BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan
transformasi ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu agama (ulumuddin) sangat penting di kalangan kaum muslimin. Manusia
pertama yang memperoleh tranformasi ilmu langsung dari Allah ialah Nabi Adam
As.
Selanjutnya jaman terus
berubah, pengetahuan pun berkembang dan manusia dengan potensi akalnya
menemukan hal-hal yang baru, dan atau mengembangkan ilmu-ilmu yang ada
sebelumnya.
Filsafat merupakan pokok dari segala disiplin
ilmu sebagai refleksi rasionil atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat
dan memperoleh hikmah. Berfilsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya dengan
bebas dan teliti tentang segala sesuatu yang masuk kedalam pikiran, baik yang
di luar maupun yang ada di dalam diri.
Perlu diketahui bahwa seorang Muslim yang
berpikir dengan sedalam-dalamnya tanpa suatu maksud, selain dari mencari yang
hak dan kebenaran, yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir,
maka dia akan sampai kepada kebenaran itu dan tidak akan tersesat.
Di dunia Islam Timur, filsafat mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh
filosof Islam seperti Al-Kinidi, Al-Razi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Sina,
Ibn Khaldun dan lain-lain. Para tokoh tersebut memberikan kontribusi yang
penting bagi umat Islam di dunia, khususnya dalam hal filsafat Islam. Atas
dasar ini, maka kami mencoba untuk mengulas pemikiran tokoh filsafat Islam
yakni Al-Ghazali.
Dalam makalah
ini penulis akan mengulas tentang
pemikiran filosofi dari al – ghazali dan
pandangannya terhadap pendidikan Islam.
Tujuannya agar kita bisa mengetahui pemikiran
tokoh-tokoh penting dalam dunia Islam. Dan semoga saja uraian yang singkat ini
dapat memberikan setetes keberkhahan untuk kita semua.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
1. Bagaimana
riwayat imam al – Gazali?
2. Seperti
apa pemikiran – pemikiran yang di tuangkan Al - Ghazali?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Imam Al - Ghazali.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al- Ghazali Ath – Thusi asy – Syafi’i, itulah nama
lengkap Imam Al – Ghazali atau yang sering di panggil dengan Abu
Hamid Al Ghazali.[1]
Ia lahir pada tahun 450 H dan bertepan pada 1059 M. di Ghazaleh, kota kecil yang
terletak di Tus (sekarang dekat Mashed), wilayah Khurasan ( sekarang Iran).[2]
Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan
dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat
kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar
asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.[3]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang
sholeh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki
miskin yang bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali
Al-Ghazali tumbuh di lingkungan yang Islami dan menjadi menjadi anak yang alim
dan shaleh. Karena itu sebelum wafatnya ia menitipkan Al-Ghazali dan adiknya (yang
bernama Ahmad) kepada seorang temannya yang sufi dan menyerahkan biaya hidup
untuk mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang miskin. Karena itu ketika
biaya hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang
didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup
bagi pelajar.[4]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah
kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia
pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal
dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah
Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma'ali al-Juwainy, seorang
ulama yang bermazhab Syafi'I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.
Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi
guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan
sangat berhasil sehingga banyak para penuntut ilmu dan pengagumnya berguru
kepadanya.
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini
tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk
polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan.
Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan
jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat
saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.[5]
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus
dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan
kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau
banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid
Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis
kitab Ihya Ulumuddin, Al
Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun
Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah.
Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Al-Ghazali kembali mengajar di sekolah
Nazamiyyah di Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2
tahun, untuk akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan
sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin.
Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54
tahun.
B.
Pemikiran
Al – Ghazali tentang Pendidikan Islam
1.
Peranan
Pendidikan Islam
Menurut Al – Ghazali pendidikan yang baik
merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat, hal ini diungkapkan Al – Ghazali dalam bukunya
yang berjudul Fatihat
al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum al-Din.[6]
Al-Ghazali
merupakan salah satu sufistik yang
banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah
yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.[7]
Sedangkan menurut H. M. Arifin Guru besar dalam bidang pendidikan mengatakan,
bila di pandang dari segi filosofis, Al – Ghazali adalah penganut paham
idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya.[8]
Dalam
masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini
disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati
seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang berharga, sederhana dan
bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang
artinya:
“ Setiap anak yang dilahirkan dalam
keadaan bersih, kedua orangtualah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut
Yahudi, Nasrani, atau Majusi”
(H.R. Muslim).[9]
Sejalan
dengan hadis tersebut, maka jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang
baik, maka anak itu akan menjadi baik. Begitu juga sebaliknya jika anak di
biasakan melakukan perbuatan buruk dan di biasakan kepada hal – hal yang jahat,
maka anak itu akan berakhlak jelek.
Menurut
Al – Ghazali untuk menyiarkan agama islam, memelihara jiwa dan taqarrub kepada
Allah. Oleh karena itu pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan
kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri
Allah dan mendapatkan kebahagian dunia-akhirat.[10]
2.
Kurikulum
Pendidikan Islam
Secara tradisional kurikulum dapat diartikan
suatu mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah
pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya.[11]
Kurikulum disusun dengan sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Pandangan
Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu
pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib
dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Ilmu
yang tercela, banyak atau sedikit ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di
dunia maupun diakhirat. Seperti ilmu sihir, ilmu nujun dan ilmu perdukunan.
Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap
adanya Tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
b. Ilmu
yang terpuji, banyak atau sedikit, jika ilmu ini dipelajar akan membawa
seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Seperti Ilmu Tauhid dan Ilmu agama.
c. Ilmu
yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini
dapat membawa kepada kegoncangan iman dan Ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu
filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu diatas, Al –
Ghazali membagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi
kepentingannya, yaitu:
a. Ilmu
yang wajib (fardhu) yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu
yang bersumber pada kitab Allah.
b. Ilmu
yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik
dan ilmu pertanian.
Sejalan dengan kategori diatas Imam Al –
Ghazali merinci lagi menjadi empat kelompok, dan inilah yang di usulkannya
untuk dipelajri disekolah[12].
Ilmu pengetahuan tersebut adalah:
a. Ilmu
al – Quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadist dan tafsir.
b. Ilmu
– ilmu bahasa, seperti nahmu dan makhraj serta lafadz – lafadznya, karena hal
ini berfungsi untuk membantu ilmu agama.
c. Ilmu
– ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematikan, teknologi yang
beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
d. Ilmu
kebudayaa, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa Al –
Ghazali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama
pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajid dan fardhu
kifayah. Kedua pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian ilmu pada
yang terpuji dan tercela.
3.
Tujuan
Pendidikan Islam
Menurut Al – Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan
kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan
diarahkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan
kedengkian, kebencian dan permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan
sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup
dengan yanng ada), dan banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan
dunia.
Selanjutnya
pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan
semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada
Allah, Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah,
Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan
yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri
kepada Allah.
4.
Metode
Pendidikan Islam
Dalam
hal yang berhubungan dengan metode pendidikan Islam, Al-Ghazali menekankan
pentingnya bimbingan dan pembisaaan. Dalam menerapkan metode tersebut
Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di
selaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak
dan tujuannya tidak lepas dari hubungannya dengan nilai manfaat. Oleh karena
itu dalam metode pendidikannya ini Al-Ghazali cenderung mendasarkan
pemikirannya pada prinsip ajaran sufi (penyucian jiwa) dan pragmatis (nilai
guna).
Dalam
uraiannya yang lain, Al-Ghazali juga meletakkan prinsip metode pendidikan pada
aspek mental atau sikap, sebagaimana kata-kata beliau "wajib atas para
murid untuk membersihkan jiwanya dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifatnya
yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya akhlak menjadi asas bagi
kemajuan ilmu yang dituntutnya."
Dan
hal tersebut dapat digunakan dengan menggunakan berbagai macam metode antara
lain: metode keteladanan, metode bimbingan dan penyuluhan, metode cerita, metode
motivasi.
Selain
itu menurut Al-Ghazali dalam metode pendidikan ini ada dua macam kecenderungan
yaitu:
a.
Kecenderungan
religius sofistis, yang meletakkan ilmu-ilmu agama di atas pemikirannya. Dan
melihatnya sebagai alat untuk menyucikan jiwa dan membersihkannya dari kotoran
duniawi. Dengan demikian ia menekankan kepentingan akhirat yang menurutnya
harus di kaitkan dengan pendidikan agama.
b.
Kecenderungan aktualitas manfaat yang tampak
dari tulisan-tuliasannya meskipun ia seorang sufi dan tidak suka kepada duniawi,
namun dia mengulangi penilaiannya terhadap ilmu-ilmu menurut kegunaanya bagi
manusia baik di dunia ataupun di akhiratnya.
5.
Pendidik
Sejalan
dengan pentingnya pendidikan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan
diatas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh
melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Guru harus mencintai muridnya
seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
b. Guru jangan mengharapkan materi
(upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar
adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah
terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c. Guru harus mengingatkan muridnya
agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari
keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d. Guru harus mendorong muridnya agar
mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia
dan akhirat.
e. Di hadapan muridnya, guru harus
memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah
hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f. Guru harus mengajarkan pelajaran
yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g. Guru harus mengamalkan apa yang di
ajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya.
h. Guru harus memahami minat, bakat dan
jiwa anak didiknya, sehingga di sampaing tidak akan salah dalam mendidik, juga
akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
i.
Guru
harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didinya, sehingga akal
pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Tipe
ideal guru yang dikemukakan Al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak
dan masih dianggap relevan, jika tidak dianggap hanya satu-satunya mode,
melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat akademis dan
profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan
kepribadian sebagai mana yang dikemukakan Al-Ghazali dan persyaratan akademis
dan profesional.
6.
Peserta
didik
Dalam
kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa
mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman
kepada Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian
manusia, cocok dengan tabi'at dasarnya yang memang cenderung kepada agama
Islam.
Al-Ghazali
dalam memberikan pendidikan kepada umat, membagi manusia itu menjadi tiga
golongan yang sekaligus menunjukkan kepada keharusan menggunakan metode pendekatan
yang berbeda pula, yaitu:
a. Kaum awam, yang cara berfikirnya
sederhana sekali. Dengan cara berfikir terebut, mereka tidak dapat
mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan
menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
b. Kaum pilihan, yang akalnya tajam
dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut, harus
dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c. Kaum penengkar (ahl al jidal),
mereka harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen mereka.
Selanjutnya
menurut Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memilki tugas dan
kewajiban, yaitu:
a. Mendahulukan kesucian jiwa.
b. Bersedia merantau untuk mencari ilmu
pengetahuan.
c. Jangan menyombongkan ilmunya dan
menentang guru.
d. Mengetahui kedudukan ilmu
pengetahuan.
Dengan
tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk
menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat kita ketahui bahwa Imam Al – Ghazali merupakan seorang
ulama dan filsuf yang banyak peranannya dalam mengembangkan pemikiran islam. Al-Ghazali
punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi juga tidak
bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu. Sehingga ada pujian yang
menarik yang lahir dari Islamolog Jerman kepada Imam Ghazali, katanya,
"Kalau ada nabi lagi setelah Muhammad, maka al-Ghazalilah orangnya."
Dan dapat disimpulkan pula bahwa unsur – unsur pokok dalam pendidikan
setidaknya terdiri dari materi, guru, murid, serta metode. Al – Ghazali juga
mengungkapkan bahwa dalam menuntut ilmu melewati lima tahapan yakni: sikap
membisu,yaitu sikap ta’zim kepada orang – orang yang terpelajar. Tahap kedua
mendengar, tahap ketiga memahami, mengingat dan menyelami isi – isi ilmu
pengetahuan, tahapan keempat mengamalkannya dan tahapan yang terakhir adalah
memberikan ilmu kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saeban, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia,
2008.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah,
2002.
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan
Perkembangan Pemikiran Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Fuad al – Ahwani, Ahmad, Al- Tarbiyah fi Islam, Mesir : Dar al – Misriyyah, tanpa tahun.
Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.1, 1991
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Gramedia Pratama, 2005.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pres, 2002.
Arikunto, Suharsimi, Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan,
Jakarta : Bumi Aksara, cet.10, 1993.
[1]
Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saeban,
Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.463
[2] Ibid.
[4] Muhammad Utsman
Najati, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, (Bandung : Pustaka Hidayah,
2002), h. 202
[6] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran Islam,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1994), h.139
[7] Ahmad Fuad al – Ahwani, Al- Tarbiyah fi Islam, (Mesir : Dar al – Misriyyah, tanpa tahun),
h. 283
[8] H.M.Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet.1, 1991), h.87
[9] Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Gramedia Pratama, 2005), h.211
[10] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pres, 2002),h.187
[11]
Abudin Nata, Op.Cit., h.216
[12]
Suharsimi Arikunto, Dasar –
dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, cet.10, 1993), h 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar