BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap
orang yang ingin mengetahui seluk beluk agamanya secara
mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam
agamanya. Mempelajari teologi akan memberikan kepada seseorang
keyakinan yang didasarkan pada landasan yang kuat, yang
tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan zaman.
Teologi dalam Islam dikenal dengan
nama “Ilmu Aqaid”
atau “Ilmu Tauhid”. Dinamakan demikian karena dalam Islam
keyakinan tentang ke-Maha Esaan Tuhan adalah termasuk ajaran
yang sangat penting.
Teologi Islam disebut juga “Ilmu
Kalam”. Dinamakan demikian, karena masalah “kalam” atau firman Tuhan, yaitu Al-
Quran, pernah menjadi polemic yang
menimbulkan pertentangan-pertentangan keras dikalangan umat Islam, terutama
dalam abad 9 sampai 10 Masehi yang membawa kepada penganiayaan-penganiayaan
bahkan pembunuhan- pembunuhan terhadap sesama muslim pada waktu itu.
Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih
dari satu aliran teologi. Ada aliran yang
bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional
dan ada pula yang bersifat tengah-tengah antara liberal dan
tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Orang yang
bersifat tradisional dalam pemikirannya, mungkin lebih sesuai dan
dapat menerima paham-paham dari ajaran teologi tradisional.
Sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya,
mungkin lebih sesuai dan dapat menerima paham-paham
dari ajaran teologi liberal. Dalam soal paham jabariyah
(fatalism) dan paham qadariyah (free will) misalnya, orang yang
bersifat liberal dalam pemukimannya, tentu tidak dapat
menerima paham jabariyah (fatalisme). Baginya paham qadariyah (free
will)
yang terdapat dalam ajaran teologi liberalisme yang lebih
sesuai dengan jiwa dan pemikirannya. Begitu pula
sebaliknya. Adapun beberapa aliran teologi dalam Islam,
yaitu aliran Khawarij, aliran Murji’ah, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah.
B. Identifikasi Masalah
1. Arti Kata Khawarij
2. Nama-nama Lain bagi Kaum Khawarij
3. Latar Belakang Timbulnya Aliran Khawarij
4. Paham Teologi Khawarij
5. Sub-sub Sekte dalam Khawarij
C. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Khawarij?
2. Nama apa saja yang menjadi sebutan bagi kaum
Khawarij?
3. Apa latar belakang yang menyebabakan timbulnya
aliran Khawarij?
4. Bagaimana paham teologi aliran Khawarij?
5. Sub-sub sekte apa saja yang ada dalam aliran
Khawarij?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti Kata Khawarij
Sebagaimana anda ketahui dalam
sejarah Islam, bahwa kaum khawarij pada mulanya adalah pengikut-pengikut Ali
bin Abi Thalib, tetapi kemudaian mereka meninggalkan barisannya, karena tidak
setuju dengan sikap Ali bin Abi Thalib yang menerima “tahkim” (arbitrase)
sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaannya dengan Mu’awiyah ibnu Abi
Sufyan.
Nama
“Khawarij” berasal dari kata “kharaja” yang berarti: keluar. Nama tersebut
diberikan kepada mereka karena mereka menyatakan diri keluar dari barisan Ali
dalam persengketaannya dengan Mu’awiyah.
Ada pula pendapat lain yang
mengatakan, bahwa pemberian nama “Khawarij” tersebut didasarkan pada ayat 100
dari surat An-Nisa yang berbunyi:
artinya : “ Dan
barangsiapa keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah
tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha
Pengampunan lagi Maha Penyayang”.
Dengan
demikian kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai
kaum yang berhijrah meninggalkan rumah dan kampong
halaman mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah
dan Rasul-Nya untuk memperoleh pahala dari Allah SWT.
B. Nama-Nama Lain Bagi Kaum Khawarij
Selanjutnya mereka menyebutkan
diri mereka sebagai kaum “Syurah”, yang berasal dari kata “Yasyri” yang berarti
menjual. Penyebutan nama tersebut didasarkan kepada ayat 207 dari Surat
Al-Baqarah, yang berbunyi:
Artinya :
“Dan di antara segolongan manusia
ada yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah, dan Allah itu Maha
Pengasih kepada hamba-hamba- Nya”
Mereka seringkali disebut juga
“Haruriyah” yang berasal dari “Harura”, yaitu nama sebuah desa di dekat kota
Kufah di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah dua belas
ribu orang, berkumpul di tempat ini, setelah memisahkan diri dari barisan Ali
bin Abi Thalib sebagai anti dari Ali. Dalam pertempuran dengan kekuatan Ali
mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seseorang yang bernama Abd
al-Rahman ibn al-Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib.
Walaupun
kaum khawarij mengalami kekalahan besar, namun mereka dapat menyusun kembali
barisan mereka untuk meneruskan perlawanan mereka terhadap kekuasaan Islam
resmi, baik di zaman dinasti Bani Umayyah, maupun di zaman
kekuasaan dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan
yang ada pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng
dari Islam, karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
C. Latar Belakang Timbulnya Aliran Khawarij
Sebagaimana kita ketahui dalam
sejarah, bahwa Nabi Muhammad di samping sebagai Rasul beliau juga pemimpin
umat, sebagai kepala Negara. Ini berarti bahwa Islam disamping sebagai system
agama, juga sebagai system politik, yang mengatur tentang ketatanegaraan.
Oleh karena itu tidak
mengherankan, kalau pada waktu Nabi Muhammad wafat, masyarakat Madinah menjadi
bingung memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara Islam yang belum
lama berdiri.
Maka timbullah masalah besar bagi
mereka, yaitu siapakah yang akan menggantikan Nabi Muhammad sebagai kepala
Negara. Masalah ini dikenal dalam sejarah Islam sebagai masalah khilafah.
Sebagai Nabi atau Rasul, mereka tidak mempersoalkannya, sebab Nabi atau Rasul
itu tidak dapat digantikan.
Dalam sejarah kita ketahui bahwa
masyarakat Islam pada waktu itu menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Nabi
Muhammad dalam mengepalai Negara mereka. Karena itu Abu Bakar dikenal sebagai
khalifah pertama. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar ibn al-Khatab sebagai
khalifah kedua, dan kemudian Umar digantikan oleh Usman ibn Affan sebagai
khalifah ketiga.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, Usman termasuk dalam
golongan pedangan Quraisy yang sangat kaya. Kaum keluarganya terdiri dari
orang-orang aristokrasi Mekkah, yang karena pengalaman dagang, mereka mempunyai pengetahuan tentang
administrasi. Pengetahuan mereka ini sangat bermanfaat dalam mengelola
administrasi daerah- daerah di luar semenanjung Arabia, yang semakin lama
semakin bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang
diangkat oleh Umar ibn al- Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan
tak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya itu dijatuhkan
oleh Usman.
Tindakan-tindakan politik yang
dijalankan Usman ini sudah barang tentu menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi khalifah Usman sendiri. Sahabat-sahabat Nabi yang mulanya
menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai
meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi
khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan
tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari Mesir sebagai reaksi terhadap
dijatuhkannya Umar ibn al-As yang diganikan oleh Abdullah ibn Sa’d ibn Abi
Sarh, salah satu anggota kaum keluarga Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima
ratus pemberontak bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah
selanjutnya menimbulkan pembunuhan terhadap Usman, yang dilakukan oleh
pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini.
Setelah
Usman wafat, maka Ali menjadi khalifah yang keempat. Tetapi ia mendapat
tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah
dan Zubair dari Mekkah, yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari
Aisyah-Talhah Zubair ini dapat dipatahkan oleh kekuatan Ali. Dalam pertempuran
yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talhah dan Zubair mati terbunuh dan
Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Selanjutnya
Al-Tabari menerangkan, bahwa tantangan kedua datang dari Mu’awiyah. Gubernur
Damaskus dan keluarga dekat Usman. Seperti halnya Talhah dan Zubair, ia tak mau
mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali agar ia menghukum
orang-orang yang membunuh Usman. Bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam
pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah
dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkatnya Ali
bin Abi Thalib. Lagi pula Ali nampak tidak mengambil tindakan keras terhadap
kaum pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abi Bakr diangkat oleh Ali menjadi
Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi
antara kedua golongan ini di Siffin, pasukan Ali dapat mendesak pasukan
Mu’awiyah. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, yaitu Amr ibn al-‘As, yang terkenal
sebagai orang yang sangat licik, minta berdamai dengan mengangkatkan Quran
keatas. Qurra’ yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu,
dan dengan demikian dicarinyalah perdamaian dengan mengadakan arbitrase
(tahkim). Sebagai arbiters diangkatlah dua orang, yaitu Amr ibn al-As dari
pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka,
kelicikan Amr ibn al-‘As dapat mengalahkan Abu Musa yang terkenal sangat takwa
itu.
Dalam
sejarah dapat kita baca, bahwa antara Amr ibn al-‘As dan Abu Musa al-Asy’ari
terjadi kesepakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertentangan
itu, yaitu Ali dan Mu’awiyah. Menurut tradisi, orang yang lebih tua harus
melakukannya lebih dahulu. Maka berdirilah Abu Musa al-Asy’ari untuk
mengumumkan kepada khalayak ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan itu, sesuai dengan kesepakatan mereka. Kemudian setelah itu
berdirilah Amr ibn al-‘As, dan mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa ia hanya
menyetujui penjatuhan Ali, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Dengan demikian
Amr ibn al-‘As telah sengaja melanggar kesepakatan bersama, dan itulah
kelicikannya terhadap Abu Musa al-Asy’ari.
Maka jelaslah bagi anda, bahwa
kejadian tersebut sangat merugikan Ali dan sangat menguntungkan Mu’awiyah.
Padahal yang sah menurut hukum Alilah yang berhak menjadi khalifah, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah yang tak mau tunduk
kepada Ali sebagai khalifah. Tetapi dengan arbitrage ini Mu’awiyah dapat
diangkat menjadi khalifah. Karena itu tidak mengherankan kalau putusan ini
ditolak oleh Ali, dan ia tak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah, sampai
beliau wafat karena terbunuh pada tahun 661 M.
Keadaan Ali menerima tipu
muslihat Amr ibn al-‘As dalam arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa,
tidak dapat diterima oleh sebagian dari pasukannya. Mereka berpendapat, bahwa
putusan serupa itu tidak dapat diberikan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya
dapat diterima apabila datang dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Quran:
Artinya : Tidak ada hukum selain dari hukum Allah.
Menurut
mereka Ali telah melakukan kesalahan, karena tidak berpegang kepada hukum
Allah. Karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan yang keluar dari
barisan Ali inilah yang dalam sejarah dikenal dengan nama Khawarij. Mereka
memisahkan diri dari barisan Ali.
Karena
menganggap Ali bersalah dan berbuat dosa, maka mereka memusuhi Ali, sehingga
Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu pasukan Mu’awiyah dan kaum Khawarij.
Karena selalu mendapat serangan dari golongan Khawarij, maka Ali harus memusatkan perhatiannya untuk menghancurkan kaum Khawarij itu lebih dahulu. Tetapi setelah mereka ini kalah, pasukan Ali merasa sudah terlalu capai untuk meneruskan pertempuran dengan pasukan Mu’awiyah. Karena itu Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus, dan setelah Ali ibn Abi Thalib wafat. Mu’awiyah dengan mudah dapat memperoleh
pengakuan sebagai Khalifah Umat Islam pada tahun 661 M.
D. Paham Teologi Khawarij
Prof. Dr. Harun Nasution
menyatakan bahwa menurut Abu Zahrah, timbulnya paham teologi dalam kalangan
kaum khawarij bermula dari paham mereka dalam masalah-masalah
politik/ketatanegaraan.
Dalam lapangan ketatanegaraan
mereka memang mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada pada waktu
itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka Khalifah atau Imam
harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam, yang berhak menjadi
Khalifah itu bukan hanya anggota suku bangsa Quraisy, bahkan juga bukan hanya
orang Arab saja, tetapi siapa saja orang Islam yang sanggup dan mampu, walaupun
ia seorang hamba yang berasal dari Afrika. Khalifah yang terpilih akan terus
memegang jabatannya selama ia masih bersikap adil dan menjalankan syariat
Islam. Tetapi kalau ia sudah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, maka ia wajib
dijatuhkan atau dibunuh.
Selanjutnya di dalam kitab Maqalat
disebutkan, bahwa dalam hubungannya dengan khalifah-khalifah yang empat, maka
khalifah atau pemerintah Abu Bakar dan Umar ibn al- Khattab seluruhnya dapat
mereka terima, karena kedua khalifah tersebut diangkat dan tidak nyeleweng dari
ajaran- ajaran Islam.
Akan tetapi pada pemerintahan Ali
ibn Abi Thalib, menurut pandangan mereka Ali telah menyeleweng dari ajaran
Islam sejak terjadinya peristiwa arbitrage (tahkim) sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan tentang khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.
Karena itu Usma dan Ali menurut
pandangan mereka telah menjadi kafir. Demikian pula Mu’awiyah, Amr ibn al ‘As,
Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang mereka anggap telah menyimpang atau
menyeleweng dari ajaran Islam yang benar.
Dengan demikian dalam kalangan
kaum khawarij mulai memasuki persoalan “kufr”: siapakah yang disebut “kafir”,
dan mereka anggap tidak keluar dari Islam, dan siapa pula yang disebut
“mukmin”, dan mereka anggap tidak keluar dari Islam.
Persoalan-persoalan serupa ini bukan
lagi merupakan persoalan politik, tetapi sudah berubah menjadi persoalan
teologi.
Pendapat tentang siapa yang
sebenarnya masih dipandang sebagai orang Islam, dan siapa yang telah keluar
dari Islam dan dipandang sebagai orang kafir, serta soal-soal yang
bersangkut-paut dengan ini, dikalangan kaum khawarij tidak selamanya sama,
sehingga timbullah beberapa golongan kecil atau sub-subsekte dalam kalangan
khawarij. Dalam kitab Al- Milal waal-Nihal Al-Baqdadi, mereka terpecah menjadi
20 subsekte, bahkan menurut Al-Asy’ari, mereka terpecah menjadi sub-sub sekte
yang jumlahnya lebih besar lagi.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan bahwa kaum Khawarij
itu pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Mereka hidup di padang
pasir yang tandus, yang membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan
pemikiran mereka, tetapi mereka sangat keras hati dan berani serta
bersikap merdeka, tidak mau tergantung pada orang lain.
Agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke Badawian.
Mereka telah bersikap bengis, suka kekerasan dan tak
gentar mati. Sebagai orang Badawi, mereka tetap jauh dari
ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis, mereka artikan menurut
lafadznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena
itu iman dan pemahaman mereka sangat sederhana, sempit
dan fanatic. Iman mereka tebal, tetapi pandangan mereka
sempit ditambah dengan sikap mereka yang fanatik, ini
membuat mereka tidak dapat mentolerir hal-hal yang kelihatannya
menyimpang dari ajaran Islam menurut paham mereka.
Inilah nampaknya yang menjadi factor
penyebab mengapa
kaum khawarij terpecah-pecah menjadi golongan-golongan kecil, dan mengapa mereka terus-menerus bersikap mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
E. Sub-Sub Sekte dalam Khawarif
Diantara sub-sub sekte dari aliran khawarij
tersebut ialah :
1. Al- Muhakkimah
Al-Muhakkimah
adalah golongan khawarij asli, bekas pengikut-pengikut Ali, yang kemudian
memisahkan diri, dan kemudian menentang Ali. Menurut golongan ini, Ali dan
Mu’awiyah serta kedua pengantarnya, yaitu Amr ibn ‘As dan Abu Musa Al-Asy’ari,
serta semua orang yang telah menyetujui arbitrase, mereka itu telah melakukan
perbuatan salah, karena menyimpang dari ajaran Islam, perbuatan mereka itu
membuat mereka menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan
artinya, sehingga orang yang melakukan dosa besar pun termasuk orang yang telah
kafir. Berbuat zina adalah termasuk dosa besar, karena itu menurut golongan ini
orang yang mengerjakan zina, dia telah menjadi orang kafir, dan dikeluarkan
dari Islam.
Demikian pula membunuh sesame
muslim tanpa sebab adalah termasuk dosa besar. Karena itu menurut golongan ini
perbuatan membunuh manusia itu membuat si pembunuhnya menjadi orang kafir, dan
keluar dari Islam. Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya.
2. Al-Azariqah
Golongan ini muncul setelah
hancurnya golongan Al- Muhakkimah, dan golongan ini kemudian menjadi lebih
besar dan lebih kuat dibandingkan dengan golongan Al- Muhakkimah sendiri.
Daerah-daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan antara Iran dan Irak.
Nama Al- Azariqah diambil dari nama seorang pemuka golongan ini, yaitu; Nafi’
ibn al-Azraq.
Dalam kitab Al-Farqu baina
al-firaq, al-Bagdadi menyebutkan bahwa jumlah pengikut al-Azariqah itu mencapai
20.000 orang. Sebagai khalifah yang pertama mereka memilih Nafi’ ibn al Azraq,
dan kepadanya diberi gelar; “Amir al-Mu’minin”. Nafi’ meninggal dunia dalam
pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan ini mempunyai sikap yang
lebih radikal di bandingkan dengan golongan al-Muhakkimah. Orang yang melakukan
perbuatan dosa besar tidak lagi mereka sebut sebagai orang yang kafir, seperti
dalam golongan al- Muhakkimah, tetapi mereka sebut sebagai orang yang ‘musyrik’(po
liteist). Padalah di dalam Islam, musyrik itu merupakan dosa yang paling besar.
Musyrik lebih besar dosanya daripada kafir.
Menurut
golongan ini, termasuk musyrik juga orang- orang Islam yang
sepaham dengan ajaran-ajaran al- Azariqah. Bahkan orang-orang
Islam yang sepaham dengan al-Azariqah, tetapi mereka
tidak berhijrah kedalam lingkungan mereka, mereka juga
dipandang sebagai orang yang musyrik. Dengan kata lain,
orang-orang dari golongan al-Azariqah sendiri, apabila
tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga
dianggap sebagai orang musyrik.
Selanjutnya al-Bagdadi menyebutkan,
bahwa barang
siapa yang datang ke daerah mereka, dan mengaku sebagai pengikut al-Azariqah, maka mereka tidak dapat diterima begitu saja, sebelum mereka lulus dalam menjalani suatu ujian, yaitu mau membunuh seorang yang ditawan. Kalau ia telah berhasil membunuh tawanan, maka ia diterima sebagai pengikut al-Azariqah yang baik, tetapi apabila ia tidak berhasil membunuh tawanan tersebut maka ia sendirilah yang harus dihukum bunuh. Keengganan
membunuh tawanan itu dianggap sebagai bukti bahwa ia
berdusta dan sebenarnya ia itu bukan penganut paham
al-Azariqah. Bahkan anak-anak dan istri- istri
orang-orang yang demikian pun boleh ditawan, dijadikan
budak ataupun dibunuh.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan,
bahwa golongan al-Azariqah ini mempunyai paham, hanya daerah mereka sajalah yang merupakan “Dar al Islam”, sedangkan daerah-daerah Islam lainnya merupakan “Dar al Herb”, atau “Dar al-Kufr”, karena itu wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik itu bukan hanya orang-orang yang telah dewasa, tetapi juga anak-anak mereka, mereka pandang musyrik.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
golongan al-Azariqah
ini jelas mempunyai paham yang sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah yang sebenarnya
Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka adalah kaum
musyrik yang harus diperangi.
Oleh karena itu kaum al-Azariqah,
sebagaimana disebutkan oleh ibn al-Hazm, selalu mengadakan “istri’radh”, yaitu
bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang yang mereka jumpai. Kalau
orang tersebut mengaku sebagai orang Islam, tetapi tidak termasuk dalam
golongan al-Azariqah, maka mereka pun membunuhnya.
3. Al-Nadjat
Nama golongan ini diambil dari nama
seorang pemuka dari golongan ini, yaitu; Najdah ibn “Amr al-Hanafi”. Ia berasal
dari daerah Yamamah.
Menurut Al-Bagdadi, pada mulanya
golongan ini ingin menggabungkan diri dengan orang al-Azariqah, tetapi karena
dalam kalangan al Azariqah ini timbul perpecahan, maka mereka tidak jadi
menggabungkan diri dengan al- Azariqah. Perpecahan dalam kalangan al-Azariqah
itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ibnal-Azraq,
diantaranya ialah Abu Fudaik, Rasyidal- Tawil dan ‘Atiah al-Hanafi, mereka
tidak dapat menyetujui paham bahwa pengikut-pengikut al-Azariqah yang tidak mau
berhijrah ke daerah lingkungan mereka, pandang sebagai golongan musyrik. Mereka
juga tidak setuju dengan paham dalam golongan al-Azariqah, bahwa anak- anak dan
istri-istri orang yang tak sepaham dengan golongan al-Azariqah itu boleh
dibunuh.
Setelah
memisahkan diri dari Nafi’ Abu Fudaik dan kawan-kawannya pergi ke Yamamah.
Disinilah mereka dapat membujuk Najdah bergabung dengan mereka dalam menentang
Nafi’, sehinggah Najdah dan pengikut- pengikutnya membatalkan rencana untuk
hijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Selanjutnya Abu Fudaik dan
pengikut-pengikutnya Najdah bersatu, dan memilih Najdah ibn ‘Amir al-Hanaf’
sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau mengakui lagi Nafi ‘ibn al-Azraq sebagai
Imam. Bahkan mereka telah menganggap Nafi’ telah menjadi kafir, dan orang-orang
yang masih mengikutinya pun mereka pandang sebagai orang-orang yang kafir juga.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
dalam kalangan khawarij, golongan al-Nadjat inilah kelihatan yang pertama kali
membawa pahamtaqiyah, yaitu paham bahwa seseorang boleh saja merahasiakan atau
menyembunyikan keyakinannya atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan
dirinya dari musuhnya.
Taqiyah menurut pandangan mereka,
bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi boleh juga dalam bentuk perbuatan. Jadi
seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan
yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam, tetapi pada
hakekatnya ia tetap penganut agama Islam.
Di
kemudian hari terjadilah perpecahan diantara pengikut-pengikut al-Najdat.
Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut al-Najdat itu tidak dapat
menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar.
Tetapi menurut al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama
disebabkan oleh pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak
yang dilakukan oleh Najdah terhadap Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwandari
dinasti Bani Umayah. Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memperolah harta
rampasan dalam peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih
dulu, mereka langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan.
Hal ini diangapnya bertentangan dengan ketentuan dalam Al- Quran. Dan sikap
lunak yang ditunjukkan oleh Najdah kepada Khalifah ‘Abd al-Malik ialah bahwa
dalam serangan terhadap kota Madinah,mereka dapat menawan seorang anak
perempuan. Khalifah ‘Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata
permintaan itu dikabulkan oleh Najdah. Sikap seperti itu tentu saja tak dapat
diterima oelh sebagian pengikut-pengikut mereka, karena Khalifah ‘Abd al-Malik
adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan
Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke
Sijistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil mengadakan
perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan mereka
potong lehernya.
4. Al-Ajaridah
Golongan ini dinamakan
Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut dari ‘Abd Karim ibn ‘Ajrad, yang
menurut al-Syahrastani, termasuk salah seorang teman dari ‘Atiah al-Hanafi.
Menurut
al-Bagdadi, paham al-Ajaridah ini lebih lunak dibandingkan dengan
golongan-golongan lain dalam kalangan khawarij. Menurut paham mereka, berhijrah
bukanlah merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam sebagaimana diajarkan
dalam paham al-Azariqah dan paham al-Nadjat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah
merupakan kebajikan saja. Dengan demikian kaum Ajaridah bebas tinggal dimana
saja di luar daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang
kafir. Mengenai harta yang boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang,
menurut mereka, hanyalah harta musuh yang telah mati terbunuh.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al- Quran
membawa cerita tentang cinta. Menurut mereka Al- Quran sebagai kitab suci,
tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oelh karena itu mereka tidak mengakui
surat Yusuf sebagai bagian dalam Al-Quran.
5. Al-Sufriyah
Golongan ini
dinamakan demikian, karena pemimpin golongan ini ialah Ziad ibn al-Asfar.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan Al-Sufriyah ini mempunyai paham yang
agak ekstrim dibandingankan dengan yang lain. Diantara pendapat-pendapat
mereka itu ialah :
a. Orang sufriyah yang tidak berhijrah tidak
dianggap menjadi kafir.
b. Mereka tidak sependapat, bahwa anak-anak orang
yang musyrik itu boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua orang sufriyah
sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik. Ada
diantara mereka yang membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu daosa yang
diancam dengan hukum dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak
diancam dengan hukum dunia, tetapi diancam dengan hukuman karena di akhirat,
seperti dosa karena meninggalkan shalat atau puasa bulan Ramadhan. Orang yang
berbuat dosa besar golongan pertama, tidak dipandang kafir, tetapi orang yang
berbuat dosa golongan kedua itulah yang dipandang kafir.
d. Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan
mereka, tidak dianggap sebagai dar al- harb, yaitu daerah yang harus diperangi.
Menurut mereka, daerah yang boleh diperangi itu hanya daerahma’askar, yaitu
markas- markas pasukan musuh. Anak-anak dan wanita-wanit tidak boleh dibunuh
atau dijadikan tawanan.
e. Menurut mereka kufur itu
ada dua macam yaitu : kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu kufur karena mengingkari rahmat Tuhan, dan kufr bin inkar al-rububiyah, yaitu kufur karena
mengingkari adanya Tuhan. Karena itu menurut mereka, tidak selamanya sebutan
kafir itu mesti diartikan keluar dari Islam.
f. Menurut mereka,taqiyah hanya dibolehkan dalam
bentuk perkataan saja, dan tidak boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi
sungguhpun demikian, untuk menjaga keamanan dirinya, seorang wanita Islam boleh
kawin dengan laki- laki kafir, apabila dia berada di daerah bukan Islam.
6. Al-Ibadiyah
Nama golongan ini diambil dari
nama seorang pemuka mereka yaitu Abdullah ibn Ibad. Pada mulanya dia adalah
pengikut golongan al-Azariqah, tetapi pada tahun 686 M, ia memisahkan diri dari
golongan al-Azariqah.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution,
golongan al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang paling moderat di bandingkan
dengan golongan-golongan khawarij lainnya.
Paham moderat mereka itu dapat
dilihat dari ajaran-ajaran
mereka sebagai berikut :
a. Orang Islam yang tidak
sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula musyrik, mereka
itu adalah kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan
perkawinan dan hubungan warisan. Syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka
haram hukumnya.
b. Daerah orang Islam yang
tidak sepaham dengan golongan al-Ibadiyah, kecuali markas pemerintah, merupakan afar
al-tawhid, yaitu daerah orang yang
meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi.
Sedangkan daerah ma’askar pemerintah, bagi mereka merupakan afar
al-kufr, karena itu harus diperangi.
c. Orang Islam yang berbuat dosa besar, mereka
sebut oran muwahhid, yaitu orang yang meng- Esakan Tuhan, tetapi ia bukan orang
yang mukmin. Dengan demikian orang Islam yang mengerjakan dosa besar,
perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya dari Islam.
d. Harta yang boleh dijadikan ghanimah (harta
rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja. Emas dan perak harus dikembalikan
kepada yang empunya.
Tidak
mengherankan kalau paham moderat seperti yang digambarkan diatas membuat
Abdullah ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan
Khalifah Bani Umayah. Bahkan sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan
Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid
al-Azdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah sesudah Ibn Ibad,
mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada
waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij
yang ekstrim.
Oleh karena itu, kalau golongan
khawarij lainnya telah
hilang dan hanya tinggal dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perang Siffin ini merupakan
peristiwa yang sangat penting di dalam perjalanan sejarah umat Islam. Hal ini
disebabkan peristiwa perang Siffin itu membawa akibat terjadinya berbagai
perubahan, terutama mengenai perubahan system politik kenegaraan dan timbulnya
golongan-golongan di kalangan Umat Islam yang satu sama lain saling
bertentangan.
Perang Siffin meletus akibat dari
politik yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan pada masa menjelang akhir
pemerintahannya. Persoalan politik terus berlanjut dan bahkan makin berkembang
setelah usainya perang Siffin, yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-
persoalan Theologi.
Golongan khawarij memandang Ali,
Mu’awiyah, Amru bin Ash, Abu Musa Al Asy’ari dan lain-lain sudah keluar dari
Islam, bahkan dianggap murtad dan wajib dibunuh.
Sesuai dengan firman Tuhan dalam
Surah An-Nisa : 100, Khawarij merupakan suatu kaum yang berhijrah meninggalkan
rumah dan kampong halam mereka untuk mengabdikan diri kepada Allah dan
Rasul-Nya dan untuk memperolah pahala dari Allah SWT. Kaum Khawarij memisahkan
diri dari barisan ‘Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan
sikapnya yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan persengketaannya
dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Akan tetapi dalam pertemuan
dengan kekuatan Ali, kaum khawarij mengalami kekalahan besar, tapi akhirnya Ibn
al- Muljam dapat membunuh Ali bin Abi Thalib.
Di kemudian hari kaum Khawarij
terpecah-pecah dalam beberap sub-sekte, di antaranya ialah : 1) Al-Muhakkimah,
2) Al-Azariqah, 3) Al-Najdat, 4) Al-Ajaridah, 5) Al-Sufriyah, 6) Al- Ibadiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
Harun. 2009. Teologi Islam. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2010. Sejarah & Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar