Kamis, 20 September 2012

Hadits Maudhu'


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (H.R. Muslim).
Selama umat Islam di bawah kepemimpinan khulafa’ al arba’ah (4 khalifah pertama), hadits Nabi SAW senantiasa tetap bersih, tidak ternoda kedustaan. Akan tetapi kondisi tersebut berubah tatkala umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah khalifah Ali wafat, kelompok Syi’ah menuntut hak mereka untuk menduduki kursi khalifah. Selanjutnya muncullah kelompok-kelompok lain berbasis agama. Kelompok-kelompok ini mempertahankan argumentasinya dengan Al-qur’an dan hadits.
Namun, usaha mereka ini tidak membuahkan hasil karena keberadaan jumlah penghafal Al-Qur’an dan para ulama dari kalangan sahabat dan murid-muridnya masih sangat banyak. Oleh karena itu, mereka berupaya mengubah dan memasukkan tambahan ke dalam hadits dan melakukan pemalsuan atas nama Rasulullah SAW.
Hadits-hadits palsu munculnya bersamaan dengan munculnya berbagai kelompok itu. Para pemalsu membuat hadits untuk menyerang kelompok lainnya, dan sebaliknya kelompok tersebut juga membuat hadits palsu untuk membela diri.
Munculnya hadits palsu diperkirakan mulai tahun 41 H. Pada masa tabi’in (murid para sahabat) pemalsuan hadits lebih sedikit dibandingkan dengan pada masa tabiut tabi’in (murid tabi’in) karena masih banyak sahabat dan tabi’in yang mengamalkan sunnah. Mereka dapat membedakan mana hadits yang shahih dan mana yang palsu.
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
1. Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibnul 'Araby.
2. Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal  dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah)[1].
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya.[2]

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadist maudhu’?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan munculnya hadist maudhu’?
3. Apa hukum meriwayatkan hadits maudhu’?
4. Bagaimana cara mengidentifikasi hadist maudhu’?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’ atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Di dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits, dilihat dari dua hal, yaitu dari matan atau lafadz (isi) haditsnya dan sanad atau jalur orang yang meriwayatkannya. Hadits maudhu’ dikaegorikan hadits mardud (tertolak), karena hadits tersebut cacat dari segi jalur periwayatannya. Sebab salah seorang perawinya (periwayat) diketahui berdusta, ia mengklaim ucapan seseorang sebagai hadits lalu menyebar luaskannya.
Hadits maudhu’ berasal dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’. Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti baru (al-jadid) dan cerita (al-khabar).
Kata al-Maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a –yadha’u – wadh’an wa maudhu’an – yang memiliki beberapa arti antara lain telah menggugurkan, menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan, menurunkan dan lain-lainnya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata al-Maudhu' supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu  telah membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul – benda yang dikenai perbuatan) berartidibuat-buat[3].





B. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Munculnya Hadits Maudhu’
1.  Adanya fanatisme golongan.
Dalam kitab Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abi Hadid berkata, “Pertama kali kedustaan dalam hadits tentang keutamaan (fadhilah), dilakukan oleh Syi’ah. Sejak pertama, mereka memalsukan hadits yang berbeda mengenai Ali.
Pemalsuan itu didorong rasa permusuhan terhadap lawan. Ketika Al-Bakriyah (pendukung Abu Bakar) melihat apa yang dilakukan Syi’ah, merekapun memalsukan hadits tentang Abu Bakar sebagai tandingan hadits yang dibuat oleh Syi’ah.
2. Usaha untuk mendiskreditkan Islam.
Setelah kehadiran Islam, kekuasaan Kisra dan Kaisar roboh. Namun mereka tidak mampu untuk membalas dendam dengan pedang karena kekuasaan Islam telah sedemikian kokoh. Maka mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari aqidahnya dengan menciptakan kebathilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW. Hal itu mereka lakukan untuk menodai Islam. Sebagai contoh: diriwayatkan bahwa ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah SAW menjawab, “Dari air yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi dan tidak pula dari langit. Dia menciptakan seekor kuda kemudian menjalankan kuda itu maka berkeringatlah kuda. Kemudian Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu.”
3. Diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, negara dan imam.
Pada masa pemerintahannya, dinasti Umayyah, secara khusus mengandalkan etnis Arab, sebagian mereka bersikap fanatis terhadap kebangsaan Arab dan bahasa Arab. Maka muncullah kelompok Mawalli (kaum muslimin non Arab), yang berupaya mewujudkan persamaan hak. Mereka memanfaatkan gerakan pemberontakan dengan cara bergabung ke dalamnya.
 Selain itu, mereka berupaya menandingi kebanggaan etnis Arab. Inilah yang mendorong mereka memalksukan hadits-hadits. Misalnya hadits:
“Sesungguhnya pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar ‘Arsy adalah dengan bahasa Persia, dan jika Allah mewahyukan sesuatu yang menggembirakan, Allah mewahyukan dengan bahasa Persia, dan jika Dia mewahyukan ancaman maka dengan bahasa Arab.”
Selain hadits palsu yang berbicara tentang bahasa, etnis dan kabilah, hadits palsu juga dibuat tentang kelebihan negara atau imam tertentu.
4. Tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa.
Pada masa-masa akhir khulafaur rasyidin, muncul kelompok-kelompok pendongeng dan penasihat yang jumlahnya terus bertambah. Para pendongeng ini membuat membuat hadits palsu dengan tujuan untuk mendapatkan uang.Ada pula yang menjilat para penguasa dengan membuat hadits yang dapat memuaskan mereka. Hal ini, benar-benar terjadi pada masa masa Abbasiyah. Contohnya adalah, Ghiyats bin Ibrahim berdusta untuk khalifah Al-Mahdi dalam hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali untuk unta, panah, atau kuda.” Kemudian Ghiyats menambahkan, “atau sayap”, ketika ia melihat Al-Mahdi bermain-main dengan burung dara. Al-Mahdi kemudian menyuruh orang untuk menyembelih burung merpati tersebut dan memberikan kepada Ghiyats sebanyak uang 10ribu.
5. Pemahaman yang keliru dari madzhab al-karramiyah.
Madzhab sesat ini mengklaim bolehnya memalsukan hadits dalam rangka targhib wa tarhib (menganjurkan manusia berbuat baik dan menakut-nakuti manusia agar tidak bermaksiat). Mereka berdalil dengan hadits “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” Dengan ditambahi lafadz, “dengan sengaja untuk menyesatkan manusia.” Mereka beralasan, “Kami berdusta untuk kebaikan Beliau, bukan untuk menodai Beliau.[4]

C. Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’
1. Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
2. Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
3. Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).
Hadits palsu adalah hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram, jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Berdasarkan hadits:
“Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)
Meski beberapa hadits sering kita dengar, kita harus memastikan terlebih dahulu keshahihannya sebelum menjadikannya dalil atau mengamalkannya[5].





D. Cara Mengidentifikasi Hadist Maudhu’
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara, diantaranya:
1. Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
2. Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
3. Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
4. Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya)[6].




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits maudhu’ atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Hadits palsu adalah hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram, jika tidak disertai keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Berdasarkan hadits, “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim).




















DAFTAR PUSTAKA

Dr. Muhammad  ’Ijaj Al-Khatib,  Usul al-Hadith, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1421H-2001 M
Syaikh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa 'Ulum al- Hadits, Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, Halb, Syria., tahun 1404 H
Ali Mustofa Ya’qub, Kritik Hadits, Penerbit Pustaka Firdaus, Jakarta, 2004
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhuat fi Kutub al-Tafsir, 1988 M/1409 H. Maktabah al-Ilm Cairo, Mesir





[1] Ali Mustofa Ya’qub, Kritik Hadits, (Penerbit Pustaka Firdaus; Jakarta; 2004) hal 253
[3] Munsir Supartar ilmu hadist ( pt.raja garfindo persada ; Jakarta ; 1993) hal 143

[5] Ali Mustofa Ya’qub, Kritik Hadits, (Penerbit Pustaka Firdaus; Jakarta; 2004) hal 256

Tidak ada komentar:

Posting Komentar