BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
عن
أبى أمامة الباهليّ عن رسول لله صلّى الله عليه و سلم قال : لينقضنّ عرى الاسلام
عروة عروة فكلّما انتقضت عروة تشبّث النّاس بالّتى تليها و اوّلهنّ نقضا الحكم و
أخرهنّ الصّلاة ( رواه احمد
” Dari Abi Umamah Al-Bahily dari
Rasulullah Saw. Beliau bersabda : ” Untaian tali-tali Islam ini akan terurai
satu persatu, setiap kali satu untaian terurai maka orang-orang berpegang pada
untaian berikutnya. Dan untaian yang terurai pertama kali adalah hukum,
sedangkan yang terakhir adalah shalat .” ( HR.Ahmad ).
Berangkat dari
pijakan Hadits di atas, maka kita senantiasa meyakini akan terjadinya suatu
keadaan seperti yang di gambarkan Rasulullah beberapa abad silam lamanya yaitu
syari’at islam sedikit demi sedikit akan hilang dari para pemeluknya sehingga
suatu saat nanti akan asing melihat orang yang menjalankan syari’at Islam .
Pada masa
Khulafa Ar-Rasyidin pernah terjadi adanya yang tidak mau membayar zakat,
sehingga sampai diperangi. Masa kini mungkin akan semakin banyak penyimpangan-penyimpangan
terhadap syari’at Islam di Mesir, Rifa’ah Al-Tafthawi (1800-1873), yang tinggal
7 tahun di Paris dan kembali ke Mesir pada tahun 1983, adalah peletak batu
pertama dalam memusuhi hijab dengan menghalalkan dansa antara antara laki-laki
dan perempuan. Di Indonesia penyimpangan-penyimpangan
syari’at Islam mungkin akan semakin pelik dan beragam, dengan lahirnya sebuah
kelompok yang suka merasionalisasikan urusan yaitu : Jaringan Islam Liberal (
JIL) sampai saat ini mereka paling giat mengotak-atik teks al-Quran sehingga
tak sedikit ayat al-Quran yang mereka langkahi dan mengedapankan rasio mereka
dengan dalih itu untuk kemaslahatan manusia walaupun pastilah mereka tahu akan
akibat dari apa yang mereka lakukan seperti tertulis di sebuah hadits : “barang
siapa yang menafsirkan al-Quran dengan menggunakan rasio atau tanpa ilmu maka
bersiap-siaplah untuk menempati neraka. “
Bukan tidak
boleh kita melakukan itu, akan tetapi akal kita harus selaras dengan syari’at
bukan syari’at yang harus menyelaraskan dengan akal, itu yang harus jadi
pegangan kita. Kewajiban kita untuk membahas kaidah-kaidah yang membangun hukum
mudah-mudahan banyak dari mereka menyadari kesalahan-kesalahan mereka dalam
mengaplikasikan hukum yang mereka yakini itu yang terbaik dan itu pula harus
menjadi penggugah bagi kita untuk terus mengkaji dan merealisasikan syari’at di
kehidupan sehari-sehari sehingga kita bisa menjadi golongan yang selamat di
dunia dan akhirat. Amin
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan istishhab?
2. Terbagi kepada berapa macam
istishhab itu?
3. Apa saja yang menjadi dalil
aplikasi istishhab?
4. Bagaimana pendapat para ahli
ushul dalam hujjiyyatul istishhab?
5. Sebutkan kaidah-kaidah yang
membangun istishhab!
6. Apa saja contoh aplikasi ulama
fiqh dengan istishhab?
7. Apa saja contoh aplikasi
istishhab?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Istishhab
Istishhab secara etimologi adalah
isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban diambil dari “استفعال من
الصّحبة ” yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau
adanya saling keterkaitan. Sedangkan istishhab
secara terminologi :
1. Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy
mengistilahkan :
استدامة
اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
” tetapnya sebuah ketentuan yang
sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang
sebelumnya sudah menjadi larangan. “[1]
2. Imam Asy-Syaukani mengistilahkan
:
الاستصحاب
هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
” Tetapnya sesuatu perkara selama
tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa
yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah
ketetapan pula pada masa yang akan datang.”[2]
3. Ibnu Hazm membuat definisi
ishtishhab :
الاستصحاب
هو بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم الدّليل منها على التّغيير
” Tetapnya hukum asal yang
ditetapkan oleh nushush sehingga ada dalil dari nushush tersebut yang
merubahnya “.[3]
B.
Pembagian Istishhab
Istishhab terbagi kepada lima macam,
yaitu:
a. Istishab al-ibahah al-asliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi
manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat
manusia dan masing-masing orang berhak untuk menebang dan memanfaatkan pohon
dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkkan bahwa hutan itu telah menjadi
milik seseorang. Dalam kaitan ini,
alasan yang dikemukakan para ahli ushul fiqh berdasarkan firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah: 29 yang artinya: Dia- lah yang telah menjadikan bagi kamu seluruh yang ada di bumi ini…
Menurut ayat diatas, bahwa mencari
rizki adalah hak setiap orang dan halal, selama tidak ada dalil lain yang
menunjukkan bahwa hukum boleh dan halal itu telah berubah. Misalnya,
apabila hutan yang tadinya bisa dimanfaatkan setiap orang berdasarkan keputusan
pemerintah telah ditetapkan menjadi hak bagi orang tertentu. Berdasarkan ketetapan pemerintah ini, maka hukum
kebolehan memanfaatkan hukum tersebut berubah menjadi tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ulama’
ushul fiqh dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.[4]
b. Istishhab al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut : seperti
tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil
yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka
apabila dia masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
c. Istishhab al-hukm bisa dipahami
apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu boleh atau dilarang, maka itu
tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang mengharamkan dari perkara yang
diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
Contoh konkrit istishhab ini dapat
dilihat dalam masalah pemilikan rumah. Seseorang yang memilki sebuah rumah atau
harta bergerak seperti mobil, ia tetap dianggap sebagai pemilik rumah dan
mobilnya selama tidak ada bukti menunjukkan ada peristiwa yang merubah status
hukumnya, seperti melalui jual beli atau telah dihibahkannya kepada orang lain.
d. Istishhab
al-Washfi dipahami dengan menetapkan sifat asal pada sesuatu,
seperti tetapnya sifat hidup bagi orang hilang sehingga ada dalil yang
menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya sifat suci bagi air selama
belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa atau baunya.
e. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’. Misalnya, para ulama’ fiqh menetapkan berdasarkan ijma’
bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan
shalat. Apabila shalatnya selesai ia kerjakan, maka shalatnya dinyatakan sah. Akan
tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah shalatnya harus
dibatalkan untuk kemudian berwudlu atau shalat itu diteruskan. Menurut
ijma’ para ulama’ bahwa shalat itu
sah dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menggangap hukum ijma’ itu tetap
berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan
bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudlu dan mengulang
kembali shalatnya. [5]
C. Dalil-dalil
Aplikasi Istishhab
1. Dalil Naqli :
a. Al-Quran
Ayat yang digunakan dalam aplikasi
istishhab yaitu dengan memperhatikan (istiqra) ayat-ayat yang menjelaskan
tentang hukum syara dan itu tetap selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Seperti haramnya alkohol di tetapkan
oleh al-quran yang menjelaskan haramnya khamar, apabila sudah berubah sifatnya
menjadi al-khol ( cuka ) maka itu tidak haram lagi karena sudah hilang sifat
memabukannya.
” Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, ( berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. ( QS. 05
: 90 )
b. As-Sunnah
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw.
Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya
maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar
meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. ( HR. Muslim )
2. Dalil ‘Aqli :
Secara naluriah akal kita bisa
menghukumi segala sesuatu boleh atau tidak, ada dan tiada dengan melihat pada asal
mulanya selama belum ada dalil yang mengingkari sebaliknya, maka itu tetap di
hukumi seperti asalnya, seperti bahwa manusia terlahir ke dunia ini selamanya
disifati hidup selama belum ada bukti yang jelas bahwa dia sudah meninggal.
D. Perbedaan Pendapat
tentang Hujjiyyatul Istishhab menurut Ahli Ushul
Para ahli ushul
terbagi menjadi beberapa madzhab:[6]
1. Jumhur
diantaranya : malikiyyah, hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian
hanafiyyah. Berpendapat bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq
baik itu nafyi atau itsbat.
2. Sebagian
syafi’iyyah, sebagian besar hanabilah dan mutakallimin seperti Husein
al-Bishri, mereka berpendapat bahwa istishhab bukan hujjah secara mutlak
baik itu dalam nafyi atau itsbat.
3. Para pengikut
hanafiyyah al-mu’ashir mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai hujjah liddaf’I
la lil itsbat.
4. Al-Baqalani
berpendapat bahwa istishhab itu hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak
boleh digunakan dalam perkara yang di perdebatkan.
5. Abu Ishaq
menukil dari Imam Syafi’I berpendapat bahwa istishhab hanya boleh dijadikan sebagai
penguat dari dalil saja tidak untuk yang lainnya.
6. Abu Manshur
al-Bagdadi dari sebagian syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika tujuannya
melarang apa yang sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan tetapi
bila tujuannya itsbat berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan
menggunakan istihhab al-hal dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu
tidak sah ( salah ).
E. Kaidah-kaidah
yang Membangun Istishhab
1. الأصل
فى الأشياء الاباحة
“Hukum pokok sesuatu adalah
kebolehan.”
Dalam firman Allah : Dialah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
(QS. Al-Baqarah
: 29)
Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan
bahwa setiap apa yang ada di muka bumi ini pada asalnya adalah boleh selama
tidak ada dalil yang melarangnya.
2. الأصل
بقاء ماكان على ماكان
“Hukum pokok
(sesuatu) adalah sebagaimana adanya.”
Dalam Firman Allah Swt. : dan Kami
turunkan dari langit air yang sangat bersih. Dalam sabda Nabi Saw. :”
sesunnguhnya air itu suci “
Air
selamanya adalah suci dan mensucikan selama belum ada yang merubah hakikat air
tersebut.
3. اليقين
لا يزول بالشك
“Sesuatu yang
meyakinkan tidak hilang karena keraguan.”
Dari Abi Hurairah
Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara kamu merasakan
sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka
janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar
angin. ( HR. Muslim )
4. الأصل
فى الذمّة براءة
“Hukum pokok dalam
pertanggungjawaban adalah kebebasan.”
Seseorang mengadu bahwa fulan
memiliki hutang kepadanya, kemudian fulan mengingkari pengaduan tersebut, yang
mengadu tidak bisa membuktikan bahwa fulan itu memiliki hutang kepadanya, maka
fulan tersebut terbebas dari hutang.
F. Aplikasi
Ulama Fiqh dengan Istishhab
1. Ibnu Abi
Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi
Laila Al-Anshari seorang Hakim dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai
Abasiyah beliau adalah orang yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya
Abu Laila berkata tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang
kuat yang menjelaskan wajibnya zakat madu.[7]
Dari sana kita mengetahuai metode pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah
dengan cara ishtishhab yaitu al-Bara`ah al-Ashliyah ( pada asalnya tidak ada
hukum ) dalam menetapkan menentukan suatu hukum maka selama tidak ada dalil
shahih yang menerangkan wajibnya zakat maka pada madu itu tetep tidak ada wajib
zakat.
2. Abu Hanifah (
81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy
mengatakan bahwa Abu Hanifah dan pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah
qo’idah sebagai rujukan yaitu, “ma sabata bi al-yaqin la yazulu bi asy-syak:
suatu yang ditetapkan dengan yakin tidak bisa hilang dengan suatu yang diragukan.”[8]
Seperti yang diriwayatkan dari
al-Kurdi : “dikisahkan salah seorang datang kepada Abu Hanifah kemudian dia
bertanya kepada Abu Hanifah : aku tidak tahu apakah aku sudah menolak istriku
atau tidak ? maka Abu Hanifah menjawab : kamu tidak men-talaq istri kamu
sehingga kamu benar-benar yakin telah men-talaqnya.”[9]
Dan Imam As-Sarkhosy meriwayatkan
bahwa imam Abu Hanifah berkata: barang siapa yang ragu apakah dia berhadats
maka dia memiliki wudhunya dan apabila ragu apakah punya wudlu atau tidak maka
dia adalah berhadats. Dari kedua contoh diatas
menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengamalkan kaidah al-Yakin la Yu’aridlu
bi as-Syak yang merupakan salah satu kaidah yang selaras dengan methode
istishhab.
3. Imam Malik (
93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan
: imam Malik berkata ” tidak boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang
sehingga ada kabar tentang kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak
mungkin dia masih hidup, maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi
ditetapkannya bahwa dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah
hadits Rasulullah Saw. : barang siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia
harus menetapkan dengan yakin yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa
imam Malik dalam beberapa masalah beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah
di tetapkannya dengan methode istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil
(sedikit). Imam Sahnun meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami yang
men-talaq istrinya kemudian dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang
pertama, kedua atau ketiga. Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab :
tidak halal baginya sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu.[10]
Dan pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih
kecil.
4. Imam
Asy-Syafi’i ( 150-204 H )
Imam asy-Syafi’I pernah mengamalkan
ishtishhab yaitu beliau pernah berkata : apabila seseorang melakukan perjalanan
dan dia membawa air maka dia ragu apakah sudah ada najis yang tercampur dengan
air tersebut dengan tidak yakin, maka air itu tetap dalam kesuciannya. Dia boleh berwudhu dan minum dari air tersebut sehingga
dia yakin ada najis yang sudah bercampur dengan air tersebut.
Dan imam asy-Syafi’I pernah berkata
: kalau seseorang ragu apakah keluar mani atau tidak? Maka dia tidak wajib
mandi sehingga dia yakin, akan tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan
mandi.
G. Contoh-contoh
Aplikasi Istishhab
1. Kepemilikan
dalam barang dengan cara yang syar’i maka kepemilikan barang tersebut tidak
akan berubah kecuali dengan pemindahan kepemilikan barang secara syar’I pula
baik itu dengan jual-beli, hadiah atau diwariskan.
2. Apabila
seseorang ragu ketika sahur di bulan ramadhan apakah udah terbit fajar atau
belum maka ambillah suatu yang dianggap yakin maka ketika dia yakin bahwa telah
terbit fajar maka tahanlah dari makan dan minum.
3. Kasus
seseorang hilang maka dia selamanya di hukumi hidup apabila belum ada
keterangan yang menyatakan bahwa dia telah meninggal, maka status istrinya
masih sah bagi orang yang hilang tersebut dan tidak boleh membagikan harta
warisan sebelum ada bukti yang menjelaskan kematiaanya tersebut.
4. Ada seorang
istri mengadu bahwa suaminya telah mentalaqnya kemudian sang suami mengingkari
pengakuan istrinya, sang istri tidak bisa membuktikan bahwa suaminya telah
mentalaqnya maka pernikahan mereka masih sah karena asal adalah tetap sahnya
pernikahan.
5. Jika seseorang tawaf di baitullah dia tidak tahu
sudah sempurna atau belum, maka sempurnakanlah apabila merasa masih belum
sempurna.
Malikiyyah berpendapat barang siapa
yang punya wudhu kemudian di ragu dia berhadats, maka dia harus mengulang
wudhunya sehingga tidak ada lagi keraguan dalam hatinya, karena ragu-ragu bisa
menghilangkan kekhusyukan shalat.
Ibnu Hajar Al-Asyqalani menjelaskan
dalam Fathu Al-Bari hadits dari ‘Ibadudin bin tamim al-mutaqaddimah
meriwayatkan dari Malik sebagai bantahan secara mutlak ( diriwayatkan dari
Malik : bahwa menentukan berhadats atau tidaknya ialah ketika diluar shalat
bukan ketika shalat. )
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam al-Khawarizmy berkata :
Ishtishhab adalah akhir cara untuk membuat fatwa, jika mufti ditanya tentang
hukum dari perkara yang baru, maka mufti mencari hukumnya pertama dari
al-quran, as-Sunnah, ijma’, kemudian qiyas. Maka jika tidak ada dalil yang dia
mengambil hukumnya dengan istishhab al-hal dalam melarang atau menetapkan, maka
jika berselisih dalam ketiadaan maka pada asalnya adalah ada, dan jika
berselisih dalam ada atau tidak maka asalnya tidak ada.[11]
Hanafiyyah dan malikiyyah menjadikan
istishhab liddaf’I la lil isbat yaitu dalil dalam menetapkan sesuatu
yang pada asalnya sudah ditetapkan dan bukan menjadi hujah menetapkan sesuatu
perkara yang belum ada. Sedangkan syafi’iyyah dan hanabilah berpendapat bahwa
istishhab itu hujjah liddaf’I wa lil istbat yaitu menetapkan hukum yang
pada sudah ditetapkan pada awalnya kemudian menetapkannya seolah-olah dengan
dalil baru.
Dari uraian-uraian tentang Istishhab
di atas maka penulis berpendapat bahwa istishhab bisa di jadikan sebagai salah
satu methode dalam mencari sebuah hukum setelah merujuk terlebih dahulu pada
al-quran, as-sunnah, maka jika tidak ada dalil yang menunjukan secara detail
maka methode ishtishhab bisa di lakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Firdaus, dkk, 2004.
USHUL FIQH Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip.
Jakarta: Zikrul Hakim
Mubarok, Jaih,
2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press
Quthub Mushtafa Sanu, 2002. Mu’jam
Musthalahat Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fiqr al-Mu’ashir
Wahbah Zuhaily, 2004. Ushul Fiqh
al-Islamy, Damaskus-Syuria: Dar Al-Fikr
Abu Zahrah, Muhammad.
Ushul Fiqh, Kairo: Dar Al-Fikr Al-’Arabi
Muhammad Baltaji, 2000. Manahij
at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni ats-Tsani al-Hijry, Kairo: Maktabah
al-Balad al-Amin
http://pwkpersis.wordpress.com/2008/03/22/istishhab-dalam-aplikasi-ulama-fiqh/
[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr
Al-’Arabi, hal. 276. Muhammad Bakar Ismail, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah
wa At-Taujih, Dar Al-Manar, 1997, hal 60
[2]Ibid, hal 60
[3]
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, Dar Al-Fikr, cetakan kedua,
Damaskus, 2004, hal.888
[4]
Nasrun Harun,Op.Cit.hal.129-130.
[5]
Ibid, hal.131-133.
[6] Dr.
As’ad Abdul Ghani as-Sayyid al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushulliyyin,
Dar As-Salam, Kairo, 2005, hal. 515.
[7]
Dr. Muhammad Baltaji, Manahij at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni ats-Tsani
al-Hijry, Maktabah al-Balad al-Amin, 2000, jilid 1, hal. 230.
[8] Ibid.
hal. 329.
[9]
Dr. Muhammad Baltaji, Manahij at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni ats-Tsani
al-Hijry, Maktabah al- Balad al-Amin, 2000, jilid 1, hal. 329.
[10] Ibid.
hal. 111.
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr
Al-’Arabi, hal. 276. op.cit. Irsyad al-Fuhul hal.280.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar