BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah engkau berdusta
mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka
ia akan masuk neraka.” (H.R. Muslim).
Selama umat Islam di bawah
kepemimpinan khulafa’ al arba’ah (4 khalifah pertama), hadits Nabi SAW
senantiasa tetap bersih, tidak ternoda kedustaan. Akan tetapi kondisi tersebut
berubah tatkala umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Setelah khalifah
Ali wafat, kelompok Syi’ah menuntut hak mereka untuk menduduki kursi khalifah.
Selanjutnya muncullah kelompok-kelompok lain berbasis agama. Kelompok-kelompok
ini mempertahankan argumentasinya dengan Al-qur’an dan hadits.
Namun, usaha mereka ini tidak
membuahkan hasil karena keberadaan jumlah penghafal Al-Qur’an dan para ulama
dari kalangan sahabat dan murid-muridnya masih sangat banyak. Oleh karena itu,
mereka berupaya mengubah dan memasukkan tambahan ke dalam hadits dan melakukan
pemalsuan atas nama Rasulullah SAW.
Hadits-hadits palsu munculnya
bersamaan dengan munculnya berbagai kelompok itu. Para pemalsu membuat hadits
untuk menyerang kelompok lainnya, dan sebaliknya kelompok tersebut juga membuat
hadits palsu untuk membela diri.
Munculnya hadits palsu diperkirakan
mulai tahun 41 H. Pada masa tabi’in (murid para sahabat) pemalsuan hadits lebih
sedikit dibandingkan dengan pada masa tabiut tabi’in (murid tabi’in) karena
masih banyak sahabat dan tabi’in yang mengamalkan sunnah. Mereka dapat
membedakan mana hadits yang shahih dan mana yang palsu.
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhoif
yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif itu
bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya
diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
1. Melarang secara mutlak
meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum, maupun
untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar
Ibnul 'Araby.
2.
Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa
menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan
keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk
menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk
menetapkan aqidah-aqidah)[1].
Para
imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin al Mubarak berkata: "Apabila
kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras
sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang
keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan kami perlunak rawi-rawinya.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadist maudhu’?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan munculnya hadist maudhu’?
3. Apa hukum meriwayatkan hadits maudhu’?
4. Bagaimana cara mengidentifikasi hadist maudhu’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu’
Hadits maudhu’
atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Di
dalam ilmu hadits, bisa diterima atau tidaknya sebuah hadits, dilihat dari dua
hal, yaitu dari matan atau lafadz (isi) haditsnya dan sanad atau jalur orang
yang meriwayatkannya. Hadits maudhu’ dikaegorikan hadits mardud (tertolak),
karena hadits tersebut cacat dari segi jalur periwayatannya. Sebab salah
seorang perawinya (periwayat) diketahui berdusta, ia mengklaim ucapan seseorang
sebagai hadits lalu menyebar luaskannya.
Hadits maudhu’
berasal dari dua suku kata bahasa Arab yaitu al-Hadits dan al-Maudhu’.
Al-Hadith dari segi bahasa mempunyai beberapa pengertian seperti baru
(al-jadid) dan cerita (al-khabar).
Kata
al-Maudhu’, dari sudut bahasa berasal dari kata wadha’a –yadha’u – wadh’an wa
maudhu’an – yang memiliki beberapa arti antara lain telah menggugurkan,
menghinakan, mengurangkan, melahirkan, merendahkan, membuat, menanggalkan,
menurunkan dan lain-lainnya. Arti yang paling tepat disandarkan pada kata
al-Maudhu' supaya menghasilkan makna yang dikehendaki yaitu telah
membuat. Oleh karena itu maudhu’ (di atas timbangan isim maf’ul – benda yang
dikenai perbuatan) berartidibuat-buat[3].
B.
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Munculnya Hadits Maudhu’
1.
Adanya fanatisme golongan.
Dalam kitab
Syarh Nahj al-Balaghah, Ibnu Abi Hadid berkata, “Pertama kali kedustaan dalam
hadits tentang keutamaan (fadhilah), dilakukan oleh Syi’ah. Sejak pertama,
mereka memalsukan hadits yang berbeda mengenai Ali.
Pemalsuan itu
didorong rasa permusuhan terhadap lawan. Ketika Al-Bakriyah (pendukung Abu
Bakar) melihat apa yang dilakukan Syi’ah, merekapun memalsukan hadits tentang
Abu Bakar sebagai tandingan hadits yang dibuat oleh Syi’ah.
2. Usaha untuk mendiskreditkan Islam.
Setelah
kehadiran Islam, kekuasaan Kisra dan Kaisar roboh. Namun mereka tidak mampu
untuk membalas dendam dengan pedang karena kekuasaan Islam telah sedemikian
kokoh. Maka mereka berusaha menjauhkan kaum muslimin dari aqidahnya dengan
menciptakan kebathilan dan berdusta atas nama Rasulullah SAW. Hal itu mereka
lakukan untuk menodai Islam. Sebagai contoh: diriwayatkan bahwa ada yang
bertanya, “Wahai Rasulullah, terbuat dari apakah Tuhan kita? Rasulullah SAW
menjawab, “Dari air yang berlalu (tidak diam), tidak dari bumi dan tidak pula
dari langit. Dia menciptakan seekor kuda kemudian menjalankan kuda itu maka
berkeringatlah kuda. Kemudian Dia menciptakan diri-Nya dari keringat kuda itu.”
3. Diskriminasi etnis dan fanatisme
kabilah, negara dan imam.
Pada masa pemerintahannya, dinasti
Umayyah, secara khusus mengandalkan etnis Arab, sebagian mereka bersikap
fanatis terhadap kebangsaan Arab dan bahasa Arab. Maka muncullah kelompok
Mawalli (kaum muslimin non Arab), yang berupaya mewujudkan persamaan hak.
Mereka memanfaatkan gerakan pemberontakan dengan cara bergabung ke dalamnya.
Selain itu, mereka berupaya menandingi
kebanggaan etnis Arab. Inilah yang mendorong mereka memalksukan hadits-hadits.
Misalnya hadits:
“Sesungguhnya pembicaraan orang-orang
yang berada di sekitar ‘Arsy adalah dengan bahasa Persia, dan jika Allah
mewahyukan sesuatu yang menggembirakan, Allah mewahyukan dengan bahasa Persia,
dan jika Dia mewahyukan ancaman maka dengan bahasa Arab.”
Selain hadits palsu yang berbicara
tentang bahasa, etnis dan kabilah, hadits palsu juga dibuat tentang kelebihan
negara atau imam tertentu.
4. Tendensi duniawi berupa popularitas
dan usaha menjilat penguasa.
Pada masa-masa akhir khulafaur
rasyidin, muncul kelompok-kelompok pendongeng dan penasihat yang jumlahnya
terus bertambah. Para pendongeng ini membuat membuat hadits palsu dengan tujuan
untuk mendapatkan uang.Ada pula yang menjilat para penguasa dengan membuat hadits
yang dapat memuaskan mereka. Hal ini, benar-benar terjadi pada masa masa
Abbasiyah. Contohnya adalah, Ghiyats bin Ibrahim berdusta untuk khalifah
Al-Mahdi dalam hadits, “Tidak ada perlombaan kecuali untuk unta, panah, atau
kuda.” Kemudian Ghiyats menambahkan, “atau sayap”, ketika ia melihat Al-Mahdi
bermain-main dengan burung dara. Al-Mahdi kemudian menyuruh orang untuk
menyembelih burung merpati tersebut dan memberikan kepada Ghiyats sebanyak uang
10ribu.
5. Pemahaman yang keliru dari madzhab
al-karramiyah.
Madzhab sesat ini mengklaim bolehnya
memalsukan hadits dalam rangka targhib wa tarhib (menganjurkan manusia berbuat
baik dan menakut-nakuti manusia agar tidak bermaksiat). Mereka berdalil dengan
hadits “Janganlah engkau berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya
orang yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.” Dengan ditambahi
lafadz, “dengan sengaja untuk menyesatkan manusia.” Mereka beralasan, “Kami
berdusta untuk kebaikan Beliau, bukan untuk menodai Beliau.[4]”
C.
Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’
1. Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu
itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu
palsu.
2. Bagi mereka
yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah
palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka
tidak ada dosa atasnya.
3.
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka
mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa
atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits
yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera
dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain
tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul
Mughiits).
Hadits palsu
adalah hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut
kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram, jika tidak disertai
keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Berdasarkan hadits:
“Janganlah engkau berdusta
mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku, maka
ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)
Meski beberapa
hadits sering kita dengar, kita harus memastikan terlebih dahulu keshahihannya
sebelum menjadikannya dalil atau mengamalkannya[5].
D.
Cara Mengidentifikasi Hadist Maudhu’
Untuk mengetahui apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada
beberapa cara, diantaranya:
1.
Atas pengakuan orang yang
memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab
Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia
pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah
memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan
Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli
Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah
memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah
Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
2.
Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang
dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya
dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan
Hadits itu.
3.
Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan
Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada
dalam ayat-ayat Qur'an.
4.
Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun
ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya)[6].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits maudhu’
atau hadits palsu adalah hadits dengan tingkat kelemahan paling rendah. Hadits
palsu adalah hadits yang sama sekali tidak bisa dijadikan dalil. Bahkan menurut
kesepakatan ulama, meriwayatkan hadits palsu adalah haram, jika tidak disertai
keterangan bahwa hadits tersebut maudhu’. Berdasarkan hadits, “Janganlah engkau
berdusta mengatasnamakan aku, karena sesungguhnya orang yang berdusta atas
namaku, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim).
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Muhammad ’Ijaj Al-Khatib,
Usul al-Hadith, ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu, Beirut:
Dar al-Fikr, 1421H-2001 M
Syaikh 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa 'Ulum
al- Hadits,
Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyyah, Halb, Syria., tahun 1404 H
Ali Mustofa Ya’qub, Kritik Hadits, Penerbit
Pustaka Firdaus, Jakarta, 2004
Muhammad
bin Muhammad Abu Syahbah, al-Israiliyyat
wa al-Maudhuat fi Kutub al-Tafsir, 1988 M/1409 H. Maktabah al-Ilm Cairo , Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar