali (1059-1111
M), Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1196
M), dan lain-lain. Selain filsafat, juga terjadi perkembangan dan kemajuan
dalam bidang Ilmu Kalam atau Teologi. Diantara tokoh-tokohnya adalah Washil bin Atha, Baqillani, Asyary Ghazali,
Sajastani, dan lain-lain.[5]
Adapun bentuk-bentuk peradaban Islam
pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.
Kota-Kota
Pusat Peradaban
Di antara kota pusat peradaban pada masa
dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Baghdad merupakan ibu kota negara
kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M)
pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban
dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Ke kota inilah para ahli ilmu pengetahuan
datang beramai-ramai untuk belajar. Sedangkan kota Samarra terletak di sebelah
timur sungai Tigris, yang berjarak +60 km dari kota Baghdad. Di dalamnya
terdapat 17 istana mungil yang menjadi contoh seni bangunan Islam di kota-kota
lain.[6]
b.
Bidang
Pemerintahan
Pada masa Abbasiyah I (750-847 M),
kekuasaan kholifah sebagai kepala negara sangat terasa sekali dan benar seorang
kholifah adalah penguasa tertinggi dan mengatur segala urusan negara. Sedang
masa Abbasiyah II 847-946 M) kekuasaan kholifah sedikit menurun, sebab Wazir
(perdana mentri) telah mulai memiliki andil dalam urusan negara. Dan pada masa
Abbasiyah III (946-1055 M) dan IV (1055-1258 M), kholifah menjadi boneka saja,
karena para gubernur di daerah-daerah telah menempatkan diri mereka sebagai
penguasa kecil yang berkuasa penuh. Dengan demikian pemerintah pusat tidak ada
apa-apanya lagi.
Dalam pembagian wilayah (propinsi),
pemerintahan Bani Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat, gubernurnya bergelar
Amir/ Hakim. Imaraat saat itu ada tiga macam, yaitu ; Imaraat Al-Istikhfa,
Al-Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Kepada wilayah/imaraat ini diberi
hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa/ al-Qura dengan kepala desanya
as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh.
Selain itu, dinasti Abbasiyah juga telah
membentuk angkatan perang yang kuat di bawah panglima, sehingga kholifah tidak
turun langsung dalam menangani tentara. Kholifah juga membentuk Baitul Mal/ Departemen
Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya. Di samping itu juga kholifah
membentuk badan peradilan, guna membantu kholifah dalam urusan hukum.[7]
c.
Bangunan
Tempat Peribadatan dan Pendidikan
Di antara bentuk bangunan yang dijadikan
sebagai lembaga pendidikan adalah madrasah. Madrasah yang terkenal saat itu
adalah Madrasah Nizamiyah, yang didirikan di Baghdad, Isfahan, Nisabur, Basrah,
Tabaristan, Hara dan Musol oleh Nizam al-Mulk seorang perdana menteri pada
tahun 456 – 486 H. selain madrasah, terdapat juga Kuttab, sebagai lembaga
pendidikan dasar dan menengah, Majlis Muhadhoroh sebagai tempat pertemuan dan
diskusi para ilmuan, serta Darul Hikmah sebagai perpustakaan.
Di samping itu, terdapat juga bangunan
berupa tempat-tempat peribadatan, seperti masjid. Masjid saat itu tidak hanya
berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ibadah sholat, tetapi juga sebagai tempat
pendidikan tingkat tinggi dan takhassus. Di antara masjid-masjid tersebut
adalah masjid Cordova, Ibnu Toulun, Al-Azhar dan lain sebagainya.[8]
d.
Bidang
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Bani
Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu ‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu
Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Bahasa.
Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran, Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia,
Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.[9]
e.
Perluasan/ekspansi
Kekuasaan Islam
Pada masa pemerintahan dinasti
Abbasiyah, luas wilayah kekuasaan Islam semakin bertambah, meliputi wilayah
yang telah dikuasai Bani Umayyah, antara lain Hijaz, Yaman Utara dan Selatan,
Oman, Kuwait, Irak, Iran (Persia), Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir,
Tunisia, Al-Jazair, Maroko, Spanyol, Afganistan dan Pakistan, dan meluas sampai
ke Turki, Cina dan juga India.[10]
Khalifah Al-Manshur berusaha menaklukan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat,
dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut
adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia
pada tahun 756-758 M. Ke utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosporus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar
upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di
Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.[11]
D.
Sebab-sebab
Kemunduran dan Kehancuran
Kehancuran Dinasti Abbasiyah ini tidak
terjadi dengan cara spontanitas, melainkan melalui proses yang panjang yang
diawali oleh berbagai pemeberontakan dari kelompok yang tidak senang terhadap
kepemimpinan kholifah Abbasiyah. Disamping itu juga, kelemahan kedudukan
kekholifahan dinasti Abbasiyah di Baghdad, disebabkan oleh luasnya wilayah
kekuasaan yang kurang terkendali, sehingga menimbulkan disintegrasi wilayah.
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk
atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada
periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti
tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti
yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah
Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan
politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad.
Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti.
Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru
dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah
Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun demikian
faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya
sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini
sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan
Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para menteri cenderung berperan
sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
Di antara kelemahan yang menyebabkan
kemunduran Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a. Mayoritas
Kholifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadinya dan
cenderung hidup mewah.
b. Luasnya
wilayah kekuasaan Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan.
c. Ketergantungan
kepada tentara bayaran.
d. Semakin
kuatnya pengaruh keturunan Turki dan Persia, yang menimbulkan kecemburuan bagi
bangsa Arab murni.
e. Permusuhan
antara kelompok suku dan agama.
f. Perang
Salib yang berlangsung beberapa gelombang dan menelan banyak korban.
g. Penyerbuan
tentara Mongol di bawah pimpinan Panglima Hulagu Khan yang menghacur leburkan
kota Baghdad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama
Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi Muhammad SAW. Pendirinya ialah Abdullah
As-Saffah bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, atau lebih dikenal dengan sebutan
Abul Abbas As-Saffah. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132 – 656 H /
750 – 1258 M. Lima setengah abad lamanya keluarga Abbasiyah menduduki
singgasana khilafah Islamiyah. Pusat pemerintahannya di kota Baghdad.
Di antara kota pusat peradaban pada masa
dinasti Abbasiyah adalah Baghdad dan Samarra. Bangdad merupakan ibu kota negara
kerajaan Abbasiyah yang didirikan Kholifah Abu Ja’far Al-Mansur (754-775 M)
pada tahun 762 M. Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban
dan kebangkitan ilmu pengetahuan.
Ketika banyak terjadi pemberontakan,
kekuatan Dinasti Abbasiyah pun melemah. Sehingga terjadi kegoncangan kekuasaan
yang berakhir dengan disintegrasi wilayah dan keruntuhan dinasti ini.
B.
Kritik
dan Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami selaku
penyusun masih banyak kekurangan dalam pengetahuan makalah ini. Maka disini
kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA
A. Syalabi, Prof. Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3,
Al-Husna Zikra, Jakarta, 2000.
Murodi, Drs, Sejarah Kebudayaan Islam
MA, Karya Toha Putra, Semarang, 2003.
Murodi, Dr.MA, Sejarah Kebudayaan Islam Tsanawiyah kelas IX, Karya Toha
Putra, 2007.
Chatibul Umam, Prof, Dr. Abidin Nawawi,
Drs, Sejarah Kebudayaan Islam MTs, Menara Kudus, Semarang, 1995.
Yatim, Badri, Dr. MA, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah
II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Brockelmann, Carl, History of the Islamic Peoples, (London: Routledge & Kegan
Paul, 1982).
[2] Badri Yatim,Dr.
MA, Sejarah Peradaban Islam Dirasah
Islamiyah II, PT RajaGrafindo Persada, hal 49.
[3] Ibid,. hal 58.
[4] Syalabi, Prof,
Dr, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Alhusna Zikra, Hal 186
[5] Murodi, Dr.MA, Sejarah Kebudayaan Islam Tsanawiyah kelas
IX, Karya Toha Putra, 2007, hal
18.
[6] Op.Cit
[8]
Murodi,
Drs, MA, Sejarah Kebudayaan Islam MA,
Karya Toha Putra, Hal 59
[9] Op.Cit, hal 96.
[10] Murodi, Drs, MA,
Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya
Toha Putra, Hal 51.
[11] Carl Brocjekmann, History of the Islamic Peoples, (London:
Routledge & Kegan Paul,1982), hal.111.
Thankz a lot for Ms. Siti Qoiriyyah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar