Selasa, 18 September 2012

Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Filsafat Pendidikan Islam)


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan transformasi ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin) sangat penting di kalangan kaum muslimin. Manusia pertama yang memperoleh tranformasi ilmu langsung dari Allah ialah Nabi Adam As.
Selanjutnya jaman terus berubah, pengetahuan pun berkembang dan manusia dengan potensi akalnya menemukan hal-hal yang baru, dan atau mengembangkan ilmu-ilmu yang ada sebelumnya.
Filsafat merupakan pokok dari segala disiplin ilmu sebagai refleksi rasionil atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah. Berfilsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang segala sesuatu yang masuk kedalam pikiran, baik yang di luar maupun yang ada di dalam diri.
Perlu diketahui bahwa seorang Muslim yang berpikir dengan sedalam-dalamnya tanpa suatu maksud, selain dari mencari yang hak dan kebenaran, yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir, maka dia akan sampai kepada kebenaran itu dan tidak akan tersesat.
Di dunia Islam Timur, filsafat mengalami perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh filosof Islam seperti Al-Kinidi, Al-Razi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibn Khaldun dan lain-lain. Para tokoh tersebut memberikan kontribusi yang penting bagi umat Islam di dunia, khususnya dalam hal filsafat Islam. Atas dasar ini, maka kami mencoba untuk mengulas pemikiran tokoh filsafat Islam yakni Al-Ghazali.
Dalam makalah  ini  penulis akan mengulas tentang pemikiran filosofi dari al – ghazali  dan pandangannya terhadap pendidikan Islam.
Tujuannya agar kita bisa mengetahui pemikiran tokoh-tokoh penting dalam dunia Islam. Dan semoga saja uraian yang singkat ini dapat memberikan setetes keberkhahan untuk kita semua.
B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah
1.    Bagaimana riwayat imam al – Gazali?
2.    Seperti apa pemikiran – pemikiran yang di tuangkan Al - Ghazali?


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Riwayat Hidup Imam Al - Ghazali.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al- Ghazali   Ath – Thusi asy – Syafi’i, itulah nama lengkap Imam Al – Ghazali atau yang sering di panggil  dengan Abu  Hamid Al Ghazali.[1] Ia lahir pada tahun 450 H dan bertepan pada 1059 M. di Ghazaleh, kota kecil yang terletak di Tus (sekarang dekat Mashed), wilayah Khurasan ( sekarang Iran).[2]
Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan gelar ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan. Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i.[3]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang sholeh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki miskin yang bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali Al-Ghazali tumbuh di lingkungan yang Islami dan menjadi menjadi anak yang alim dan shaleh. Karena itu sebelum wafatnya ia menitipkan Al-Ghazali dan adiknya (yang bernama Ahmad) kepada seorang temannya yang sufi dan menyerahkan biaya hidup untuk mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang miskin. Karena itu ketika biaya hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup bagi pelajar.[4]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma'ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi'I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.
Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para penuntut ilmu dan pengagumnya berguru kepadanya.
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.[5]
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Al-Ghazali kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah di Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun, untuk akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54 tahun.

B.   Pemikiran Al – Ghazali tentang Pendidikan Islam
1.    Peranan Pendidikan Islam
Menurut Al – Ghazali pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, hal ini diungkapkan Al – Ghazali dalam bukunya yang berjudul Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum al-Din.[6]
Al-Ghazali merupakan salah satu  sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya.[7] Sedangkan menurut H. M. Arifin Guru besar dalam bidang pendidikan mengatakan, bila di pandang dari segi filosofis, Al – Ghazali adalah penganut paham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya.[8]
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Hal ini sejalan dengan pesan Rasulullah SAW yang artinya:
“ Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orangtualah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R. Muslim).[9]
Sejalan dengan hadis tersebut, maka jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup yang baik, maka anak itu akan menjadi baik. Begitu juga sebaliknya jika anak di biasakan melakukan perbuatan buruk dan di biasakan kepada hal – hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Menurut Al – Ghazali untuk menyiarkan agama islam, memelihara jiwa dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri Allah dan mendapatkan kebahagian dunia-akhirat.[10]
2.    Kurikulum Pendidikan Islam
Secara tradisional kurikulum dapat diartikan suatu mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya.[11] Kurikulum disusun dengan sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.    Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia maupun diakhirat. Seperti ilmu sihir, ilmu nujun dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dan akan meragukan terhadap adanya Tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
b.    Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit, jika ilmu ini dipelajar akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah. Seperti Ilmu Tauhid dan Ilmu agama.
c.    Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kegoncangan iman dan Ilhad (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu diatas, Al – Ghazali membagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
a.    Ilmu yang wajib (fardhu) yang diketahui oleh semua orang, yaitu ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
b.    Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik dan ilmu pertanian.
Sejalan dengan kategori diatas Imam Al – Ghazali merinci lagi menjadi empat kelompok, dan inilah yang di usulkannya untuk dipelajri disekolah[12]. Ilmu pengetahuan tersebut adalah:
a.    Ilmu al – Quran dan ilmu agama seperti fiqh, hadist dan tafsir.
b.    Ilmu – ilmu bahasa, seperti nahmu dan makhraj serta lafadz – lafadznya, karena hal ini berfungsi untuk membantu ilmu agama.
c.    Ilmu – ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematikan, teknologi yang beraneka macam jenisnya, termasuk juga ilmu politik.
d.    Ilmu kebudayaa, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa Al – Ghazali menggunakan dua pendekatan dalam membagi ilmu pengetahuan. Pertama pendekatan fiqh yang melahirkan pembagian ilmu pada yang wajid dan fardhu kifayah. Kedua pendekatan tasawuf (akhlak) yang melahirkan pembagian ilmu pada yang terpuji dan tercela.

3.    Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Al – Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup dengan yanng ada), dan banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
Selanjutnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah, Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah, Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.

4.    Metode Pendidikan Islam
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan Islam, Al-Ghazali menekankan pentingnya bimbingan dan pembisaaan. Dalam menerapkan metode tersebut Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di selaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari hubungannya dengan nilai manfaat. Oleh karena itu dalam metode pendidikannya ini Al-Ghazali cenderung mendasarkan pemikirannya pada prinsip ajaran sufi (penyucian jiwa) dan pragmatis (nilai guna).
Dalam uraiannya yang lain, Al-Ghazali juga meletakkan prinsip metode pendidikan pada aspek mental atau sikap, sebagaimana kata-kata beliau "wajib atas para murid untuk membersihkan jiwanya dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifatnya yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya akhlak menjadi asas bagi kemajuan ilmu yang dituntutnya."
Dan hal tersebut dapat digunakan dengan menggunakan berbagai macam metode antara lain: metode keteladanan, metode bimbingan dan penyuluhan, metode cerita, metode motivasi.
Selain itu menurut Al-Ghazali dalam metode pendidikan ini ada dua macam kecenderungan yaitu:
a.     Kecenderungan religius sofistis, yang meletakkan ilmu-ilmu agama di atas pemikirannya. Dan melihatnya sebagai alat untuk menyucikan jiwa dan membersihkannya dari kotoran duniawi. Dengan demikian ia menekankan kepentingan akhirat yang menurutnya harus di kaitkan dengan pendidikan agama.
b.     Kecenderungan aktualitas manfaat yang tampak dari tulisan-tuliasannya meskipun ia seorang sufi dan tidak suka kepada duniawi, namun dia mengulangi penilaiannya terhadap ilmu-ilmu menurut kegunaanya bagi manusia baik di dunia ataupun di akhiratnya.

5.    Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan diatas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:
a.       Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
b.      Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
c.       Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
d.      Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
e.       Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
f.       Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
g.      Guru harus mengamalkan apa yang di ajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya.
h.      Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di sampaing tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
i.        Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didinya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Tipe ideal guru yang dikemukakan Al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak dan masih dianggap relevan, jika tidak dianggap hanya satu-satunya mode, melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian sebagai mana yang dikemukakan Al-Ghazali dan persyaratan akademis dan profesional.

6.    Peserta didik
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi'at dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.
Al-Ghazali dalam memberikan pendidikan kepada umat, membagi manusia itu menjadi tiga golongan yang sekaligus menunjukkan kepada keharusan menggunakan metode pendekatan yang berbeda pula, yaitu:
a.    Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Dengan cara berfikir terebut, mereka tidak dapat mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
b.    Kaum pilihan, yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut, harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c.    Kaum penengkar (ahl al jidal), mereka harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen mereka.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memilki tugas dan kewajiban, yaitu:
a.     Mendahulukan kesucian jiwa.
b.    Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
c.    Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
d.    Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.
Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.


BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa Imam Al – Ghazali merupakan seorang ulama dan filsuf yang banyak peranannya dalam mengembangkan pemikiran islam. Al-Ghazali punya peran yang luar biasa, spesial dalam bidang tasawuf, tetapi juga tidak bisa terpisah dari keahliannya dalam berbagai ilmu. Sehingga ada  pujian yang menarik yang lahir dari Islamolog Jerman kepada Imam Ghazali, katanya, "Kalau ada nabi lagi setelah Muhammad, maka al-Ghazalilah orangnya." Dan dapat disimpulkan pula bahwa unsur – unsur pokok dalam pendidikan setidaknya terdiri dari materi, guru, murid, serta metode. Al – Ghazali juga mengungkapkan bahwa dalam menuntut ilmu melewati lima tahapan yakni: sikap membisu,yaitu sikap ta’zim kepada orang – orang yang terpelajar. Tahap kedua mendengar, tahap ketiga memahami, mengingat dan menyelami isi – isi ilmu pengetahuan, tahapan keempat mengamalkannya dan tahapan yang terakhir adalah memberikan ilmu kepada orang lain.


DAFTAR  PUSTAKA

Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saeban, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, 2002.
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran Islam, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Fuad al – Ahwani, Ahmad, Al- Tarbiyah fi Islam, Mesir : Dar al – Misriyyah, tanpa tahun.
Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.1, 1991
Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Gramedia Pratama, 2005.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pres, 2002.
Arikunto, Suharsimi, Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, cet.10, 1993.


[1] Atang Abdul Hakim & Beni Ahmad Saeban, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.463
[2] Ibid.
[4] Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, (Bandung : Pustaka Hidayah, 2002), h. 202
[6] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1994), h.139
[7] Ahmad Fuad al – Ahwani, Al- Tarbiyah fi Islam, (Mesir : Dar al – Misriyyah, tanpa tahun), h. 283
[8] H.M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, cet.1, 1991), h.87
[9] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Gramedia Pratama, 2005), h.211
[10] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pres, 2002),h.187
[11] Abudin Nata, Op.Cit., h.216
[12] Suharsimi Arikunto, Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, cet.10, 1993), h 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar